Hallo guys! Kapan itu gue bikin pengumuman di Karyakarsa gue untuk minta ide postingan buat kalian dan sobat setia Karyakarsa gue Riani Azhafa mencetuskan ide yang cukup gue bikin penasaran. Isinya adalah tentang “Madagascar Plan” dan karena gue belum pernah dengar tentang hal itu, gue iseng-iseng browsing tentangnya dan isinya cukup mind-blowing. Jadi sebelum Holocaust terhadap kaum Yahudi terjadi pada Perang Dunia II, ternyata sudah ada beberapa rencana dari berbagai pihak (bahkan Hitler sendiri) untuk memindahkan secara damai umat Yahudi ke sebuah “tanah perjanjian” di luar Eropa. Sayang, rencana-rencana eksodus besar-besaran kaum Yahudi ini hanya berakhir menjadi “wacana” seperti rencana bukber kalian.
Gara-gara rencana-rencana ini gagal, akibatnya umat Yahudi dimusnahkan dalam genosida yang disebut dengan “Holocaust” pada Perang Dunia II dan akibat tidak langsungnya, mereka yang tersisa kemudian mendirikan negara Israel di tanah suci Palestina. Nah, unik juga sih jika kita membayangkan jika saja rencana pemindahan ini berjalan lancar, maka mungkinkah penduduk Palestina di Timur Tengah sana akan damai, atau malah muncul konflik baru? Lalu tanah-tanah perjanjian manakah yang diperuntukkan sebagai rumah baru kaum Yahudi ini? Simak saja artikel berikut ini.
MADAGASCAR PLAN
Madagascar Plan adalah nama rencana yang
diproposalkan pemerintah Nazi Jerman untuk merelokasi penduduk Yahudi di Eropa
ke Pulau Madagaskar yang berada di tenggara Benua Afrika. Franz Rademacher dari Kementerian Luar
Negeri Jerman adalah yang pertama kali
menyarankan ide ini pada Juni 1940, bertepatan dengan jatuhnya Prancis ke
tangan Jerman. Kala itu Madagaskar memang adalah salah satu koloni jajahan
Prancis sehingga tak heran ketika negara tersebut jatuh ke tangan Nazi, maka
otomatis pulau tersebut pun menjadi milik Jerman.
Ide ini, uniknya, merupakan salah satu cara
damai yang ditempuh oleh pemerintah Nazi Jerman untuk mengatasi konflik Yahudi
di negara tersebut. Kala itu kebangkitan Nazi dipengaruhi oleh ketimpangan
ekonomi di negara tersebut dimana kebanyakan penduduk asli Jerman menderita
kemiskinan akibat kalah dari Perang Dunia I. Hal ini menyebabkan kecemburuan
sosial terhadap kaum Yahudi yang umumnya memiliki harta kekayaan berlimpah di
negara tersebut. Salah satunya mungkin sudah pernah kalian dengar, yakni
keluarga Yahudi bermarga Rothschild yang merupakan salah satu keluarga paling
tajir dan berkuasa di Eropa kala itu karena yang memiliki usaha bank yang amat sukses.
Karena kecemburuan inilah, pihak Nazi berkeinginan untuk menyingkirkan kaum
Yahudi sejauh mungkin dari tanah air mereka.
Ide untuk memindahkan kaum Yahudi ke Pulau
Madagaskar kala itu ditindaklanjuti dengan mengirim task force alias gugus
tugas untuk mengevaluasi potensi pulau tersebut. Saat itu Nazi sendiri cukup
ragu apakah kaum Yahudi mampu bertahan hidup di Madagaskar. Pasalnya kondisi
alam pulau Madagaskar masihlah sangat liar dan juga beriklim tropis sehingga
para kaum Yahudi yang sudah beradaptasi dengan iklim dingin di Eropa mungkin
takkan nyaman tinggal di pulau tersebut. Tak hanya itu, Madagaskar merupakan
pulau dengan hutan lebat yang memiliki wabah malaria, sehingga cukup berbahaya
bagi para pendatang dari Eropa.
