Wednesday, March 17, 2021

KISAH TRAGIS SADAMICHI HIRASAWA: PELUKIS ATAU PERAMPOK KELAS KAKAP?

Sebuah kejahatan aneh terjadi pada 26 januari 1948. Kala itu, seorang pria yang mengaku sebagai dokter ahli penyakit menular (epidemiologis) datang ke sebuah cabang Teikoku Bank di Tokyo. Kala itu memang Jepang masih diduduki Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II dan pria ini mengaku ditunjuk oleh pemerintah AS untuk mengimunisasi staf bank tersebut sebagai perlindungan atas wabah disentri yang baru saja merebak. Ia kemudian memberikan 16 orang staf bank tersebut dengan pil dan beberapa tetes cairan. Namun siapa sangka, cairan tersebut sesungguhnya berisi racun sianida yang langsung membuat para staf tersebut lemas tak sadarkan diri. Begitu rencananya berhasil, sang pria misterius langsung menggasak sekitar 160 ribu yen (sekitar 28 juta rupiah kala itu). Tragisnya, sekitar 10 dari staf bank tersebut akhirnya tewas karena racun yang tanpa mereka sadari mereka minum. Peristiwa perampokan berdarah itu kemudian dikenal dengan Insiden Teikoku, sesuai dengan nama bank tempat kejahatan itu berlangsung.

Tragisnya, peristiwa ini akan berujung pada kenestapaan seorang pelukis bernama Sadamichi Hirasawa yang dituduh sebagai pelakunya, walaupun banyak yang menduga bahwa pria tersebut sebenarnya tak bersalah.

Dear readers, inilah kasus Sadamichi Hirasawa, salah satu kasus kriminal paling aneh yang pernah menggentayangi sejarah Jepang.

Identitas sang perampok Bank Teikoku masihlah berselimut misteri. Yang aneh, sebenarnya masih banyak uang yang berada di bank itu, namun tak semuanya diambil oleh sang penjahat. Hanya sekitar 28 juta rupiah yang diambil, yang walaupun banyak, jelas tak sebanding dengan kematian 10 korbannya. Hal ini membuat polisi menduga bahwa ada motif terselubung dalam perampokan tersebut.

Polisi tak buang-buang waktu untuk mengejar pelakunya. Dari penyelidikan mereka, terungkap sebuah fakta mengejutkan bahwa peristiwa tersebut sebenarnya adalah yang ketiga kalinya terjadi. Modus operandi yang sama, yakni meracuni para staf bank untuk kemudian menggasak isi bank, pernah terjadi sebelumnya dengan kasus yang hampir mirip. Dan di ketiga TKP, sang pelaku meninggalkan sebuah barang bukti yang sama, yakni kartu nama. Pada salah satu perampokan, sang pelaku memberikan kartu nama "Jiro Yamaguchi" yang setelah diselidiki ternyata nama palsu. Namun pada kesempatan lain, sang pelaku memberikan kartu lain bernama "Shigeru Matsui". Setelah diselidiki, nama ini benar-benar ada dan merupakan anggota departemen kesehatan, seperti diklaim sang perampok saat melancarkan aksinya.

Tentu penyelidikan polisi berujung pada sang Shigeru. Namun setelah diinvestigasi lebih lanjut, Shigeru ternyata memiliki alibi yang kuat, sehingga polisipun menduga bahwa ada yang menyalahgunakan kartu nama tersebut. Beruntung, budaya pemberian kartu nama di Jepang tidaklah sembarangan. Pada masa itu bisa dibayangkan belum ada telepon genggam apalagi email, jadi para pengusaha kala itu saling bertukar informasi pribadi dengan menggunakan kartu nama. Pemberian kartu nama pun tak sembarangan, melainkan dicatat sehingga sang pemilik biasanya tahu siapa saja yang ia berikan kartu nama. Berkat kebiasaan rinci tersebut, polisi mendapatkan info bahwa Shigeru sudah mencetak sekitar 100 kartu nama. Dari 100 kartu nama tersebut, sekitar 8 ternyata masih dimiliki oleh Shigeru, sang pemilik aslinya. Polisipun segera memburu sisanya, yakni 92 pemilik kartu nama tersebut. Sekitar 70 kartu diperiksa, sementara sisanya (22 kartu) dianggap tidak relevan (mungkin karena dari hasil penyelidikan, mustahil mereka pelakunya). Dari 70 kartu tersebut, 62 pemiliknya dibersihkan dari kecurigaan (mungkin karena memiliki alibi dsb) sedangkan 8 sisanya menjadi perhatian polisi. Dari ke-8 nama tersebut, hanya satu pelaku, yang dianggap sebagai cocok dengan profil sang perampok sekaligus pembunuh itu.

