Sunday, July 4, 2021

MADAGASCAR PLAN DAN NEGERI “IMPIAN” PARA KAUM YAHUDI SELAIN ISRAEL

 

SUMBER GAMBAR

Hallo guys! Kapan itu gue bikin pengumuman di Karyakarsa gue untuk minta ide postingan buat kalian dan sobat setia Karyakarsa gue Riani Azhafa mencetuskan ide yang cukup gue bikin penasaran. Isinya adalah tentang “Madagascar Plan” dan karena gue belum pernah dengar tentang hal itu, gue iseng-iseng browsing tentangnya dan isinya cukup mind-blowing. Jadi sebelum Holocaust terhadap kaum Yahudi terjadi pada Perang Dunia II, ternyata sudah ada beberapa rencana dari berbagai pihak (bahkan Hitler sendiri) untuk memindahkan secara damai umat Yahudi ke sebuah “tanah perjanjian” di luar Eropa. Sayang, rencana-rencana eksodus besar-besaran kaum Yahudi ini hanya berakhir menjadi “wacana” seperti rencana bukber kalian.

Gara-gara rencana-rencana ini gagal, akibatnya umat Yahudi dimusnahkan dalam genosida yang disebut dengan “Holocaust” pada Perang Dunia II dan akibat tidak langsungnya, mereka yang tersisa kemudian mendirikan negara Israel di tanah suci Palestina. Nah, unik juga sih jika kita membayangkan jika saja rencana pemindahan ini berjalan lancar, maka mungkinkah penduduk Palestina di Timur Tengah sana akan damai, atau malah muncul konflik baru? Lalu tanah-tanah perjanjian manakah yang diperuntukkan sebagai rumah baru kaum Yahudi ini? Simak saja artikel berikut ini.

MADAGASCAR PLAN

Madagascar Plan adalah nama rencana yang diproposalkan pemerintah Nazi Jerman untuk merelokasi penduduk Yahudi di Eropa ke Pulau Madagaskar yang berada di tenggara Benua Afrika. Franz Rademacher dari Kementerian Luar Negeri Jerman  adalah yang pertama kali menyarankan ide ini pada Juni 1940, bertepatan dengan jatuhnya Prancis ke tangan Jerman. Kala itu Madagaskar memang adalah salah satu koloni jajahan Prancis sehingga tak heran ketika negara tersebut jatuh ke tangan Nazi, maka otomatis pulau tersebut pun menjadi milik Jerman.

Ide ini, uniknya, merupakan salah satu cara damai yang ditempuh oleh pemerintah Nazi Jerman untuk mengatasi konflik Yahudi di negara tersebut. Kala itu kebangkitan Nazi dipengaruhi oleh ketimpangan ekonomi di negara tersebut dimana kebanyakan penduduk asli Jerman menderita kemiskinan akibat kalah dari Perang Dunia I. Hal ini menyebabkan kecemburuan sosial terhadap kaum Yahudi yang umumnya memiliki harta kekayaan berlimpah di negara tersebut. Salah satunya mungkin sudah pernah kalian dengar, yakni keluarga Yahudi bermarga Rothschild yang merupakan salah satu keluarga paling tajir dan berkuasa di Eropa kala itu karena yang memiliki usaha bank yang amat sukses. Karena kecemburuan inilah, pihak Nazi berkeinginan untuk menyingkirkan kaum Yahudi sejauh mungkin dari tanah air mereka.

Ide untuk memindahkan kaum Yahudi ke Pulau Madagaskar kala itu ditindaklanjuti dengan mengirim task force alias gugus tugas untuk mengevaluasi potensi pulau tersebut. Saat itu Nazi sendiri cukup ragu apakah kaum Yahudi mampu bertahan hidup di Madagaskar. Pasalnya kondisi alam pulau Madagaskar masihlah sangat liar dan juga beriklim tropis sehingga para kaum Yahudi yang sudah beradaptasi dengan iklim dingin di Eropa mungkin takkan nyaman tinggal di pulau tersebut. Tak hanya itu, Madagaskar merupakan pulau dengan hutan lebat yang memiliki wabah malaria, sehingga cukup berbahaya bagi para pendatang dari Eropa.

