Sebelum membaca cerita ini, aku akan
sangat menghargai jika kamu dapat mengambil langkah-langkah berikut terlebih
dahulu.
1. Sentuh kaki kirimu.
2. Sambil menyentuh kaki kirimu,
tutup matamu dan pikirkan nama “Shinobara.”
3. Lakukan hal yang sama dengan jari
manis dan kelingking kirimu.
Setelah kau selesai melakukannya, akan
kulanjutkan dengan sebuah cerita. Cerita ini agak panjang, tapi mari simak
bersama-sama.
Peristiwa ini terjadi pada Maret
2010. Kala itu aku adalah seorang siswa SMA kelas tiga yang tinggal di
Tateyama, sebuah gunung di Prefektur Toyama.
Musim bunga sakura hampir berakhir
dan hari itu cukup hangat. Kami akan memasuki musim ujian di sekolah, tapi aku
menghabiskan hari-hariku tanpa melakukan apa-apa selain bersantai. Setelah
lulus, aku akan membantu toko bento milik keluargaku, jadi aku tidak perlu khawatir.
Semua orang di sekitarku hampir sama, toh kami hanya tinggal di desa kecil. Aku
bukan anak yang pintar, jadi tentu saja aku sedikit nakal. Aku bahkan mengecat
rambutku menjadi coklat muda.
Aku berteman dekat dengan I-kun dan
H, yang aku kenal sejak SMP. Kami tidak senakal anak-anak lain yang suka
tawuran, tapi kami mengendarai motor tanpa SIM, merokok, dan semacamnya.
"Kamu mau nongkrong besok?"
kata H sambil mendekatiku. Dia ingin pergi ke suatu tempat yang jauh. Tidak banyak
tempat nongkrong di Toyama. Ada pachinko, itu saja.
"Kemana kamu mau pergi?" aku
bertanya.
“Desa,” jawabnya. “Kupikir kita bisa
pergi dan melakukan uji keberanian, asyik kan? Dan kita akan mengundang
beberapa gadis, tentu saja!” tambahnya, jadi aku setuju.
Sejujurnya, tantangan “uka uka” di
pedesaan terdengar tidak terlalu menyenangkan, tapi jika ada cewek-cewek di sana,
itu beda.
I-kun tentu juga sangat bersemangat begitu
mendengar H akan mengundang cewek-cewek, bahkan mengatakan sesuatu seperti “Aku
akan membawa kamera!”
H kemudian menjawab sambil menggaruk
kaki palsu kanannya, “Kalau begitu, aku akan mengundang gadis-gadis itu.” Dia
kemudian berjalan ke arah gadis-gadis teman sekelas kami.
H kehilangan kaki kanannya di bawah
lutut. "Itu adalah kecelakaan sepeda motor." jawabnya jika ada yang
menanyakan hal itu.
Pada akhirnya, yang berangkat malam
itu adalah H, I-kun, aku sendiri, dan tiga gadis, sehingga total ada enam
orang. Kami butuh sekitar dua jam berkendara dengan mobil untuk sampai ke sana.
"Ini seperti kencan bareng-bareng."
“Yah, pasti menyenangkan!”
Desa yang dibicarakan H ini adalah
desa biasa, tapi angker. Meskipun terkenal karena keangkerannya, tidak ada dari
kami yang takut. Sebaliknya, kami malah sangat senang.
Desa itu tidak lebih dari hamparan
sawah dengan beberapa lampu di sana-sini. Kami tidak memiliki tujuan tertentu
dalam benak kami, jadi kami hanya berjalan secara acak. Kemudian kami mendengar
seseorang meneriaki kami dari jauh.
“Aneh!” pikirku.
Gadis-gadis itupun mulai mengeluh.
“Aku tidak suka di sini. Aku tidak ingin berjalan-jalan di sini lagi." Aku
kesal dan ingin memberi tahu mereka bahwa itu hanya seseorang yang bercanda,
tetapi aku mulai merasa pusing dan kemudian sesuatu yang tajam terdengar di
telingaku.
Tiba-tiba aku memperhatikan bahwa
aspal yang kami lalui telah berubah menjadi kerikil. “Hah?” Aku berpikir dan
melihat sekeliling.
