Tuesday, March 16, 2021

THE GREAT STINKS: TRAGEDI EEK PALING MEMILUKAN (DAN MEMALUKAN) DALAM SEJARAH INGGRIS

Kini Inggris dikenal sebagai negara yang amat maju dan menjadi kiblat bagi arus modernitas, namun dulu tidaklah begitu. Orang-orang Inggris bahkan terkenal amat jorok hingga menyebabkan tragedi yang disebut “The Great Stinks” pada akhir abad ke-19. Alkisah, kebiasaan rakyat London, ibu kota Inggris, dalam aktivitas buang hajat kala itu amatlah jorok hingga selama ratusan tahun, kotoran manusia dan limbah-limbah lainnya menumpuk di sungai Thames yang membelah kota termashyur itu. Akibatnya pada tahun 1858, aroma tak mengenakkan dari kotoran manusia itu sudah tak tertahankan lagi, bahkan menimbulkan ribuan korban jiwa. Lho kok, masa gara-gara bau eek aja sampai pada meninggal, apakah saking baunya?

Well, untuk mengetahuinya, mari kita simak Dark History kali ini.

Jika mengingat kota London, ibu kotanya, pastilah yang terngiang adalah menara jam Big Ben. Well, jika kalian lihat foto-foto di internet, maka pastilah kalian tahu bahwa jam raksasa tersebut berada di tepi sungai bernama Thames yang amat terkenal dan menjadi destinasi wisata. Tapi jika kalian mengunjungi sungai ini 200 tahun lalu, maka bukannya terkesan, yang ada kalian malah muntah-muntah dan tak selera makan jika berada di sana. Pasalnya kala itu, kondisi Sungai Thames amatlah kotor dan jorok. Sungai itu dipenuhi oleh limbah manusia (yap yang itu) yang terakumulasi selama ratusan tahun sejarah kota tersebut hingga berwarna kecoklatan (well, what else it would be?).

Kala itu, bukannya masyarakat London kala itu berperilaku jorok dan asal “mak plung mak plung” buang hajat di sungai itu, tapi kondisi itu lebih karena ketidakpedulian pemerintah kala itu. Well, sebaiknya gue ceritakan dari awal dulu. Sejak abad ke-17, London sudah memiliki saluran air (gorong-gorong) yang sebenarnya cukup mumpuni. Tiap rumah pun memiliki toilet sendiri yang bisa disiram, sehingga masalah sanitasi di tiap rumah pun tercukupi. Lalu apa masalahnya? Well, masalahnya adalah semua hasil aktivitas di pagi hari itu (atau mungkin di siang atau sore hari, terserah kalian) itu disalurkan langsung ke Sungai Thames. Harapannya adalah semua kotoran manusia itu terbawa aliran sungai ke laut. Namun tentu saja, kenyataannya tak sesederhana itu.

Sungai Thames di London kini menjadi destinasi wisata kelas dunia, tapi dulunya sungai ini dipenuhi limbah sisa pencernaan manusia yang tak hanya baunya menggelitik hidung namun hingga menyebabkan korban jiwa

Kota London adalah kota metropolitan yang teramat padat. Penduduknya saja pada tahun 1800-an mencapai 5,5 juta jiwa, wow. Bayangkan tai dari 5,5 juta orang itu menumpuk semua di sungai. Ditambah lagi, limbah-limbah lain seperti limbah industri, limbah rumah tangga, termasuk sisa-sisa binatang yang dijagal, semuanya dibuang ke Sungai Thames dan tradisi itu berlangsung selama ratusan tahun. Bisa kalian tebak, bukannya mengalir, semua sampah padat itu akan menumpuk, bahkan mengendap dan menghambat aliran sungai. Bahkan tak jarang, tumpukan sampah organik itu sampai melukai orang-orang tak berdosa, lho kok bisa?