Akan tetapi Nazi sendiri sebenarnya tidak begitu keberatan dengan kondisi-kondisi tersebut. Pasalnya mereka begitu membenci kaum Yahudi dan sangat tidak berkeberatan apabila nanti kaum Yahudi menjadi musnah ataupun mati ketika tiba di Madagaskar. Bahkan untuk membuktikan kekejaman mereka, Nazi Jerman membentuk unit polisi rahasia sendiri di bawah organisasi paramiliter SS (Schutzstaffel) yang nantinya akan mengawasi dan menegakkan hukum Nazi dengan tangan besi bagi populasi Yahudi di Madagaskar. SS atau “Schutzstaffel” ini mirip-mirip lah dengan Kempetai atau polisi rahasia kebanggaan Nippon Cahaya Asia pada saat masa pendudukan Jepang di Indonesia. Maka jelas, tujuan utama Nazi untuk memindahkan para penduduk Yahudi ke Madagaskar tersebut bukanlah demi kesejahteraan mereka, namun sekedar untuk menyingkirkan mereka, bahkan sebisa mungkin menciptakan kondisi yang tak kalah menggenaskan ketika mereka tiba di pulau tersebut.

SS adalah polisi rahasia bentukan Hitler untuk memata-matai musuh mereka, termasuk kaum Yahudi


Nazi sudah mempersiapkan matang-matang rencana pemindahan ini, bahkan Adolf Hitler sendiri sudah menyetujui rencana tersebut dengan mengeluarkan memorandum pada 15 Agustus 1940 untuk mengesahkan Madagaskar Plan. Namun sayang (baik bagi kaum Yahudi ataupun Nazi), rencana tersebut gagal karena faktor luar. Pada masa PD II, Nazi akhirnya kalah dari Inggris pada September 1940 yang secara drastis mengubah rencana tersebut. Pasalnya kini daerah jajahan Prancis yang tadinya dikuasai oleh Jerman, termasuk Madagaskar, kini menjadi kekuasaan Inggris. Tak hanya itu, pasukan Angkatan Laut Inggris juga berjaga-jaga dan mengancam akan menenggelamkan semua kapal yang keluar dari Jerman, termasuk kapal-kapal yang nantinya akan mengangkut para pengungsi Yahudi ke Madagaskar. Rencana tersebut akhirnya makin gatot ketika pada November 1942, Inggris mengembalikan wilayah Madagaskar kepada pemerintah kolonial Prancis 

Padahal, seandainya Nazi berhasil melaksanakan rencana mereka untuk memindahkan kaum Yahudi ke Madagaskar, maka hal tersebut merupakan jalan pintas yang sangat mudah, baik bagi kaum Yahudi maupun Nazi. Bayangkan saja, jika rencana menyingkirkan kaum Yahudi secara “damai” tersebut berhasil, maka mungkin takkan terlintas di benak Nazi kala itu untuk memusnahkan kaum Yahudi secara besar-besaran melalui Holocaust.

Namun rupanya tak hanya pulau Madagaskar sahaja yang menjadi sasaran Hitler sebagai tempat pembuangan kaum Yahudi. Hitler juga pernah memiliki rencana untuk mendeportasi para Yahudi ke wilayah Uni Soviet. Kala itu mereka kepedean mengira bahwa cepat atau lambat, mereka akan berhasil mengalahkan para pasukan komunis Uni Soviet dan menguasai negara mereka. Sayang rencana ini pun gagal total karena yang terjadi justru kebalikannya. Justru para pasukan Uni Soviet-lah yang berhasil mengalahkan Jerman dan mengakhiri Perang Dunia II di Eropa.

