SUMBER GAMBAR: UNSPLASH |
Di kampung halamanku, ada sebuah kuil
tua di pegunungan yang tidak memiliki pendeta. Kami (dewa) yang dihormati di
sana adalah apa yang disebut tatarigami, sejenis roh jahat, dan ada banyak
legenda yang diturunkan selama bertahun-tahun tentangnya. Kebanyakan dari cerita
itu adalah tentang bagaimana dia menyebabkan bencana jika tidak diperlakukan
dengan benar. Di antaranya adalah kisah berikut.
Selama Periode Sengoku, ada putra
bangsawan feodal yang percaya bahwa cerita kutukan hanyalah takhyul. Untuk
membuktikannya, dia memasuki sebuah kuil, memindahkan goshintai (benda yang
dipuja di dalam kuil), dan dalam keadaan mabuk, mengencinginya.
Segera setelah ini tidak ada yang
terjadi, tetapi kemudian beberapa tahun kemudian, hal-hal aneh mulai terjadi.
Menurut tradisi lisan yang diturunkan sejak saat itu, peristiwa-peristiwa yang
tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat mulai terjadi dimana-mana. Banyak
penduduk desa menghilang tanpa jejak. Wajah sang bangsawan membengkak karena penyakit
yang tidak diketahui dan ketika dia sembuh, dia kehilangan penglihatannya.
Ketiga putranya yang lain semuanya kehilangan nyawa dalam pertempuran atau
karena penyakit serius, sementara anaknya yang menyebabkan semua ini menjadi
gila dan lari ke pegunungan, tidak pernah kembali lagi.
Pada akhirnya, penduduk desa mencoba
segala cara untuk menenangkan roh yang marah itu, tetapi tidak ada yang
berhasil. Satu demi satu mereka semua pindah dan desa itu akhirnya
ditinggalkan.
Kisah itu adalah cerita lama, hampir
seperti sebuah dongeng, dan tidak ada catatan resmi tentang kisah itu di manapun
yang mampu membuktikan kebenarannya. Kisah itu berakhir tanpa ada yang tahu
bagaimana akhirnya dan karena diturunkan secara lisan, dan bisa dibilang semua penduduk
asli desa tersebut sudah pindah, bisa dibilang itu hanya rumor yang diturunkan
dari generasi ke generasi.
Waktu berlalu dan Restorasi Meiji
terjadi. Kakekku lahir beberapa tahun setelah itu. Pada saat itu tidak ada
pendeta di kuil tersebut dan penduduk desa menggunakan kuil untuk pertemuan.
Mereka juga membantu membersihkan dan merawatnya dan kadang-kadang mengundang
pendeta dari daerah lain untuk melakukan pekerjaan di sana juga.
Ada pepatah untuk membiarkan anjing
tidur, jadi tidak ada yang pernah menyentuh goshintai karena cerita turun-temurun
itu. Jadi benda itu dibiarkan begitu saja.
Setelah insiden selama Periode
Sengoku, goshintai tersebut ditinggalkan sendirian dan hari-hari berlalu dengan
tenang. Kemudian pada suatu tahun, sesuatu terjadi.
Sekelompok anak muda dari desa
berkumpul pada suatu hari dan mengobrol tentang kisah tersebut di atas.
Kemudian beberapa dari mereka mengusulkan sesuatu.
“Tidak ada yang namanya kutukan. Kita
kan sudah menjadi modern semenjak Jepang terbuka, jadi berpegang teguh pada
takhyul lama seperti itu tidak baik.”
Karena itu, mereka memutuskan untuk
melepaskan diri dari takhyul dengan pergi mencari goshintai itu. Kakekku
mengatakan bahwa mereka mengganggap masalah ini dengan enteng, tak lebih
seperti ujian keberanian ala “uka uka”.
Tetapi tidak semua orang setuju
dengan rencana ini karena masih banyak yang takut akan kutukan itu. Hanya 10
orang yang berkumpul untuk melihatnya. Sebagai ujian keberanian, mereka semua
berkumpul di malam hari dan kemudian berjalan menuju kuil.
