Tuesday, March 16, 2021

DUSTA SANG ELIZABETH HOLMES: THE VAMPYRE OF SILICON VALLEY

Hallo guys! Setelah bulan kemarin gue lebih menyoroti tentang kisah sejarah dalam “Dark History”, maka pada bulan ini gue akan labih berkonsentrasi pada hal yang berbeda, yakni kasus penipuan. Kasus pertama yang akan gue bahas adalah sang “vampir wanita” dari Silicon Valley, yakni Elizabeth Holmes.

Ketika membicarakan tentang California, Amerika Serikat; atau lebih terkhusus lagi di Silicon Valley, San Francisco, maka yang terbayang-bayang adalah wajah founder-founder startup yang melegenda, seperti Steve Jobs pendiri Apple, Mark Zuckenberg pendiri Facebook, hingga Elon Musk pendiri SpaceX. Memang, di sanalah para entrepeneur muda berkiprah untuk mengubah dunia. Namun kali ini, muncul satu nama, yakni Elizabeth Holmes, yang di usianya yang amat muda, yakni 19 tahun, sudah mendirikan perusahaannya sendiri, yakni Theranos. Dengan janjinya akan merevolusi dunia kedokteran dengan teknologi ciptaannya, Elzabeth berhasil menjadi miliuner wanita termuda di dunia dan sosoknya-pun dikagumi di penjuru dunia.

Namun apa daya, ternyata semuanya merupakan kebohongan semata. Skandal Theranos kemudian menjadi salah satu skandal penipuan terbesar di Amerika Serikat kala itu. Bahkan, nama Theranos dan Elizabeth Holmes, pendirinya, menjadi bersinonim dengan dua kata: “penipuan” dan juga “dusta”.

ELIZABETH HOLMES, THE PRINCESS OF STARTUP


Elizabeth Holmes lahir pada 1984 di Washington, D.C. ibu kota Amerika Serikat dari keluarga berada. Ayahnya adalah salah satu dari wakil presiden dari Enron, perusahaan minyak ternama dan ibunya bekerja sebagai staf di Kongres AS. Pada 2002, Elizabeth masuk ke Stanford University yang bergengsi di California, mengambil jurusan Teknik Kimia. Berbekal kemampuannya berbahasa Mandarin, Elizabeth magang di sebuah lab di Singapura, meneliti tentang virus SARS. Di sanalah ia mengamati betapa rumitnya proses pengambilan darah serta tes pemeriksaan darah. Karena itulah ia berkeinginan untuk merevolusi dunia kedokteran dengan menciptakan alat yang mampu melakukan berbagai tes darah hanya dengan sampel 1/100 hingga 1/1000 jumlah darah yang biasanya digunakan.

Nah, mengapa janji Elizabeth ini dianggap begitu revolusioner? Pertama kita perlu menilik apa yang menginspirasi Elizabeth, yakni ketakutannya pada jarum suntik. Untuk melakukan tes darah (yang gampang aja, jika kita tes rapid untuk Corona, kita juga perlu dites darahnya kan?) maka terlebih dulu darah kita akan diambil dengan cara disuntik. Semakin banyak tes yang akan dilakukan (supaya hasilnya lebih valid) maka semakin banyak pula darah yang harus disedot. Hal ini membuat Elizabeth trauma sehingga ingin menemukan sebuah alat yang bisa melakukan tes darah hanya dari 1/100 jumlah darah yang biasanya dibutuhkan. Semisal, jika kita memerlukan 10 ml darah untuk melakukan tes secara normal, maka alat inovasinya tersebut hanya memerlukan 0,1 ml darah saja, atau cukup dengan setetes darah dari telunjuk jari kita.

Elizabeth begitu terobsesi dengan idenya tersebut hingga ia rela drop out dari Stanford University untuk merintis penemuannya tersebut. Sebelumnya, seorang profesor ahli kimia yang juga menjadi dosennya di Stanford, Phyllis Gardner, sudah memperingatkan bahwa penemuannya tersebut “tidaklah mungkin dilakukan”. Namun Elizabeth terus bersikeras dan mendirikan sebuah perusahaan bernama “Real-Time Cures”. Namun karena suatu insiden dimana kata “Cures” (penyembuh) salah ditulis menjadi “Curse” (kutukan), Elizabeth akhirnya mengganti nama perusahaan rintisannya menjadi “Theranos” agar lebih “catchy”.

