“Astaga
... itu ...” Jerry berdiri memandang sebuah bangkai bus yang mereka
lewati. Bus itu kini sudah terbakar habis dengan mayat-mayat gosong
(dan beberapa di antaranya tampak bergerak-gerak) tergeletak di
berbagai bagian bus. Sebuah spanduk yang tersisa dapat mereka baca,
“Study Tour Siswa ... Bekasi ...”
“Apa
itu teman-temanmu?” Foo menumpangkan tangannya di bahu Jerry, “Aku
ikut menyesal.”
Jerry
mengesampingkan tangan itu dan kembali duduk dengan tertunduk.
Mulia
hanya memandang bus itu dari jendela tempat duduknya sembari
menyimpulkan seutas senyum.
***
“Bima?”
Tara segera menghapus air matanya. “Kau sudah bangun ...”
“Tara
... aku tak bisa merasakan apa-apa ... rasanya dingin sekali ...”
“Kau
akan baik-baik saja, Bim!” Tara berusaha meyakinkan pemuda yang
sudah terbaring lemah itu, “Kita akan segera sampai ke Magelang dan
kau akan dirawat di sana.”
“Ini
semua salahku ... akulah yang mengajak kalian melihat sunset di
Borobudur ...” bisiknya.
“Tidak,
ini bukan salahmu!”
“Se
... sebenarnya aku ingin mengajakmu ke sana ... karena akan romantis
pikirku jika aku mengungkapkan perasaanku di sana ...”
“Apa?”
“Aku
ingin menyatakan cintaku padamu ...”
“Oh,
Bim ...” gadis itu kembali menitikkan air mata.
“Apakah
kau mau ...”
“Ten
... tentu saja aku mau ...”
***
Yuli
masih termangu di tempat duduknya. Di sebelahnya, jasad adiknya yang
sudah mendingin hanya ditutupi kain selendang jarik yang kebetulan
dibawanya. Semua kejadian tadi sama sekali tak membuatnya prihatin.
Toh mereka semua hanya orang-orang asing yang tak ia kenal. Tak ada
pengaruhnya baginya jika mereka hidup atau mati.
Namun
bukan berarti ia hanya diam saja dan tak mempelajari sesuatu.
Virus
itu tampaknya mampu membangkitkan orang yang sudah mati.
Ia
menatap jasad adiknya di sampingnya, lalu melirik tas Vina yang ada
di bangku depannya. Wanita itu sudah memusatkan perhatiannya pada
anak perempuannya. Nenek itu, tanpa sepengetahuan Vina, menggapai
sebuah jarum suntik dari dalam tasnya. Perlahan ia mengendap ke arah
tangan Bima yang dipotong dan kini menancap di lantai.
Ia ngeri
melihat jari-jari tangan itu sesekali tersentak dan masih bergerak.
Untung saja pisau itu masih menancap dan menahannya di sana. Yuli
segera menyuntikkan jarum itu dan menyedot beberapa cc darahnya.
Tangan itu tampak menggeliat saat Yuli melakukannya. Ia menengok ke
belakang untuk memastikan tak ada yang melihatnya.
Kemudian
ia kembali duduk, kali ini di dekat jenazah adiknya.
Rima
menoleh. Namun ia sama sekali tak mencium gelagat aneh dari nenek
itu. Mungkin nenek itu masih terpukul dengan kematian adiknya dan
ingin dekat dengannya, begitu pikirnya.
Ia sama
sekali tak melihat saat Yuli menyuntikkan darah yang terinfeksi itu
ke tubuh Titik.
***
“Hei,
lihat!” seru Ridho, “Ada barikade militer di depan!”
Ia
menghentikan bus itu di depan para tentara yang berjaga.
“Apa
kita sudah tiba di Magelang?” ucap Rima dengan lega.
“Kurasa
ini masih wilayah perbatasan.” Foo bergegas ke depan. Ridho
membunyikan klakson, meminta agar mereka dibukakan jalan.
Namun
para tentara yang muncul mengokang senjata mereka dan menyuruh mereka
pergi.
“Apa?
Apa yang mereka lakukan?”