Proses pembusukan sampah organik oleh bakteri akan menghasilkan gas yang disebut metana. Gas metana ini amatlah mudah meledak, apalagi jika terjebak di saluran gorong-gorong yang sempit. Akibatnya, kejadian dimana selokan meledak karena tumpukan gas metana ini sehingga melukai para pedestrian bukanlah peristiwa yang jarang terjadi kala itu. Tak hanya itu, ketika hujan, maka segala macam kotoran yang ada di selokan ataupun sungai dan membanjiri jalanan. Bayangin aja pas hujan lu lagi jalan karena pengen romantis-romantisan, terus ada luapan ee tiba-tiba hinggap di sepatu dan kaki kamu. Dih.

Hal ini menjadi perhatian seorang ilmuwan terkemuka asal Inggris, yakni Michael Faraday. Faraday sendiri jelas bukan ilmuwan abal-abal. Namanya masih kita kenal hingga sekarang karena diabadikan sebagai Hukum Faraday di pelajaran Fisika apabila kalian mempelajari kelistrikan dan elektromagnet. Merasa prihatin dengan kondisi Sungai Thames yang menggenaskan, iapun berusaha melakukan percobaan saintifik dengan menjatuhkan sehelai kertas putih kala itu dengan tujuan untuk menentukan kejernihan sungai tersebut.

Jika sebuah sungai “sehat” maka tentulah airnya bening, seperti yang biasa kita lihat di pegunungan. Semakin kotor, maka tentulah sungai itu akan semakin keruh. Inilah yang coba dibuktikan oleh Faraday. Permukaan Sungai Thames kala itu amatlah kotor dengan feses yang mengapung di sana (bahasa Jawanya: “ting kemrampul”) hingga membuat ilmuwan terkemuka itu geleg-geleng kepala hingga terinspirasi mengadakan eksperimen. Ketika Faraday menjatuhkan sebuah kertas yang diikat benang, maka dengan segera, iapun tak bisa melihat kertas tersebut (bukti bahwa sungai tersebut amatlah keruh dengan berbagai jenis kotoran). Tak hanya itu, ketika mengangkatnya, maka kertas yang awalnya putih suci itu berubah menjadi kecoklatan dengan sisa kotoran manusia alias butiran tai yang sudah mengental menempel di sana. Ew!!!

Saking baunya tak tertahankan, warga London menggambarkan Sungai Thames sebagai tempat sang malaikat kematian berlayar

Faraday pun segera melontarkan protes pada pemerintah Inggris supaya segera memperbaiki kondisi tersebut. Namun bahkan peringatan ilmuwan sekelas Faraday itupun tak diindahkan oleh mereka. Celakanya, kini kondisi Sungai Thames yang teramat menggenaskan mulai meminta korban jiwa.

Semenjak lama, kota London senantiasa menjadi korban wabah kolera. Pada wabah yang terjadi pada tahun 1831, sebanyak 6 ribuan warga tewas karena penyakit tersebut. Hal tersebut terulang pada tahun 1848 hingga 1849 dimana tak kurang 14 ribu warga London kembali meninggal akibat kolera. Terakhir pada tahun 1853 hingga 1854, sekitar 10 ribu lebih warga London juga meregang nyawa akibat wabah tersebut.

Kala itu, orang-orang berpikir bahwa kolera disebabkan oleh “miasma” atau udara buruk. Kepercayaan itu berakar dari Masa Kegelapan (“Dark Age”) Eropa dimana mereka percaya bahwa wabah “Black Death” yang mencabut nyawa separuh populasi Eropa kala itu disebabkan oleh bau busuk yang menguar dari mayat-mayat para korban. Kepercayaan itulah yang menyebabkan busana “Plague Doctor” dengan topengnya yang menyerupai paruh burung menjadi populer. Mereka menyangka, dengan menutup hidung mereka dan tak mencium udara yang terkontaminasi “miasma” tersebut, maka mereka akan terhindar dari kolera.