"Apa ada yang salah?"
salah satu gadis bertanya.
Sesuatu tentang desa ini terasa
aneh. Bukan jahat, tapi seperti semakin tua. Seakan-akan kami memutar balik waktu
dan kembali ke era Showa.
“Terlihat tua, ya?” kata gadis-gadis
itu, dan I-kun mulai memotret. Aku melihat sekeliling dan melihat apa yang
tampak seperti toko minuman keras dengan poster bir di luarnya. Di sampingnya
ada beberapa botol bir dan peti kosong.
Aku bisa mendengar TV dari rumah
terdekat. Kedengarannya kuno, seperti musik yang aneh. Setelah sampai sejauh
ini, tentu saja kami ketakutan. "Ayo kembali," kami memutuskan.
“Ayolah, mari kita pergi sedikit
lebih jauh!” kata H, “Ayo, sedikit lagi.”
Pada titik inilah aku mulai merasa khawatir
tentang dia. Sampai saat itu, dia tidak mengatakan apapun. Kami sudah sering
berjalan-jalan, tetapi baru kali ini ia bersikap aneh seperti ini. Apalagi dia
masih meminta kami untuk melangkah lebih jauh. Dia jelas memiliki beberapa
tujuan lain dalam pikirannya.
Pada saat itu dia membuatku sedikit
takut. Dia menyeret kaki kanannya, berjalan semakin jauh ke dalam desa. Aku
bisa mendengar “Tokyo Boogie-Woogie” diputar dari sebuah rumah.
H berhenti tiba-tiba di depan salah
satu rumah tertentu. "Apakah kamu akhirnya siap untuk kembali?" salah
satu gadis bertanya padanya. Dia berbalik untuk melihat kami semua. Matanya
penuh belas kasihan.
"Apa rumah ini? Apakah ada
hantu di sini?” I-kun bertanya padanya dan masuk ke dalam. Gadis-gadis itu
mengikutinya, lalu H dan aku juga masuk melewati gerbang.
Papan nama rumah itu bertuliskan
"Shinobara." Berbeda dengan rumah-rumah lain di desa, yang satu ini
tidak memiliki lampu menyala.
Salah satu gadis memperhatikan suara
yang datang dari halaman. Yah, kami telah memasuki rumah seseorang tanpa izin,
tentu saja mereka akan marah, pikirku hendak pergi, tetapi kemudian H menangkap
tanganku. "Ayo pergi ke sana," katanya.
"Berhenti main-main!" kata
I-kun padanya. Para gadis dan H sudah menghadap ke arah suara itu, dan aku
dengan enggan berbalik. Kalau dipikir-pikir, kami belum bertemu satupun orang
di desa ini; ini akan menjadi yang pertama. Tapi itu tengah malam, jadi tentu
saja kami tidak bertemu siapapun di jalan. Hanya itu yang terbersit di
pikiranku kala itu.
Setelah berjalan melalui halaman
sebentar, kami bertemu seseorang.
"Ini adalah penduduk desa
pertama yang kita lihat, bukan?" I-kun berkata padaku. Lalu dia menoleh ke
H. “Itu bukan hantu, kan?”
Ekspresi H aneh. Dia bernapas dengan
tergesa-gesa melalui hidungnya, bahkan aku bisa melihat ia meneteskan keringat.
Kakinya mulai gemetar, kemudian perlahan-lahan giginya juga bergemeretak. Aku
mengikuti tatapan H dan menatap sosok itu. Ia terlihat membungkuk di depan
kami.
Orang ini tampak seperti baru saja
keluar dari era Showa juga. Itu kesan pertamaku padanya. Wanita ini mengangkat
tangan kanannya ke udara, dan kemudian mengarahkannya ke tanah di depannya
seperti pedang. Ada sekitar empat atau lima lubang di depannya seukuran lubang
got.
Sejujurnya, tanpa lampu, aku tidak
tahu apa yang dilakukan wanita ini. Aku juga tidak tahu apa yang ada di dalam
lubang itu.
Kami berenam memperhatikan wanita
ini dari belakang saat dia bekerja dalam diam. Kami bisa mendengar suara wanita
menyanyikan sesuatu dari rumah sebelah.
