Saturday, December 25, 2021

JAPANESE DARK URBAN LEGEND #5: SHINOBARA (MAAF, TAPI CERITA INI DIKUTUK, JANGAN MEMBACANYA!)

 

Peringatan: baca cerita ini dengan risikomu sendiri! Jika terjadi sesuatu padamu setelah membaca cerita ini, aku sama sekali tidak bertanggung jawab! Aku akan memperingatkanmu sekali lagi. Sekali membaca cerita ini, maka kamu harus bersiap menanggung resikonya!

Sebelum membaca cerita ini, aku akan sangat menghargai jika kamu dapat mengambil langkah-langkah berikut terlebih dahulu.

1. Sentuh kaki kirimu.

2. Sambil menyentuh kaki kirimu, tutup matamu dan pikirkan nama “Shinobara.”

3. Lakukan hal yang sama dengan jari manis dan kelingking kirimu.

Setelah kau selesai melakukannya, akan kulanjutkan dengan sebuah cerita. Cerita ini agak panjang, tapi mari simak bersama-sama.

Peristiwa ini terjadi pada Maret 2010. Kala itu aku adalah seorang siswa SMA kelas tiga yang tinggal di Tateyama, sebuah gunung di Prefektur Toyama.

Musim bunga sakura hampir berakhir dan hari itu cukup hangat. Kami akan memasuki musim ujian di sekolah, tapi aku menghabiskan hari-hariku tanpa melakukan apa-apa selain bersantai. Setelah lulus, aku akan membantu toko bento milik keluargaku, jadi aku tidak perlu khawatir. Semua orang di sekitarku hampir sama, toh kami hanya tinggal di desa kecil. Aku bukan anak yang pintar, jadi tentu saja aku sedikit nakal. Aku bahkan mengecat rambutku menjadi coklat muda.

Aku berteman dekat dengan I-kun dan H, yang aku kenal sejak SMP. Kami tidak senakal anak-anak lain yang suka tawuran, tapi kami mengendarai motor tanpa SIM, merokok, dan semacamnya.

"Kamu mau nongkrong besok?" kata H sambil mendekatiku. Dia ingin pergi ke suatu tempat yang jauh. Tidak banyak tempat nongkrong di Toyama. Ada pachinko, itu saja.

"Kemana kamu mau pergi?" aku bertanya.

“Desa,” jawabnya. “Kupikir kita bisa pergi dan melakukan uji keberanian, asyik kan? Dan kita akan mengundang beberapa gadis, tentu saja!” tambahnya, jadi aku setuju.

Sejujurnya, tantangan “uka uka” di pedesaan terdengar tidak terlalu menyenangkan, tapi jika ada cewek-cewek di sana, itu beda.

I-kun tentu juga sangat bersemangat begitu mendengar H akan mengundang cewek-cewek, bahkan mengatakan sesuatu seperti “Aku akan membawa kamera!”

H kemudian menjawab sambil menggaruk kaki palsu kanannya, “Kalau begitu, aku akan mengundang gadis-gadis itu.” Dia kemudian berjalan ke arah gadis-gadis teman sekelas kami.

H kehilangan kaki kanannya di bawah lutut. "Itu adalah kecelakaan sepeda motor." jawabnya jika ada yang menanyakan hal itu.

Pada akhirnya, yang berangkat malam itu adalah H, I-kun, aku sendiri, dan tiga gadis, sehingga total ada enam orang. Kami butuh sekitar dua jam berkendara dengan mobil untuk sampai ke sana.

"Ini seperti kencan bareng-bareng."

“Yah, pasti menyenangkan!”

Desa yang dibicarakan H ini adalah desa biasa, tapi angker. Meskipun terkenal karena keangkerannya, tidak ada dari kami yang takut. Sebaliknya, kami malah sangat senang.

Desa itu tidak lebih dari hamparan sawah dengan beberapa lampu di sana-sini. Kami tidak memiliki tujuan tertentu dalam benak kami, jadi kami hanya berjalan secara acak. Kemudian kami mendengar seseorang meneriaki kami dari jauh.

“Aneh!” pikirku.

