Tuesday, March 16, 2021

SEJARAH MARQUIS DE SADE: DARI NAMANYA-LAH KATA “SADIS” BERASAL

 

Pernah nonton film slasher yang isinya bunuh-bunuhan? Suka ama film “Saw” yang isinya adegan penyiksaan dan gore? Well, berarti kalian harus berterima kasih pada pria ini. Marquis de Sade. Lho kenapa memang? Siapa dia? FYI, dari namanya-lah, yakni “Sade”, muncul kata “sadis”. Kata “sadis” sendiri artinya adalah “seperti Sade”. Memangnya siapakah Marquis de Sade ini? Mengapa sosok yang (spoiler aja, bejat) menjadi inspirasi kata “sadis”?

Well guys, kita akan mempelajarinya hari ini di Dark History kali ini.

Nama aslinya adalah Donatien Alphonse François de Sade, namun ia lebih dikenal dengan gelarnya sebagai “marquis” (gelar kebangsawanan Prancis di bawah Duke dan di atas Count), sehingga iapun lebih dikenal dengan nama Marquis de Sade. Sade lahir pada 2 Juni 1740 di Paris dan hidup pada masa pergolakan Revolusi Prancis. Keluarganya adalah bangsawan dari trah de Sade (sebuah trah kebangsawanan Prancis yang masih awet hingga sekarang). Sebagai keturunan ningrat, Sade tumbuh besar dengan mengalami banyak kenikmatan disertai dengan penderitaan, sehingga mungkin ia jadi tak bisa membedakan keduanya.

Kala Sade masih amat belia, sang ayah meninggalkan keluarganya begitu saja. Sang ibu yang patah hati, akhirnya memutuskan menjadi biarawati, namun masih meninggalkan kekayaan yang besar bagi Sade cilik. Akibatnya, walaupun kini ditelantarkan oleh kedua orang tuanya, namun Sade masih dimanjakan oleh para pelayan-pelayan keluarga bangsawan itu serta dituruti segala keinginannya. Sade kemudian disekolahkan di sebuah sekolah Katolik ternama di Paris. Sekolah tersebut amatlah disiplin hingga para guru-gurunya tak segan-segan mencambuk para murid yang ketahuan nakal, termasuk di antaranya Sade. Akibatnya, ketika dewasa, Sade justru “ketagihan” dan menganggap cambukan-cambukan itu sebagai suatu bentuk kenikmatan.

Setelah dewasa, Sade kemudian bergabung ke militer, bahkan sempat beraksi di “Seven Years War”, perang antara Prancis dan Inggris. Sepulangnya berperang, Sade kemudian berniat melamar seorang putri bangsawan yang cantik. Namun sang calon mertua menolak dan memilih menikahkan Sade pada kakak gadis yang hendak dipinangnya (mungkin alasannya biar sang adik nggak melompati kakaknya nanti). Dari pernikahan itu Sade memiliki dua anak laki-laki dan satu perempuan. Mungkin pernikahannya dengan wanita yang tak diinginkan inilah yang menginspirasi Sade pada aksi “kesadisannya”

Kastil Lacoste dimana Sade pernah tinggal

Sade kala itu tinggal di sebuah kastil mewah bernama Lacoste dimana dengan hartanya yang bergelimpangan, ia memuaskan hasrat seksnya dengan menyewa PSK. Namun para kupu-kupu malam yang digunakan jasanya oleh Sade ini mulai mengeluh atas perlakuan Sade yang mereka rasa “kejam”. Salah satu skandal yang dibuat Sade adalah memperkerjakan Rose, seorang janda muda nan cantik yang kala itu mengetuk pintu kastil untuk meminta pekerjaan. Namun ternyata, bukannya diperkerjakan menjadi pelayan seperti janji Sade, Rose justru malah diikat dan dicambuki. Tak hanya itu, konon Sade juga mengiris-iris kulit Rose dan menuangkan lelehan lilin panas ke atasnya. Beruntung, Rose berhasil melarikan diri dan melaporkan perbuatan bejat Sade itu ke polisi. Namun karena Sade berasal dari keluarga bangsawan, dengan mudah iapun lolos dari masalah tersebut.

Empat tahun kemudian, pada 1772, perilaku Sade makin menjadi-jadi. Di sebuah kastilnya di Marseilles, ia mulai bereksperimen dengan melakukan sodomi. Kali ini Sade tak bisa melarikan diri sebab sodomi kala itu dianggap sebagai kejahatan tak terampuni, bahkan bisa membuatnya dihukum mati. Sade kemudian sempat kabur ke Italia, namun tertangkap dan masuk penjara. Kemudian ia berhasil kabur dan bersembunyi di Kastil Lacoste. Setelah peristiwa itu, bukannya bertobat, ulah Sade malah makin menggila. Di kastilnya itu, ia menculik enam anak (satu di antaranya anak kecil) dan menyiksa mereka. Mereka berhasil melarikan diri dan ada satu insiden dimana ayah dari salah satu anak menjadi marah dan berusaha menembak Sade. Namun, tembakannya meleset.

Keresahan warga membuat Sade akhirnya ditangkap di Paris dan dipenjara, bahkan menunggu hukuman mati. Beruntung, ia berhasil naik banding dan hukumannya pun diperingan. Pada 1784, Sade kemudian dikirim ke penjara Bastille yang termashyur. Di sanalah ia menuliskan salah satu “mahakarya”-nya, yakni “120 Days of Sodom”. Sekitar 5 tahun mendekam di sana, ia kemudian dipindahkan ke sebuah rumah sakit jiwa. Pihak berwajib kala itu mulai meragukan kewarasan Sade, menilik obsesinya akan kekerasan dan penyiksaan. Entah kebetulan atau tidak, hanya sepuluh hari setelah ia dipindahkan dari Bastille, penjara tersebut diserbu oleh rakyat Prancis dan menjadi permulaan Revolusi Prancis.