“Apa-apaan?” Aku berpikir sembari
tersenyum pahit, ketika tiba-tiba area di sekitar wanita itu menyala benderang,
diikuti oleh suara ceklikan kamera.
Sebelum aku secara sadar bahwa I-kun
pasti telah mengambil foto, aku terhenyak oleh pemandangan di depanku. Wanita
itu memegang pedang katana di tangan kanannya dan cahaya memantulkan warna
merah di pedang itu.
Tapi apa yang membuat aku menahan
napas adalah apa yang ada di dalam lubang. Dalam kilatan cahaya singkat itu, aku
melihatnya. Tangan, kaki, jari, dada, robekan baju, kacamata, kulit, dan
rambut. Pokoknya bagian-bagian tubuh. Ada banyak. Bintik-bintik merah menutupi
semuanya dan aku yakin juga bahwa aku melihat beberapa organ dalam berwarna
merah terang juga.
Potongan-potongan tubuh yang
dipotong wanita itu tergeletak di kakinya. Aku merinding. Kakiku bergetar.
Tiba-tiba H lari ke arah gerbang. Dia berlari lebih cepat dari yang kupikir mungkin
mengingat dia kehilangan kaki kanannya. Saat aku berbalik untuk melihatnya
melarikan diri, bayangan wanita itu memasuki sisi mataku. Dia perlahan berdiri
dan bergoyang dari sisi ke sisi.
Salah satu gadis berteriak, dan
itulah tanda yang kami butuhkan. Wanita itu berputar di tempat, memutar pedangpula
pula. Dengan pedang di tangan kanannya, dan tidak ada apa pun di tangan
kirinya, bagian atas tubuhnya terpelintir, dan kemudian bagian bawah mengikuti.
Dia menangkap gadis yang berteriak itu dengan pedangnya.
Seketika teriakannya terputus.
Setelah ditebas dengan pedang itu, dia jatuh secara tidak wajar ke tanah.
I-kun, aku, dan dua gadis lainnya mengambil kesempatan ini untuk berlari. Kami
berempat berteriak bersama.
“Aaaaaakh!” Salah satu gadis
tiba-tiba mengerang. Wanita itu memegang kepalanya saat dia berlari. Dia telah
mencengkeram rambutnya yang panjang dan menariknya ke belakang. Aku berbalik ke
depan dan terus berlari. Aku meninggalkannya untuk mati. Kepalaku penuh dengan
ketakutan, hanya itu yang bisa kulakukan.
"Berhenti, aaahhhhh!"
gadis itu menjerit dan mulai menangis. Aku bisa mendengar suara parang turun
melalui jeritannya saat kami terus berlari.
I-kun, gadis lain dan aku berlari ke
jalan kerikil secepat yang kami bisa. Gadis yang berlari di depan kami
tiba-tiba mengubah arah dan berlari ke salah satu rumah dengan lampu menyala,
menggedor pintu depan.
"Bantu kami!" dia
berteriak dan menggedor. Saat dia hendak membuka pintu, pintu itu tiba-tiba
terbuka, dan iapun terjerembab masuk.
Aku mengikutinya masuk.
"Tolong!" Aku berteriak sekeras yang aku bisa, suaraku serak. I-kun berhenti
sejenak, ragu-ragu, dan kemudian berlari ke arah lain.
Bagian dalam rumah itu juga tampak
aneh. Ada bola lampu oranye yang amat kuno tergantung dari atap di atas. Di
meja makan kecil ada sup miso, ikan goreng, dan beberapa lauk sayuran semua
berjajar. Ada TV besar di ruang tamu (aku tak yakin masih ada yang memiliki TV
lawas semacam ini, bahkan di pedesaan-pun), serta beberapa pintu geser dan
bantal di lantai.
Namun tidak ada seorang pun di sana.
Seolah-olah orang-orang di dalamnya telah menghilang. Namun aku terus
berteriak. "Seseorang! Siapa pun! Tolong kami!"
Menangis, wajah kami tertutup air
mata. Gadis itu dan aku saling berpandangan.
“Tidak ada orang di sini…”
Kami tidak tahu apa yang sedang
terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara gemeretak.
Aku pikir jantunaku akan meledak
keluar dari dalam dadaku. Seseorang telah membuka pintu dan masuk ke dalam.
Apakah itu I-kun? Ataukah penghuni rumah?
Wajah gadis itu menegang dan
menatapku. Itu adalah wanita itu. Secara naluriah tanganku melesat ke arah
lemari. Aku mengabaikan gadis itu dan melompat ke dalam. Dia segera
mengikutiku. Kami dengan perlahan menutup pintu dan menahan napas.
Kami mendengar derit langkah kaki.
Aku berkeringat. Derit itu berlanjut. Dia sedang mencari di depan lemari tempat
kami bersembunyi. Suaranya semakin dekat, aku bisa mendengarnya tertawa.
Suaranya terdengar melengking dan bernada tinggi. Jantungku berdebar liar.
Tiba-tiba, suara-suara itu berhenti.
Aku juga tidak bisa mendengar suara wanita itu. Tidak ada suara apapun. Aku dan
gadis itu saling berpandangan.
“Kau
di dalam, ya?”
Pintu lemari tiba-tiba terbuka dan
sebuah tangan berlumuran darah terulur ke arah kami. Dia meraih leher gadis itu
dan menariknya keluar ke ruang tamu.
“Tidaaaaaaak!” jeritnya.
Aku keluar dari lemari. Bukan untuk
membantunya, tapi jika aku akan lari, ini akan menjadi satu-satunya
kesempatanku. Wanita itu memperhatikan aku dan tertawa. Lalu dia menatapku.
Wajahnya abu-abu pucat, dan berlumuran darah korbannya. Di bawah lampu oranye,
dia tampak seperti lukisan abstrak yang aneh.
Bibirnya menekuk secara tidak wajar
dan matanya setengah putih. Hembusan suara keluar dari bibirnya seperti udara
yang bocor. Dia memegang leher gadis itu di tangan kirinya, dan dengan pedang
di tangan kanannya, mengarahkannya ke arahku.
Benda-benda kecil seperti ulat
terbang di depanku.
“Apa itu?” aku bertanya-tanya. Ketika
aku melihat lebih dekat, aku menyadari bahwa itu adalah jari. Aku tidak dapat
memahami situasinya, namun ketika aku meletakkan tangan kiriku di lantai untuk
berlari, aku sadar bahwa aku telah kehilangan cincin dan jari kelingking kiriku.
Mereka telah digantikan dengan semburan darah.
“AAAAHHHH!” aku berteriak kesakitan
dan berguling-guling di lantai. Rasa yang menjalari tubuhku itu adalah rasa
sakit yang tak tertahankan seperti yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Jantungku berdebar seakan bisa
berhenti setiap saat. Sambil memapah tangan kiriku, aku pergi ke pintu masuk
secepat mungkin. Aku mendengar jeritan saat aku keluar dari pintu.
Tidak peduli siapa, aku hanya butuh
seseorang, siapa pun untuk membantu aku. Darahku sendiri melapisi pakaianku,
dan air mata dan keringat mengalir di wajahku. Aku berlari secepat mungkin di
jalan setapak tempat kami datang, berteriak sepanjang waktu.
Suara kerikil di bawah kakiku berubah
menjadi aspal, dan aku terus berlari.
Aku tidak begitu ingat apa yang
terjadi setelah itu. Hal berikutnya yang aku tahu, aku berada di rumah sakit.
Rupanya seseorang telah menemukanku berlumuran darah dan menangis di pinggir
jalan, lalu mereka membawa aku ke rumah sakit terdekat.
Saat keadaan mulai tenang, akhirnya aku
memberi tahu dokter dan orang tuaku tentang apa yang telah terjadi. Tentang
tempat yang kami kunjungi untuk menguji keberanian. Tentang pemandangan yang
berubah saat kami berjalan. Tentang wanita dengan pedang yang menyerang kami,
dan tiga gadis yang kulihat mati. Namun mereka tidak pernah menemukan tubuh
mereka, sehingga mereka menganggap mereka sebagai orang hilang.
Kami juga masih belum tahu di mana
I-kun. Mungkin wanita itu menemukannya juga, aku tidak tahu.
H adalah satu-satunya yang kembali,
tetapi dia menolak untuk berbicara tentang apa yang terjadi. Dua hari setelah aku
dirawat, dia datang mengunjungiku di rumah sakit.
"Ada sesuatu yang harus
kukatakan padamu..." katanya. "Pertama, aku senang kamu baik-baik
saja."
Kata-kata itu membuatku marah dan
semua darah terasa mendidih ke kepalaku.
“Kau bajingan! Apa itu membuatmu
senang, hah? Jika kamu tidak mengundang kami untuk pergi ke sana maka semua ini
tidak akan terjadi, tolol!” Aku juga memanggilnya dengan berbagai macam nama
yang berwarna-warni.
Dia menunggu sampai aku selesai dan
kemudian berkata, "Yah, aku tahu ..."
Dan inilah yang dia ceritakan kepadaku.
Pada kenyataannya, ini adalah kali
kedua H datang ke desa itu. Sebelum dia masuk SMA, salah satu kakak kelasnya
telah mengundangnya untuk pergi ke sana, jadi dia ikut. Sama seperti saat kami
pergi, pemandangan mulai berubah. Lalu dia membawanya ke sebuah rumah bernama
Shinobara. Dia diserang oleh wanita dengan pedang itu, sama seperti kami.
Salah satu anak lain mencoba
menghentikan wanita itu dan dia menyayat perutnya. Yang lain berlari demo hidup
mereka. Kemudian, kakak kelasnya yang mengundangnya mengatakan hal berikut.
“Karena wanita itu, tidak mungkin
aku bisa hidup lama. Dia perlahan mengambil anggota badanku untuk dibawanya
pergi ke dunia itu, untuk mengisi lubang-lubang itu. Entah kenapa, ia tak puas
jika lubang-lubang itu tak penuh terisi. Suatu hari nanti, ketika aku sudah tidak
lagi memiliki anggota tubuh yang tersisa, dia pasti akan datang untuk mengambil
kepalaku.
“Tapi ada cara untuk menunda dia
datang untuk membunuhmu, yakni dengan membuatnya mengincar orang lain. Dia
berkeliaran tanpa pandang bulu membunuh siapa pun yang tahu tentang dia. Dengan
kata lain, jika ada satu orang lagi mengetahui keberadaannya, maka itu berarti
peluangnya untuk datang kepadamu berkurang.
“Hal yang sama pernah terjadi padaku,
begitulah cara aku mengetahuinya. Untuk menurunkan kesempatanku untuk mati, aku
memaksa kalian untuk mengetahui keberadaannya. Jika kau ingin terus hidup, kau
perlu memberi tahu orang lain tentangnya juga. ”
Aku tercengang. "Maaf,"
katanya, berdiri dan meninggalkan ruangan. Di luar, seekor burung bulbul
menangis.
Empat bulan kemudian, H mengalami
kecelakaan di tempat kerja dan kehilangan kaki kirinya, satu-satunya kakinya
yang tersisa. Pada saat kecelakaan itu, dia melihat wanita itu di sudut matanya.
Dia memungut kaki kanannya dan tertawa. Kini ia tinggal memiliki dua tangan dan
kepala, entah mana yang berikutnya akan diambil wanita itu.
Aku jadi mengerti, ketakutan semacam
itulah yang menyebabkannya menjebak kami agar mengetahui keberadaan wanita itu
juga.
Ini semua terjadi hampir sembilan
tahun yang lalu. Aku telah menghabiskan hidupku semenjak itu untuk mencoba
untuk melupakan apa yang terjadi. Setelah keluar dari rumah sakit, aku mencoba
untuk kembali ke sekolah, tetapi aku menghabiskan sebagian besar waktuku di
rumah dan pada akhirnya aku berhenti sekolaj. Setelah itu, aku mencoba
menyelesaikan sekolah secara online sambil bekerja di toko bento keluargaku.