Akan tetapi Nazi sendiri sebenarnya tidak begitu
keberatan dengan kondisi-kondisi tersebut. Pasalnya mereka begitu membenci kaum
Yahudi dan sangat tidak berkeberatan apabila nanti kaum Yahudi menjadi musnah
ataupun mati ketika tiba di Madagaskar. Bahkan untuk membuktikan kekejaman
mereka, Nazi Jerman membentuk unit polisi rahasia sendiri di bawah organisasi
paramiliter SS (Schutzstaffel) yang nantinya akan mengawasi dan menegakkan
hukum Nazi dengan tangan besi bagi populasi Yahudi di Madagaskar. SS atau “Schutzstaffel”
ini mirip-mirip lah dengan Kempetai atau polisi rahasia kebanggaan Nippon
Cahaya Asia pada saat masa pendudukan Jepang di Indonesia. Maka jelas, tujuan
utama Nazi untuk memindahkan para penduduk Yahudi ke Madagaskar tersebut
bukanlah demi kesejahteraan mereka, namun sekedar untuk menyingkirkan mereka,
bahkan sebisa mungkin menciptakan kondisi yang tak kalah menggenaskan ketika
mereka tiba di pulau tersebut.
SS adalah polisi rahasia bentukan Hitler untuk memata-matai musuh mereka, termasuk kaum Yahudi |
Nazi sudah mempersiapkan matang-matang rencana
pemindahan ini, bahkan Adolf Hitler sendiri sudah menyetujui rencana tersebut
dengan mengeluarkan memorandum pada 15 Agustus 1940 untuk mengesahkan Madagaskar
Plan. Namun sayang (baik bagi kaum Yahudi ataupun Nazi), rencana tersebut gagal
karena faktor luar. Pada masa PD II, Nazi akhirnya kalah dari Inggris pada
September 1940 yang secara drastis mengubah rencana tersebut. Pasalnya kini
daerah jajahan Prancis yang tadinya dikuasai oleh Jerman, termasuk Madagaskar,
kini menjadi kekuasaan Inggris. Tak hanya itu, pasukan Angkatan Laut Inggris juga
berjaga-jaga dan mengancam akan menenggelamkan semua kapal yang keluar dari
Jerman, termasuk kapal-kapal yang nantinya akan mengangkut para pengungsi
Yahudi ke Madagaskar. Rencana tersebut akhirnya makin gatot ketika pada
November 1942, Inggris mengembalikan wilayah Madagaskar kepada pemerintah kolonial
Prancis
Padahal, seandainya Nazi berhasil melaksanakan rencana
mereka untuk memindahkan kaum Yahudi ke Madagaskar, maka hal tersebut merupakan
jalan pintas yang sangat mudah, baik bagi kaum Yahudi maupun Nazi. Bayangkan
saja, jika rencana menyingkirkan kaum Yahudi secara “damai” tersebut berhasil,
maka mungkin takkan terlintas di benak Nazi kala itu untuk memusnahkan kaum
Yahudi secara besar-besaran melalui Holocaust.
Namun rupanya tak hanya pulau Madagaskar sahaja yang
menjadi sasaran Hitler sebagai tempat pembuangan kaum Yahudi. Hitler juga
pernah memiliki rencana untuk mendeportasi para Yahudi ke wilayah Uni Soviet. Kala
itu mereka kepedean mengira bahwa cepat atau lambat, mereka akan berhasil
mengalahkan para pasukan komunis Uni Soviet dan menguasai negara mereka. Sayang
rencana ini pun gagal total karena yang terjadi justru kebalikannya. Justru
para pasukan Uni Soviet-lah yang berhasil mengalahkan Jerman dan mengakhiri
Perang Dunia II di Eropa.
Akibat kegagalan rencana Madagaskar ini, sekitar
5,5 sampai 6 juta kaum Yahudi di Eropa tewas di tangan kaum Nazi pada peristiwa
Holocaust, dimana mereka dibunuh dengan kejam setelah ditahan dan disiksa di
kamp-kamp konsentrasi. Coba imajinasikan, jika rencana ini memang berhasil
dilaksanakan oleh Jerman, maka mungkin jutaan kaum Yahudi tersebut masih hidup,
takkan pernah terjadi Holocaust, dan mungkin saja mereka tidak akan pernah
pindah ke Israel dan memulai perang dengan penduduk asli Palestina. Mungkin
saja kondisi Timur Tengah akan lebih damai apabila rencana ini berhasil
dilaksanakan.
