Saturday, December 25, 2021

JAPANESE DARK URBAN LEGEND #6: SIRINE

Judul Asli: “Siren”

Sumber Gambar: Unsplash

Kisah ini terjadi di pedesaan tempat aku tinggal.

Aku tinggal di sebuah desa yang dikelilingi oleh pegunungan, di mana pada pukul 9 pagi, 12 siang, dan 6 sore setiap hari, stasiun pemadam kebakaran membunyikan sirene yang menandakan waktu. Mereka yang tinggal di kota mungkin tidak akan memahaminya, tetapi bagi orang-orang seperti aku yang lahir dan besar di sana, itu adalah kejadian sehari-hari yang normal.

Ketika aku menjadi siswa SMA, tidak ada bioskop atau tempat karaoke yang bisa dikunjungi sebagai tempat bersenang-senang. Yang kami miliki hanyalah gunung, sungai, dan bendungan yang terletak di pinggiran desa.

Namun bahkan di desa kecil kami yang memalukan, kami memiliki sebuah tempat yang semua orang anggap sebagai lokasi berhantu yang terkenal. Tempat itu adalah Rumah Sakit Tentara Kekaisaran Jepang yang lama. Menurut rumor, rumah sakit yang kini terbengkalai itu adalah tempat yang sangat menakutkan.

Untuk mencapainya, kalian harus melewati jalan pegunungan yang hanya diketahui oleh penduduk setempat, kemudian naik kendaaan selama sekitar dua jam untuk menemukannya. Jalan kerikil yang kasar ini hanya cukup lebar untuk memuat satu mobil, jadi kebanyakan orang yang melihatnya akan mundur dan berpikir, “Ah, jalan buntu.”

Aku mendengar dari orang tuaku bahwa itu adalah rumah sakit itu terletak di dalam hutan, sehingga tidak masuk akal jika dipikir-pikir. Mengapa mereka membangun sebuah rumah sakit di tempat seterpencil itu.

Tentu saja seperti bisa kalian tebak, bagi anak-anak muda yang haus “hiburan” seperti kami, kami menggunakannya sebagai lokasi ujian keberanian. Jika kalian belum pernah ke sana sebelumnya, maka kalian bukan seorang pria sejati!

Ketika aku duduk di kelas satu SMA, aku dipelonco oleh para siswa senior. Rupanya adalah sebuah aturan bagi mereka untuk merahasiakan lokasi tempat itu sampai seseorang mencapai usia SMA.

“Kau dengar? Pergi ke sana malam ini, kemudian kembali lagi besok!” katanya. Ternyata, tidak sembarang orang bisa mengikuti tes keberanian ini. Hanya aku, serta dua anak A dan B, yang terkenal nakal di SMP, yang terpilih.

“Tidak mungkin anak-anak pendiam bisa melewatinya,” begitulah tanggapan mereka.

Malam itu kami berangkat dengan peta buatan tangan yang kami terima dari para senior kami serta berbekal senter. Dari rumah, kami menyelinap keluar dan membawa sepeda kami untuk menemukan rumah sakit itu. Instruksi berikut ditulis pada peta tersebut:

Berangkat jam 9 malam, tiba jam 11:30. Tulis nama Anda kalian pada papan nama dengan pena. Lari secepat mungkin.

Seluruh perjalanan akan memakan waktu lima jam dengan sepeda, pada malam hari, jadi kami agak kesal. Namun kami tetap bersemangat. Kami mengobrol sambil mengayuh sepeda di jalan pegunungan yang gelap.

"Apakah kamu benar-benar berpikir rumah sakit itu benar-benar ada di sana?" B bertanya.

"Ini pertama kalinya aku mendengarnya," kataku. "Kalau benar ada, tempat itu pasti sangat menakutkan, ya?"

"Jika tidak, aku akan menghajar mereka besok!" kata A, yang malah berani melawan senior kami itu.

Pada saat itu, kami lebih takut pada jalan di gunung ketimbang tempat itu. Salah jalan sedikit kami akan masuk jurang, apalagi di tengah gelap gulita seperti ini

Kami telah mendengar dari para senior bahwa fasilitas ini dikelilingi oleh pagar kawat berduri yang membentang di sekitar tempat itu. Karena tidak mungkin masuk ke dalam, begitu kami menulis nama kami di papan nama di depan, maka tantangan ini selesai.