Akibat kegagalan rencana Madagaskar ini, sekitar 5,5 sampai 6 juta kaum Yahudi di Eropa tewas di tangan kaum Nazi pada peristiwa Holocaust, dimana mereka dibunuh dengan kejam setelah ditahan dan disiksa di kamp-kamp konsentrasi. Coba imajinasikan, jika rencana ini memang berhasil dilaksanakan oleh Jerman, maka mungkin jutaan kaum Yahudi tersebut masih hidup, takkan pernah terjadi Holocaust, dan mungkin saja mereka tidak akan pernah pindah ke Israel dan memulai perang dengan penduduk asli Palestina. Mungkin saja kondisi Timur Tengah akan lebih damai apabila rencana ini berhasil dilaksanakan.

Ataukah justru sebaliknya, mungkinkah kondisi ini nantinya akan menimbulkan konflik baru antara para penduduk asli Madagaskar dengan para pendatang Yahudi? Mungkin di dunia paralel lain sana,  rencana ini berhasil dan sejarah akan sama sekali berbeda, kita takkan pernah tahu jawabannya.


AFRIKA

Selain Madagaskar, wilayah di Afrika lain yang juga berpotensi menjadi di tanah air bagi bangsa Yahudi adalah Uganda, yang saat itu masihlah merupakan jajahan Inggris. Kala itu pemerintah kolonial Inggris berbaik hati untuk memberikan wilayah di Afrika Timur tersebut kepada kaum Yahudi sebagai tanah air baru mereka. Tawaran ini diberikan oleh Menteri Dalam Negeri pemerintah kolonial Inggris pada saat itu, Joseph Chamberlain kepada kaum Yahudi pada tahun 1903. Ia menawarkan wilayah seluas 13.000 km2 di sebuah lokasi bernama Plato Mau yang kini disebut sebagai Kenya. Tawaran ini pernah dipertimbangkan secara serius. Bahkan sebuah delegasi-pun sempat dikirim untuk menginspeksi plato tersebut dan mencari tahu, apakah lokasi tersebut dapat mendukung kehidupan kaum Yahudi di sana. Namun ternyata hasilnya sangat miris.

Walaupun plato tersebut memiliki ketinggian yang cukup sesuai bagi para penduduk Eropa karena beriklim cukup dingin, namun ada masalah lain. Wilayah tersebut masihlah sangat liar dan dihuni oleh oleh singa serta para hewan predator lain, sehingga justru akan membahayakan nyawa para pendatang yang mencoba memulai hidup baru di sana Tak hanya itu, rencana tersebut juga mendapat tentangan dari Suku Maasai, penduduk asli Kenya. Setelah mendapat laporan ini, pada tahun 1905 kaum Yahudi secara halus menolak “kebaikan hati” Inggris ini. Emang iya sih, nggak lucu kalau pengen melarikan diri dari Holocaust tapi malah dimakan singa di sana.

Lokasi lainnya di Afrika yang juga dicanangkan sebagai tempat pemindahan kaum Yahudi adalah Ethiopia di Afrika Timur. Rencana ini dicetuskan oleh pemerintah fasis Italia di bawah pimpinan Benito Mussolini. Rencana tersebut tidak hanya didasarkan pada fakta dimana Ethiopia adalah wilayah jajahan Italia pada saat itu, namun karena di Ethiopia sendiri terdapat kaum yang menamakan diri mereka sebagai Beta Israel. Kaum Beta Israel ini mengaku sebagai keturunan Yahudi walaupun mereka berkulit hitam. Nah, diharapkan karena sama-sama beragama Yahudi, kaum Beta Israel akan membantu imigran Yahudi berkulit putih dari Eropa untuk bisa beradaptasi. Namun lagi-lagi rencana ini tak pernah mengejawantah karena bukannya saling tolong menolong, justru ditakutkan terjadi “clash” antara kelompok Beta Israel dengan imigran Yahudi dari Eropa karena perbedaan warna kulit mereka.

 

RUSIA

Lokasi Birobidzhan di Rusia

Secara mengejutkan, satu-satunya rencana “eksodus Yahudi” yang berhasil ternyata merupakan rencana dari Uni Soviet. Kala itu pemerintah komunis USSR berhasil memindahkan kaum Yahudi ke sebuah wilayah yang dinamakan “Jewish Autonomous Oblast”.