Ataukah justru sebaliknya, mungkinkah kondisi
ini nantinya akan menimbulkan konflik baru antara para penduduk asli Madagaskar
dengan para pendatang Yahudi? Mungkin di dunia paralel lain sana, rencana ini berhasil dan sejarah akan sama
sekali berbeda, kita takkan pernah tahu jawabannya.
AFRIKA
Selain Madagaskar, wilayah di Afrika lain yang
juga berpotensi menjadi di tanah air bagi bangsa Yahudi adalah Uganda, yang
saat itu masihlah merupakan jajahan Inggris. Kala itu pemerintah kolonial Inggris
berbaik hati untuk memberikan wilayah di Afrika Timur tersebut kepada kaum Yahudi
sebagai tanah air baru mereka. Tawaran ini diberikan oleh Menteri Dalam Negeri pemerintah
kolonial Inggris pada saat itu, Joseph Chamberlain kepada kaum Yahudi pada tahun
1903. Ia menawarkan wilayah seluas 13.000 km2 di sebuah lokasi
bernama Plato Mau yang kini disebut sebagai Kenya. Tawaran ini pernah
dipertimbangkan secara serius. Bahkan sebuah delegasi-pun sempat dikirim untuk
menginspeksi plato tersebut dan mencari tahu, apakah lokasi tersebut dapat
mendukung kehidupan kaum Yahudi di sana. Namun ternyata hasilnya sangat miris.
Walaupun plato tersebut memiliki ketinggian yang
cukup sesuai bagi para penduduk Eropa karena beriklim cukup dingin, namun ada
masalah lain. Wilayah tersebut masihlah sangat liar dan dihuni oleh oleh singa serta
para hewan predator lain, sehingga justru akan membahayakan nyawa para
pendatang yang mencoba memulai hidup baru di sana Tak hanya itu, rencana tersebut
juga mendapat tentangan dari Suku Maasai, penduduk asli Kenya. Setelah mendapat
laporan ini, pada tahun 1905 kaum Yahudi secara halus menolak “kebaikan hati”
Inggris ini. Emang iya sih, nggak lucu kalau pengen melarikan diri dari
Holocaust tapi malah dimakan singa di sana.
Lokasi lainnya di Afrika yang juga dicanangkan
sebagai tempat pemindahan kaum Yahudi adalah Ethiopia di Afrika Timur. Rencana
ini dicetuskan oleh pemerintah fasis Italia di bawah pimpinan Benito Mussolini.
Rencana tersebut tidak hanya didasarkan pada fakta dimana Ethiopia adalah
wilayah jajahan Italia pada saat itu, namun karena di Ethiopia sendiri terdapat
kaum yang menamakan diri mereka sebagai Beta Israel. Kaum Beta Israel ini
mengaku sebagai keturunan Yahudi walaupun mereka berkulit hitam. Nah, diharapkan
karena sama-sama beragama Yahudi, kaum Beta Israel akan membantu imigran Yahudi
berkulit putih dari Eropa untuk bisa beradaptasi. Namun lagi-lagi rencana ini
tak pernah mengejawantah karena bukannya saling tolong menolong, justru
ditakutkan terjadi “clash” antara kelompok Beta Israel dengan imigran Yahudi
dari Eropa karena perbedaan warna kulit mereka.
RUSIA
Lokasi Birobidzhan di Rusia |
Secara mengejutkan, satu-satunya rencana
“eksodus Yahudi” yang berhasil ternyata merupakan rencana dari Uni Soviet. Kala
itu pemerintah komunis USSR berhasil memindahkan kaum Yahudi ke sebuah wilayah
yang dinamakan “Jewish Autonomous Oblast”.