Well, hal itu benar apabila penyakit tersebut menyebar melalui udara. Bahkan, busana “Plague Doctor” kala itu memang berhasil melindungi pemakainya dari wabah karena pakaian tersebut merupakan prototipe “APD” jadul, seperti yang kini dikenakan para petugas medis pada masa pandemi Covid-19 ini. Kalo penyakitnya seperti Corona ini sih memakai masker mungkin bisa membantu, tapi celakanya, kala itu penduduk London belum mengerti bahwa kolera yang menyerang mereka bukanlah disebabkan oleh udara, melainkan air yang tercemar bakteri.

Busana Doctor Plague yang sempat menjadi "trend" di Eropa kuno

Cerita kita berlanjut pada John Snow, yang kala itu baru pulang dari tugasnya sebagai “Night Watch” mengawasi “The Wall” dari invasi para “White Walkers”, eh salah film, kita berlanjut ke John Snow, seorang dokter yang mengamati bahwa kebanyakan pasiennya yang mengalami kolera mendapatkan suplai air “bersih” mereka langsung dari Sungai Thames. Ia membuktikannya dengan melepas kran dari pompa air yang bertugas mendistribusikan air dari Sungai Thames ke penduduk. Akibatnya, jumlah penduduk yang mengalami kolera di wilayah itu pun menurun drastis. Iapun berpendapat, alih-alih disebabkan oleh “miasma” atau udara buruk, penyakit kolera sejatinya disebabkan oleh air kotor yang sudah tercemar oleh telek manusia.

Namun lagi-lagi, sama seperti nasib Michael Faraday, peringatan John Snow nggak digubris oleh pemerintah. Mereka masih percaya takhyul bahwa udara buruk dari aroma Sungai Thames yang busuk merupakan sumber problema mereka. Untuk mengatasinya, mereka menuang ribuan ton kapur ke dalam sungai untuk meredakan baunya.

Kita bisa bayangkan ya, seperti apa bau Sungai Thames yang kini sudah dipenuhi oleh endapan be'ol dari warga Inggris yang menumpuk di sana berabad-abad, bahkan sudah membentuk pulau sendiri kala itu. Parahnya, pada musim panas pada Juni 1858, masalah gelora tai ini diperparah dengan suhu London yang teramat panas, mencapai 36 derajat Celcius. Udara panas itu tentu saja meningkatkan aktivitas bakteri pembusuk di sungai itu sehingga bau semerbak pun semakin tak tertahankan. Tercatat, sastrawan sekelas Charles Dickens menyoroti masalah ini di salah satu novelnya. Tak hanya itu, kini bahkan monarki Inggris pun kena getahnya.

Kala itu Ratu Victoria dan suaminya, Pangeran Albert hendak asyik berpesiar ke Sungai Thames. Namun baru beberapa menit mereka berlayar, sang ratu langsung memaksa sang nahkoda untuk menepi. Rupanya sang ratu tak tahan lagi dengan aroma “sedap” yang menguar dari dalam sungai (bahkan mungkin langsung muntah-muntah begitu turun dari kapal). Kabar menghebohkan itupun langsung disikat press kala itu dan menyebutnya sebagai “The Great Stink” alias sang “Aroma Agung”. Sang jurnalis menyebut Sungai Thames sebagai “abomination” dan “sumber gas beracun”. Mereka juga mengkritik pemerintah dan menyebut bahwa “Kita bisa menaklukkan India dan menjadi salah satu negara paling kaya, tapi kita tidak bisa membersihkan Sungai Thames”.

Joseph Bazalgette menjadi pahlawan dengan merancang sistem sanitasi untuk mengatasi polusi "organik" di Sungai Thames

Pada bulan tersebut, bau Sungai Thames sudah benar-benar tak tertahankan hingga mencapai Gedung Parlemen Inggris. Aroma ee itu kini mencapai hidung para legislator hingga merekapun langsung dengan cepat bertindak. Yep, itulah politisi. Kalo bukan masalah mereka, pasti bertindaknya lama banget. Tapi kalo mereka kena pengaruhnya langsung, pasti gercep. Hanya butuh beberapa hari hingga parlemen akhirnya mengutus seorang insinyur bernama Joseph Bazalgette untuk memperbaiki saluran sanitasi London. Tak tanggung-tanggung, mereka membanjirinya dengan dana sebesar 3 juta poundsterling untuk mewujudkan rencana tersebut.

