Hmm ... dia punya kesadaran nggak ya? |
Ok
guys, selamat udah betah berpusing-pusing ria “menikmati” tiga
postingan gue terdahulu tentang “Mekanika Kuantum”. Mungkin ada
di antara kalian yang bertanya, Bang, partikel itu kan bentuknya
bola, yekan yekan? Terus dia juga punya kesadaran, yekan yekan? Terus
semisal gue ngobrol ama bola tenis, kira-kira dia bakalan ngerti
nggak ya? Atau mungkin kalian tergelitik pengen mencoba eksperimen
celah ganda di Episode 1A tadi, tapi nggak punya laser buat hasilin
foton. Alhasil, kita pake bola tenis dilempar-lempar ke tembok dan
kita bikin dua bolongan di tembok, kira-kira hasilnya pola
interferensi atau pola partikel?
Well,
nggak semudah itu. Percobaan “celah ganda” hanya bisa dilakukan
pada partikel, tapi nggak bisa untuk objek berukuran gede, kayak bola
tenis. Alasannya apa? Gue jawab sekarang, karena de Broglie
wavelength-nya beda. Apaan itu anjir??? Sabar, untuk memahaminya kita
harus memahami tentang apa yang disebut sebagai “Interpretasi
Copenhagen”, sebuah solusi yang ditawarkan dua ilmuwan untuk
menjawab apa yang sebenarnya terjadi pada percobaan “celah ganda”.
Lagi-lagi,
untuk membaca artikel ini gue harus meminta kalian berpikiran
terbuka, sebab apa yang akan gue bahas (seperti semua hal di dalam
Mekanika Kuantum) akan sangatlah aneh.
TEORI
“KONSPIRASI” DARI COPENHAGEN
Di kota Copenhagen yang kalem ini terpercahkanlah salah satu misteri dunia kuantum |
Antara
tahun 1925-1927, dua orang fisikawan di Universitas Copenhagen,
Denmark bernama Niels Bohr dan asistennya, Werner Heisenberg,
berusaha memecahkan rahasia di balik Mekanika Kuantum. Walaupun
terlihat bekerja sama, namun keduanya sebenarnya sering bersilang
pendapat. Bahkan, suatu saat Bohr pernah kesal dan menolak berbicara
dengan Heisenberg karena tak setuju akan pendapatnya yang dinilainya
terlalu subjektif. Tapi yang jelas, keduanya kemudian bersatu padu
merumuskan apa yang disebut dengan “Interpretasi Copenhagen”
untuk menjelaskan hasil dari eksperimen “celah ganda”.
Kita
ingat kembali, dalam eksperimen “celah ganda”. Cahaya berperilaku
seperti gelombang apabila tidak diamati. Namun ketika diamati, cahaya
akan berperilaku seperti partikel. Mereka berpendapat bahwa
penyebabnya adalah demikian: suatu sistem fisika (dalam hal ini
foton, yakni partikel cahaya) tidak memiliki sifat yang pasti sebelum
diukur. Mekanika Kuantum hanya bisa memprediksi atau menebak
kemungkinannya (“probabilitas-nya”). Barulah ketika diamati
(dalam bentuk pengukuran), probabilitas itu “runtuh” menjadi
hanya satu nilai yang didapatkan dari hasil pengukuran. Peristiwa ini
disebut sebagai “runtuhnya fungsi gelombang” atau “wave
function collapse”.
Pusing?
Akan gue gambarkan demikian.
Kita
ambil sebuah kotak yang di dalamnya berisi sebuah partikel cahaya
atau foton. Kita nggak tahu dimana letak partikel ini karena ia
terbang di dalam kotak. Maka menurut Interpretasi Copenhagen, di
dalam kotak ada berbagai kemungkinan foton, yang ditandai dengan bola
dengan garis putus-putus. Posisi-posisi ini (karena banyak) maka
disebut “superposisi”. Kita tahu, dari Part 1, bahwa ketika foton
berada dalam jumlah banyak, maka ia akan berperilaku seperti
gelombang. Maka di dalam kotak tertutup itu, foton akan berperilaku
seperti gelombang.