Pada 28 Maret 1928, pemerintah USSR mengeluarkan
dekrit untuk memindahkan kaum Yahudi ke sebuah wilayah bernama Birobidzhan. Lokasi tersebut
terletak jauh di sebelah timur wilayah kekuasaan Rusia kala itu. Dekrit ini
baru ditindaklanjuti pada 1934 dimana pemerintah Uni Soviet kemudian membentuk “Jewish Autonomous Region” (JAR)
di wilayah disebut.
Pemimpin tertinggi Uni Soviet kala itu, Joseph Stalin mengaku “berbaik hati”
akan memberikan otonomi penuh bagi kaum Yahudi untuk mengatur wilayah kekuasaan
mereka tersebut, asalkan masih dalam kerangka kebijakan ekonomi ala sosialis.
Namun ternyata ada udang di balik batu dibalik kebijakan tersebut. Birobidzhan merupakan wilayah perbatasan dengan China yang terpencil dan tidak berpenduduk. Sehingga agar tidak direbut negara tetangga mereka tersebut, pemerintah komunis akhirnya memutuskan merelokasi penduduk Yahudi demi mengesahkan klaim mereka atas wilayah tersebut. Tidak mengherankan apabila kebijakan tersebut ternyata sama sekali tidak membahagiakan kaum Yahudi. Pasalnya wilayah otonomi tersebut masihlah sangat terisolasi dan tidak memiliki fasilitas yang memadai.
Tak hanya itu, kaum Yahudi yang dipindahkan berasal dari
Ukraina dan Belarusia yang berada di wilayah sebelah barat Uni Soviet,
sedangkan Birobidzhan berada di wilayah timur. Tentunya tempat asal mereka
memiliki iklim dan juga cuaca yang sangat berbeda dengan wilayah di mana mereka
ditempatkan sekarang. Awalnya pihak Yahudi menginginkan agar wilayah otonom
tersebut berada di Semenanjung Crimea di Laut Hitam yang dekat dengan wilayah Ukraina.
Akan tetapi permintaan ini ditolak oleh pemerintah Uni Soviet karena
dikhawatirkan akan memicu konflik dengan penduduk asli di wilayah tersebut
Dominasi Yahudi di kota Birobidzhan masih terlihat jelas dengan adanya menorah (simbol Yahudi berupa tempat lilin bercabang tujuh) di alun-alun utama kota tersebut |
Kondisi geografis dari Birobidzhan juga sangatlah kejam. Sebagian besar wilayah tersebut merupakan daerah rawa-rawa yang rawan dengan berbagai bibit penyakit. Tak hanya itu, semua pendatang Yahudi yang baru saja tiba juga harus memulai kehidupan mereka dari nol sembari menghadapi kejamnya kondisi alam di wilayah tersebut. Tak heran, banyak kaum Yahudi yang ditempatkan di wilayah tersebut menjadi gondok dan merasa bahwa kebijakan tersebut justru berakar dari “antisemitism” atau sentimen anti Yahudi. Mereka berpendapat bahwa pemerintah Uni Soviet hanya ingin mengusir mereka sejauh mungkin dari pusat kekuasaan mereka di Moskow dan sama sekali tak peduli bahwa apabila pemindahan tersebut berujung penderitaan bagi para penduduk Yahudi.
Namun penolakan tersebut sama sekali tidak
menyurutkan niat pemerintah Uni Soviet kala itu. Pada tahun 1930, pemerintah USSR
melancarkan propaganda yang cukup masif untuk merayu kaum Yahudi agar mau dipindahkan
ke wilayah tersebut Bahkan mereka melancarkan poster dan novel berbahasa asli
Yahudi, yaitu bahasa Yiddish, yang menggambarkan kondisi Birobidzhan sebagai
“utopia” atau negeri impian sosialis yang sempurna; sangat berbeda jauh dengan
ganasnya iklim yang nanti akan mereka hadapi di sana.
