Kebetulan
sekali salah satu member grup WA MBP (grup Line MBP sekarang nggak
jalan karena gue udah uninstall Line) bertanya mengenai time travel.
Mungkinkah kita melakukan time travel? Mungkin kalian pernah dengar
tentang John Titor yang mengaku sebagai time traveler, tapi
kebanyakan berita yang beredar tentang bukti time travel biasanya
merupakan hoax. Kita saat ini memang belum bisa membangun mesin
waktu, namun bagaimana dengan di masa depan? Apakah suatu saat kelak
nanti perjalanan waktu akan menjadi hal yang lumrah?
Untuk
menjawabnya, gue berpaling bukan ke hal-hal klenik atau supranatural
(pake ilmu terawang Roy Kiyoshi semisal), namun ke dunia sains,
terutama fisika (seperti postingan-postingan gue terdahulu tentang
alien dan Multiverse). Di artikel ini (dan beberapa sambungannya)
kita akan melihat bukti adanya telepati, teleportasi, hingga
perjalanan waktu, semuanya dirangkum dalam sebuah cabang ilmu fisika
yang disebut: MEKANIKA KUANTUM. Tema itu (termasuk 'time traveling')
akan meliputi tujuh artikel.
Sebagai
pengantar, gue pengen flashback. Pada saat SMA, hidup gue berubah
gara-gara membaca sebuah novel. Sejak SMP gue memang hobi banget baca
novel detektif, semacam Agatha Christie. Bahkan pas gue pertama kali
mendapat uang hasil kerja (jadi staf majalah sekolah), hal pertama
yang gue beli adalah novel Sherlock Holmes. Tapi hobi gue membaca
“semata buat hiburan” berubah ketika gue membaca sebuah novel
yang mengobrak-abrik pemahaman gue tentang dunia ini.
Novel
itu bernama “Supernova”
Saat itu
dunia gue benar-benar dijungkirbalikkan, bagaimana sebuah novel bisa
begitu “pop” dan menghibur, namun juga bisa begitu filosofis dan
cerdas. Novel itu benar-benar menginspirasi hingga saat ini,
cita-cita terbesar gue adalah menjadi novelis sekelas Dewi “Dee”
Lestari. Bisa dibilang, gue nggak akan pernah menulis jika saja gue nggak pernah membaca "Supernova". Salah satu yang paling gue ingat dibahas dalam novel itu
adalah tentang Mekanika Kuantum (Quantum Mechanics).
PENGERTIAN
“QUANTUM”
Apa itu
Mekanika Kuantum? Gampangannya, Mekanika Kuantum adalah cabang ilmu
fisika yang mempelajari hal-hal yang teramat kecil hingga tak bisa
dilihat dengan mata. Mekanika kuantum mempelajari tentang perilaku
partikel yang kasat mata. Tanpa Mekanika Kuantum kalian nggak akan
bisa lho bisa nge-game atau nonton Netflix. Lho kok bisa? Karena
semua peralatan elektronik yang kalian pakai, mulai dari layar LCD,
komputer, hingga smartphone semuanya bisa diciptakan melalui Mekanika
Kuantum.
Kenapa
disebut “kuantum”? Gue akan membahasnya dengan mengambil contoh:
cahaya. Ilmuwan zaman dahulu (Newton, Maxwell, dsb) menganggap cahaya
adalah sebuah gelombang. Kita pelajari dulu apa pengertian gelombang.
Jika kalian menjatuhkan sebuah batu ke dalam kolam yang tenang, maka
apa yang terjadi? Akan terbentuk riak bukan? Riak merupakan bukti
adanya gelombang.
Gelombang riak di sebuah danau |
SUMBER GAMBAR
Gelombang
memiliki perilaku unik. Semisal jika melewatkan gelombang ke sebuah
celah kecil (kita menyebutnya “single slit” atau “celah
tunggal”), maka akan terbentuk gelombang baru.
Peristiwa
yang berbeda akan terjadi apabila kita melewatkan gelombang ke dua
buah celah kecil yang berdempetan (jaraknya tak terpisah jauh). Kita
sebut dua celah itu sebagai “double slit” atau “celah ganda”.