Namun
ketika kotak itu dibuka, atau paling tidak diamati (gue kasi simbol
“mata” di dalam), maka tiba-tiba seluruh fungsi gelombang di
dalam kotak itu “runtuh”. Semua kemungkinan partikelnya (yang
ditandai dengan bola bergaris putus-putus) tiba-tiba lenyap dan
meninggalkan hanya satu foton dengan letak yang sudah pasti (bola
dengan garis tebal). Foton, karena “runtuhnya fungsi gelombang”
itu, kini berada dalam status partikel dan harus berperilaku seperti
partikel.
Namun
penjelasan ini tak masuk akal. Bagi otak para fisikawan, mendengar
teori ini bak mendengar teori konspirasi yang tak bisa dinalar.
Semisal seperti ilmuwan NASA yang mendengar bahwa pendaratan di Bulan
adalah hoax, atau seorang dokter yang mendengar bahwa vaksin bisa
menyebabkan autisme (konspirasi anti-vaxxer), atau astronot yang
mendengar teori “Bumi Datar”, atau survivor peristiwa penembakan
di Las Vegas yang mendengar bahwa penembakan itu palsu dan
menggunakan “crisis actor”.
Kalo
kalian pengen tahu betapa tidak masuk akalnya Interpretasi
Copenhagen, seorang ilmuwan lain bernama Erwin Schrödinger mengajukan
usulan percobaan yang melibatkan seekor kucing.
SCHRÖDINGER'S CAT
Mungkin perasaan kucing ini nggak enak karena akan digunakan dalam eksperimen Schrodinger |
Erwin Schrödinger berpendapat demikian. Taruhlah seekor kucing di dalam
sebuah kotak dengan peralatan rumit melibatkan bahan radioaktif,
Geiger Counter, palu, dan botol kaca berisi sianida. Bahan radioaktif
tersebut memiliki 50% kemungkinan untuk mengeluarkan radiasi dan 50%
kemungkinan untuk tidak mengeluarkan radiasi.
Jika
bahan radioaktif tersebut mengeluarkan radiasi, maka alat Geiger
Counter akan menyala (karena alat ini berfungsi mengukur kadar
radiasi) yang kemudian memicu sebuah palu untuk memecahkan botol kaca
berisi sianida. Akibatnya, kucing mati. Namun ada 50% kemungkinan
bahwa bahan radioaktif itu tidak menghasilkan radiasi, alat Geiger
Counter tidak menyala, palu tidak memecahkan botol kaca berisi
sianida, dan si kucingpun selamat.
Jika
kita menerapkan Interpretasi Copenhagen dalam kasus ini, maka sebelum
kotak itu dibuka dan diamati yang terjadi adalah: di dalam kotak itu
terdapat dua kucing, satu hidup dan satu mati (sebab hanya ada dua
kemungkinan, antara kucing itu mati atau hidup). Begitu kotak itu
dibuka, “fungsi gelombang” kucing itu akan runtuh dan
meninggalkan hanya satu “posisi”, yakni semisal kucing itu mati.
Salah
satu variasi eksperimen tersebut disebut dengan “Quantum Suicide”
dimana alih-alih menggunakan kucing, kita menggunakan diri kita
sendiri, dikurung di dalam kotak dengan alat radioaktif tersebut,
dengan kemungkinan 50% kita selamat dan 50% kita mati.
Tapi
tentu, tanpa menaruh kucing di dalam kotak ataupun mengorbankan nyawa
kita sendiri untuk eksperimen itu, kita pasti tahu bahwa hal tersebut
sangatlah tidak mungkin. Mustahil jika kita menaruh diri kita di
kotak “bunuh diri” itu, tiba-tiba kita akan melihat diri kita ada
dua di dalam kotak, satu masih hidup dan satu sudah mati. Mustahil
pula di dalam kotak Schrödinger, kucing tersebut menjelma menjadi
dua, satu hidup dan satu mati.
Eksperimen kucing Schrödinger |
Ini
menunjukkan bahwa Interpretasi Copenhagen itu salah dong, seperti
sebuah teori konspirasi asal-asalan? Bahkan ilmuwan sekelas Albert
Einstein pun menolak interpretasi tersebut. Einstein, yang seorang
Yahudi, amatlah tidak nyaman dengan konsep “probabilitas” yang
ditawarkan oleh Bohr dan Heinsenberg dan menyatakan bahwa “Tuhan
tak bermain dadu.”