Bahkan pemerintah komunis kala itu sejauh sampai
sejauh meluncurkan sebuah film berjudul “Seekers of Happiness” yang berbahasa Yiddish
sebagai bentuk propaganda untuk menggoda para kaum Yahudi agar mau dipindahkan
ke wilayah tersebut. Film tersebut menceritakan sebuah keluarga Yahudi yang
kabur dari Amerika Serikat akibat depresi ekonomi dan kemudian memulai
kehidupan baru yang cukup makmur di wilayah tersebut; sebuah propaganda berkalang
kepalsuan yang tentu berkebalikan dengan kenyataan yang ada. Justru yang terjadi
malah para kaum Yahudi berbondong-bondong kabur dari Eropa ke Amerika Serikat
demi mendapatkan sebuah kehidupan yang jauh lebih baik.
Uniknya, hingga saat ini wilayah otonomi
tersebut masih berdiri di wilayah Rusia, walaupun pemerintahan komunis Uni
Soviet telah lama jatuh sejak tahun 80-an, Sayangnya, wilayah otonomi tersebut
tidaklah seperti negeri dongeng yang dibayangkan pemerintah Rusia. Banyak
penduduknya memutuskan kabur dan memilih untuk tinggal di wilayah lain, termasuk
di Israel. Hanya tertinggal sekitar 2% populasi Yahudi, sementara populasi
mayoritas justru berasal dari penduduk asli Rusia sendiri. Walaupun tak bisa
ditampik, budaya Yahudi masih sangat terasa mendominasi wilayah tersebut. Terbukti
dengan adanya koran dan juga radio yang berbahasa Yiddish Tak hanya itu, bahasa
Yiddish juga diajarkan di sekolah-sekolah di Birobidzhan, yang hingga kini dikenal
sebagai wilayah otonomi Yahudi terbesar kedua di dunia setelah negara Israel.
JEPANG
Sulit rasanya membayangkan apabila rakyat Yahudi
berbondong-bondong pindah ke negara matahari terbit tersebut. Namun seperti
itulah isi dari Rencana Fugu atau “Fugu Plan” yang dikemukakan pada 1979. Kala
itu dua rabi atau pemuka agama Yahudi bernama Marvin
Tokayer dan Mary Swartz menerbitkan buku
berjudul “Fugu Plan” berisi tentang sebuah rencana untuk memindahkan kaum
Yahudi dari Jerman ke wilayah kekaisaran Jepang.
Kala itu kedua rabi itu mengklaim bahwa seorang
Kapten Jepang bernama Koreshige Inuzuka pada tahun 1934 mengatakan bahwa ia bersedia menerima kaum Yahudi
di wilayah kekuasaan Jepang. Hal ini dilakukan agar mereka bisa melarikan diri
dari kekejaman kaum Nazi di wilayah Jerman. Namun banyak yang meragukan rencana
tersebut, bahkan menganggapnya hanya sebuah lelucon semata. Pasalnya nama rencana
tersebut, yakni “fugu” merupakan sebutan bagi ikan buntal, yakni sejenis ikan yang
dikenal amat sangat beracun dan bisa membunuh seseorang apabila dikonsumsi
tanpa persiapan khusus.
AMERIKA LATIN
Rupanya pernah ada berbagai rencana untuk
memindahkan kaum Yahudi dari Eropa ke Amerika Latin, mencakup Amerika Tengah
dan Selatan. Pasalnya kala itu kaum Yahudi memang sudah memiliki akar yang kuat
di wilayah tersebut. Kaum Yahudi memang dikenal sebagai pengusaha tangguh yang
piawai berbisnis sehingga bisa mengumpulkan pundi kekayaan dan mencapai posisi
yang cukup terhormat dalam masyarakat Amerika Latin.
Berbagai rencana sedianya akan dilakukan oleh berbagai
pihak untuk memindahkan kaum Yahudi, diantaranya adalah rencana untuk
memindahkan mereka ke Guyana yang saat itu dikuasai Inggris pada tahun 1939. Ada
juga sebuah rencana untuk memindahkan kaum Yahudi ke wilayah kekuasaan Belanda
kala itu, yakni Suriname. Suriname sendiri sudah terbukti mampu menampung para
imigran dari Jawa yang dipindahkan dari Indonesia oleh pemerintah kolonial
Belanda sehingga pastinya tidak susah bagi para kaum Yahudi untuk mampu
beradaptasi di di wilayah tersebut.