Gadis-gadis itupun mulai mengeluh. “Aku tidak suka di sini. Aku tidak ingin berjalan-jalan di sini lagi." Aku kesal dan ingin memberi tahu mereka bahwa itu hanya seseorang yang bercanda, tetapi aku mulai merasa pusing dan kemudian sesuatu yang tajam terdengar di telingaku.

Tiba-tiba aku memperhatikan bahwa aspal yang kami lalui telah berubah menjadi kerikil. “Hah?” Aku berpikir dan melihat sekeliling.

"Apa ada yang salah?" salah satu gadis bertanya.

Sesuatu tentang desa ini terasa aneh. Bukan jahat, tapi seperti semakin tua. Seakan-akan kami memutar balik waktu dan kembali ke era Showa.

“Terlihat tua, ya?” kata gadis-gadis itu, dan I-kun mulai memotret. Aku melihat sekeliling dan melihat apa yang tampak seperti toko minuman keras dengan poster bir di luarnya. Di sampingnya ada beberapa botol bir dan peti kosong.

Aku bisa mendengar TV dari rumah terdekat. Kedengarannya kuno, seperti musik yang aneh. Setelah sampai sejauh ini, tentu saja kami ketakutan. "Ayo kembali," kami memutuskan.

“Ayolah, mari kita pergi sedikit lebih jauh!” kata H, “Ayo, sedikit lagi.”

Pada titik inilah aku mulai merasa khawatir tentang dia. Sampai saat itu, dia tidak mengatakan apapun. Kami sudah sering berjalan-jalan, tetapi baru kali ini ia bersikap aneh seperti ini. Apalagi dia masih meminta kami untuk melangkah lebih jauh. Dia jelas memiliki beberapa tujuan lain dalam pikirannya.

Pada saat itu dia membuatku sedikit takut. Dia menyeret kaki kanannya, berjalan semakin jauh ke dalam desa. Aku bisa mendengar “Tokyo Boogie-Woogie” diputar dari sebuah rumah.

H berhenti tiba-tiba di depan salah satu rumah tertentu. "Apakah kamu akhirnya siap untuk kembali?" salah satu gadis bertanya padanya. Dia berbalik untuk melihat kami semua. Matanya penuh belas kasihan.

"Apa rumah ini? Apakah ada hantu di sini?” I-kun bertanya padanya dan masuk ke dalam. Gadis-gadis itu mengikutinya, lalu H dan aku juga masuk melewati gerbang.

Papan nama rumah itu bertuliskan "Shinobara." Berbeda dengan rumah-rumah lain di desa, yang satu ini tidak memiliki lampu menyala.

Salah satu gadis memperhatikan suara yang datang dari halaman. Yah, kami telah memasuki rumah seseorang tanpa izin, tentu saja mereka akan marah, pikirku hendak pergi, tetapi kemudian H menangkap tanganku. "Ayo pergi ke sana," katanya.

"Berhenti main-main!" kata I-kun padanya. Para gadis dan H sudah menghadap ke arah suara itu, dan aku dengan enggan berbalik. Kalau dipikir-pikir, kami belum bertemu satupun orang di desa ini; ini akan menjadi yang pertama. Tapi itu tengah malam, jadi tentu saja kami tidak bertemu siapapun di jalan. Hanya itu yang terbersit di pikiranku kala itu.

Setelah berjalan melalui halaman sebentar, kami bertemu seseorang.

"Ini adalah penduduk desa pertama yang kita lihat, bukan?" I-kun berkata padaku. Lalu dia menoleh ke H. “Itu bukan hantu, kan?”

Ekspresi H aneh. Dia bernapas dengan tergesa-gesa melalui hidungnya, bahkan aku bisa melihat ia meneteskan keringat. Kakinya mulai gemetar, kemudian perlahan-lahan giginya juga bergemeretak. Aku mengikuti tatapan H dan menatap sosok itu. Ia terlihat membungkuk di depan kami.

Orang ini tampak seperti baru saja keluar dari era Showa juga. Itu kesan pertamaku padanya. Wanita ini mengangkat tangan kanannya ke udara, dan kemudian mengarahkannya ke tanah di depannya seperti pedang. Ada sekitar empat atau lima lubang di depannya seukuran lubang got.