Namun, Einstein tentu menyanggah teori tersebut dengan ilmiah dan saintifik.
Ia menyebut Interpretasi Copenhagen terdengar “keliru” (seperti
dibuktikan percobaan “Kucing Schrodinger”) karena adanya “hidden
variable” atau “variabel tersembunyi” yang masih belum
ditemukan. Dengan kata lain, ada yang “kurang” dari teori Bohr
dan Heinsenberg, yang menyebabkan interpretasi mereka bisa diterapkan
pada partikel, tapi tak bisa diterapkan pada kucing.
Dan
variabel tersembunyi itu bernama de Broglie wavelength.
APA
ITU “VARIABEL TERSEMBUNYI”?
Sebelum
gue jelaskan apa itu de Broglie wavelength (atau terjemahannya:
“panjang gelombang de Broglie”), gue jelaskan dulu apa itu
“variabel” dan “hidden variable (variabel tersembunyi)”.
Katakanlah lu pengen coba-coba menanam cabe di pot (gara-gara gabut
parah pas karantina), apalagi harga cabe pas naik. Akhirnya buat
permulaan, lu beli empat pot, tanah satu karung, dan bibit cabe. Lalu
penjualnya bilang, “Nggak beli pupuk sekalian? Kalo ada pupuk nanti
cabenya lebih subur lho”. Lu nggak niat beli pupuk sih tapi apa
boleh buat, lu beli buat coba-coba.
Sesampainya
di rumah, lu mengambil dua pot, A dan B (keduanya berukuran sama
persis) dan lu isi tanah (tanahnya bisa dianggap sama karena berasal
dari satu sumber, yakni satu karung). Lalu lu kasi biji cabe yang
lagi-lagi sama (berasal dari satu tanaman cabe yang sama, kata
penjualnya). Jadi sama sekali nggak ada variasi di pot, tanah, sama
biji cabe. Lalu pot A nggak lu kasi pupuk dan pot B lu kasi pupuk. Lu
biarin tanaman itu tumbuh, tapi nggak pernah lupa menyiraminya tiap
jam 3 sore dengan jumlah air yang sama di tiap pot. Hasilnya setelah
beberapa minggu, tanaman di pot B ternyata lebih tinggi dan subur,
sedangkan di pot A biasa-biasa aja.
Kenapa
hasilnya begitu? Pasti lu jawab karena di pot B lu kasi pupuk, dan
pot A enggak. Nah, itu artinya “pupuk” merupakan “variabel”
yang menyebabkan hasil di pot A dan pot B berbeda.
Terus
lu ingat lu masih punya dua pot lagi, C dan D. Lu sekarang isi kedua
pot itu dengan tanah, pupuk, dan biji cabe, semuanya dalam jumlah
yang sama. Lu juga sirami tiap jam 3 sore dengan jumlah air yang
sama. Tapi sekarang ada yang aneh. Tanaman di pot D lebih subur
ketimbang C. Lho kok aneh? Padahal pot C dan D isinya sama persis,
harusnya tumbuhnya sama-sama subur dong? Apa yang membuatnya berbeda?
Akhirnya
karena penasaran, lu coba gali pot D (yang subur) dan menemukan hasil
mengejutkan. Ada cacing tanah ternyata di sana. Ternyata bagian tanah
yang lu masukkan ke pot D secara kebetulan mengandung telur cacing,
sedangkan di pot C tidak. Adanya cacing tanah itu (karena membuat
terowongan di dalam tanah) akhirnya membuat tanah menjadi gembur dan
oksigen bisa masuk, sehingga membuat tanaman di D menjadi lebih
subur. Nah di sini berarti “cacing tanah” menjadi “hidden
variable” atau “variable tersembunyi”, yakni sesuatu yang
menyebabkan hasil di pot C dan D berbeda. Akan tetapi saat itu, lu
belum tahu apa yang menyebabkan perbedaan itu, sampai lu
menyelidikinya.
Nah
Einstein berpendapat di Interpretasi Copenhagen, ada variabel
tersembunyi yang Bohr dan Heinsenberg belum tahu dan variabel itu
menyebabkan kenapa interpretasi tersebut nggak akan berhasil jika
diterapkan pada kucing Schrödinger, semisal. Variabel tersembunyi itu
ternyata adalah de Broglie wavelenght.