Pada 28 Maret 1928, pemerintah USSR mengeluarkan dekrit untuk memindahkan kaum Yahudi ke sebuah wilayah bernama Birobidzhan. Lokasi tersebut terletak jauh di sebelah timur wilayah kekuasaan Rusia kala itu. Dekrit ini baru ditindaklanjuti pada 1934 dimana pemerintah Uni Soviet kemudian membentuk “Jewish Autonomous Region” (JAR)  di wilayah disebut. Pemimpin tertinggi Uni Soviet kala itu, Joseph Stalin mengaku “berbaik hati” akan memberikan otonomi penuh bagi kaum Yahudi untuk mengatur wilayah kekuasaan mereka tersebut, asalkan masih dalam kerangka kebijakan ekonomi ala sosialis.

Namun ternyata ada udang di balik batu dibalik kebijakan tersebut. Birobidzhan merupakan wilayah perbatasan dengan China yang terpencil dan tidak berpenduduk. Sehingga agar tidak direbut negara tetangga mereka tersebut, pemerintah komunis akhirnya memutuskan merelokasi penduduk Yahudi demi mengesahkan klaim mereka atas wilayah tersebut. Tidak mengherankan apabila kebijakan tersebut ternyata sama sekali tidak membahagiakan kaum Yahudi. Pasalnya wilayah otonomi tersebut masihlah sangat terisolasi dan tidak memiliki fasilitas yang memadai. 

Tak hanya itu, kaum Yahudi yang dipindahkan berasal dari Ukraina dan Belarusia yang berada di wilayah sebelah barat Uni Soviet, sedangkan Birobidzhan berada di wilayah timur. Tentunya tempat asal mereka memiliki iklim dan juga cuaca yang sangat berbeda dengan wilayah di mana mereka ditempatkan sekarang. Awalnya pihak Yahudi menginginkan agar wilayah otonom tersebut berada di Semenanjung Crimea di Laut Hitam yang dekat dengan wilayah Ukraina. Akan tetapi permintaan ini ditolak oleh pemerintah Uni Soviet karena dikhawatirkan akan memicu konflik dengan penduduk asli di wilayah tersebut

Dominasi Yahudi di kota Birobidzhan masih terlihat jelas dengan adanya menorah (simbol Yahudi berupa tempat lilin bercabang tujuh) di alun-alun utama kota tersebut

Kondisi geografis dari Birobidzhan juga sangatlah kejam. Sebagian besar wilayah tersebut merupakan daerah rawa-rawa yang rawan dengan berbagai bibit penyakit. Tak hanya itu, semua pendatang Yahudi yang baru saja tiba juga harus memulai kehidupan mereka dari nol sembari menghadapi kejamnya kondisi alam di wilayah tersebut. Tak heran, banyak kaum Yahudi yang ditempatkan di wilayah tersebut menjadi gondok dan merasa bahwa kebijakan tersebut justru berakar dari “antisemitism” atau sentimen anti Yahudi. Mereka berpendapat bahwa pemerintah Uni Soviet hanya ingin mengusir mereka sejauh mungkin dari pusat kekuasaan mereka di Moskow dan sama sekali tak peduli bahwa apabila pemindahan tersebut berujung penderitaan bagi para penduduk Yahudi.

Namun penolakan tersebut sama sekali tidak menyurutkan niat pemerintah Uni Soviet kala itu. Pada tahun 1930, pemerintah USSR melancarkan propaganda yang cukup masif untuk merayu kaum Yahudi agar mau dipindahkan ke wilayah tersebut Bahkan mereka melancarkan poster dan novel berbahasa asli Yahudi, yaitu bahasa Yiddish, yang menggambarkan kondisi Birobidzhan sebagai “utopia” atau negeri impian sosialis yang sempurna; sangat berbeda jauh dengan ganasnya iklim yang nanti akan mereka hadapi di sana.