Sejujurnya, tanpa lampu, aku tidak tahu apa yang dilakukan wanita ini. Aku juga tidak tahu apa yang ada di dalam lubang itu.

Kami berenam memperhatikan wanita ini dari belakang saat dia bekerja dalam diam. Kami bisa mendengar suara wanita menyanyikan sesuatu dari rumah sebelah.

“Apa-apaan?” Aku berpikir sembari tersenyum pahit, ketika tiba-tiba area di sekitar wanita itu menyala benderang, diikuti oleh suara ceklikan kamera.

Sebelum aku secara sadar bahwa I-kun pasti telah mengambil foto, aku terhenyak oleh pemandangan di depanku. Wanita itu memegang pedang katana di tangan kanannya dan cahaya memantulkan warna merah di pedang itu.

Tapi apa yang membuat aku menahan napas adalah apa yang ada di dalam lubang. Dalam kilatan cahaya singkat itu, aku melihatnya. Tangan, kaki, jari, dada, robekan baju, kacamata, kulit, dan rambut. Pokoknya bagian-bagian tubuh. Ada banyak. Bintik-bintik merah menutupi semuanya dan aku yakin juga bahwa aku melihat beberapa organ dalam berwarna merah terang juga.

Potongan-potongan tubuh yang dipotong wanita itu tergeletak di kakinya. Aku merinding. Kakiku bergetar. Tiba-tiba H lari ke arah gerbang. Dia berlari lebih cepat dari yang kupikir mungkin mengingat dia kehilangan kaki kanannya. Saat aku berbalik untuk melihatnya melarikan diri, bayangan wanita itu memasuki sisi mataku. Dia perlahan berdiri dan bergoyang dari sisi ke sisi.

Salah satu gadis berteriak, dan itulah tanda yang kami butuhkan. Wanita itu berputar di tempat, memutar pedangpula pula. Dengan pedang di tangan kanannya, dan tidak ada apa pun di tangan kirinya, bagian atas tubuhnya terpelintir, dan kemudian bagian bawah mengikuti. Dia menangkap gadis yang berteriak itu dengan pedangnya.

Seketika teriakannya terputus. Setelah ditebas dengan pedang itu, dia jatuh secara tidak wajar ke tanah. I-kun, aku, dan dua gadis lainnya mengambil kesempatan ini untuk berlari. Kami berempat berteriak bersama.

“Aaaaaakh!” Salah satu gadis tiba-tiba mengerang. Wanita itu memegang kepalanya saat dia berlari. Dia telah mencengkeram rambutnya yang panjang dan menariknya ke belakang. Aku berbalik ke depan dan terus berlari. Aku meninggalkannya untuk mati. Kepalaku penuh dengan ketakutan, hanya itu yang bisa kulakukan.

"Berhenti, aaahhhhh!" gadis itu menjerit dan mulai menangis. Aku bisa mendengar suara parang turun melalui jeritannya saat kami terus berlari.

I-kun, gadis lain dan aku berlari ke jalan kerikil secepat yang kami bisa. Gadis yang berlari di depan kami tiba-tiba mengubah arah dan berlari ke salah satu rumah dengan lampu menyala, menggedor pintu depan.

"Bantu kami!" dia berteriak dan menggedor. Saat dia hendak membuka pintu, pintu itu tiba-tiba terbuka, dan iapun terjerembab masuk.

Aku mengikutinya masuk. "Tolong!" Aku berteriak sekeras yang aku bisa, suaraku serak. I-kun berhenti sejenak, ragu-ragu, dan kemudian berlari ke arah lain.

Bagian dalam rumah itu juga tampak aneh. Ada bola lampu oranye yang amat kuno tergantung dari atap di atas. Di meja makan kecil ada sup miso, ikan goreng, dan beberapa lauk sayuran semua berjajar. Ada TV besar di ruang tamu (aku tak yakin masih ada yang memiliki TV lawas semacam ini, bahkan di pedesaan-pun), serta beberapa pintu geser dan bantal di lantai.