Mereka memasuki halaman kuil,
membuka pintu ke aula ibadah, lalu masuk ke dalam. Mereka menemukan sebuah
altar kecil, dan di belakangnya sebuah kotak kayu tua diikat dengan tali. Jelas,
goshintai itu ada di dalamnya.
Setelah sampai sejauh ini, mereka
tiba-tiba diliputi ketakutan dan tidak berani menyentuh kotak itu. Kemudian
orang pertama yang mengklaim itu semua takhyul akhirnya memutuskan sendiri untuk
meraihnya, menarik tali yang mengikat kotak itu agar tetap tertutup, lalu membukanya.
Di dalamnya, mereka menemukan tiga
batu magatama yang indah (magatama adalah batu berbentuk koma, seperti separuh
yin dan yang). Hanya itu. Ketegangan di ruangan itu pecah dan mereka menjadi
berani sekali lagi. Mereka meletakkan kembali goshintai itu dan minum-minum di
aula pemujaan sampai pagi.
Keesokan paginya, para pemuda yang
telah membuka kotak dan mabuk di aula ibadah sampai pagi ditegur oleh para
tetua desa, tetapi tidak ada bencana yang menimpa mereka atau desa, jadi mereka
membiarkannya begitu saja. Rupanya yang dilakukan kepala desa hanyalah menyeret
mereka kembali ke kuil untuk meminta maaf.
Tapi kemudian tiga tahun kemudian,
hal-hal aneh mulai terjadi. Babi hutan, rusa, dan monyet ditemukan mati,
tertancap di pohon di pinggiran desa. Beberapa orang mendengar suara-suara di
malam hari yang tidak terdengar seperti suara manusia atau hewan. Yang lain
menemukan rumah mereka dilempari batu-batu kecil dan anjing-anjing menggonggong
gila-gilaan, menyalak ke arah ketiadaan.
Rupanya kakek buyutku melihat
sederetan sosok bayangan gelap berjalan di luar ketika dia bangun untuk pergi
ke toilet pada suatu malam. Tetapi tidak ada satupun yang pernah terluka,
walaupun insiden itu jelas amat menyeramkan.
Karena peristiwa aneh ini terus
terjadi, orang-orang tentu mulai bergosip bahwa itu pasti karena apa yang
terjadi tiga tahun sebelumnya. Dengan kedok keamanan publik, penduduk desa
pergi menemui petugas polisi setempat untuk mendiskusikan apa yang sedang
terjadi. Dia meminta dukungan dari kantor polisi tetangga dan penduduk desa
juga membentuk kelompok ronda untuk berpatroli di malam hari. Mereka juga
membuat para pemuda yang mengunjungi kuil malam itu tiga tahun sebelumnya
kembali dan meminta maaf sekali lagi.
Namun terlepas dari berbagai
tindakan yang mereka ambil, tidak ada yang berhasil. Sebaliknya, kini korban
justru mulai bermunculan. Awalnya mereka menemukan mayat seorang penduduk desa
yang memasuki pegunungan dan diserang oleh sesuatu. Kemudian anak-anak yang
pergi bermain mulai hilang. Tak hanya itu, bahkan anggota ronda juga ikut
menghilang saat menjaga keamanan pada malam hari.
Peristiwa ini diikuti oleh seorang
wanita yang terbangun oleh teriakan di luar rumahnya pada malam hari. Dia
berlari keluar dan kemudian dengan panik berlari kembali ke rumahnya, seolah
dikejar oleh sesuatu. Begitu masuk, dia mengambil pisau dan menggorok lehernya
sendiri.
Peristiwa aneh ini berlanjut selama
sebulan berturut-turut dan penduduk desa tidak dapat melakukan apa pun untuk
menghentikan mereka. Mereka berkumpul untuk bermusyawarah jika ada yang bisa
mereka lakukan untuk menghentikannya. Kemudian salah satu tetua desa
menyarankan sesuatu.
