Dunia
tentu mengingat bagaimana Perang Dunia II berakhir pada Agustus 1945.
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah kedua kota
vitalnya, Hiroshima dan Nagasaki, hancur lebur oleh serangan bom atom
Amerika Serikat. Namun tahukah kalian, bahwa pada tanggal 19 Agustus
1945, militer AS sebenarnya berniat untuk menjatuhkan bom atom ketiga
ke Tokyo. Namun tentu rencana itu tak diejawantahkan karena Jepang
keburu takluk, “cukup” oleh dua bom nuklir yang mereka miliki.
Ini
membawa kita ke pertanyaan lain, apa yang terjadi dengan bom atom
ketiga yang tak jadi dipakai ini? Dimana dia kini?
Inti
dari bom atom tersebut awalnya dinamakan “Rufus”. Namun karena
tragedi naas yang menghantui bom atom ini, namanya-pun lebih dikenal
dengan nama “Demon Core” atau “Inti Iblis”. Mengapa mereka
menyematkan nama yang begitu mengerikan tersebut? Peristiwa tragis
apakah yang terjadi kala itu?
Dear
readers, simaklah Dark Case kali ini.
Laboratorium
Los Alamos di New Mexico menjadi kelahiran energi nuklir lewat
peneltian yang dilakukan militer Amerika Serikat kala itu untuk
memenangkan Perang Dunia II. Tiga bom atom dibuat, salah satunya
masihlah dalam bentuk inti plutonium berbentuk bola. “Demon Core”,
inti yang dimaksud itu merupakan massa subkritis Plutonium yang
dilingkupi sebuah bola metal seberat 6,2 kilogram dan diamater 8,9
cm. Namun jangan salah, inti sekecil itu dimaksudkan sebagai bahan
bakar bom atom berkekuatan mahadashyat yang rencananya kala itu akan
digunakan untuk membumihanguskan Tokyo.
Inti
plutonium harus dijaga dalam kondisi massa subkritis supaya tetap
aman. Bila massa plutonium tersebut menjadi “superkritis”, maka
akan terjadi reaksi berantai di dalam inti plutonium yang bisa
menghasilkan radiasi berbahaya. Sayang, sebuah kecelakaan kecil
menyebabkan inti plutonium itu menjadi superkritis dan memakan
korban, bahkan terjadi dua kali.
Dua korban keganasan sang "Inti Iblis" yakni Harry Daghlian (tengah kiri) dan Louis Slotin (tengah kanan) |
Seperti
gue singgung di awal, inti plutonium ini hendak digunakan oleh Sekutu
untuk membom Tokyo pada 19 Agustus 1945. Akan tetapi karena Jepang
keburu menyerah pada 15 Agustus, maka rencana tersebut pun
dibatalkan. Inti tersebut tidak jadi dikirimkan ke garda terdepan
kala itu dan tetap berada di Laboratorium Los Alamos. Pada 21 Agustus
1945, seorang fisikawan bernama Harry Daghlian tengah melakukan
eksperimen terhadap inti plutonium tersebut, ditemani seorang petugas
keamanan bernama Robert J. Hemmerly. Namun sayang, terjadi kecelakaan
hingga inti plutonium berubah menjadi superkritis sehingga
melancarkan radiasi mematikan .
Kejadian
itu berlangsung cepat karena Harry buru-buru memperbaikinya, namun
terlambat. Tubuhnya kala itu telah menerima radiasi neutron sebesar
200 rad dan radiasi sinar gamma sebesar 110 rad (sebagai catatan,
dosis radiasi paling aman adalah di bawah 25 rad). Iapun meninggal 25
hari kemudian karena “acute radiation syndrome”. Sang pengawalnya
kala itu berada di jarak cukup jauh sehingga dampaknya tak terasa
langsung. Namun 33 tahun setelah kejadian itu, Robert, sang tentara
tersebut akhirnya meninggal karena leukimia yang bisa hampir
dipastikan disebabkan oleh radiasi plutonium tersebut.
Rupanya
kematian Harry tak membuat para fisikawan di Los Alamos gentar.
Bahkan kecelakaan serupa kembali terjadi di tahun berikutnya. Pada 21
Mei 1946, seorang fisikawan bernama Louis Slotin menggelar demo di
depan tujuh personel lain, yang kemudian berujung bencana.