“Hei!”
seru Foo sambil memberi bahasa isyarat, “Biarkan kami masuk!”
“Biar
aku tabrak saja penghalang ini!” Ridho kembali menghidupkan
mesinnya dan menginjak pedal gas, namun tiba-tiba, “DOOOR!”.
seutas tembakan terdengar. Sebutir peluru menembus kaca depan dan
bersarang tepat di kepala Ridho. Sang sopir itupun terkulai tak
bernyawa.
“Tidaaaaak!”
jerit Rima.
Foo
dengan sigap menangkap setir itu dan mengarahkannya ke barikade
militer itu. Mereka dihujani tembakan, namun semua penumpang segera
menunduk untuk menghindarinya.
“DOR
DOR DOR!!!”
“BRENGSEK!!!”
Foo dengan putus asa menabrakkan bus mereka ke barikade militer itu
sehingga membuat lubang dari partisi kayu dan karung pasir yang para
tentara buat. Namun tabrakan itu juga membuat bus mereka terguling.
“BRAAAAK!!!”
Rima
berusaha melindungi tubuhnya yang menghantam sisi samping bus (yang
kini menjadi sisi bawahnya) dan pecahan kaca yang berhamburan
kemana-mana. Tubuhnya terasa sakit dimana-mana, namun ia mencoba
bertahan.
Gadis
itu berusaha bangun, namun hanya untuk melihat kenyataan lebih
mengerikan.
“Foo!”
jerit Rima panik, “FOO!”
Pemuda
itu segera menoleh dan membelalak ketika jenazah Titik, yang berada
di belakang Yuli yang tengah tersungkur di lantai, perlahan bangkit.
Ketika kain jarik yang menutupi wajahnya jatuh, tersingkaplah wajah
zombie haus darah yang segera menerkam dan mengigit Yuli.
“AAAAAAAAKH!!!”
jerit nenek itu.
“Kita
harus keluar dari sini!” seru Foo sambil menggamit tangan Rima.
“Tapi
kita tak bisa meninggalkan yang lain!”
Rima
segera bergegas menghampiri Tara yang masih menangis dan memangku
tubuh Bima.
“Tara!
Tara ... kita harus pergi dari sini!” tariknya.
“A ...
aku tak bisa meninggalkan Bima sendirian di sini ...”
Tara
menatap tubuh Bima yang telah dingin. Kepalanya terkulai dan wajahnya
telah memucat.
“Tara
... Bima sudah meninggal! Kau harus merelakannya ...”
“Tidak!
TIDAK!” gadis itu kembali menangis.
Ia
menoleh dan melihat Foo berusaha membantu Syefira keluar dengan
memanjat ke sisi atas bus, dimana kaca di sisi tersebut telah pecah.
“Kumohon,
kita harus cepat pergi dari sini!”
“Untuk
apa ...” Tara memandangnya dengan wajah yang sembap oleh air mata,
“Sudah tak ada gunanya lagi. Mungkin ... mungkin jika kami menjadi
zombie ... kami bisa bersama-sama lagi ...”
Tara
hanya bergeming dan akhirnya berteriak ketika Titik dan Yuli yang
telah menjadi zombie menyerangnya. Rima hanya bisa meninggalkannya
dan mencoba menyelamatkan dirinya sendiri.
Jerri
mencoba bangkit dan menyadari kakinya terjepit di bangku. Ia mencoba
meloloskan diri, sementara itu Mulia di belakangnya mengendap-ngendap
sembari mengarahkan pistolnya ke pelipisnya.
Namun
sebelum ia sempat menembak, dengan sigap Jerri merenggut tangan
pemuda itu.
“Kau!
Sudah kuduga kau mencoba membunuh kami!”
“Kalian
pantas mendapatkannya!” seru Mulia dengan geram. “Berani-beraninya
... berani-beraninya kau menolakku dan lebih memilih perempuan itu!”
“Sudah
kubilang, semua yang kita lalui malam itu ... itu hanya kenikmatan
sesaat saja!”
