Mulia
merasakan panas yang amat dahsyat menyengat tubuhnya. Ia terbaring di
tanah. Dilihatnya tangannya telah gosong. Bau mayat terbakar
menyeruak di udara, membuatnya muak. Namun kemudian ia sadar, mungkin
saja bau itu adalah aroma kulitnya sendiri yang terbakar. Dilihatnya
refleksi wajahnya di kaca jendela yang masih tersisa. Mukanya telah
hancur.
Namun
tak apa.
Yang
penting ia masih hidup, tak berubah menjadi makhluk menyedihkan
seperti mereka.
Ia
hendak bangkit, namun kemudian ia jatuh tertelungkup lagi di tanah.
Ada yang
menggenggam erat kakinya.
“Jerri?
Apa ia masih hidup?” pikirnya, ia menoleh dan terkesiap.
Di
antara roda dan badan bus, terdapat badan zombie yang tergencet.
Tubuhnya melingkar, terlindas ban, bahkan hampir menyatu dengannya.
Ia terus meraung dengan tengkoraknya yang tinggal separuh. Namun
Mulia masih mengenalinya.
Ia
adalah Raga, sang kernet.
“Selama
ini ia terlindas ban dan tubuhnya menempel di sana, terus bersama
kami sepanjang perjalanan?” pikirnya ngeri.
Zombie
itu menarik tubuhnya dan menggigit kakinya.
“Tidak!”
raung Mulia, “TIDAAAAAAK!!!”
***
Tubuh
Rima terjerembap ke tanah ketika bus itu meledak. Gadis itu segera
bangun, menatap ledakan yang memangsa bus itu dari kejauhan.
Sementara itu Foo masih tiarap, melindungi Nau kecil dari efek
ledakan itu.
Ia
menangis menyadari hanya mereka yang selamat dari bus ke Magelang
itu.
“Rima,
cepat! Kita harus pergi ke balik barikade itu!” Foo bangun, masih
menggendong anak itu.
“Sudah
terlambat ...” dengan berat, Rima mengangkat tangannya dan menunjuk
ke arah barikade yang telah rusak itu.
Tumpukan
kayu dan jejeran karung pasir yang tadi memblokade satu-satunya jalan
ke Magelang itu kini telah hancur karena tabrakan dan ledakan tadi.
Para tentaranya juga telah tewas. Para zombie dari dalam bus
memanfaatkannya untuk menggeliat masuk ke baliknya.
“Ce
... celaka ...” bisik Foo tak percaya.
“Kita
takkan bisa ke Magelang lagi.”
***
Rima,
Foo, dan Nau berjalan cukup jauh, entah berapa kilometer yang telah
mereka tempuh. Hutan yang mereka jelajahi terasa semakin rimbun,
namun justru itulah yang membuat mereka merasa aman. Semakin mereka
masuk ke tempat yang jarang dihuni manusia, semakin mereka aman.
“Hari
semakin gelap. Kurasa kita harus beristirahat.” saran Rima.
“Lihat,
apa itu?” Foo menunjuk ke arah bangunan tertutup terpal. Rima
melihat batu-batuan berukir dan tersadar.
“Astaga,
itu candi yang hendak kutuju!”
“Apa?
Candi yang baru ditemukan itu?”
Mereka
bertiga segera menuju ke sana. Ada sebuah tangga yang menuju ke
bawah.
“Ternyata
benar, candi ini memang dibangun di bawah tanah.”
“Hah,
kenapa?”
“Ada
dugaan candi ini sebenarnya adalah makam. Namun itu agak sukar
dipercaya, mengingat umumnya jenazah dalam agama Hindu dan Buddha
selazimnya kremasi.”
Mereka
bertiga menuruni tangga itu.
“Aku
ikut berduka cita atas teman-teman kuliahmu, Foo.” ucap Rima
sembari menuruni anak tangga.
“Mereka
bukan teman kuliahku,” balas Foo, “Aku baru bertemu mereka hari
ini dan bergabung karena tujuan kami sama.”
Tiba-tiba
langkah Rima terhenti di ketika menatap sebuah relief.
“I ...
ini mustahil ...”
“Ada
apa?”
“Simbol
manusia bersayap ini adalah relief Faravahar.”
“Simbol
dari agama Zoroaster.”
Rima
menoleh ke arahnya, “Bagaimana kau tahu?”
“Kan
sudah kubilang aku juga suka sejarah.”
“Tapi
ini tak masuk akal. Bagaimana mungkin ukiran Zoroaster dari peradaban
Mesopotamia kuno bisa sampai di sini?”
“Kurasa
itu tak aneh. Bangsa Indonesia sudah terlibat perdagangan sejak
ratusan bahkan ribuan tahun lalu kan? Bukan mustahil kebudayaan kita
bersentuhan dengan kebudayaan Timur Tengah. Mungkin seperti kau
bilang tadi, ini makam seorang penganut Zoroaster.”
“Tapi
dalam agama Zoroaster, jenazah tidak dikuburkan, tapi dibiarkan agar
dimakan burung pemakan bangkai. Dan relief berikutnya ... ini seperti
... upacara pembakaran mayat ...”
“Seperti
Ngaben?”