Namun tidak ada seorang pun di sana. Seolah-olah orang-orang di dalamnya telah menghilang. Namun aku terus berteriak. "Seseorang! Siapa pun! Tolong kami!"

Menangis, wajah kami tertutup air mata. Gadis itu dan aku saling berpandangan.

“Tidak ada orang di sini…”

Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Tiba-tiba terdengar suara gemeretak.

Aku pikir jantunaku akan meledak keluar dari dalam dadaku. Seseorang telah membuka pintu dan masuk ke dalam. Apakah itu I-kun? Ataukah penghuni rumah?

Wajah gadis itu menegang dan menatapku. Itu adalah wanita itu. Secara naluriah tanganku melesat ke arah lemari. Aku mengabaikan gadis itu dan melompat ke dalam. Dia segera mengikutiku. Kami dengan perlahan menutup pintu dan menahan napas.

Kami mendengar derit langkah kaki. Aku berkeringat. Derit itu berlanjut. Dia sedang mencari di depan lemari tempat kami bersembunyi. Suaranya semakin dekat, aku bisa mendengarnya tertawa. Suaranya terdengar melengking dan bernada tinggi. Jantungku berdebar liar.

Tiba-tiba, suara-suara itu berhenti. Aku juga tidak bisa mendengar suara wanita itu. Tidak ada suara apapun. Aku dan gadis itu saling berpandangan.

“Kau di dalam, ya?”

Pintu lemari tiba-tiba terbuka dan sebuah tangan berlumuran darah terulur ke arah kami. Dia meraih leher gadis itu dan menariknya keluar ke ruang tamu.

“Tidaaaaaaak!” jeritnya.

Aku keluar dari lemari. Bukan untuk membantunya, tapi jika aku akan lari, ini akan menjadi satu-satunya kesempatanku. Wanita itu memperhatikan aku dan tertawa. Lalu dia menatapku. Wajahnya abu-abu pucat, dan berlumuran darah korbannya. Di bawah lampu oranye, dia tampak seperti lukisan abstrak yang aneh.

Bibirnya menekuk secara tidak wajar dan matanya setengah putih. Hembusan suara keluar dari bibirnya seperti udara yang bocor. Dia memegang leher gadis itu di tangan kirinya, dan dengan pedang di tangan kanannya, mengarahkannya ke arahku.

Benda-benda kecil seperti ulat terbang di depanku.

“Apa itu?” aku bertanya-tanya. Ketika aku melihat lebih dekat, aku menyadari bahwa itu adalah jari. Aku tidak dapat memahami situasinya, namun ketika aku meletakkan tangan kiriku di lantai untuk berlari, aku sadar bahwa aku telah kehilangan cincin dan jari kelingking kiriku. Mereka telah digantikan dengan semburan darah.

“AAAAHHHH!” aku berteriak kesakitan dan berguling-guling di lantai. Rasa yang menjalari tubuhku itu adalah rasa sakit yang tak tertahankan seperti yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Jantungku berdebar seakan bisa berhenti setiap saat. Sambil memapah tangan kiriku, aku pergi ke pintu masuk secepat mungkin. Aku mendengar jeritan saat aku keluar dari pintu.

Tidak peduli siapa, aku hanya butuh seseorang, siapa pun untuk membantu aku. Darahku sendiri melapisi pakaianku, dan air mata dan keringat mengalir di wajahku. Aku berlari secepat mungkin di jalan setapak tempat kami datang, berteriak sepanjang waktu.

Suara kerikil di bawah kakiku berubah menjadi aspal, dan aku terus berlari.

Aku tidak begitu ingat apa yang terjadi setelah itu. Hal berikutnya yang aku tahu, aku berada di rumah sakit. Rupanya seseorang telah menemukanku berlumuran darah dan menangis di pinggir jalan, lalu mereka membawa aku ke rumah sakit terdekat.