Apa yang terjadi?
Akan
terbentuk pola yang disebut “interferensi” ketika dua gelombang
baru yang terbentuk akan saling mempengaruhi. Ada yang saling
menguatkan, ada pula yang saling meniadakan (panah di gambar di bawah ini merupakan pola interferensi yang saling menguatkan). Apabila kita menaruh sebuah layar di tepi kolam, semisal, menghadap ke gelombang tersebut, maka pola interferensi itu akan tercetak demikian.
Panah
menunjukkan bagian yang saling menguatkan, ditandai warna putih di
layar (karena tercetak di layar hitam). Sedangkan bagian yang kosong
(bagian layar berwarna asli/hitam) menunjukkan bagian yang saling
meniadakan. Kita bisa lihat bahwa bagian yang paling “kuat”
adalah bagian tengah, kemudian semakin ke pinggir akan semakin lemah.
Nah, yang membuktikan cahaya adalah sebuah gelombang adalah ketika ilmuwan bernama Thomas Young pada 1801 memancarkan cahaya ke “celah ganda” ini dan diarahkan ke dinding, maka akan terlihat pola interferensi. Ini membuktikan bahwa cahaya, mirip dengan riak air di kolam tadi, adalah sebuah gelombang.
Pola interferensi terlihat di percobaan cahaya menggunakan celah ganda |
Namun
ternyata tak selamanya cahaya adalah sebuah gelombang.
Max
Planck pada 1918 menerima hadiah Nobel berkat penelitiannya pada
tahun 1900 saat ia menemukan konstanta Planck (“Stranger Things 3”
reference, anyone?). Penemuan konstanta Planck ini mengungkap sisi
mengejutkan yang selama ini selalu dirahasiakan oleh “cahaya”.
Yah, anggap aja kalian nemu pacar kalian ternyata selingkuh dan punya
pacar lain, mungkin seperti inilah reaksi ilmuwan ketika rahasia
tentang “cahaya” ini ditemukan oleh Planck.
Planck
menemukan dasar dari teori kuantum, bahwa cahaya tersusun atas
paket-paket energi yang ia sebut sebagai “kuantum” sebesar
6,626x10-34 Joule.sekon. Nggak usah perhatikan nilainya,
nggak penting kok buat artikel ini. Sekarang gue ingin membuat
pengandaian mengapa teori ini begitu aneh dan tak mudah dinalar oleh
ilmuwan pada zaman itu.
Katakanlah
kalian menyalakan sebuah senter. Sekarang analogikan cahaya dari
senter itu adalah sebuah air terjun. Asyik dong mandi di bawah air
terjun? Nah, ilmuwan menganggap energi cahaya adalah seperti air
membasahi tubuh kita, bahwa energi tuh ya seperti air, kita nggak
bisa menangkapnya dengan tangan, tapi jelas efeknya terasa (tubuh
kita bisa basah).
Ilustrasi air terjun |
Tapi
ketika Planck mengatakan cahaya datang dalam bentuk paket-paket
kuantum dengan nilai konstanta Planck, itu bagaikan kita mengatakan
bahwa air terjun tuh mengalir dalam “paket-paket” air mineral
botolan 600 ml.
Aneh kan
Teori Kuantum itu? Kita sekarang bisa menyebut energi cahaya dalam
bentuk paket air mineral botolan itu sebagai “partikel cahaya”.
Einstein mendapat hadiah Nobel pada 1921 setelah mempelajari dan
menamai partikel cahaya itu “foton”.
Sekarang
masalahnya yang bikin ilmuwan kala itu pusing tujuh keliling,
partikel dan gelombang adalah dua hal yang berbeda, seperti dua sisi
mata uang koin yang berlawanan, yakni kepala dan ekor. Namun
sebenarnya jawabannya nggak terlalu memusingkan kok. Toh, “ekor”
dan “kepala” sama-sama ada di koin yang sama kan?