“Ada seorang pendeta di kuil di luar
gunung yang telah bekerja dengan kami beberapa kali. Dia memiliki ikatan dengan
kuil kita, jadi mungkin kita harus pergi dan meminta bantuannya.”
Tidak ada orang lain yang punya ide lebih
bagus dan mereka juga tidak akan rugi apa-apa, jadi musyawarah berakhir dengan
kesepakatan bahwa mereka akan pergi menemui pendeta.
Pelaku yang telah membuka kotak itu
tiga tahun sebelumnya pergi ke kuil keesokan harinya dan mencoba menyampaikan
pesan itu kepada sang pendeta. Pendeta itu menenangkannya dan mendengarkan
dengan baik semua yang dia katakan. Tapi di tengah cerita pemuda itu, pendeta
itu tiba-tiba bergumam, “Aneh.”
Rupanya goshintai di dalam kotak di
atas altar itu sebenarnya adalah cermin datar, bukan batu magatama yang mereka
temukan. Rupanya, para pendahulu pendeta tersebut telah lama melakukan upacara
di kuil gunung desa itu dan sama sekali tidak tahu bahwa ada magatama di dalam
kotak kayu itu. Sejujurnya, dia terkejut mendengarnya dan pertama kali dia
mengetahuinya.
Namun pendeta itu mengklaim bahwa
ini bukan pekerjaan roh jahat atau tatarigami, melainkan sesuatu yang lain sama
sekali. Dia tidak akan tahu kecuali dia melihat mereka secara langsung, tapi
mungkin saja pendeta yang berada di kuil itu sebenarnya mencoba untuk sesuatu
yang berada di dalam kotak itu dengan batu magatama.
Pendeta itu berkata bahwa dia akan
memeriksa buku-buku yang mereka miliki dan melihat apakah dia dapat menemukan
sesuatu tentang batu-batu itu. Kemudian setuju untuk mengunjungi pemuda itu di
rumahnya dua hari kemudian.
Dua hari kemudian, ketika semua
orang sedang menunggu sang pendeta tiba, petugas polisi residen muncul untuk
memberi tahu mereka bahwa peristiwa aneh sedang menyebar. Tidak hanya ke desa
mereka, tetapi hingga ke desa-desa sekitarnya dan bahkan ke garnisun (pangkalan
militer) terdekat. Orang-orang mulai menghilang dan desa mereka menjadi pusat pandemi
yang tengah menyebar itu. Meskipun hanya rumor, orang-orang mulai melacaknya
kembali ke desa mereka, jadi mereka perlu melakukan sesuatu untuk menyelesaikan
masalah itu dengan cepat. Jika tidak, mereka akan berhadapan dengan penduduk
desa lain yang marah.
Sementara penduduk desa sedang bermusyawarah,
sang pendeta datang. Diputuskan mereka akan mengunjungi kuil terlebih dahulu
sehingga beliau bisa melihat magatama itu dengan matanya sendiri. Saat mereka
mencapai ujung jalan pegunungan yang menuju ke kuil, pendeta itu berhenti untuk
menjelaskan semua yang telah dia teliti.
Menurutnya, dulu pernah terjadi
sesuatu yang mengerikan di daerah tersebut. Benda ini telah merenggut banyak
orang. Penduduk setempat berdoa kepada sang Kami (dewa) pribumi untuk
memusnahkan makhluk itu, Tetapi makhluk itu terlalu kuat dan semakin banyak
orang yang direnggutnya, semakin kuat ia tumbuh. Pada akhirnya sang Kami mampu
menyegel makhluk itu, meskipun tidak bisa menghancurkannya.
Singkatnya, bencana itu hilang bukan
karena makhluk itu lenyap, melainkan karena bersembunyi di pinggiran desa, dan
karena Kami menggunakan kekuatannya untuk menyegelnya, ia tidak dapat melakukan
apa-apa. Karena para pemuda itu telah membuka kotak itu, kekuatannya kembali
dan ia membunuhi orang-orang sekali lagi.