Karena tidak harus masuk ke dalam, sejujurnya kami pikir itu akan menjadi tugas yang mudah dan tidak terlalu mengkhawatirkannya. Namun, ketakutan untuk berkendara selama dua setengah jam sendirian di jalan yang gelap dan berkerikil di pegunungan menggelayuti kami. Jadi untuk menyembunyikan ketakutan itu, kami bertiga mengobrol.

Setelah kami berkendara selama sekitar dua jam, lampu sepeda kami tiba-tiba menyinari sebuah pohon besar yang rubuh menghalangi jalan.

"Sial, awas!" A berteriak.

"Hei, aku tidak diberitahu apa-apa tentang ini!" B protes..

"Pasti jatuh karena topan tahun lalu." usulku. Kami turun dari sepeda dan memutuskan untuk melompatinya. Pertama A, B, dan kemudian aku menggendong sepeda kami untuk memanjat pohon besar itu.

Kemudian…

"Ah!" aku berteriak. Saat aku mengangkangi pohon itu, sesuatu seperti kain putih bergerak di tanah di bawah kami. Terkejut, aku jatuh bersama sepedaku.

"Hei hei, apa yang kamu lakukan?" kata A.

"Apa yang terjadi?" B menimpali.

“Berhenti main-main!” aku merintih. Baik A dan B tampak bingung. “Kalian baru saja mencoba menakutiku dengan kain putih itu, bukan?”

"Hah?" kata mereka berdua. Mereka menatapku kosong saat aku marah-marah. "Mungkin itu hanya bayanganmu saja?" kata mereka. Tanpa berpikir panjang, kami semua kembali ke sepeda dan mulai bersepeda lagi.

Setelah dua setengah jam perjalanan, akhirnya kami tiba, tepat waktu. Ada gerbang setinggi tiga meter yang ditutupi kawat berduri untuk mencegah orang memasukinya. Kawat berduri terus menjulur ke arah kiri dan kanan dari gerbang itu. Kami menyorotkan lampu kami ke kejauhan, tetapi sepertinya itu kawat itu tak ada akhirnya.

"Sial, itu menakutkan!" kata B.

"Bisakah kita melihat bangunan di dalamnya?" aku bertanya.

“Ini membosankan, ayo selesaikan ini dan pergi dari sini,” kata A. B dan aku sama-sama setuju bahwa tidak ada gunanya berkeliaran, jadi kami pergi untuk menulis nama kami di papan dengan spidol. "No Entry" muncul dalam huruf besar di bawah lampu kami.

"Wow, itu huruf-hurufnya kuno sekali!" kata B.

"Mereka agak aneh, ya?"

"Hei, lihat ke sini!" kata A sambil menunjuk sesuatu. Ada banyak nama yang tertulis di papan tulis. Semua anak-anak yang datang sebelum kami. Tapi di antara mereka ada tulisan aneh.

"Pergi dari sini sebelum tengah malam."

"Pfft, bodoh sekali," kata A.

"Apa-apaan itu? Ayo pergi dari sini!” aku bilang.

“Kertas yang mereka berikan kepada kami mengatakan untuk pergi dari sini secepat mungkin,” B setuju. A segera melirik jam tangannya.

“Hei, tinggal 10 menit lagi menuju tengah malam, ayo kita tunggu!”

"No way, Bro! Ayo kita pulang!"

“Yah, jika hanya 10 menit, nggak ada salahnya kita tunggu saja,” aku setuju. Kami mengalahkan B, jadi pada akhirnya ia setuju untuk menunggu.

Sebentar lagi akan tengah malam. A memulai hitungan mundur.

10…

9…

8…

7…

6…

5…

4…

3…

2…

1…

0…

Tidak ada yang terjadi. Atau begitulah yang kami pikirkan.

NGUUUUUUUUUUUUNG!

Sebuah sirene keras terdengar dari arah rumah sakit itu. B dan aku panik dan melompat ke sepeda kami untuk melarikan diri.

"Hei! Apakah kalian tidak malu dengan diri kalian sendiri?” A memanggil kami.

"Hah? Apa yang kau lakukan? Ayo cepat pergi dari sini!”