Pasca Revolusi Prancis, seluruh tahanan dilepaskan (karena sebagian besar dari mereka adalah tahanan politik yang dipenjara karena melawan raja), termasuk Sade. Sade kembali meraih status kebangsawannya, terutama setelah ia memproklamirkan diri sebagai pro-Revolusi dan mendukung Republik (menggantikan sistem Monarki yang selama ini mencengkeram Prancis). Namun sayang, kastilnya di Lacoste dalam keadaan rusak parah karena dijarah warga. Tak lagi memiliki istana tempatnya bernaung, Sade-pun memutuskan hijrah ke Paris.

Penyerbuan ke Penjara Bastille menandai peristiwa Revolusi Prancis sehingga Sade bisa terbebas dari semua tuduhan "penistaan" yang dituduhkan kepadanya karena gaya hidupnya yang "tak biasa"

Sayang, di sana kepopulerannya mulai merosot. Ternyata itu malah bukan karena aksi kesadisannya dan perilaku seksualnya yang menyimpang, namun karena perbuatan anaknya yang pada 1792 melakukan desersi (melarikan diri) dari militer, sehingga dianggap pengkhianat. Tak hanya itu, Sade yang aktif di bidang politik, amatlah kritis terhadap Robespierre, pemimpin Prancis pada “Masa Teror” yang terkenal suka mengeksekusi lawan politiknya menggunakan guilotine. Akibatnya, iapun dipenjara. Namun setelah “Masa Teror” berakhir, Sade akhirnya dilepaskan.

Akan tetapi kini, Sade menghadapi permasalahan lain. Selama dipenjara, Sade menghabiskan waktunya menelurkan dua mahakarya-nya yang terbaru, yakni “Justine” dan “Juliette”. Kedua novel itu, seperti ciri khas Sade, diisi dengan berbagai adegan sadis, namun bisa dibilang cukup realis dan mencerminkan kenyataan. Novelnya “Justine” menceritakan seorang gadis polos dan baik hati bernama Justine yang malah mengalami berbagai kenestapaan dalam hidupnya, seperti diperkosa, disiksa, bahkan mati dengan menderita. Sebaliknya, di novelnya yang lain “Juliette” diceritakan seorang gadis bernama Juliette yang “nymphomaniac” (hiperseks), tak bermoral serta berperilaku bin*l dan j*l*ng, namun kehidupannya justru selalu dipenuhi kenikmatan, bahkan berakhir bahagia.

Begitu membaca kedua karya tersebut, Napoleon Bonaparte, penguasa Prancis saat itu konon begitu murka hingga memerintahkan untuk menangkap sang penulis. Sade-pun kembali ditahan di rumah sakit jiwa hingga akhirnya ia menghembuskan napasnya yang terakhir pada 1814.

Uniknya, keluarga Sade sekarang (riwayat trah de Sade masihlah mengalir hingga sekarang) bahkan sempat tak mengetahui “ulah” nenek moyangnya tersebut. Masa lalu Marquis de Sade yang penuh skandal selalu disembunyikan dan malu diakui oleh keluarga besarnya. Bahkan, barulah pada tahun 1940-an, salah satu keturunan Marquis de Sade, yakni Comte Xavier de Sade, mengetahui tentang masa lalu leluhurnya tersebut, itupun setelah diberi tahu oleh seorang jurnalis yang hendak mewawancarainya. Begitu mengetahuinya, Xavier malah berusaha melestarikan warisan leluhurnya itu dan menggali lagi manuskrip-manuskrip buatan Sade, serta membagikannya ke berbagai perpustakaan dan universitas untuk dipelajari.

Sade memang sosok kontroversial. Menilik perilaku bejatnya yang suka menyiksa, tak heran bagaimana namanya akhirnya disematkan dalam bahasa sehari-hari sebagai asal dari kata “sadis”. Namun ada pula yang menyebut Sade setara dengan sastrawan termashyur sekelas Shakespeare karena kebebasannya dalam berliteratur. Bahkan, sosok psikolog legendaris, Sigmund Freud, konon terinspirasi menyusun psikoanalisisnya berkat mempelajari karya-karya Sade. Tak hanya itu, tanpa gaya hidup bejat Sade, mungkin kita takkan memiliki karya horor mulai dari “Halloween” hingga “Chainsaw Texas Massacre” sampai kisah erotis seperti “Fifty Shades of Grey” hehehe.

SUMBER GAMBAR DAN ARTIKEL: WIKIPEDIA


3 comments:

  1. Aku udah baca tiga novel buatan Sade yang abang sebut. Justine, Juliette sama, 120 Days of Sodom.

    Dan WOW bener2 novelnya itu sadisnya kebangetan, apalagi Justine sama 120 Days of Sodom, bahkan menurut aku, novel 120 Days of Sodom lebih sadis dibandingkan filmnya soalnya siksaannya bener2 kejam dan juga kebanyakan korbannya masih dibawah umur antara 12 sampe 15 tahun, sedangkan korban difilmnya kebanyakan berusia 18 tahun.

    Tapi aku suka banget sama novelnya secara aku sendiri suka hal2 Sadis 😁, dan juga nama2 korban dinovel 120 Days of Sodom itu bagus2 jadi betah baca novelnya jg.

    ReplyDelete
  2. 120 Days Of Sodom 🤢 nonton trailer nya aja nyaris muntah 😭😭😭

    ReplyDelete