Sebenarnya
protokol tambahan sudah diterapkan untuk mencegah tragedi yang
menimpa Harry setahun sebelumnya terulang kembali. Kala itu, reflektor yang terbuat dari Berilium ditambahkan di inti tersebut
untuk memantulkan radiasi neutron. Akan tetapi, agar bisa berfungsi, reflektor dan inti tersebut harus benar-benar terpisah dan tak boleh
sama sekali bersentuhan. Ada alat khusus yang dirancang untuk
“mengganjal” reflektor tersebut. Sayang sekali, safety
protocol itu tak diindahkan oleh Louis Slotin.
Louis
Slotin sendiri dikenal sebagai seorang “koboi” di laboratorium
tersebut. Tak hanya karena trademark-nya yang senantiasa mengenakan
jeans biru dan sepatu boots ala koboi, namun juga karena perilakunya
yang “selengekan” dan kerap melanggar peraturan. Alih-alih
menggunakan alat yang sesuai dengan protokol keamanan, Louis lebih
memilih menggunakan sebuah obeng yang dipegang dengan tangannya
sendiri untuk mengganjal lempeng reflektor, di tengah ruangan
penuh penonton.
Gambaran apa yang terjadi pada eksperimen naas tersebut |
Enrico Fermi, seorang fisikawan terkenal (yang juga mencetuskan “Paradoks Fermi”) sempat geleng-geleng kepala melihat ulah “bengal” Louis tersebut, bahkan mengomentari bahwa ia akan “mati dalam setahun” jika terus mengindahkan protokol keamanan tersebut. Fisikawan lain, Richard Feynman, menyebut apa yang dilakukan Louis tersebut seperti “menggelitiki ekor naga yang sedang tidur” yang tentu saja, hanya akan berujung marabahaya ketika sang “naga” akhirnya bangun dan marah.
Ramalan
mereka terbukti mengejawantah menjadi nyata.
Pada 21
Mei 1946, Louis tengah memamerkan kemampuannya di depan tujuh orang
lain, meliputi pihak militer, ilmuwan, hingga wartawan. Namun saat
tengah bekerja, obeng di tangannya terselip hingga inti dan reflektor itu
menyatu. Akibatnya, semburan cahaya biru diikuti pancaran panas
segera muncul dan merambat di tangan Louis. Louis dengan segera
mengembalikan kondisi reflektor itu seperti semua, namun terlambat.
Walaupun kejadian itu mungkin hanya terjadi selama setengah detik,
radiasi dengan kadar yang membahayakan sudah telanjur menerpa
tubuhnya. Kala itu ia menerima dosis 1.000 rad radiasi neutron dan
114 rad radiasi gamma, jauh lebih besar dari apa yang diterima Harry
setahun sebelumnya. Akibatnya, ajalpun menjemput Louis lebih cepat.
Ia meninggal 9 hari kemudian karena keracunan radiasi akut.
Tak
hanya Louis, orang-orang disekitarnya-pun ikut menerima “azab”
tersebut. Tercatat seorang ilmuwan bernama Marion Edward Cieslicki
kemudian meninggal 19 tahun kemudian karena leukimia.
Akibat
dua tragedi yang terjadi berurutan tersebut, inti plutonium yang
tadinya bernama “Rufus” kemudian lebih dikenal dengan nama “Demon
Core” atau “Inti Iblis”. Semenjak saat itu, tak ada satupun
yang berani mendekati sang iblis tersebut. Ilmuwan yang bekerja di
sana kemudian mengembangkan mesin yang dikendalikan dengan remote
control untuk memegang dan ataupun bereksperimen dengan inti
tersebut. Tak hanya itu, karena dianggap terlalu berbahaya, akhirnya
militer AS memutuskan untuk melelehkan inti tersebut dan mendaur
ulangnya untuk digunakan bersama inti lain.
“Inti
Iblis” tersebut bersama dengan dua bom atom yang diledakkan di
Hiroshima dan Nagasaki merupakan bagian dari “Manhattan Project”,
sebuah proyek rahasia militer AS untuk menyelidiki potensi energi
nuklir sebagai senjata pemusnah massal. Itulah kala pertama energi
nuklir dipergunakan dan bisa dibilang, pengetahuan tentang nuklir
hingga saat ini memang masihlah kontroversial. Nuklir memang
bermanfaat menghasilkan energi listrik dan sudah biasa dipergunakan
di negara-negara maju. Namun energi nuklir juga memiliki bahayanya
sendiri karena bisa memusnahkan kehidupan dalam sekejab. Namun tetap,
keputusan apakah energi nuklir akan menjadi malaikat ataukah iblis,
tetap berada di tangan umat manusia.
SUMBER: WIKIPEDIA
Mengejawantahkan artinya apa bang Dave?
ReplyDeleteMenjadikan nyata 😁
Deletejadi ingat lagunya king crimson epitath
ReplyDelete