Bahkan pemerintah komunis kala itu sejauh sampai sejauh meluncurkan sebuah film berjudul “Seekers of Happiness” yang berbahasa Yiddish sebagai bentuk propaganda untuk menggoda para kaum Yahudi agar mau dipindahkan ke wilayah tersebut. Film tersebut menceritakan sebuah keluarga Yahudi yang kabur dari Amerika Serikat akibat depresi ekonomi dan kemudian memulai kehidupan baru yang cukup makmur di wilayah tersebut; sebuah propaganda berkalang kepalsuan yang tentu berkebalikan dengan kenyataan yang ada. Justru yang terjadi malah para kaum Yahudi berbondong-bondong kabur dari Eropa ke Amerika Serikat demi mendapatkan sebuah kehidupan yang jauh lebih baik.

Uniknya, hingga saat ini wilayah otonomi tersebut masih berdiri di wilayah Rusia, walaupun pemerintahan komunis Uni Soviet telah lama jatuh sejak tahun 80-an, Sayangnya, wilayah otonomi tersebut tidaklah seperti negeri dongeng yang dibayangkan pemerintah Rusia. Banyak penduduknya memutuskan kabur dan memilih untuk tinggal di wilayah lain, termasuk di Israel. Hanya tertinggal sekitar 2% populasi Yahudi, sementara populasi mayoritas justru berasal dari penduduk asli Rusia sendiri. Walaupun tak bisa ditampik, budaya Yahudi masih sangat terasa mendominasi wilayah tersebut. Terbukti dengan adanya koran dan juga radio yang berbahasa Yiddish Tak hanya itu, bahasa Yiddish juga diajarkan di sekolah-sekolah di Birobidzhan, yang hingga kini dikenal sebagai wilayah otonomi Yahudi terbesar kedua di dunia setelah negara Israel.


JEPANG

Sulit rasanya membayangkan apabila rakyat Yahudi berbondong-bondong pindah ke negara matahari terbit tersebut. Namun seperti itulah isi dari Rencana Fugu atau “Fugu Plan” yang dikemukakan pada 1979. Kala itu dua rabi atau pemuka agama Yahudi bernama Marvin Tokayer dan Mary Swartz menerbitkan buku berjudul “Fugu Plan” berisi tentang sebuah rencana untuk memindahkan kaum Yahudi dari Jerman ke wilayah kekaisaran Jepang.

Kala itu kedua rabi itu mengklaim bahwa seorang Kapten Jepang bernama Koreshige Inuzuka pada tahun 1934 mengatakan bahwa ia bersedia menerima kaum Yahudi di wilayah kekuasaan Jepang. Hal ini dilakukan agar mereka bisa melarikan diri dari kekejaman kaum Nazi di wilayah Jerman. Namun banyak yang meragukan rencana tersebut, bahkan menganggapnya hanya sebuah lelucon semata. Pasalnya nama rencana tersebut, yakni “fugu” merupakan sebutan bagi ikan buntal, yakni sejenis ikan yang dikenal amat sangat beracun dan bisa membunuh seseorang apabila dikonsumsi tanpa persiapan khusus.


AMERIKA LATIN

Rupanya pernah ada berbagai rencana untuk memindahkan kaum Yahudi dari Eropa ke Amerika Latin, mencakup Amerika Tengah dan Selatan. Pasalnya kala itu kaum Yahudi memang sudah memiliki akar yang kuat di wilayah tersebut. Kaum Yahudi memang dikenal sebagai pengusaha tangguh yang piawai berbisnis sehingga bisa mengumpulkan pundi kekayaan dan mencapai posisi yang cukup terhormat dalam masyarakat Amerika Latin.

Berbagai rencana sedianya akan dilakukan oleh berbagai pihak untuk memindahkan kaum Yahudi, diantaranya adalah rencana untuk memindahkan mereka ke Guyana yang saat itu dikuasai Inggris pada tahun 1939. Ada juga sebuah rencana untuk memindahkan kaum Yahudi ke wilayah kekuasaan Belanda kala itu, yakni Suriname. Suriname sendiri sudah terbukti mampu menampung para imigran dari Jawa yang dipindahkan dari Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga pastinya tidak susah bagi para kaum Yahudi untuk mampu beradaptasi di di wilayah tersebut.