Saat keadaan mulai tenang, akhirnya aku memberi tahu dokter dan orang tuaku tentang apa yang telah terjadi. Tentang tempat yang kami kunjungi untuk menguji keberanian. Tentang pemandangan yang berubah saat kami berjalan. Tentang wanita dengan pedang yang menyerang kami, dan tiga gadis yang kulihat mati. Namun mereka tidak pernah menemukan tubuh mereka, sehingga mereka menganggap mereka sebagai orang hilang.

Kami juga masih belum tahu di mana I-kun. Mungkin wanita itu menemukannya juga, aku tidak tahu.

H adalah satu-satunya yang kembali, tetapi dia menolak untuk berbicara tentang apa yang terjadi. Dua hari setelah aku dirawat, dia datang mengunjungiku di rumah sakit.

"Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu..." katanya. "Pertama, aku senang kamu baik-baik saja."

Kata-kata itu membuatku marah dan semua darah terasa mendidih ke kepalaku.

“Kau bajingan! Apa itu membuatmu senang, hah? Jika kamu tidak mengundang kami untuk pergi ke sana maka semua ini tidak akan terjadi, tolol!” Aku juga memanggilnya dengan berbagai macam nama yang berwarna-warni.

Dia menunggu sampai aku selesai dan kemudian berkata, "Yah, aku tahu ..."

Dan inilah yang dia ceritakan kepadaku.

Pada kenyataannya, ini adalah kali kedua H datang ke desa itu. Sebelum dia masuk SMA, salah satu kakak kelasnya telah mengundangnya untuk pergi ke sana, jadi dia ikut. Sama seperti saat kami pergi, pemandangan mulai berubah. Lalu dia membawanya ke sebuah rumah bernama Shinobara. Dia diserang oleh wanita dengan pedang itu, sama seperti kami.

Salah satu anak lain mencoba menghentikan wanita itu dan dia menyayat perutnya. Yang lain berlari demo hidup mereka. Kemudian, kakak kelasnya yang mengundangnya mengatakan hal berikut.

“Karena wanita itu, tidak mungkin aku bisa hidup lama. Dia perlahan mengambil anggota badanku untuk dibawanya pergi ke dunia itu, untuk mengisi lubang-lubang itu. Entah kenapa, ia tak puas jika lubang-lubang itu tak penuh terisi. Suatu hari nanti, ketika aku sudah tidak lagi memiliki anggota tubuh yang tersisa, dia pasti akan datang untuk mengambil kepalaku.

“Tapi ada cara untuk menunda dia datang untuk membunuhmu, yakni dengan membuatnya mengincar orang lain. Dia berkeliaran tanpa pandang bulu membunuh siapa pun yang tahu tentang dia. Dengan kata lain, jika ada satu orang lagi mengetahui keberadaannya, maka itu berarti peluangnya untuk datang kepadamu berkurang.

“Hal yang sama pernah terjadi padaku, begitulah cara aku mengetahuinya. Untuk menurunkan kesempatanku untuk mati, aku memaksa kalian untuk mengetahui keberadaannya. Jika kau ingin terus hidup, kau perlu memberi tahu orang lain tentangnya juga. ”

Aku tercengang. "Maaf," katanya, berdiri dan meninggalkan ruangan. Di luar, seekor burung bulbul menangis.

Empat bulan kemudian, H mengalami kecelakaan di tempat kerja dan kehilangan kaki kirinya, satu-satunya kakinya yang tersisa. Pada saat kecelakaan itu, dia melihat wanita itu di sudut matanya. Dia memungut kaki kanannya dan tertawa. Kini ia tinggal memiliki dua tangan dan kepala, entah mana yang berikutnya akan diambil wanita itu.

Aku jadi mengerti, ketakutan semacam itulah yang menyebabkannya menjebak kami agar mengetahui keberadaan wanita itu juga.

Ini semua terjadi hampir sembilan tahun yang lalu. Aku telah menghabiskan hidupku semenjak itu untuk mencoba untuk melupakan apa yang terjadi. Setelah keluar dari rumah sakit, aku mencoba untuk kembali ke sekolah, tetapi aku menghabiskan sebagian besar waktuku di rumah dan pada akhirnya aku berhenti sekolaj. Setelah itu, aku mencoba menyelesaikan sekolah secara online sambil bekerja di toko bento keluargaku.