Ilmuwan
menyebut teori ini “Dualisme Cahaya”, yaitu cahaya bisa memiliki
dua bentuk, partikel dan gelombang, dengan syarat tertentu. Cahaya
pada dasarnya hadir dalam bentuk paket “kuantum” atau partikel
berbentuk foton. Dengan kata lain, cahaya adalah partikel. Namun
ketika foton-foton itu berjumlah amat banyak dan berinteraksi satu
sama lain, maka foton-foton itu (hence, cahaya) akan berperilaku
seperti gelombang.
Cahaya dari senter ini tersusun atas triliunan partikel cahaya (foton) yang saling berinteraksi, karena itulah cahaya dari senter ini berbentuk gelombang dan menghasilkan pola interferensi |
Tapi ternyata ada satu “trik” lain yang disembunyikan cahaya. Cahaya tak hanya berperilaku seperti partikel/gelombang tergantung jumlah fotonnya saja. Cahaya juga bisa secara “sadar” memilih kapan ia akan menjadi partikel dan kapan ia akan menjadi gelombang.
Lho kok
bisa?
EKSPERIMEN
CELAH GANDA
(DOUBLE SLIT EXPERIMENT)
Kita
kembali “double slit” experiment atau percobaan “celah ganda”
yang tadi gue singgung. Ketika cahaya dilewatkan pada “celah ganda”
maka di layar akan tertangkap fenomena interferensi seperti di bawah
ini. Jelas kan penyebabnya, karena gue sebut tadi cahaya kan kumpulan
foton dan ketika foton-foton itu saling berinteraksi maka cahaya akan
berperilaku seperti gelombang. Piece a cake.
Nah,
sekarang setelah ilmuwan tahu bahwa cahaya tersusun atas foton dan
mereka bisa menembakkan foton satu demi satu menggunakan sebuah alat
laser canggih (bayangkan aja alat ini seperti pistol atau meriam yang
bisa menembakkan bola foton satu demi satu) kemudian mereka
menembakkannya ke sebuah papan dengan “celah ganda”.
Apa
kalian bisa tebak apa yang mungkin terjadi? Mungkin bola yang kita
tembakkan akan menghantam papan (contoh: panah merah dan oranye)
sehingga terpantul kembali. Tapi ada kemungkinan bola yang kita
tembakkan bisa menyisip masuk ke lubang itu (contoh: panah biru dan
ungu). Masalahnya cuman kita nggak tahu lubang yang mana, bisa saja
lubang A dan lubang B, karena saking kecilnya foton itu.
Nah,
semisal kita memasang sebuah layar hitam di belakang “celah ganda”
tersebut untuk menangkap foton, maka foton demi foton yang
ditembakkan akan tertanam di layar itu dan meninggalkan jejak berupa
titik cahaya (putih). Semakin banyak foton yang menempel di layar
itu, maka akan semakin banyak jejaknya bukan? Lalu seperti apa jejak
yang ditinggalkan? Secara logika, pasti jejak yang tertinggal ada di
belakang A dan B, betul kan?
Tapi
ternyata tidak. Di layar tersebut malah terlihat pola interferensi.
Bagaimana
itu mungkin? Bagaimana mungkin fotonnya bisa nyasar ke X, Y, ataupun
Z? Bahkan X, bagian paling terang (inget ya kita ngomongin cahaya),
malahan ada di batas antara lubang A dan B, yang seharusnya merupakan
dinding padat.
Ilmuwan
tentu dibikin pusing tujuh keliling dan akhirnya melakukan percobaan
baru. Mereka memasang “mata-mata” berupa sensor yang ditaruh di
belakang papan sehingga mereka bisa melihat apakah foton yang
ditembakkan melewati lubang A atau B.
Dan
ketika mereka memutuskan mengamatinya, hasilnya langsung berubah.
Pola interferensi yang tadinya ada kini pada percobaan 2 digantikan
oleh pola seperti ini.
Foton-foton
yang ditembakkan kini benar-benar jatuh di belakang titik A dan B,
seolah-olah mereka berperilaku seperti partikel pada umumnya. Padahal
awalnya, mereka berperilaku layaknya gelombang dan menghasilkan pola
interferensi. Para ilmuwan kala itu tak mengubah apapun dari kedua
percobaan itu. Satu-satunya yang berbeda adalah mereka memasang
sensor dan mengamati percobaan itu.