Usaha Elizabeth untuk mendirikan perusahaan revolusioner ini mendapat backingan dana dari enterpreneur berdarah Pakistan, Ramesh Balwani, yang kerap dipanggil “Sunny”. Namun bukan tanpa alasan donasi tersebut menggelontor dengan mudahnya ke kantung Elizabeth. Elizabeth sendiri terlibat percintaan dengan Sunny yang kala itu 19 tahun lebih tua darinya. Tak hanya itu, kisah cinta mereka menjadi “skandal” karena kala itu sesungguhnya Sunny masihlah beristri. Bahkan untuk melanggengkan hubungannya dengan Elizabeth, Sunny rela menceraikan istrinya sendiri pada 2003.

Elizabeth juga dikenal amat terobsesi dengan Steve Jobs, sang pendiri Apple yang tentunya merupakan sosok yang teramat inspiratif. Bahkan, Elizabeth ingin disebut sebagai “Steve Jobs” versi perempuan dengan meniru gaya fashion-nya, yakni dengan hanya mengenakan sweater turtleneck hitam ketika berada di depan publik. Tak hanya itu, ia juga tampil dengan suara bernada bariton (rendah) yang membuatnya terdengar berwibawa. Nantinya, banyak yang meragukan bahwa itu adalah suara asli Elizabeth. Banyak yang berpendapat bahwa Elizabeth sengaja membuat-buat suaranya agar terdengar seperti lelaki.


KEJAYAAN THERANOS

Penemuan Theranos menjanjikan penyederhaan prosedur pemeriksaan darah di lab semacam ini yang biasanya mahal dan panjang

Pada 2003, Elizabeth Holmes yang masih berusia 19 tahun mendirikan perusahaannya dengan modal “hanya” 6 juta dolar. Elizabeth berhasil menarik tambahan modal 700 juta dolar dari para investor berkat kharismanya. Kala itu Elizabeth mengklaim bahwa ia dan timnya berhasil menciptakan alat bernama Edison (terinspirasi oleh nama penemu terkenal, Thomas Alfa Edison) yang mampu melakukan serangkaian tes darah dengan hanya sedikit sampel darah. Tak ayal, hal tersebut akan memotong biaya tes darah yang awalnya berkisar rata-rata pada angka 50 dollar (hampir 700 ribu rupiah) menjadi hanya 2,9 dollar (hanya 40 ribu rupiah). Hal ini menyebabkan reputasi Theranos meroket hingga puncaknya, pada 2013-2014, perusahaan itu bernilai 10 miliar dolar dan Elizabeth Holmes didaulat sebagai miliuner wanita termuda di dunia oleh majalah Forbes. Tak hanya itu, pada 2016, Theranos juga meluncurkan penemuan terbaru mereka yakni robot bernama “miniLab” yang mampu melakukan tes darah.

Namun seperti apa alat itu dan bagaimana cara kerjanya menjadi rahasia yang rapat disimpan di Theranos. Bahkan, tak ada tim akademisi ataupun dokter (dari luar perusahaan tersebut) yang diperbolehkan untuk mengevaluasi temuan Theranos tersebut. Hal ini sesungguhnya memantik kecurigaan, karena toh, tak ada yang bisa memvalidasi klaim Elizabeth tersebut apakah akurat ataukah omong-kosong semata. Akan tetapi hal tersebut tak menjadi penghalang bagi Walgreens (grup pemilik Walmart, rantai waralaba supermarket terbesar di Amerika Serikat) untuk bekerja sama dengan Theranos. Mengapa Walmart ada kaitannya dengan Theranos? Sebab Walmart yang merupakan supermarket, tentu memiliki bagian apotek (farmasi) di dalamnya. Nah dengan kerja sama tersebut, tak hanya bisa membeli obat saja, namun costumer Walmart yang datang bisa mengecek kesehatan mereka melalui tes darah yang dilakukan di sana.

Namun seharusnya, kerjasama Theranos dengan Walgreens itu menjadi “lampu merah”. Pasalnya, jika benar Theranos memiliki produk dengan kualitas mumpuni dengan teknologi breakthrough seperti Edison dan MiniLab, bukannya seharusnya mereka bekerja sama dengan rumah sakit-rumah sakit dan kampus-kampus kedokteran ternama? Mengapa justru malah dengan Walmart?

Beberapa pihak lain yang “terhipnotis” oleh klaim bombastis Elizabeth dan mengadakan kerjasama dengan Theranos adalah Cleveland Clinic serta penyedia asuransi kesehatan Capital BlueCross. Elizabeth juga mengaku bahwa Theranos sudah bekerja sama dengan lab biofarmasi terkemuka dunia yakni Pfizer (yang kini sukses memproduksi vaksin Coronavirus). Namun nyatanya, Pfizer sama sekali tak tahu menahu tentang hubungan kerja sama tersebut. Pada 2015, berkat sensasi tersebut, Theranos mendapatkan penghargaan sebagai “Bioscience Company of the Year”.