Kala itu rencana Joseph amatlah simpel. Pertama, ia akan memperluas saluran gorong-gorong yang ada di seluruh London, kemudian mengalirkannya ke dua saluran utama. Alih-alih dibuang langsung ke Sungai Thames, semua limbah pup manusia itu akan disalurkan ke dua saluran itu, yang memanjang di kedua sisi Sungai Thames dan bermuara langsung ke laut.

Karena luasnya kota London, maka rencana Joseph harus dilaksanakan secara bertahap dan memakan beberapa tahun. Apalagi tak tanggung-tanggung, ada sekitar 1.800 kilometer saluran sanitasi yang harus ia ganti. Bahkan, untuk menggambar denahnya saja ia memerlukan jasa sekitar 400 arsitek. Joseph menunjukkan keseriusannya dengan merancang dua bangunan untuk pompa air dengan gaya arsitektur yang megah. Tak main-main, satu bangunan stasiun pompa air ia rancang dengan gaya arsitektur Romanesque, sedangkan satunya dengan gaya Byzantine dengan campuran gaya Italian Gothic (buset). Padahal itu cuma tempat buat memompa ee lho.

Apakah bangunan ini sebuah istana? Ternyata tidak, ini adalah tempat untuk memompa ee

Stasiun pompa pertama dibuka oleh Pangeran Wales (kelak nanti menjadi Raja Edward VII) karena sang ratu kala itu berhalangan sakit (waduh, moga-moga bukan karena mencium aroma ee tadi ya?).

Seperti gue bilang tadi, karena luasnya kota London, pembangunan saluran air yang baru itu dilakukan secara bertahap. Pada 1866, terjadi wabah kolera yang kali ini mencabut nyawa sekitar 5 ribu orang. Wabah tersebut menimpa satu-satunya lingkungan di London yang kala itu belum tersentuh sama sekali oleh proyek Joseph. Hal inipun membuktikan dugaan John Snow bahwa kolera memang disebabkan oleh air yang kotor, bukan karena “miasma” seperti dugaan kolot dari Abad Pertengahan. Semenjak itupun, wabah kolera tak pernah terdengar lagi di London.

Konon kesuksesan Joseph disebabkan oleh kalkulasinya, dimana ia membangun terowongan sanitasi tersebut dua kali ukuran yang kala itu diperlukan. Sehingga, bahkan sampai saat inipun di abad ke-21, terowongan tersebut masih dapat digunakan melayani penduduk London yang dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak. Namun gue jadi curiga nih, jangan-jangan saking gedenya, terowongan bawah tanah London ini juga dijadikan markas Illuminati kayak Bandara Denver wkwkwk.

SUMBER: WIKIPEDIA

9 comments:

  1. masalah perbe'olan pun bisa memakan korban djiwa. .

    ReplyDelete
  2. Mak plung, mak plung. Njir wkkwkwk

    ReplyDelete
  3. bahkan saking luasnya penywes bisa bikin rumah di gorong gorong

    ReplyDelete
    Replies
    1. Humorku sebates penywes 😭😭😭😭😭

      Delete
  4. Muatan Eek yang berlebihan di satu tempat dapat menyebabkan Kolera. Understanable!

    ReplyDelete
  5. Masalah 💩 emang gak bisa dianggap remeh 😌

    ReplyDelete
  6. Gua bacanya sampe ketawa sendiri "bayangkan tai dari 5,5 jiwa" Wkwkwk

    ReplyDelete
  7. anjir itu ruang pompa designnya jauh lebih artistik ketimbang auditorium kampus gue

    ReplyDelete