“Jangan lari. Justru ini tujuan mereka!”

"…Hah?"

"Para senior sialan itu pasti bersembunyi dan membunyikan sirine itu pas jam 12 malam untuk menakuti kita. Kalau dipikir-pikir, mana mungkin rumah sakit itu masih memiliki sirine, kan nggak ada listrik di sana."

B dan aku tidak mengatakan apa-apa.

"Kita lebih baik dari ini, ayo kita balas dendam pada mereka"!

"Hah? Bagaimana caranya?"

A menyeringai.

"Ayo kita masuk ke dalam."

A bertubuh lebih besar dari kami (ada gosip kalau sebelumnya ia tinggal kelas beberapa kali) dan bertindak seperti pemimpin. Tentu saja, kami takut, tetapi aku sebenarnya penasaran, apa yang ada di dalam sana. Selain itu kami tahu jika kami kabur, besok A akan memberitahukannya ke seluruh kelas dan menertawakan kami, jadi mau tak mau akupun mengikutinya. B menentang mati-matian, tetapi karena aku mengikuti ide A dan B tidak sudi tinggal di luar sendirian, akhirnya ia setuju untuk ikut juga.

Kami mulai memanjat bagian pintu yang tidak memiliki kawat berduri. Begitu kami semua berada di dalam, kami memegang senter di tangan dan mulai berjalan.

Kami terus berjalan di sepanjang jalan yang baru saja kami datangi.

"Hei, kita tidak benar-benar akan masuk ke dalam, kan?" aku bertanya.

"Hah? Apa yang kamu katakan? Kita akan masuk dan menulis nama kita di bagian paling menakutkan di dalam!”

“Aku tidak bisa. Aku akan tinggal di luar saja!” kata B.

"Yaudah kalau kamu mau tinggal di sini saja sendirian!"

B merengut dan akhirnya mengikuti kami.

Kami mengobrol sambil berjalan, mencoba membunuh rasa takut kami. Akhirnya, kami sampai di gedung rumah sakit itu itu.

"A-Apa itu?"

"Maksud kamu apa?"

Tiba-tiba listrik di gedung itu menyala. Lampu di dalam gedung juga terlihat menyala.

"Nah, ini benar-benar terlihat seperti rumah sakit," kataku.

"Sekarang ini yang aku bicarakan." A tersenyum.

“…Tidakkah menurutmu ini agak aneh?” kata B. Aku dan A menatapnya. "Apakah kalian melihat kabel listrik dalam perjalanan ke sini?"

"Bisa saja senior-senior bodoh itu menemukan generator yang masih menyala di sana, mungkin saja kan?" A menyarankan. Kami mendekati gedung itu. Itu adalah bangunan sederhana berlantai dua tanpa huruf atau tanda di luarnya. Saat kami berdiri di depan pintu masuk, aku menyadari sesuatu yang aneh.

Pintu depan dalam keadaan terbuka.

Gedung itu seperti mengundang kami masuk.

"Tunggu sebentar!" B berteriak sebelum kami melangkah masuk.

"Apa? Berhentilah ribut! Apakah kamu benar-benar akan menunggu di sini?"

"Tu … tunggu ..." B menyorotkan cahayanya ke luar gedung lagi.

Bangunan itu bersih. Terlalu bersih. Seperti baru saja dibangun beberapa tahun sebelumnya. Sungguh luar biasa untuk sebuah bangunan yang begitu dalam di pegunungan. Bahkan, seakan-akan gedung ini tak pernah ditinggalkan dan terbengkalai.

B menyorotkan senternya ke lantai dua. Seorang perawat berbaju putih dengan wajah pucat menatap kami. Saat mata kami bertemu, dia menghilang ke belakang.

“Aaaahhhh!” aku berteriak.

"Apa yang terjadi?"

Sepertinya hanya aku yang melihatnya. "Kalian tidak melihat itu?" Aku gemetar dan mencoba menjelaskan, tetapi mereka tidak mempercayaiku.

"Kamu hanya mengatakan itu untuk menakut-nakuti kami. Berhentilah!"

“Aku tidak bisa melakukan ini lagi! Berhenti main-main!”

Sepertinya mereka berdua juga menjadi takut. Kemudian …

NGUUUUUUUUUUUUUNG!