Pria itu adalah seorang pelukis bernama Sadamichi Hirasawa.

Bank Teikoku yang menjadi lokasi insiden sianida misterius yang hingga kini tak terpecahkan

Ada berbagai alasan mengapa polisi kala itu berkesimpulan Sadamichi adalah pelakunya. Pertama ia tak mampu menunjukkan kartu nama yang diberikan Shigeru kepadanya. Tentu jika benar ia bukan pelakunya, ia pasti masih menyimpan kartu nama itu, karena sang pelaku sudah memberikan kartu nama miliknya dan tertinggal di TKP. Tapi celakanya, Sadamichi mengaku baru saja kecopetan sehingga ia kehilangan kartu nama itu. Alasan kedua, polisi menemukan uang yang sejumlah dengan uang yang baru saja dirampok itu di dalam rekening bank Sadamichi. Namun mungkin saja itu hanya kebetulan kan? Celakanya alasan ketiga justru adalah alibi Sadamichi sendiri. Kala itu Sadamichi malah ketahuan berada di dekat TKP kala kejahatan tersebut berlangsung.

Kecurigaan polisi kepada Sadamichi semakin memuncak ketika masa lalu sadamichi terkuak. Profesi Sadamichi sebagai pelukis ternyata kurang sukses sehingga ia mengaku mengalami kesulitan keuangan. Hal ini berujung pada empat aksi penipuan di masa lalu Sadamichi, yang keempatnya melibatkan bank. Selain itu, Sadamichi juga ogah menjelaskan asal muasal uang yang berada di rekening Sadamichi kala itu, yang nominalnya (entah kebetulan atau tidak) sama dengan nominal uang yang dicuri dari bank.

Keempat alasan itu rupanya cukup bagi polisi untuk menjebloskan Sadamichi ke penjara. Bahkan di dakam bui, Sadamichi sempat mengakui bahwa ia adalah pelakunya. Namun pengakuan ini semestinya tak serta merta bisa diterima sebab Sadamichi menderita sebuah penyakit yang dinamakan “Korsakoff's syndrome” yang menyebabkan ia memiliki gangguan memori atau ingatan. Bahkan kala itu, polisi masih diperbolehkan untuk menyiksa tahanan agar mereka mengaku (hukum yang akhirnya dihapuskan setahun kemudian, pada 1949), jadi jelas, pengakuan Sadamichi kala itu bisa saja berasal dari siksaan.

Oleh karena itu, walaupun polisi sudah menahan Sadamichi dan iapun juga dijatuhi hukuman mati (sebab kejahatan sang pelaku tak hanya merampok, namun membunuh), namun Mahkamah Agung Jepang kala itu ogah mengesahkan hukuman tersebut, karena berbagai ketimpangan yang membuat kasus itu dianggap cacat.

Celakanya, ketidaksesuaian ini (pengadilan yang menjatuhkan vonis bersalah dan menjatuhinya hukuman mati dengan Mahkamah Agung yang ogah mengesahkan hukuman mati karena menganggap ia tak bersalah) berjalan hingga 32 tahun! Akibatnya, Sadamichi mendekam di penjara selama 32 tahun atas perbuatan yang mungkin tidak ia lakukan, hingga pada akhirnya ia meninggal di penjara pada tahun 1987.

Saat itu memang bukti demi bukti yang memberatkan Sadamichi hanya sebatas prasangka saja. Memang, dua orang korban selamat yang kala itu berada di bank mengiyakan pertanyaan polisi untuk mengenali apakah Sadamichi benar adalah pelaku yang mereka lihat di bank. Namun ingat, hanya ada 2 yang meberikan identifikasi positif, sedangkan ada puluhan orang yang berada di TKP kala itu. Bahkan, Sadamichi sama sekali tidak mirip dengan sketsa pelaku yang disebarkan polisi berdasarkan penuturan para saksi mata!

Sketsa sang pelaku

Tentu saja hal tersebut membuat banyak pelaku seni yang merasa simpati pada Sadamichi berusaha mati-matian membelanya. Seorang penulis bernama Seicho Matsumoto menulis buku “A Story of the Teikoku Bank Incident” pada 1959 dan “The Black Fog of Japan” pada 1960 dimana ia menarik kesimpulan mengejutkan bahwa pelakunya berasal dari Unit 731. Apa itu Unit 731? Unit 731 adalah salah satu unit ketentaraan Jepang pada Perang Dunia II yang bertugas menyebarkan senjata kimia dan biologis untuk memenangkan perang. Bukan mustahil, racun yang kala itu diperoleh sang pelaku merupakan sisa eksperimen dari satuan tentara Jepang yang dikenal kejam itu. Kei Kuma, seorang sineas, juga memprotes konviksi yang dialami Sadamichi lewat karya filmnya yang berjudul “The Long Death” pada 1964.