Setahun yang lalu aku jatuh dari
tangga sehingga kaki kiriku patah. Tepat pada saat aku jatuh, aku melihat
seorang wanita berdiri di puncak tangga, bibirnya membentuk senyuman aneh. Aku
harus dirawat di rumah sakit dan kaki kiriku digips, lalu aku melanjutkan studiku.
Namun aku merasakan panas yang hebat
di dalam kakiku, jadi aku memohon kepada dokter untuk melepas gips aku. Ketika
ia memeriksanya, ternyata kakiku membusuk. Mereka harus memotongnya.
Wanita itu mengambil kaki kiriku.
Itulah yang aku pikirkan. Kemudian, aku mulai memiliki pemikiran yang sama
dengan H.
Aku harus memberitahu seseorang
tentang wanita itu.
Aku ingin berbicara dengan kalian
tentang peringatan yang aku tinggalkan di awal cerita ini. Kaki kiri, jari
manis, dan jari kelingking adalah bagian tubuh yang diambil wanita dariku.
Mereka yang melakukan apa yang diinstruksikan di awal cerita ini telah mengkonfirmasi
di mana anggota tubuhku terputus.
Sepanjang cerita ini aku juga
mencoba untuk menulis dengan semendetail mungkin. Ini agar kalian, para pembaca
yang budiman, dapat membayangkannya sebaik mungkin.
Dengan kata lain, sekarang kalian
semua berbagi dalam ingatan kalian, tentang wanita itu, dan aku telah
memastikan bahwa peluangnya untuk datang kepadaku lagi telah berkurang. Aku
sangat menyesal. Satu-satunya alasan aku menuliskan semua ini adalah untuk
memastikan bahwa aku, paling tidak, memiliki cukup waktu untuk selamat hingga
aku tahu cara menghentikannya.
Setelah menuliskan semua ini, paling
tidak aku berdoa agar wanita itu tidak akan datang mengunjungi kalian dalam
waktu dekat, karena ia terlalu sibuk mengejar pembaca-pembaca yang lain.
SUMBER: KOWABANA
SUPER THANKS BUAT KARYAKARSA'ERS YANG SANGAT SPECIAL INI:
Junwesdy Sinaga
K Margaretha
Radinda dan Ananda Nur Fathur Rohman Prast
JUGA UCAPAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA KARYAKARSA-ERS UNTUK DUKUNGANNYA DI BULAN DESEMBER INI:
Rahmayanisma, Sean Noyoucannot, Noval Fadil, Muhammad Aidil Fajri, Dyah Ayu Andita Kumala, Sharnila Ilha, Dinda Laraswati Kharismariyadi, Rose, Victria Tan, Maulii Za, Syahfitri, Cacing Caripit, Rio Ali Adithia, Sekar Tandjoeng, Steven Alexandro, Yoonji Min, Dennis Bramasta, Popy Saputri, Rio Ali Adithia
kmren rumah gw didatengin, dijawab sama nyokap kalo gw lagi tidur siang g boleh maen dulu
ReplyDeleteMasih hidup bang?
DeleteFix ini dia sudah matek ya guyysss
DeleteTranslatenya agak buruk
ReplyDeleteemang, soalnya pakek google translate wkwkwk
DeletePantesan bangg
DeleteDia kalo ke Indonesia perlu swab antigen juga g ya hmm
ReplyDeleteSebelum baca ceritanya, aku cek kolom komentar dulu, Mba nya masih hidup kan? Huhu
Deleteterbukti, semua yang komen di atas gak ada yang jawab lagi. jadi, saya memutuskan tidak membaca cerita ini. sekian dan terima kasih
ReplyDeleteJgn berdoa untuk pembaca,tp berdoalah untuk keselamatanmu sendiri.ngomong2 ..kalo di indonesia hantu dan segala penghuni kampung itu bisa jadi sumber perburuan dan penghasilan.
ReplyDeletemirip mirip film truth or dare yak
ReplyDeleteEmpat bulan kemudian, H mengalami kecelakaan di tempat kerja dan kehilangan kaki kirinya, satu-satunya kakinya yang tersisa. Pada saat kecelakaan itu, dia melihat wanita itu di sudut matanya. Dia memungut kaki kanannya dan tertawa.
ReplyDeleteJadi kaki kiri atau kaki kanan om?