Tak hanya itu, pada 1938 seorang diktator asal Dominika bernama Rafael Leónidas Trujillo memberikan sebuah kota bernama Sosúa kepada para imigran Yahudi dari dari Austria dan Jerman. Bahkan untuk membuktikan keseriusannya, ia mendirikan sebuah sinagoga atau tempat ibadah Yahudi serta sebuah museum yang diperuntukkan bagi kaum pendatang Yahudi. Sayangnya hanya 500 imigran yang tiba di sana sehingga tidak cukup untuk membuat sebuah wilayah otonomi khusus. Tempat pengungsian lain yang diperuntukkan bagi kaum Yahudi adalah “Moisés Ville” yang terletak di provinsi Santa Fe di Argentina. Dari namanya kita bisa menebak bahwa kota tersebut dinamai sesuai dengan nama nabi dalam agama Yahudi (juga diakui dalam ajaran Islam maupun Kristen), yaitu Nabi Musa atau Moses. Kota tersebut bahkan didirikan sendiri oleh kaum Yahudi yang mengungsi dari Rusia dan Eropa Timur pada 1889.

 

AUSTRALIA


Wilayah lain yang juga di proposalkan sebagai negara baru bagi kaum Yahudi adalah Australia (kalo ini gue agak-agak setuju sih). Pada tahun 1939, Robert Cosgrove dan Critchley Parker memproposalkan sebuah pemukiman Yahudi di Port Davey, sebuah kota di Pulau Tasmania, yakni pulau paling selatan Australia. Bahkan lokasi tersebut sempat disurvei untuk menentukan layak tidaknya ditempati oleh kaum Yahudi. Akan tetapi kematian sang pencetus pada tahun 1942 akhirnya mengakhiri ide tersebut secara prematur. Wilayah lain di Australia yang juga di proposalkan untuk menjadi di tanah air baru bagi kaum Israel adalah wilayah Kimberly Australia barat laut, berbatasan dengan Laut Timor. Namun entah mengapa rencana ini gagal juga.


SURIAH

Percaya atau tidak, rencana pemindahan kaum Yahudi dari Eropa ke wilayah lain sudah dicetuskan sejak abad ke-18 oleh Napoleon Bonaparte. Kala itu sang kaisar Prancis yang termashyur itu berhasil menguasai wilayah Levant (Suriah) dan mengaku berbaik hati untuk memberikan wilayah di Timur Tengah tersebut bagi kaum Yahudi dari Eropa. Akan tetapi kekalahannya dalam perang di Acre (yang kini menjadi wilayah kekuasaan Israel) pada 1799 akhirnya mengakhiri rencana tersebut.


VIETNAM

Tak banyak yang tahu bahwa pada tahun 1946, Ho Chi Minh, sang pemimpin politik berpaham kiri di Vietnam pernah berbaik hati memberikan wilayah utara negaranya sebagai tempat pengungsian bagi kaum Yahudi yang baru saja mengalami genosida yang memilukan. Tetapi rencana itu ditolak oleh pihak Yahudi sendiri, diwakili oleh David Ben-Gurion, entah atas alasan apa. Mungkin karena mereka kurang cocok dengan iklim tropis menyengat di Asia Tenggara atau mungkin mereka lebih memilih untuk menggapai cita-cita mereka menguasai tanah suci Palestina.


AMERIKA SERIKAT

Kota Sitka di Alaska yang awalnya diperuntukkan untuk imigran Yahudi dari Eropa

Rencana gila lainnya untuk memindahkan kaum Yahudi keluar Eropa dan mendirikan negara mereka sendiri adalah dengan mengungsikan mereka ke ke Amerika Serikat. Rencana ini dimulai pada 1820 ketika seorang Yahudi bernama Mordecai Manuel Noah berencana untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di sebuah pulau di Sungai Niagara (yap, dekat air terjun terkenal itu) yang akan dipanggil sebagai “Ararat”. Nama ini berasal dari nama gunung yang dipercaya sebagai tempat terdamparnya bahtera Nabi Nuh pada saat banjir besar yang ceritanya terekam dalam Taurat, Alkitab, maupun Alquran.