Mereka
berdua bergelut dengan senjata api dan tangan mereka. Dan tiba-tiba,
tanpa sengaja senjata itu meletus dan mengenai Syefira. Gadis itu
berteriak kemudian jatuh kembali ke dalam bus, tergeletak tak
bernyawa.
“Syefira!
Tidaaaaak!!!” seru Foo.
Rima
juga menjerit melihat kejadian itu. Pistol itu kembali meletus dan
hampir mengenai gadis itu.
“Rima,
Cepat!” Foo yang sudah berada di luar mengulurkan tangannya dari
balik jendela yang pecah. Dengan cepat, Rima menerima uluran
tangannya dan Foo segera menariknya keluar.
“Ayo
cepat pergi!” mereka berdua segera menuruni bus, namun Rima lalu
teringat sesuatu.
“Ibu
dan anak itu! Bu Vina dan Nau! Kita tak bisa meninggalkan mereka!”
***
Sementara
itu di dalam bus yang terguling, api mulai muncul. Jerri masih
berusaha merebut pistol itu dari Mulia, namun tiba-tiba ...
“AAAAAARGH!”
para zombie lain menerkam dan berhasil mengigit tangannya.
Cengkeramannya terlepas dan dengan senyum puas, Mulia memutuskan
meninggalkannya.
“Kurang
ajar kau ...” pekik Jerri geram, “Kembali!!!”
***
“NAU!
BU VIRA!!!” teriak Rima dari atas bus. “DIMANA KALIAN?”
“Tolong
... tolong kami ...” terdengar seruan Vina dari bawah mereka.
Foo
segera memecahkan kaca di bawah mereka. Dari lubang itu, Vina segera
menaikkan anaknya ke tangan Foo. Pemuda itu segera meraih dan
menggendongnya.
“Bawalah
dia ke tempat yang aman, kumohon ...”
“Kau
juga harus keluar!” seru Rima, “Kami akan segera mengeluarkanmu
...”
“Tidak,
aku takkan bisa keluar melalui lubang sesempit itu. Kumohon,
berjanjilah kau akan menjaga anakku ...” ibu itu mulai menangis.
“Tidak!”
jerit Rima. Ia sudah tak sanggup lagi melihat orang lain mati di
hadapannya, “Kami akan membuat lubang yang lebih besar untuk
mengeluarkanmu!”
“Rima,
kita harus pergi dari sini!” teriak Foo dengan panik, “Ada api!”
Rima
menoleh dan melihat api mulai menjalar ke badan bus.
“Kumohon
jagalah dia ...” Vina sendiri tampaknya sudah pasrah dengan
nasibnya.
“Tidaaaak
...” Rima mulai menangis.
“Ayo
cepat pergi!” Foo segera menarik tangan Rima.
***
Jerri
berusaha melawan para zombie yang tengah berusaha memangsa dirinya.
Namun ia juga tahu, walaupun ia bisa lepas dari mereka, iapun lambat
laun akan berubah menjadi monster-monster itu.
“Paling
tidak ...” katanya sambil menatap Mulia yang berusaha memanjat
keluar dari bus yang terguling itu, “ ... aku takkan membiarkanmu
selamat dari sini ...”
Ia
segera meraih sebatang dinamit dan menyulutkannya.
***
Mulai
hanya menoleh ketika ia mendengar suara percikan ketika nyala api itu
mulai merambat di sumbu dinamit itu.
***
“Ayo
cepat pergi!” seru Foo sembari masih berusaha menarik tangan Rima.
***
Mulia
berusaha menggapai keluar. Hanya beberapa senti lagi dan ia akan
bebas.
***
Sumbu
itu mulai habis dan ....
“DUAAAAAAAAAAR!!!!”
BERSAMBUNG
Anjayyy si Mulia jeruk makan jeruk, gk cocok dgn namanya. Twist yg bkin sbel. Kyaknya endingnya si Mulia ini yg bakal brtahan smpe akhir. Biasanya gitu di pilem2. Wkwk
ReplyDeleteMemang kayul ini g mikir panjang --__-- tp kalo mikir panjang ceritanya g jadi
ReplyDeleteEmang bener ini semua salah yuli huh!
DeleteIjin share ceritanya ya bang
ReplyDelete