Seicho, sang novelis, juga menduga bahwa alasan Sadamichi tak mau membeberkan asal uang yang dimilikinya di rekening bank (yang entah kebetulan atau tidak berjumlah sama dengan nominal yang dicuri) karena uang tersebut adalah hasil dari usahanya melukis komik berbau pornografi. Kala itu, mungkin karena kesulitan ekonomi yang dialaminya, sang pelukis rela menerima job untuk membuat komik berbau porno. Karena kala itu pornografi dianggap sebagai hal yang tabu di Jepang, maka jika benar, hal itu apabila terkuak akan menjatuhkan reputasi Sadamichi sebagai seniman dan membuatnya malu besar. Oleh sebab itu, Sadamichi lebih memilih dipenjara ketimbang aibnya memproduksi karya pornografi ketahuan. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi Jepang sekarang yang kini menelurkan banyak superstar-superstar ... ah, lupakan.

Pembelaan lain muncul, kali ini dari pihak universitas yang meneliti kasus kematian para staf bank tersebut setelah diberi pil dan cairan yang mengandung sianida. Polisi menduga Sadamichi memperoleh racun tersebut dalam bentuk potasium sianida yang memang dijual bebas. Namun para ilmuwan merasa tak yakin atas tuduhan ini, melainkan mereka menduga bahwa racun itu berasal dari “acetone cyanohydrin” yang gejala keracunannya lebih mirip dengan gejala yang dialami oleh para korban. Nah, jika benar racun yang digunakan memang racun jenis kedua, akan amat sulit untuk Sadamichi memperolehnya, sebab racun tersebut hanya bisa diperoleh di markas militer. Hal ini juga semakin memperkukuh opini bahwa sang pelaku berasal dari pihak (atau mantan) militer yang mendapat akses akan senjata kimia yang dulu pernah digunakan pada Perang Dunia II. Sayang pembelaan dari rekan-rekan sesama pekerja seni tersebut tak digubris polisi hingga akhirnya Sadamichi terus mendekam penjara.

Ketidakpercayaan akan klaim bahwa Sadamichi adalah sang pelaku bahkan diamini oleh pihak internasional. Pada 30 April 1987, Amnesty International di London, Inggris, mempetisi pemerintah Jepang supaya segera membebaskan Sadamichi. Namun sayang, sang pelukis bernasib naas tersebut keburu meninggal dunia pada bulan berikutnya.

Bahkan setelah kematian Sadamichi, keluarganya terus berupaya membersihkan nama baik sang pelukis. Anak angkat Sadamichi yang bernama Takehiko Hirasawa kemudian mengumpulkan bukti yang akan meyakinkan bahwa ayahnya benar tak bersalah. Ia bahkan sudah mengumpulkan pengacara untuk membela almarhum ayahnya. Sayang sebelum pengadilan sempat dilanjutkan, Takehiko keburu meninggal dunia dalam usia 54 tahun. Namun Pengadilan Tinggi Tokyo masih mempersilakan apabila ada ahli waris Sadamichi yang lain yang ingin membuka kasus tersebut kembali.

Hingga kini, kasus Sadamichi masihlah diselubungi kabut pekat misteri. Dan yang lebih menakutkan, pelaku sesungguhnya dari Insiden Teikoku hingga kini masihlah belum ditemukan. Terakhir, kasus yang memukau publik, tak hanya Jepang namun juga hingga dunia internasional ini, disinggung dalam salah satu plot novel James Bond, yakni “You Only Live Twice” pada tahun 1964. Namun kapankah kebenaran akan terungkap, hanya waktulah yang bisa menjawabnya.





4 comments:

  1. Kasian kalo terbukti gak bersalah

    ReplyDelete
  2. Kyknya cocok deh kasus kasus gini diadaptasi jadi manga

    ReplyDelete
  3. Ksian tpi mmg buktinya mnuju si bpak. Dri isi rekeningnya yg sama persis. Duhh nasib-nasib...

    ReplyDelete
  4. Tapi kadang alam emang seunik itu, bikin semua kebetulan tertuju pada sesuatu, seolah emang itu tujuannya. momen bangke 👎

    ReplyDelete