Mordecai cukup serius dengan rencana ini, sampai sejauh mendirikan sebuah monumen di pulau tersebut bertuliskan “Ararat, sebuah kota bagi para pengungsi Yahudi “ tertanggal tahun 5586 (di mana menurut kalender Yahudi setara dengan tahun 1825). Tahun tersebut hanya berselang 50 tahun setelah kemerdekaan Amerika Serikat dari tangan Inggris. Akan tetapi entah kenapa rencana ini tak pernah direalisasikan.

Salah satu rencana paling unik di list ini adalah rencana memindahkan kaum Yahudi untuk mendiami wilayah Sitka yang berada di Alaska. Alaska sendiri adalah negara bagian Amerika Serikat yang terletak paling utara dan memiliki iklim dingin karena berada di wilayah kutub utara. Rencana ini diproposalkan oleh presiden Amerika Serikat sendiri kala itu yaitu Franklin Roosevelt pada 1939, namun ditolak mentah-mentah oleh kongres Amerika Serikat, mungkin untuk menghindari adanya perselisihan antara para imigran Yahudi dengan penduduk asli Alaska dan kaum kulit putih yang sudah lebih dulu bermukim di sana. Tak hanya itu, kaum Yahudi pun mungkin menganggap Alaska sebagai “tempat pembuangan” semata mengingat iklim tak bersahabatnya yang amat menggigil.

Akan tetapi rencana ini, walaupun tak pernah terealisasi di dunia nyata, menjadi inspirasi sebuah novel besutan Michael Chabon berjudul “The Yiddish Policemen's Union” yang berlatar di sebuah dunia paralel dimana kaum Yahudi sungguhan berbondong-bondong ke Sitka untuk mendirikan negara baru, alih-alih menjajah Palestina.

Sebagai catatan aja sih guys, gue juga nggak tahu kenapa kok pas banget gue bikin postingan bertepatan dengan konflik serangan roket bolak-balik antara Israel ama Palestina (gue bukan sengaja loh, sebab saran dari readers Karyakarsa gue udah sejak bulan kemaren).. Tapi kalo gue boleh menyorot sedikit tentang konflik ini, dari komen-komen netizen yang gue baca di Youtube malah kebanyakan warga Barat sana kali ini lebih mendukung Palestina (padahal biasanya mereka jagoin Israel). Alasannya karena sebelumnya sudah beredar video viral tentang seorang pria Israel yang berusaha merebut tanah dan rumah sebuah keluarga Palestina dan jelas, tindakan seperti itu tidak dibenarkan di hukum negara manapun dan juga hukum internasional.

Tapi yang jelas gue sih berharap agar kedamaian segera datang di tanah suci tersebut. Bayangin sih, sebuah tanah yang pernah diinjak langsung oleh Nabi Abraham, Yesus Kristus, hingga Muhammad seharusnya berselimutkan kedamaian, namun kenyataannya malah dikecamuki oleh pertumpahan darah dan penderitaan.


SUMBER: WIKIPEDIA



SPECIAL THANKS TO MY SUPPORTERS:

Rio Ali Adithia 

Junwesdy Sinaga 

Maulii Za 


THANKS TO MY SUPPORTERS (12 JUNE - 12 JULY 2021)

Kurnia Rahmad , Sinyo Kulik , Adhitya Sucipto , Ciepha Ummi , Riani Azhafa , Kay Indar , Nashki 19 , Ema Rahmawati , Aulia Pratama Putri , Jefry . Sharnila Ilha 


 

2 comments:

  1. Di masa lalu pernah dijajah, sekarang menjajah 😑

    ReplyDelete
  2. Sekedar share aja bang dave. Dalam agama Islam, Selesainya konflik Israel-Palestina akan menjadi pertanda datangnya kiamat wkwkwk. But that's fine, at last kedamaian bagi seluruh umat manusia bisa terwujud

    ReplyDelete