TERBONGKARNYA KEBOHONGAN

John Carreyrou, wartawan yang berjasa membongkar kebohongan Elizabeth Holmes hingga memenangkan piagam Pulitzer Award

Ada pepatah, “sebaik-baiknya bangkai disembunyikan, baunya akan tercium juga” (kasus 19 detik, anyone?). Mungkin inilah yang terjadi pada Elizabeth Holmes dan Theranos. Berbagai pihak mulai meragukan klaim Elizabeth yang menurut mereka “too good to be true”. Pada 2015, seorang profesor asal Stanford bernama John Ioannidis menulis di jurnal medis terkemuka, “Journal of the American Medical Association” bahwa hingga kini tak ada jurnal ilmiah yang mengabsahkan kedigdayaan kedua alat temuan Elizabeth tersebut. Kecurigaan ini kemudian dicium oleh seorang wartawan dari “The Wall Street Journal”, bernama John Carreyrou yang kemudian menulis artikel tentang Theranos. Beruntung, sang wartawan tersebut mendapat “bocoran” orang dalam, yakni salah satu pegawai Theranos bernama Tyler Shultz yang mengatakan bahwa teknologi yang selama ini dibangga-banggakan oleh Elizabeth ternyata merupakan kebohongan semata.

Tyler menguak sebuah rahasia yang mencengangkan banyak pihak. Memang benar, Theranos menciptakan alat canggih bernama Edison. Namun ternyata, para ilmuwan di Theranos sendiri tengah stress karena alat tersebut tak berfungsi semestinya, bahkan senantiasa gagal untuk melakukan tes darah yang valid. Namun apakah yang dilakukan pihak Theranos begitu mengetahui alatnya gagal?

Tentu saja menyembunyikan fakta itu.

Bahkan, seluruh tes darah yang dilakukan oleh Theranos sejatinya tidak menggunakan alat temuan mereka seperti MiniLab dan Edison, melainkan menggunakan alat-alat konvensional yang sudah biasa dipergunakan. Tentu ini mereka lakukan agar tetap mendapat aliran dana dari para pendonor maupun penanam saham. Toh, siapa yang mau berinvestasi pada perusahaan yang produknya gagal?

Elizabeth langsung menampik keras tudingan tersebut, bahkan hingga sejauh berusaha menghapus bagian dari artikel Wikipedia tentang Theranos yang mendiskreditkan perusahaan tersebut. Namun fakta berkata lain. Pada 2016, hanya setahun setelah artikel itu terbit, sebuah perusahaan negara yang mengurusi kesehatan, yakni CMS, mengirimkan laporan bahwa salah satu lab Theranos di Newark, California gagal menelurkan hasil tes yang tepat, dimana kegagalan tersebut bisa membahayakan nyawa pasien. Mendengar berita menggegerkan tersebut, Walgreens dan Capital BlueCross langsung menghentikan kerja sama mereka dengan Theranos.

Beruntung aib tersebut keburu terkuak, sebab kala itu Theranos mengajukan izin untuk melakukan tes terhadap virus Zika, sebuah penyakit yang cukup berbahaya sebab jika menginfeksi ibu hamil dapat menyebabkan bayi yang dilahirkannya mengalami cacat. Bayangkan jika Theranos berhasil mendapatkan izin itu dan melakukan tes yang kemudian hasilnya salah. Bisa-bisa nyawa orang menjadi taruhannya.

Karena terbongkarnya skandal itu, Theranos mengalami kerugian besar karena terpaksa menutup lab-labnya, bahkan kehilangan 40% dari pegawainya. Pada tahun berikutnya, kondisi Theranos makin menurun hingga kali ini terpaksa memangkas kembali 41% dari para pekerjanya. Kini tak hanya makin merugi, Theranos juga mendapat tuntutan hukum dari berbagai pihak yang merasa ditipu, seperti Walgreens. Pada 2018, Theranos akhirnya bangkrut dan perusahaan itu ditutup.

Pada tahun yang sama, baik Elizabeth Holmes dan Sunny Balwani didakwa melakukan tindak pidana penipuan. Tak tanggung-tanggung, bila terbukti bersalah, mereka bisa dijatuhi hukuman hingga 20 tahun penjara! Proses pengadilan bagi keduanya seharusnya dimulai pada 2020 lalu. Namun karena wabah Covid-19 yang merebak, pengadilan keduanya terpaksa ditunda.

Namun satu hal yang perlu kita pertanyakan, apakah Theranis sudah menyebabkan korban jiwa karena “kelalaian” mereka? Jawabannya, sudah. Namun korbannya justru sama sekali tak kalian duga.


