Siapa tak kenal Kotagede? Bila mendengar nama ini, yang terlintas di kepala kita pasti kerajinan peraknya. Nggak salah emang, namun Kotagede juga menyimpan banyak sejarah lho. Kotagede pernah menjadi ibu kota kerajaan Mataram Islam. Selain itu, ada banyak bangunan2 tua baik yang ber-arsitektur khas Jawa ataupun campuran Jawa-Kolonial. Tempat ini pas banget buat jadi tujuan backpacking ke Yogya. Selain itu, tak ada salahnya jika kalian berziarah ke makam para pendiri Mataram Islam dan menapaki jejak-jejak kejayaan Mataram Islam.
Dari kampung halamanku Solo, perjalanan kuawali dari Stasiun Jebres dengan naik kereta komuter Prameks jurusan Yogyakarta tepat jam 9. Nah, jika kalian naik kereta jam 9 ini, kusarankan kalian naik dari stasiun ini. Soalnya jika kalian naik dari Stasiun Balapan atau Purwosari, niscaya kereta pasti sudah penuh. Selain itu, kalian juga bisa menikmati arsitektur stasiun Jebres yang bergaya kolonial. Beginilah kondisi di dalam kereta Prameks. Asik nih masih sepi dan ada ceweknya hehehe.
Begitu nyampe di stasiun berikutnya, yaitu stasiun Balapan dan Purwosari, kereta langsung penuh dengan lautan manusia yang pengen liburan. Setelah satu jam perjalanan, aku kemudian turun di Stasiun Maguwo yang terletak di Bandara Adi Sutjipto. Dengar2 dari blog lain, stasiun ini lebih dekat ke Kotagede dibandingkan Lempuyangan atau Tugu. Soalnya Kotagede sendiri terletak di Kabupaten Sleman, lumayan jauh dengan pusat kota Yogya. Di dalam kawasan bandara, terdapat halte trans Yogya. Nah, untuk mencapai Kotagede, tinggal naik bus trans Yogya jurusan 3B dan turun di halte Tegal Gendhu 2. Nah, sebelum mencapai halte Tegal Gendhu 2, kalian akan melewati sebuah jembatan. Begitu turun di halte Tegal Gendhu 2, tinggal berjalan balik ke jembatan itu. Di situlah kawasan wisata Kotagede dimulai. Tinggal berjalan lurus, maka kalian dapat menikmati bangunan2 tua yang indah di sisi kanan dan kiri jalan.
Di salah satu gang, aku melihat sebuah puncak bangunan yang mirip2 ama kuil Buddha di Thailand (kebetulan minggu kemaren aku baru saja menyelesaikan postingan tentang kuil2 Hindu-Buddha terindah di dunia). Penasaran, aku pun menyusuri gang itu untuk memastikannya. Pertama kupikir itu adalah sebuah kelenteng, namun ternyata itu adalah rumah Rudy Pesik yang terkenal itu. Di rumah ini juga terdapat plakat yang menyatakan bahwa Lech Walesa, presiden Polandia sekaligus pemenang nobel perdamaian 1993 pernah menginap di sini. Tak butuh waktu lama bagiku untuk langsung terkesima dengan keindahan bangunan ini.
Bangunan kayu ini adalah “Langgar Dhuwur”, yaitu musholla yang dibangun di lantai dua rumah ini.
Jika kita terus berjalan lurus, maka kita akan mencapai Pasar Gedhe atau disebut juga Pasar Legi. Di sini banyak terdapat peninggalan Mataram Islam, misalnya Tugu Pacak Suji yang dibangun pada tahun 1940 saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX naik tahta.
Nah, tapi ini nih yang nggak kusuka. Di pojok pasar terdapat tugu Ngejaman yang bersejarah. Namun spot ini malah justru digunakan untuk berjualan buah. Keindahannya jadi hilang deh. Wah, jangan gila dong Pak! Nyari duit boleh2 aja, tapi lihat2 lokasinya dong! Benar2 pedagang yang nggak peduli ama sejarah bangsa! Dipanggilin satpol PP baru tau aja. Bikin saya jadi emosi saja (lho malah ngamuk2?)
JIka kalian ingin berkunjung ke Pasarean (Makam) Raja-Raja Mataram Islam, dari Tugu Ngejaman di Pasar Gedhe, tinggal belok ke kanan. Di sana akan terlihat pohon beringin besar. Tinggal masuk dan kalian akan menemukan sebuah gapura bergaya Hindu yang menjadi gerbang masuk ke kompleks masjid.
Kok bisa ya gerbang masjid malah bergaya Hindu begitu? Ternyata itu adalah wujud akulturasi Islam dengan budaya lokal setempat yang masih bercorak Hindu-Buddha. Sama lah kayak menara masjid Kudus yang mirip-mirip candi.
Begitu masuk ke gerbang pertama, kita akan melihat masjid Kotagede yang merupakan masjid tertua di Yogyakarta.
Nah,ini nih yang kusuka dari masjid2 keraton yang ada di Solo dan Yogya (walau aku bukan muslim). Begitu masuk ke kawasan masjid, akan langsung terasa suasana yang damai dan tenang. Ini juga yang aku rasakan ketika memasuki kompleks masjid ini. Suasananya juga “eyup” alias teduh karena banyaknya pohon2 sawo kecik di halaman masjid. Di sini juga terdapat sebuah tugu. Sayang aku tidak tahu tugu apa itu.
Di dekat masjid terdapat gerbang menuju makam. Terdapat tiga gerbang yang akan mengantar para peziarah untuk memasuki kawasan makam. Ini adalah gerbang pertama.