DE
BROGLIE WAVELENGTH
Sebenarnya
pada 1924, seorang ilmuwan Prancis bernama Louis de Broglie sudah
mengajukan hipotesisnya tentang panjang gelombang de Broglie, namun
sayang Bohr baru mengetahuinya sekitar tahun 1926-an. Gue nggak akan
menjelaskan panjang lebar tentang apa itu de Broglie wavelenght
karena isinya rumus dan persamaan matematik, namun yang jelas de
Broglie wavelenght berhubungan dengan probabilitas sebuah benda
ditemukan dalam kondisi tertentu. Semakin besar sebuah objek, de
Broglie wavelenght-nya akan semakin kecil dan semakin kecil sebuah
objek, de Broglie wavelenght-nya akan semakin besar.
Lagi-lagi
kita harus memahaminya melalui perumpamaan.
Sekarang
bayangin kamar lu. Buat yang anak kos ya bayangin aja kamar kos
kalian. Kalo lu anak rumahan ya bayangin aja kamar tidur lu di rumah.
Lu mau pergi keluar (sebenarnya nggak gue saranin ya soalnya kan ini
lagi musim Covid-19), mungkin karena alasan mendesak seperti cari
makan buat buka puasa. Nah lu kemudian mengunci kamar lu itu dan
pergi. Eh, di tengah jalan lu baru ingat kalo kucing lu (anggap aja
lu punya kucing) ternyata masih ada di kamar.
Nah
coba bayangkan kemungkinan di mana kucing itu berada? Mungkin kalian
akan membayangkan, mungkin si kucing ada di atas kasur, di atas
lemari, di atas meja, di atas kursi, di bawah tempat tidur, di atas
lantai, dan sebagainya. Bahkan jika si kucing ada di atas kasur pun
kemungkinannya ada banyak, bisa di ujung kasur, di atas bantal, di
tengah, di pinggir, dan lain-lain. Jadi ada banyak kemungkinan kan si
kucing ada dimana?
Sekarang
ganti kucing itu dengan gajah. Apa kemungkinannya dimana si gajah ini
berada masih sama seperti si kucing? Tentu tidak. Jika tadi si kucing
bisa berada di bawah meja, si gajah nggak akan mungkin ada di sana.
Jika tadi si kucing bisa berada di atas lemari, si gajah nggak
mungkin nyasar ke sana. Yang mungkin, si gajah ada di atas lantai
atau di atas kasur (dengan catatan kasurnya langsung jebol). Apalagi
jika kamar kos lu sempit, bahkan seukuran ama si gajah, cuma ada satu
kemungkinan dimana si gajah berada, yakni memenuhi kamar itu sendiri.
Kita
mengatakan, panjang gelombang de Broglie kucing lebih tinggi daripada
gajah, karena kemungkinan posisinya di dalam kamar lebih banyak.
Sekarang
coba si kucing dengan bola ping pong. Tentu karena ukuran bola ping
pong lebih kecil dari si kucing, kemungkinan posisinya kini makin
banyak. Coba ganti lagi bola ping pong-nya ama butiran debu. Lah
lebih banyak lagi dong? Debu bisa ada dimana-mana. Terakhir, coba
ganti butiran debu itu dengan satu butir partikel. Waduh,
kemungkinannya hampir tak terhingga, karena partikel adalah penyusun
terkecil di alam semesta ini. Nah, maka kita bisa mengkalkulasi bahwa
panjang gelombang de Broglie partikel (bisa elektron, proton, atau
foton) itu adalah yang terbesar di antara semuanya.
Teori
kuantum, termasuk di antaranya “dualisme cahaya” (percobaan
“celah ganda tadi, dimana cahaya bisa menjadi gelombang atau
partikel tergantung pengamatan) hanya berlaku bagi benda dengan
panjang gelombang de Broglie yang tinggi. Kita misalkan aja deh
pajak. Jika penghasilan lu tinggi (katakanlah di atas 5 juta per
bulan), maka otomatis lu dikenakan pajak. Tapi jika penghasilan lu
masih rendah (katakanlah masih 1 juta per bulan), ya ngapain lu bayar
pajak, yekan? Kan nggak diharusin sama pemerintah?