KISAH TRAGIS SANG ILMUWAN

Ian Gibbons, sang ilmuwan yang akhirnya menemui nasib tragis gegara kebohongan Theranos

Namanya adalah Ian Gibbons, seorang profesor biokimia dari Universitas Cambridge yang sudah berpengalaman selama 30 tahun bekerja di lab. Ia ditahbiskan menjadi staf ahli senior untuk bekerja di Theranos. Tugasnya adalah mengembangkan alat-alat Theranos agar mampu menyaingi alat-alat analyzer komersial buatan perusahaan lain. Namun nyatanya, pekerjaan tersebut membuat Ian menjadi frustasi, sebab setiap penemuan Theranos senantiasa gagal, bahkan memberikan hasil yang berbeda dari hasil tes yang semestinya.

Ia lama-kelamaan mulai jengah dan mulai mempertanyakan keabsahan klaim Theranos. Protesnya ini ia sampaikan kepada bosnya, Elizabeth. Namun Elizabeth sama sekali tak sudi menerima kritikan apapun dan malah memecat Ian. Namun karena desakan staf-staf lain, yang sudah nyaman dengan keberadaan Ian di perusahaan itu sebagai mentor mereka, maka iapun diperkerjakan kembali.

Sebagai sosok yang cukup berpengaruh di Theranos, nama Ian disematkan sebagai co-inventor dari alat-alat “canggih” buatan Theranos tersebut. Nah disinilah letak celakanya. Ketika kasus penipuan yang dilakukan Theranos mulai terkuak dan proses pengadilan-pun dimulai, nama Ian kini disebut-sebut sebagai saksi. Iapun mendapat panggilan dari pengadilan untuk bersaksi. Namun siapa sangka, sehari setelah menerima panggilan itu, tubuh Ian ditemukan tergeletak di kamar tidurnya, tak lagi bernyawa.

Malam sebelumnya, Ian menenggak pil-pil amfetamin dengan alkohol dalam jumlah besar, sehingga menyebabkannya overdosis. Rekan-rekannya sesama ilmuwan mengatakan bahwa dengan background-nya sebagai ahli biokimia, Ian pasti mengetahui bahwa kombinasi obat-obatan dengan alkohol amatlah berbahaya, sehingga disimpulkan bahwa Ian sengaja mengakhiri hidupnya sendiri karena malu. Tentu, bila kabar tentang kebohongan Theranos terkuak, maka reputasinya sebagai ahli biokimia terkemuka akanlah jatuh.

Yang mengejutkan, kala istri Ian menelepon kantor Theranos untuk mengabarkan tentang kematian suaminya, pihak kantor justru bersikap amat dingin. Alih-alih mengucapkan dukacita, mereka justru meminta sang janda untuk segera mengembalikan laptop milik perusahaan yang kini dipegang Ian, sebab banyak barang-barang bukti masih tersimpan di sana.


AFTERMATH

Artis cantik dan juga sexy, Jennifer Lawrence akan didaulat memerankan Elizabeth Holmes dalam film yang akan menggambarkan Skandal Theranos

Elizabeth Holmes yang terkuak sosoknya sebagai penipu kinipun menjadi bahan publikasi yang viral. Awalnya ia dianggap sebagai “Steve Jobs” versi cewek tapi apa daya, ternyata semua prestasinya merupakan hasil penipuan belaka. Ia malah lebih cocok disebut “Billy McFarland” versi cewek alih-alih membandingkannya dengan pendiri Apple tersebut. Tentu banyak pihak berlomba-lomba mempublikasikan tentang kehebohan skandal Theranos ini. John Carreyrou, jurnalis yang pertama mengekspose kebohongan Theranos, menerbitkan buku pada 2018 berjudul “Bad Blood: Secrets and Lies in a Silicon Valley Startup”. Bahkan, buku ini rencananya akan difilmkan dengan judul yang sama. Tak tanggung-tanggung, aktris cantik dan sexy sekelas Jennifer Lawrence didaulat memerankan sosok Elizabeth Holmes.

Pada 2019, layanan streaming yang giat berkompetisi dengan Netflix, yakni Hulu merilis film berjudul “The Dropout”, diikuti HBO yang layanannya streamingnya meroket berkat “Game of Thrones” merilis dokumenter lain berjudul “The Inventor: Out for Blood in Silicon Valley”. Dua dokumenter itu siap menguak semua aib yang selama ini disembunyikan Elizabeth Holmes. Tak hanya itu karma yang diterimanya. Majalah Forbes yang dulu mendaulat Elizabeth Holmes sebagai miliuner wanita termuda di dunia, kini mengganti gelarnya tersebut menjadi "World's Most Disappointing Leaders" atau “pemimpin paling mengecewakan di dunia”.

SUMBER ARTIKEL DAN GAMBAR: WIKIPEDIA, YOUR TANGO


2 comments: