Postingan kali ini agak beda, soalnya aku akan menceritakan kesialan bertubi-tubi yang menimpaku selama berlibur di Kota Tua Jakarta. Makanya tulisan ini kuberi judul "My Shitty Journey". Yap, it’s that "sh*t". Mungkin penyebabnya karena perjalanan itu kuadain pas 21-12-2012 alias hari kiamat versi Kalender Maya. Najis deh pokoknya. Ini dia pengalamanku, silakan disimak.
Hari itu kebetulan kantorku mulai libur sedangkan rencana mudik ke Solo masih dua hari lagi, karena itu aku merencanakan jalan-jalan ke Jakarta. Maklum lah, selama dua bulan bekerja di Tangerang, aku belum pernah menginjakkan kaki ke tanah Jakarta. Tentu saja rencana jalan-jalannya tetap ala backpacker dong. Biasanya sih aku backpacking solo secara aku ini asli wong Solo *alasan yang maksa* namun ternyata rencana jalan-jalanku disambut baik dua rekan kerja sekantorku sehingga merekapun ikut. Uniknya, kami bertiga beda suku lho. Aku Jawa sementara dua temanku itu Batak dan Sunda. Hahaha....kalo nggak di Jakarta mana bisa kayak gitu khan hahaha ….
Pagi sekitar jam 9 kami berangkat dari Gading Serpong, tapi rencananya kami mampir dulu ke WTC untuk mengambil BB temanku yang diservis. Tapi sialnya kiosnya belum buka dan kami terpaksa nunggu sambil sarapan. Iseng-iseng kami nekad sarapan di Rumah Makan Sederhana yang dikenal sebagai restoran Padang yang elite. Padahal kami bertiga wujudnya udah kayak mahasiswa gembel hahaha. Di rumah makan ini ternyata semua menunya langsung dihidangkan di atas meja, nah nantinya tamunya ambil apa tinggal diitung aja (enaknya sih buat makan rame2). Berhubung kami ini pegawai yang serba ngirit, yang kami ambilin cuma yang murah-murah aja (telor ama kentang balado). Benar aja, mbak-nya pelayannya ampe lirik-lirik kami dengan sinis. Total kami bertiga cuma ngabisin 55 ribu sarapan di situ. Wah, kami pasti udah di-black list ih ama pelayannya.
Setelah puas mengacak-ngacak restoran Padang, kami lalu berangkat menuju stasiun Serpong. Sesuai rencana, kami naik kereta KRL ekonomi jurusan jakarta Kota. Temenku sempet heran karena tarifnya hanya 1.500 rupiah saja. Namun begitu liat kereta, hmmm...pantesan sih. Soalnya yang naik tampang-tampang preman semua hahaha. Cuma kita bertiga aja yang keliatan innocent gitu. Tapi aku sempat salut ada juga cewek yang berani naik kereta KRL sendirian. Kalo aku sih masih itung2 soal safety-nya juga kalo mau sendirian naik KRL ekonomi.
Di perjalanan kami dihibur dengan panorama yang mungkin jadi ciri khas Jakarta, yaitu perumahan kumuh di sepanjang rel dengan background apartemen-apartemen mewah dan gedung bertingkat. Kontras banget deh. Pemandangan ini kami dapat ketika kereta hampir sampai di Tanah Abang. Sayang nggak sempat kufoto.
Sampai di Stasiun Jakarta Kota, kesialan pertama menghinggapi kami. Begitu kereta mulai merapat, justru turun hujan lebat. Yah, akhirnya kami cuma bisa nunggu hingga hujan agak reda. Setelah hujan mulai rintik-rintik, kamipun mulai menjelajahi Jakarta. Dan inilah pemandangan pertama yang kami lihat.
"Din...din...tiiit....tiiiit....heh sialan loe, minggir!!!" |
What a traffic. Hebatnya di tengah traffic superkacau seperti ini, ada juga cewek yang dengan entengnya nyebrang. Padahal kami yang cowok bertiga aja bingung nyebrang gimana caranya. Hahaha ternyata kami masih kalah ama cewek. Tapi maklum lah, dia kan penduduk sini, udah biasa. Sedangkan kami bertiga pendatang.
Dan inilah gambaran Stasiun Jakarta Kota yang berarsitektur art-deco.
Hujan sih masih gerimis pas kami memasuki Lapangan Fatahillah. Aku sempat “Wow” pas melihat gedung Stadhuis yang kini menjadi Museum Fatahillah. Ini nih salah satu alasanku jadi backpacker. Ada rasa kekaguman tersendiri ketika kita melihat langsung dengan mata kepala sendiri bangunan terkenal yang selama ini hanya kita kenal lewat gambar di buku atau internet. Sayangnya, pas kami datang ternyata Museum Fatahillah ternyata sedang direnovasi.
Karena hujan bertambah deras, kami lalu memutuskan masuk ke Museum saja untuk berteduh sekalian melihat-lihat. Harga tiket masuknya ternyata naik dari 2 ribu menjadi 5 ribu. Ini suasana di dalamnya.
I'm pretty sure it's haunted |
Yap, there’s nothing in it!
Begitu kami masuk dan berkeliling, ternyata isi museumnya hanya gini-gini aja, payah banget. Harga 5 ribu tuh nggak layak banget. Bahkan jauh lebih bagusan koleksi Museum Radya Pustaka Solo yang tiketnya cuma 3.500 rupiah. Bahkan kami sempat melihat becak yang dimuseumkan. Becak? Emang becak setua itu ya ampe harus masuk museum? Bukannya becak tuh masih ada banyak di Indonesia?
Satu-satunya koleksi yang berkesan cuma mimbar berukir yang indah ini yang entah diambil dari masjid mana.
Ini adalah pemandangan Lapangan Fatahillah pas hujan dari lantai dua museum. Mungkin gini juga ya pemandangan yang dilihat orang-orang belande pas zaman penjajahan.
Parahnya, pas kami naik, ternyata museumnya bocor disana-sini. Nih buktinya, keranjang sampah yang ditaruh di lantai tuh buat nampung air bocorannya.
Bahkan lukisan gubernur jenderal ini juga basah gara-gara air hujan yang merembes dari atas.
Padahal banyak banget peninggalan bersejarah di sini (kebanyakan terbuat dari kayu lagi) dan bisa kujamin bakalan rusak semua kalo keujanan terus kayak gini. Jadi heran, ini tuh museum di Jakarta, ibu kota negara RI? Pada punya otak nggak sih pengurusnya. Udah koleksinya dikit, nggak dijaga, dan yang lebih parah lagi, tiketnya dinaikin lagi! Hufh, sumpah deh. Malu-maluin banget, apalagi pas itu ada dua bule yang berkunjung. Nggak kebayang deh, nama Indonesia pasti langsung tercoreng di dunia internasional *berlebihan*. Saranku, kalo kalian sempat ke Kota Tua, nggak usah repot-repot masuk museumnya, cukup foto-foto aja di depannya. Just wasting your time and money.
Kalo itu belum cukup, para pengunjungnya (yang berada di dalam cuma buat berteduh, sumpah gue yakin nggak ada yang masuk buat liat koleksinya) sekitar jam 3 DIUSIR karena museum mau tutup. DAN DI LUAR LAGI HUJAN DERES!!!
Najis, gila nggak tuh?
Ketika hujan mulai agak reda (belum terang-terang amat), kami memutuskan jalan-jalan lagi sambil foto-foto. Orang-orang pada ngliatin kami dengan geli, “Ngapain nih tiga orang udik foto-foto di tengah ujan gini?”. Maklum baru pertama ke Jakarta hehehe. Ini dia suasana di Kota Tua yang berhasil aku tangkap. Ini Cafe Batavia.
Dan ini Museum Wayang.
Ada juga Museum Keramik yang dulunya gedung pengadilan Belanda.
Berbekal peta yang kami dapat dari museum, kami lalu melanjutkan perjalanan mencari Bank Indonesia. Kami menemukan sungai (sayangnya jembatan Intan nggak ketemu) dan dari kejauhan melihat Toko Merah yang legendaris, dan tentu saja sebagai penambah kontrasnya suasana, ada sungai penuh sampah di depannya (baunya juga luar biasa busuk).
Ada juga bangunan berkubah merah ini, sayang aku nggak tahu gedung apa ini.
Akhirnya, gedung BI!!!!
Kurasa ini Bank Mandiri.
Dengan basah kuyub, kamipun berusaha mencari masjid untuk memberikan kesempatan salah satu temanku untuk sholat. Nah, anehnya nih, di Jakarta susah banget nyari masjid. Padahal di Solo mungkin tiap 5 meter ada masjid. Setelah muter-muter akhirnya kami menemukan masjid di belakang gedung BNI (masuk-masuk kampung).
Ketika kami akan pulang, kesialan lain menghinggapi kami. Ternyata nggak ada kereta menuju Serpong dari Jakarta Kota hingga jam 7 malam. Ditambah lagi, para pegawai stasiun sama sekali nggak mau membantu kami. Akhirnya dengan inisiatif kami sendiri setelah melihat peta KRL, kami berencana transit di stasiun Manggarai, lalu ke Tanah Abang, baru ke Serpong. Kami lalu membeli tiket KRL ekonomi ke Manggarai dan lagi-lagi kesialan lagi datang ...
Kami salah naik kereta.
Karena baru di jakarta dan baru kali ini naik KRL, kami bertiga sama sekali nggak tau perbedaan KRL ekonomi dan Commuter Line. Kereta yang kami masuki justru Commuter Line (salah satu temenku sebenarnya dah curiga karena keretanya ber-AC, namun karena petugas kereta yang jaga bilang ini kereta ke Manggarai ya kami naiki aja). Beneran deh, pas karcisnya diperiksa, kami akhirnya dipaksa turun di stasiun terdekat, yaitu Gondangdia (padahal 2 stasiun lagi udah nyampe Manggarai nih). Sialan tuh PT KAI, kalo bikin nama kereta kenapa nggak KRL ekonomi ama KRL AC gitu, pake istilah susah kayak Commuter Line segala.
Di Gondangdia akhirnya kami menunggu KRL ekonomi ke Manggarai. Namun begitu lewat kami langsung mengurungkan niat untuk masuk, soalnya kereta superpenuh, penumpang banyak yang bergelantungan di pintu, bahkan ada yang di atas kereta. Awalnya sempat kepikiran sih kami naik kereta commuter line tanpa tiket, toh tinggal 2 stasiun. Namun berhubung temenku yang Batak itu orang jujur (lulusan seminari soalnya, calon pastur hehehe), akhirnya kami membeli tiket commuter line seharga 8 ribu hanya untuk melewati dua stasiun. Dan coba tebak, selama perjalanan dua stasiun itu nggak ada pemeriksaan karcis hahaha. Tapi nggak apa-apalah, toh Tuhan yang lihat kan?
Di Manggarai, kami beruntung karena ternyata ada kereta commuter line langsung ke Serpong, tapi harus transit dulu di tanah Abang. Nah, rupanya di sini kesialan belum rela meninggalkan kami. Aku sempat bertanya dimana KRL yang akan naiki lewat, jawabnya di line 2. Ya udah kami nunggu di situ dong. Anehnya selama setengah jam nggak ada kereta lewat. Kemudian aku nanya lagi dan satpamnya meralat jawabannya “Kalo nggak line 2, line 5 mas.”
Waduh, kalo line 5 dari tadi commuter line lalu lalang. Ternyata kereta yang harusnya kami naiki mungkin dah lewat 2 atau 3 kali tanpa kami sadari (suara di pengumuman kurang jelas sih, yang aku dengar cuma Sudirman gitu, dan abis itu aku baru tau kalo Sudirman juga termasuk stasiun yang dilewati kereta jurusan Tanah Abang). Dan yap, karena waktu itu pas berbarengan dengan jam pulang kerja (dan pas hari kerja juga), kamipun terpaksa berdiri dan berdesakan dengan penumpang lain.
Bagi yang belum tau perbedaan KRL ekonomi dan KRL commuter line, ini dia perbedaannya:
KRL ekonomi
|
KRL commuter line
|
Lebih mudah lalu lalang karena nggak ada pintunya | Lebih berbahaya karena bisa kejepit pintu otomatis |
Nyaman karena angin sejuk yang masuk lewat lubang besar yang harusnya pintu | Kurang nyaman karena AC-nya terlalu dingin |
Penumpangnya sibuk menghadapi pedagang asongan dan pengemis | Penumpangnya sibuk main i-pad |
Karakter penumpangnya juga beda banget nih (bukan bermaksud menghakimi ya). Soalnya pernah pas kami turun dari kereta commuter line, penumpang dari stasiun yang mau masuk kereta otomatis memberikan jalan terlebih dahulu supaya kami bisa turun, baru mereka naik. Aku aja ampe heran, gila tertib banget. Nah, pengalaman kayak gitu nggak bakal bisa kita dapet pas naek kereta ekonomi, yang ada kegencet ama keinjek-keinjek pas nyoba keluar.
Akhirnya dengan penuh perjuangan, kamipun sampai di Stasiun Serpong. Untungnya kendaraan umum di depan stasiun lewat sampai malam. Di dalam angkot kami menertawakan kesialan kami yang datang bertubi-tubi. Tapi temenku bilang, kesialan itu asyik kalo bisa dibagi ama temen-temen. Dan bener juga sih omongan temenku, coba kalo kesialannya harus ditanggung sendiri, keselnya udah numpuk nggak karuan pastinya. Sebagai pelampiasan, kamipun mampir di BSD Junction Tangerang buat makan malam di KFC pesan paket combo hahaha.
Nah, itulah pengalamanku jalan-jalan di Kota Tua. Tapi nggak kapok deh backpackeran ke Kota Tua lagi. Kapan-kapan pengen hunting foto di sana, apalagi bareng temen-temen kayak gini.
klo saya dulu ke sini dari jam 8 malem sampe 2 pagi, rame. Tapi ya gitu, gak bisa masuk-masuk ke museumnya :((
ReplyDeletejam 8 malem ampe 2 pagi??? pas taon baru apa?
DeleteIkut tur malam A.K.A uji nyali
ReplyDeleteKota tua paling rame pas malem
ReplyDeleteNgakak bacanya hahahaha, makanya kadang suka bingung banyak turis / wisatawan rame - rame dateng ke Fatahillah tuh ngapain orang ga ada apa - apanya. Maklumlah udah dr lahir tinggal di Kota Tua :D
ReplyDeletewaaaaaks deket kotu rumahnya? ikutan kopdar gih bang tgl 27
Delete