Kesimpulan
yang bisa didapat? Keputusan para ilmuwan untuk mengamati percobaan
itu mengubah perilaku foton dari awalnya berperilaku sebagai
gelombang menjadi partikel. Degan kata lain, keputusan atau kesadaran
sang pengamat (dalam hal ini ilmuwan) mengubah hasil penelitian
tersebut.
Hal
tersebut jelas tidak masuk akal. Kita analogikan seperti ini. Kita
membuat sebuah kotak tertutup, semisal dari kotak sepatu, dimana di
dalamnya ada siput dan kaki seribu berlomba lari. Otomatis kaki
seribu menang dong, kan kakinya ada banyak, yekan yekan? Tapi tidak,
begitu kotak dibuka, justru siput duluan yang sampai ke garis finish.
Karena
kamu mikir, “Ini kan impossible?”, makanya kamu memilih mengamati
balapan itu dengan membuka kotak itu. Tapi kini hasilnya si kaki
seribu menang.
Kemudian
begitu kamu menutupnya dan kamu memutuskan tak mengamatinya,
lagi-lagi si siput menang.
Tak
hanya perbedaan hasil itu yang aneh, namun juga fakta dimana si
partikel cahaya (alias foton) seakan-akan bisa mengetahui bahwa kita
mau mengamatinya. Jika kita tak mengamatinya, foton akan berperilaku
seperti gelombang. Tapi bila kita mengamatinya, seolah-olah tahu dia
bakal ketahuan, foton segera berperilaku seperti partikel.
Analogi
lain, anggap saja foton yang berperilaku partikel sebagai “anak
baik-baik” yang alim, sedangkan “gelombang” adalah sisi lainnya
sebagai anak nakal. Foton aslinya memang partikel, seperti dibuktikan
Max Planck dan Einstein, tapi ia hanya berperilaku “baik-baik”
sebagai partikel hanya ketika ia diamati oleh manusia. Ketika nggak
diamati, ia berperilaku “nakal” menjadi gelombang.
Hal ini
menimbulkan pertanyaan filosofis bagi kita: apakah partikel memiliki
kesadaran? Apakah partikel menyadari kondisi di sekitarnya? Apa
partikel bisa mengetahui bahwa ia sedang diamati oleh para ilmuwan?
Percobaan
ini terus memiliki hasil yang sama, tak peduli berapa juta kali
dilakukan. Bahkan jika dilakukan pada partikel yang berbeda, semisal
elektron, hasilnya tetap sama. Jadi fenomena ini tak hanya berlaku
bagi foton, namun pada semua partikel.
Jika ini
berlaku bagi semua partikel, apakah seluruh alam semesta ini
sebenarnya memiliki kesadaran?
BERSAMBUNG
KE EPISODE BERIKUTNYA
Seketika teringat pelajaran fisika sma wkwkkw
ReplyDeleteMungkin gak sih, dengan adanya variabel tambahan kaya sensor pengamat, bikin hasil eksperimen nya berubah?
ReplyDeleteKalo di part 1B dijelasin sih variabel sensornya ga ngefek jika emg ilmuwannya ga niat mengamati
DeleteYap, Saya pribadi percaya semua hal di alam semesta ini memiliki kesadaran. Karena itulah apapun di alam semesta ini seharusnya bisa diperintah.
ReplyDeleteEits punya kesadaran ga berarti bisa diperintah lho. Kalopun bisa, pastinya ga sama manusia, tapi entitas yg jauh lebih tinggi derajatnya
DeleteMau dong gabung grup WA-nya, Bang Dave.
ReplyDeleteNovel Supernova emang mantul sih bikin pusing, tapi penjelasan Bang Dave disini lumayan bisa masuk ke otak ku yang rada lemot 🤭🤭🤭 thank you Bang Dave nambah ilmu baru lagi ☺️
ReplyDeleteJejak 2024
ReplyDelete