Pendeta itu lebih lanjut menjelaskan
bahwa apa yang terjadi di desa selama Periode Sengoku tidak diragukan lagi
adalah pekerjaan tatarigami, tetapi kali ini berbeda. Sosok bayangan hitam yang
dilihat orang-orang di sekitar desa adalah mereka yang telah direnggut oleh
makhluk itu, dan membebaskan mereka darinya kemungkinan besar tidaklah mungkin.
Meskipun makhluk itu telah
memperoleh kekuatan kembali, mereka seharusnya masih bisa menggunakan kekuatan Kami
untuk menyegelnya lagi, tapi hanya jika mereka bisa melakukannya tepat waktu. Karena
telah terikat pada magatama begitu lama, kemungkinan besar makhluk itu tidak
dapat bergerak terlalu jauh dari mereka. Artinya, itu harus bersembunyi di
suatu tempat di dekatnya.
Lebih jauh lagi, para pemuda yang
telah merusak segel itu kemungkinan besar dirasuki oleh makhluk itu dan ada
kemungkinan besar ia menggunakannya untuk tujuan jahatnya sendiri. Bahkan jika
mereka berhasil menyegelnya, mereka masih belum bisa aman. Setelah pekerjaan
selesai, mereka perlu dimurnikan, dan jika itu masih tidak berhasil, mereka
perlu mengunjungi kepala Kuil Myojin untuk menerima pembersihan di sana.
Ada juga kemungkinan makhluk itu
akan mencoba menggunakan para pemuda untuk mengganggu ritual begitu mereka
memanggil Kami untuk menyegelnya, jadi dia merasa lebih baik jika semua orang
yang hadir pada saat itu berkumpul di sana, di kuil itu.
Sang pendeta meminta alat-alat yang
biasa digunakan selama ritual untuk dibawa kepadanya, serta berbagai barang
yang telah beliau tulis di selembar kertas. Beliau kemudian meminta semua orang
dari desa berkumpul di kuil untuk mengawasi para pemuda itu. Jika mereka
mencoba melakukan sesuatu, mereka sama sekali tidak diizinkan meninggalkan
halaman kuil. Beliau kemudian masuk ke dalam kuil untuk membuka kotak dan
memeriksa magatama itu sendiri.
Menurut sang pendeta, magatama
memiliki kekuatan untuk menyegel sesuatu, tetapi sekarang, dia tidak dapat
merasakan apapun darinya. Seperti yang dikatakan literatur, tidak diragukan
lagi batu ini adalah bagian dari makhluk itu sekarang dan beliau bisa merasakan
kehadiran sosok itu melalui batu tersebut.
Beberapa jam kemudian, para penduduk
desa kembali dengan anak-anak muda tersebut dan barang-barang yang dibutuhkan
pendeta untuk dikerjakan. Dia memulai persiapan ritual untuk meminjam kekuatan Kami
sesegera mungkin. Dia mengikat para pemuda itu dengan seutas tali, semacam jimat
pembatas, dan membacakan doa Shinto saat dia mulai.
Segalanya berjalan lancar pada
awalnya, tetapi tak lama kemudian daerah itu mulai berbau seperti binatang
buas, dan pendeta itu bisa merasakan beberapa orang berkeliaran di sekitar halaman
kuil. Semua orang di kuil diminta masuk ke dalam aula pemujaan dan penduduk
desa yang tersisa diberitahu untuk tidak meninggalkan rumah mereka, apa pun
yang terjadi. Tak seorang pun diperbolehkan berada di luar atau hal buruk akan
menimpa mereka.
Dengan kata lain, makhluk itu, pada
saat itu, berada di suatu tempat di luar kuil.