Lalu ini adalah gerbang kedua. Oya di tiap gerbang terdapat daun pintu yang dipenuhi ukiran floral khas Jawa. Di dekat gerbang kedua ini juga terdapat bangunan joglo yang digunakan sebagai koperasi.
Nah, di gerbang ketiga kalian akan harus mengganti pakaian dengan pakaian adat Jawa jika kalian ingin mengunjungi makam raja2 Mataram Islam. Biayanya kalo nggak salah 15 ribu. Namun aku tidak ikut masuk soalnya dengar2 di dalam makam kita nggak boleh foto2 (lha iya, mana ada orang mau narsis2an di makam?). Akhirnya aku memutuskan untuk meneruskan perjalananku.
Dari pintu masuk yang ada pohon beringinnya dimana aku masuk tadi, aku meneruskan perjalanan ke kanan. Di sana aku menemukan sisa2 tembok batu bata yang ternyata adalah Situs Benteng Cepuri.
Jalan terus, aku menemukan gapura putih yang bergaya Hindu dan bertuliskan “Hasta Renggo”. Sayang aku tak tahu tempat apa itu.
Tak jauh dari situ, aku menemukan tiga pohon beringin dan sebuah bangunan kecil di tengah jalan. Dari plakat yang aku baca, di situ terdapat situs peninggalan Mataram Islam, yaitu Watu Gilang dan Watu Cantheng. Sayangnya, bangunan itu dalam kondisi tertutup jadi aku nggak bisa melihat seperti apa kedua batu itu.
Akupun kembali ke arah Pasar Gedhe. Ada yang membuatku tertarik, yaitu mural-mural alias gambar2 berwarna-warni pada dinding rumah2 sepanjang jalan. Anak2 muda Yogya emang terkenal kreatif. Ini foto dua mural yang kuanggap lucu. Ada Upin Ipin juga.
Oya, disini aku juga menemukan kampung Alun-Alun, Purbayan yang punya cerita unik. Dari plakat yang kubaca di dekat gerbang masuk, di kawasan ini terdapat 9 rumah joglo yang saling menyambung. Nah, jalan di depan gerbang ini ternyata properti pribadi para pemilik joglo2 ini. Namun karena kerukunan antarwarganya, para pemilik rumah2 ini mengizinkan warga sekitar untuk lalu lalang melewati jalan ini layaknya jalan umum. Karena itu, jalan ini kemudian disebut “dalan rukunan” atau jalan rukunan. Wah, kalo di kota2 besar zaman sekarang, mustahil kali ya kejadian kayak gitu hehehe. Detail rumah joglonya juga sangat indah.
Aku lalu menyusuri gang sempit di samping kompleks makam. Rupanya jalan itu membawaku ke gerbang yang ada di samping masjid.
Jalan itu rupanya terus membawaku bagian belakang makam. Nah di tembok pasarean ini terdapat penopang2 berbentuk segitiga. Ada yang lucu di sini, soalnya ada papan pengumuman yang melarang keras siapapun untuk nongkrong atau kongkow2 di sepanjang tembok pasarean ini. Padahal tempatnya memang pas banget buat nongkorong (apalagi buat HIK). Tapi karena kesakralan tempat itu, ya harus diturutin lah.
Di dalam kawasan ini terdapat banyak rumah joglo yang indah, dijamin nggak nyesel deh kalo kesasar di sini hehehe.
Ketika menyusuri jalan2 sempit ini, ternyata aku malah menemui Pos Malang ini. Dari halaman blog yang aku baca pas ngumpulin referensi buat acara jalan2ku dulu, pos ini adalah pos keamanan. Dari sini aku tinggal terus berjalan dan menemukan kembali rumah Rudi Pesik. Karena cuma muter2, akupun memutuskan meninggalkan Kotagede dan meneruskan perjalanan.
Dari halte Tegal Gendhu 2 (tempatku turun dari), aku berencana naik bus Trans Yogya untuk menuju kawasan Malioboro. Ternyata untuk menuju kesana, aku harus oper bus. Pertama2 aku harus naik bus Trans Yogya jurusan 3B menuju Museum Perjuangan. Kemudian di halte Museum Perjuangan harus ganti bus jurusan 2B menuju Taman Pintar. Urusan pindah2 bus ini sempat membuatku bingung. Untung aja ada sesama penumpang (anak asli Yogya) yang membantuku. Wah, orang2 Yogya emang ramah2 hehehe. Jadi kalo kalian kesasar di sini, jangan ragu nanya2 ama orang Yogya.
Sesampainya di Taman Pintar, aku lalu meneruskan perjalanan untuk berburu batik di kawasan Malioboro. Sayangnya batik yang kuincar (warnanya putih) ternyata mahal2. Kata penjualnya batik warna putih emang agak mahal soalnya warna kerajaan Mataram (royal colour gitu), kalo warna lainnya lebih murah. Akhirnya dengan kecewa akupun meneruskan perjalanan ke stasiun Tugu untuk naik kereta jam 4. Inilah wajah stasiun Tugu dan hotel bersejarah yang terdapat di depannya.
Dari pengalamanku, kereta prameks jurusan Solo jam 4 sore biasanya sangat padat dan ternyata dugaanku tak meleset. Di sana aku harus pasrah berdiri sambil bergencet2 ria dengan para penumpang yang memenuhi tiap jengkal kereta selama sejam. Sampai rumah kakiku langsung sakit semua (ampe keesokan harinya aku kerja masih belum sembuh juga hiks). Tapi tak apalah, yang penting sudah bisa jalan-jalan ala backpackers.
No comments:
Post a Comment