“Kurasa
begitu. Masyarakat Hindu-Buddha memang membakar jenazah. Namun di
sini diceritakan mereka membakar jenazah para pedagang dari luar
Nusantara ... bisa dilihat dari busana dan wajah mereka yang tak
lazim. Mereka membakarnya karena menularkan penyakit misterius ke
masyarakat ... namun ...”
“Itu
tak berhasil. Setelah dibakar, mereka masih bangun kembali ...”
bisik Foo takjub, “Wabah zombie ini, apakah artinya wabah ini
pernah terjadi di sini pada masa lampau? Apa itu yang menyebabkan
para penduduknya meninggalkan Borobudur?”
Rima
menoleh ke arah pemuda itu. Bagaimana ia bisa membaca relief-relief
ini secara mapradaksina atau searah jarum jam, seperti relief yang
ada di Borobudur?
Gadis
itu kemudian menatap senjata yang ia pegang. Selama ini ia salah
menduga, pemuda itu tak satu kampus dengan Bima dan yang lain. Selain
itu, ia ingat isi tas yang dibawa pria misterius itu ... ada dua
genggam senjata, satu pistol dan satu senapan.
Kenapa
ia membutuhkan dua senjata jika ia hanya satu orang saja?
Kecuali
jika ...
Kecuali
jika ia tak beraksi sendirian.
“Foo
...” tanya gadis itu dengan ragu, “Darimana kau belajar
menembak?"
“Sudah
kubilang,” ia masih menatap relief-relief itu. “Aku atlet
menembak.”
Oh
begitu,” Rima tampak ragu, “Apa nama persatuan atlit menembak di
Indonesia?”
Foo
balik menatapnya, “Kenapa kau menanyakannya?”
Perlahan
Rima menggapai Nau dan bersiap lari ke pintu keluar, namun Foo keburu
menangkapnya.
“Mau
kemana, Rima? Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba kelihatan ketakutan
begitu?”
“Bom
itu ... pria itu tidak hendak melancarkan serangannya sendirian. Ia
punya rekan, yakni kau!” Rima berusaha memberontak, “Kalian
teroris! Kalian berniat mengebom Candi Borobudur!”
“Demi
tujuan yang baik!” serunya, “Dunia harus tahu! Selama ini mereka
mempercayai tuhan yang tidak ada. Namun aku bisa membuktikan tuhan
yang sesungguhnya! Mereka sudah turun ke sini ribuan tahun lalu dan
membangun candi itu! Para alien!”
“Turangga
Seta!” Rima akhirnya tersadar, “Kau anggota Turangga Seta!”
“Hanya
dengan meledakkannya, kita bisa menyingkapkan UFO yang ada di
dasarnya! Kenapa kau tidak mau juga mengerti!” Foo mencengkeran
tangannya makin kuat.
“Apa
kau tak berpikir berapa banyak turis yang akan meninggal jika kau
melakukannya?” jerit Rima.
“Tapi
aku harus melakukannya, Rima! Hanya itu satu-satunya cara agar dunia
mau mendengarkan kami! Apa kau tahu rasanya, Rima ... Apa kau tahu
rasanya dianggap gila dan dijauhi semua orang?!”
“NAU,
CEPAT LARI! LARI!” jerit Rima. Anak itu mengikuti perintah Rima dan
segera berlari ke atas, melewati Foo. Pemuda itu berusaha
menangkapnya juga, namun gagal. Melihat perhatian pemuda itu
terpecah, Rima segera mengambil kesempatan itu dan menendang kakinya.
“AAAARGH!”
Foo yang kesakitan melepaskan cengkeramannya dan Rima segera lari
menyusul Nau keluar.
“Berhenti!”
Foo berusaha menembakkan senjatanya, namun gadis itu keburu keluar.
Dari atas terdengar Rima berusaha menggelindingkan batu untuk menutup
satu-satunya jalan keluar dari lubang itu.
“TIDAAAAAK!!!”
seru Foo. Namun terlambat. Lubang candi itu telah tertutup.
“Sial!”
Foo menyalakan koreknya berharap ia menemukan jalan lain untuk pergi
dari tempat itu. Namun yang terlihat hanyalah relief-relief di
dinding. Di sana terlihat upacara pemakaman, dimana para sesepuh desa
dan para biksu mengikat mayat-mayat yang tak mau mati itu dengan
perban linen, kemudian memasukkan ke bangunan candi ini, lalu
menyegelnya.
“Tunggu
... apa mungkin ...” pemuda itu baru tersadar, “Apa mungkin wabah
ini menyebar karena candi ini dibuka ...”
Tiba-tiba
terdengar suara dari belakangnya. Pemuda itu langsung berbalik.
“Siapa
itu?!” seru Foo ketakutan.
Pemuda
itu langsung mengernyit begitu melihat sosok berperban berjalan ke
arah dengan langkah sempoyongan ...
...
berusaha menggapainya.
“Ti
... tidaaaaaak ...”
TAMAT
Ada Part 2 nya ta?
ReplyDeletePlot twist !
ReplyDeleteGk ngira kalau Foo itu anggota Turangga seta :( kukira mereka berdua (rima & foo) bakal fall in love terus nyari tempat yang aman dari zombie bareng Nau //dasar otak roman picisan.
Eeee apakah bakal ada S2 nya 🌚xD
Keren banget bang.
ReplyDeleteSeandainya ada tombol like
ReplyDelete