“Di bagian bawah kotak itu terdapat
cermin perunggu,” kata sang pendeta, “Jadi makhluk itu tidak akan bisa masuk ke
dalam aula pemujaan. Apa pun yang terjadi, kalian akan aman selama kalian tidak
pergi ke luar. ” Dia tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan, tetapi semua
orang harus menunggunya sampai ritual itu selesai.
Ritual berlanjut sampai pagi dan
sepanjang waktu mereka mendengar suara-suara di luar yang jelas bukan suara manusia
ataupun binatang. Ada banyak suara meraung-raung di luar. Dari balik dinding
dan pintu dari kertas, tampak bayangan-bayangan tengah berjalan di sekeliling
kuil, menggaruk dan memukul-mukul dinding.
Setelah ritual selesai, semua orang
kelelahan karena mereka ketakutan sepanjang malam dan hanya ingin pulang
secepat mungkin untuk tidur. Sang pendeta kemudian membuka pintu aula agar
mereka bisa keluar.
Begitu pintu terbuka, mereka
tercengang melihatnya
Kondisi luar kuil berantakan, dengan
pohon-pohon tumbang di mana-mana dan jejak kaki berlumpur yang tampaknya
berasal dari lusinan, bahkan ratusan orang yang berbeda. Sesuatu yang besar
telah menggores dinding kuil, meninggalkan retakan yang dalam, Mereka juga menemukan
sisa-sisa bangkai berbagai burung dan tanuki (rakun) yang telah dimakan juga.
Menurut sang pendeta, karena desa
itu telah lama ditinggalkan, tidak ada yang tersisa untuk mewariskan tradisi
orang-orang yang tinggal di sana sebelumnya, termasuk peran kuil dan legenda makhluk
itu sendiri. Bahkan pendeta itu hanya tahu dari apa yang dia temukan dalam literatur.
Sebelumnya, beliau tidak tahu apa-apa tentang itu
Namun meski begitu, tidak ada yang
tertulis dalam literatur tentang apa makhluk itu sebenarnya, atau apa
hubungannya dengan kuil. Sang pendeta juga seakan tak mau mengatakan apa yang
dilihatnya malam itu.
Adapun mengapa aku menulis semua ini
sekarang, karena kira-kira dua tahun yang lalu ada perampokan di kuil tersebut dan
semuanya diambil, bahkan goshintai itu. Hal seperti ini banyak terjadi
akhir-akhir ini, ya? Masalahnya ini juga berarti takkan ada lagi magatama yang
mengurung makhluk itu dan makhluk itu, apapun itu, akan menyerang lagi, dan
segala sesuatu dalam radius beberapa kilometer akan berada dalam bahaya.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan
sekarang,” kata kakek ku. “ Tidak sampai kita tahu lokasi magatama itu.”
SUMBER: KOWABANA
SUPER THANKS BUAT KARYAKARSA'ERS YANG SANGAT SPECIAL INI:
Junwesdy Sinaga
K Margaretha
Radinda dan Ananda Nur Fathur Rohman Prast
JUGA UCAPAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA KARYAKARSA-ERS UNTUK DUKUNGANNYA DI BULAN DESEMBER INI:
Rahmayanisma, Sean Noyoucannot, Noval Fadil, Muhammad Aidil Fajri, Dyah Ayu Andita Kumala, Sharnila Ilha, Dinda Laraswati Kharismariyadi, Rose, Victria Tan, Maulii Za, Syahfitri, Cacing Caripit, Rio Ali Adithia, Sekar Tandjoeng, Steven Alexandro, Yoonji Min, Dennis Bramasta, Popy Saputri, Rio Ali Adithia
Sek aku kurang sedikit paham di bagian cermin datar, jd magatama yang mrk liat itu pantulan dr atas atau emang dia tiba2 ada di dlm goshintai ?
ReplyDelete*Tim membaca cepat
Itu benda yang berbeda mbak
DeleteJd tiba2 dia ada di dalam goshintai? Duh
Deletetim membaca cepat? lebih mirip seperti tim males baca
DeletePendeta kuil : Ah sh*t, here we go again..
ReplyDelete