Setahun yang lalu aku jatuh dari tangga sehingga kaki kiriku patah. Tepat pada saat aku jatuh, aku melihat seorang wanita berdiri di puncak tangga, bibirnya membentuk senyuman aneh. Aku harus dirawat di rumah sakit dan kaki kiriku digips, lalu aku melanjutkan studiku.

Namun aku merasakan panas yang hebat di dalam kakiku, jadi aku memohon kepada dokter untuk melepas gips aku. Ketika ia memeriksanya, ternyata kakiku membusuk. Mereka harus memotongnya.

Wanita itu mengambil kaki kiriku. Itulah yang aku pikirkan. Kemudian, aku mulai memiliki pemikiran yang sama dengan H.

Aku harus memberitahu seseorang tentang wanita itu.

Aku ingin berbicara dengan kalian tentang peringatan yang aku tinggalkan di awal cerita ini. Kaki kiri, jari manis, dan jari kelingking adalah bagian tubuh yang diambil wanita dariku. Mereka yang melakukan apa yang diinstruksikan di awal cerita ini telah mengkonfirmasi di mana anggota tubuhku terputus.

Sepanjang cerita ini aku juga mencoba untuk menulis dengan semendetail mungkin. Ini agar kalian, para pembaca yang budiman, dapat membayangkannya sebaik mungkin.

Dengan kata lain, sekarang kalian semua berbagi dalam ingatan kalian, tentang wanita itu, dan aku telah memastikan bahwa peluangnya untuk datang kepadaku lagi telah berkurang. Aku sangat menyesal. Satu-satunya alasan aku menuliskan semua ini adalah untuk memastikan bahwa aku, paling tidak, memiliki cukup waktu untuk selamat hingga aku tahu cara menghentikannya.

Setelah menuliskan semua ini, paling tidak aku berdoa agar wanita itu tidak akan datang mengunjungi kalian dalam waktu dekat, karena ia terlalu sibuk mengejar pembaca-pembaca yang lain.


SUMBER: KOWABANA


SUPER THANKS BUAT KARYAKARSA'ERS YANG SANGAT SPECIAL INI:

Junwesdy Sinaga 

K Margaretha 

Radinda dan Ananda Nur Fathur Rohman Prast 

JUGA UCAPAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA KARYAKARSA-ERS UNTUK DUKUNGANNYA DI BULAN DESEMBER INI:

Rahmayanisma, Sean Noyoucannot, Noval Fadil, Muhammad Aidil Fajri, Dyah Ayu Andita Kumala, Sharnila Ilha, Dinda Laraswati Kharismariyadi, Rose, Victria Tan, Maulii Za, Syahfitri, Cacing Caripit, Rio Ali Adithia, Sekar Tandjoeng, Steven Alexandro, Yoonji Min, Dennis Bramasta, Popy Saputri, Rio Ali Adithia 

12 comments:

  1. kmren rumah gw didatengin, dijawab sama nyokap kalo gw lagi tidur siang g boleh maen dulu

    ReplyDelete
  2. Dia kalo ke Indonesia perlu swab antigen juga g ya hmm

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebelum baca ceritanya, aku cek kolom komentar dulu, Mba nya masih hidup kan? Huhu

      Delete
  3. terbukti, semua yang komen di atas gak ada yang jawab lagi. jadi, saya memutuskan tidak membaca cerita ini. sekian dan terima kasih

    ReplyDelete
  4. Jgn berdoa untuk pembaca,tp berdoalah untuk keselamatanmu sendiri.ngomong2 ..kalo di indonesia hantu dan segala penghuni kampung itu bisa jadi sumber perburuan dan penghasilan.

    ReplyDelete
  5. mirip mirip film truth or dare yak

    ReplyDelete
  6. Empat bulan kemudian, H mengalami kecelakaan di tempat kerja dan kehilangan kaki kirinya, satu-satunya kakinya yang tersisa. Pada saat kecelakaan itu, dia melihat wanita itu di sudut matanya. Dia memungut kaki kanannya dan tertawa.

    Jadi kaki kiri atau kaki kanan om?

    ReplyDelete