Tak hanya itu, pada 1938 seorang diktator asal Dominika
bernama Rafael Leónidas Trujillo memberikan sebuah kota bernama Sosúa kepada para imigran
Yahudi dari dari Austria dan Jerman. Bahkan untuk membuktikan keseriusannya, ia
mendirikan sebuah sinagoga atau tempat ibadah Yahudi serta sebuah museum yang diperuntukkan
bagi kaum pendatang Yahudi. Sayangnya hanya 500 imigran yang tiba di sana
sehingga tidak cukup untuk membuat sebuah wilayah otonomi khusus. Tempat
pengungsian lain yang diperuntukkan bagi kaum Yahudi adalah “Moisés Ville” yang terletak di provinsi
Santa Fe di Argentina. Dari namanya kita bisa menebak bahwa kota tersebut dinamai sesuai dengan
nama nabi dalam agama Yahudi (juga diakui dalam ajaran Islam maupun Kristen),
yaitu Nabi Musa atau Moses. Kota tersebut bahkan didirikan sendiri oleh kaum
Yahudi yang mengungsi dari Rusia dan Eropa Timur pada 1889.
AUSTRALIA
Wilayah lain yang juga di proposalkan
sebagai negara baru bagi kaum Yahudi adalah Australia (kalo ini gue agak-agak
setuju sih). Pada tahun 1939, Robert Cosgrove dan
Critchley Parker memproposalkan sebuah pemukiman Yahudi di Port Davey, sebuah kota di Pulau
Tasmania, yakni pulau paling selatan Australia. Bahkan lokasi tersebut sempat
disurvei untuk menentukan layak tidaknya ditempati oleh kaum Yahudi. Akan
tetapi kematian sang pencetus pada tahun 1942 akhirnya mengakhiri ide tersebut
secara prematur. Wilayah lain di Australia yang juga di proposalkan untuk menjadi
di tanah air baru bagi kaum Israel adalah wilayah Kimberly Australia barat
laut, berbatasan dengan Laut Timor. Namun entah mengapa rencana ini gagal juga.
SURIAH
Percaya atau tidak, rencana pemindahan kaum
Yahudi dari Eropa ke wilayah lain sudah dicetuskan sejak abad ke-18 oleh
Napoleon Bonaparte. Kala itu sang kaisar Prancis yang termashyur itu berhasil
menguasai wilayah Levant (Suriah) dan mengaku berbaik hati untuk memberikan wilayah
di Timur Tengah tersebut bagi kaum Yahudi dari Eropa. Akan tetapi kekalahannya
dalam perang di Acre (yang kini menjadi wilayah kekuasaan Israel) pada 1799 akhirnya
mengakhiri rencana tersebut.
VIETNAM
Tak banyak yang tahu bahwa pada tahun 1946,
Ho Chi Minh, sang pemimpin politik berpaham kiri di Vietnam pernah berbaik hati
memberikan wilayah utara negaranya sebagai tempat pengungsian bagi kaum Yahudi
yang baru saja mengalami genosida yang memilukan. Tetapi rencana itu ditolak
oleh pihak Yahudi sendiri, diwakili oleh David Ben-Gurion, entah atas alasan
apa. Mungkin karena mereka kurang cocok dengan iklim tropis menyengat di Asia
Tenggara atau mungkin mereka lebih memilih untuk menggapai cita-cita mereka
menguasai tanah suci Palestina.
AMERIKA SERIKAT
Kota Sitka di Alaska yang awalnya diperuntukkan untuk imigran Yahudi dari Eropa |
Rencana gila lainnya untuk memindahkan kaum
Yahudi keluar Eropa dan mendirikan negara mereka sendiri adalah dengan
mengungsikan mereka ke ke Amerika Serikat. Rencana ini dimulai pada 1820 ketika
seorang Yahudi bernama Mordecai Manuel Noah berencana untuk mendirikan sebuah
negara Yahudi di sebuah pulau di Sungai Niagara (yap, dekat air terjun terkenal
itu) yang akan dipanggil sebagai “Ararat”. Nama ini berasal dari nama gunung
yang dipercaya sebagai tempat terdamparnya bahtera Nabi Nuh pada saat banjir
besar yang ceritanya terekam dalam Taurat, Alkitab, maupun Alquran.
Mordecai cukup serius dengan rencana ini, sampai
sejauh mendirikan sebuah monumen di pulau tersebut bertuliskan “Ararat, sebuah
kota bagi para pengungsi Yahudi “ tertanggal tahun 5586 (di mana menurut
kalender Yahudi setara dengan tahun 1825). Tahun tersebut hanya berselang 50
tahun setelah kemerdekaan Amerika Serikat dari tangan Inggris. Akan tetapi
entah kenapa rencana ini tak pernah direalisasikan.
Salah satu rencana paling unik di list ini adalah rencana memindahkan kaum Yahudi untuk mendiami wilayah Sitka yang berada di Alaska. Alaska sendiri adalah negara bagian Amerika Serikat yang terletak paling utara dan memiliki iklim dingin karena berada di wilayah kutub utara. Rencana ini diproposalkan oleh presiden Amerika Serikat sendiri kala itu yaitu Franklin Roosevelt pada 1939, namun ditolak mentah-mentah oleh kongres Amerika Serikat, mungkin untuk menghindari adanya perselisihan antara para imigran Yahudi dengan penduduk asli Alaska dan kaum kulit putih yang sudah lebih dulu bermukim di sana. Tak hanya itu, kaum Yahudi pun mungkin menganggap Alaska sebagai “tempat pembuangan” semata mengingat iklim tak bersahabatnya yang amat menggigil.
Akan tetapi rencana ini, walaupun tak pernah
terealisasi di dunia nyata, menjadi inspirasi sebuah novel besutan Michael
Chabon berjudul “The Yiddish Policemen's Union” yang berlatar di sebuah dunia
paralel dimana kaum Yahudi sungguhan berbondong-bondong ke Sitka untuk
mendirikan negara baru, alih-alih menjajah Palestina.
Sebagai catatan aja sih guys, gue juga nggak
tahu kenapa kok pas banget gue bikin postingan bertepatan dengan konflik
serangan roket bolak-balik antara Israel ama Palestina (gue bukan sengaja loh,
sebab saran dari readers Karyakarsa gue udah sejak bulan kemaren).. Tapi kalo
gue boleh menyorot sedikit tentang konflik ini, dari komen-komen netizen yang
gue baca di Youtube malah kebanyakan warga Barat sana kali ini lebih mendukung
Palestina (padahal biasanya mereka jagoin Israel). Alasannya karena sebelumnya
sudah beredar video viral tentang seorang pria Israel yang berusaha merebut tanah dan rumah sebuah keluarga Palestina
dan jelas, tindakan seperti itu tidak dibenarkan di hukum negara manapun dan
juga hukum internasional.
Tapi yang jelas gue sih berharap agar kedamaian
segera datang di tanah suci tersebut. Bayangin sih, sebuah tanah yang pernah
diinjak langsung oleh Nabi Abraham, Yesus Kristus, hingga Muhammad seharusnya
berselimutkan kedamaian, namun kenyataannya malah dikecamuki oleh pertumpahan darah
dan penderitaan.
SPECIAL THANKS TO MY SUPPORTERS:
Rio Ali Adithia
Junwesdy Sinaga
Maulii Za
THANKS TO MY SUPPORTERS (12 JUNE - 12 JULY 2021)
Kurnia Rahmad , Sinyo Kulik , Adhitya Sucipto , Ciepha Ummi , Riani Azhafa , Kay Indar , Nashki 19 , Ema Rahmawati , Aulia Pratama Putri , Jefry . Sharnila Ilha
Di masa lalu pernah dijajah, sekarang menjajah 😑
ReplyDeleteSekedar share aja bang dave. Dalam agama Islam, Selesainya konflik Israel-Palestina akan menjadi pertanda datangnya kiamat wkwkwk. But that's fine, at last kedamaian bagi seluruh umat manusia bisa terwujud
ReplyDelete