Sama
logikanya dengan Interpretasi Copenhagen yang berhasil
“disempurnakan” dengan penemuan de Broglie wavelength ini. Jika
panjang gelombang de Broglie lu besar (semisal lu adalah partikel),
ya Interpretasi Copenhagen bakal berlaku. Kalo panjang gelombang de
Broglie lu kecil, ya ngapain lu aneh-aneh pake gaya-gayaan nurut
teori Kuantum segala?
Tenang, dia nggak akan berubah jadi pola interferensi kalo lewat celah-celah sempit dan pastinya, nggak bisa "time traveling", tapi tetap, dia punya kesadaran |
Inilah
sebabnya di pengantar artikel tadi gue menyinggung, jika foton di
percobaan celah ganda diganti bola tenis semisal, apakah masih akan
ada pola interferensi? Tentu tidak. Karena bola tenis berukuran amat
besar (dari sudut pandang “teori kuantum” yang cuman ngurusin
partikel) sehingga panjang gelombang de Broglie-nya kecil, akibatnya
dia nggak akan nurut Interpretasi Copenhagen. Itu sebabnya pula
percobaan Kucing Schrödinger takkan pernah berhasil, karena kucing
memiliki panjang gelombang de Broglie teramat kecil sehingga nggak
akan nurut aturan-aturan teori Kuantum.
Bagaimana
dengan bola tenis punya kesadaran? Ya kagak lah. Yang mungkin adalah,
tiap partikel elektron di dalam bola tenis itu-lah yang “mungkin”
memiliki kesadaran. Bola tenisnya mah kagak, mau curhat selama apapun
ampe dunia kiamat di depan bola tenis juga dia nggak bakal ngerti
perasaan lu. Jangankan bola tenis, orang yang udah kita kasi
kode-kode aja tetep nggak ngerti perasaan kita (lah, kenapa nyambung
ke sini yak?).
Oke,
emang nggak banyak sih konsep metafisika yang gue bahas di sini.
Tujuan postingan ini agar kalian paham aja tentang percobaan “celah
ganda” dan kenapa percobaan itu nggak berlaku buat benda berukuran
besar. Tapi next episode gue akan bahas sifat-sifat aneh partikel
lainnya. Lah Bang, emang ada yang lebih aneh ketimbang partikel punya
kesadaran dan bisa mundurin waktu. Oya ada dong. Partikel bisa
menjadi “hantu” bahkan bisa teleportasi. Keren kan?
bang kalo bola tenis gak punya kesadaran, kenapa kucing punya? kan ukuran mereka sama-sama besar.
ReplyDeleteBang, referensinya apa sih? berbagi dong. Entah itu buku atau apa referensinya.
Ya beda lah kan kucing makhluk hidup ?
DeleteDamn, gw takjub dengan pemahaman fisis bang Dave. Padahal bukan dari latar belakang Fisika tapi menurut gw komunikasi saintifik nya lebih keren daripada dosen gw, terlalu matematis wkwkwk. Salut gw bang
ReplyDeleteKasian kucingnya scrodinger. Denger2 mati gak bang si kucing?
ReplyDeleteSoal yg kucing, iya bener kucing berukuran besar jadi wavelength nya kecil. Tp kan unsur radioaktif tadi bisa dibilang ukurannya kecil sehingga wavelength cukup besar dan 'superposisi' 50-50 kemungkinan radiasi nya tetep berlaku. Otomatis ngefek juga dong ke hidup si kucing
ReplyDeleteJadi emg kucing ngga superposisi Karena wavelength kecil tp karena dipengaruhi chance racun ya ngikut Chance nya
Gmn tu bang
Itu kan satu partikel aja aja sedangkan yg namanya radiasi pasti melibatkan jutaan partikel. Anggap aja gini, kalo kita pake satu partikel foton kita bisa bisa mengulang hasil hasil percobaan celah ganda (ada superposisi), tapi jika kita pake cahaya senter semisal (kumpulan foton) maka hasilnya akan selalu berbentuk gelombang krn mrk bisa bisa dianggap satu kesatuan which is gelombang de de broglie nya gede. Begitu sih menurut gue, CMIIW
Delete