Sirene itu gedung berbunyi lagi. Suara itu sangat keras sehingga aku takut gendang telinga aku akan pecah.

"Aaaaaargh … telingaku!"

Kami berlari ke dalam gedung dan membanting pintu di belakang kami, mencoba menghindari suara itu. Saat kami masuk, sirene itu berhenti.

“Astaga, darimana suara itu?” A berkata dan mencoba membuka pintu. Dia menggoyang-goyangkan pegangannya. "Hah?" Dia bergeming lagi. "Apa-apaan?" Dia dengan keras mengguncang pegangannya dan mulai menendangnya.

B dan aku berpikir dia mencoba menakut-nakuti kami lagi, tapi sepertinya pintunya benar-benar tidak mau terbuka. Kami berjuang untuk membuka pintu itu di bawah cahaya redup. Saat aku menyadari situasi yang kami hadapi, rasanya seperti ribuan serangga merayap di seluruh kulitku.

Tak lama, kami mendengar suara lain. Seperti sesuatu yang berderit. Kami berbalik ke arahnya, dan sebuah kursi roda meluncur di lorong menuju kami dari dalam kegelapan.

B dan aku berteriak, tetapi A malah berteriak ke arahnya.

“Berhenti main-main! Siapa ini? Apakah itu kamu?” Dia berbicara tentang senior yang telah memberi kami perintah untuk datang ke sini. "Kamu tidak bisa menakuti kami dengan ini!"

A menuju kursi roda tua dan mencoba menendangnya. Tetapi pada saat yang sama, sesuatu dengan paksa mengangkatnya ke udara dan kemudian mendudukkannya di atasnya.

“Hei, apa-apaan ini?!” Dia berbalik untuk melihat kami. “B-Bantu aku— ”

Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, kursi roda itu meluncur kembali ke kegelapan dengan kecepatan yang menakutkan. Kami sangat ketakutan sehingga selama beberapa detik, kami tidak bisa bergerak, juga tidak bisa berteriak.

Saat kami menyadari bahwa ini adalah kenyataan, yang benar-benar terjadi, kelumpuhan yang mencengkeram kamipun pecah.

"SIAL, SIAL!"

“Biarkan kami keluar! Biarkan kami keluar!”

B dan aku berteriak dan menggedor pintu masuk.

Ada yang berderit lagi.

Kali ini dua kursi roda tua muncul dari kegelapan. Kami berbalik, melihat mereka, dan berteriak. Wajah kami pucat dan kamipun mulai menggedor pintu lagi.

Perawat berwajah pucat itu berdiri di sisi lain pintu, memelototi kami.

“Ahhhh!” kami berteriak dan kemudian pingsan.

Krik… krek…

Ketika aku kembali sadar, B dan aku sedang didorong oleh perawat di kursi. Aku berbalik untuk menatapnya dan dia menatapku, wajahnya kaku.

Aku tidak bisa bergerak.

Aku tidak bisa berbicara.

B sepertinya mengalami nasib yang sama. Seorang perawat berwajah pucat sedang mendorong kursinya.

Kursi B didorong ke dalam ruangan terlebih dahulu. Bahkan melihatnya dari belakang, aku bisa melihat bahwa tubuhnya tersentak ketakutan untuk sesaat. Kemudian kursiku didorong di belakangnya. Sama seperti B, sesaat tubuhku tersentak. Aku sangat takut hingga kurasa aku barusan kencing di celana.

Tempat itu adalah ruang operasi. A diikat ke meja operasi dan mereka membedahnya hidup-hidup. Ketika dia melihat kami, dia berteriak, air mata mengalir di pipinya.

"Tolong aku! Tolong aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! AAAAHHHH!”

Beberapa pria yang tampak seperti dokter berdiri di sekelilingnya, perutnya terbuka seperti katak saat mereka mengeluarkan organ satu per satu. B dan aku duduk di kursi kami menyaksikan itu semua sembari menangis.

Para dokter memberi perintah kepada perawat untuk mendorong kursi kami. Kemudian kami dibawa ke lokasi yang berbeda.

Kursi-kursi roda kami berderit ketika kami dibawa ke sebuah ruangan seperti sel penjara. Kami diikat ke tempat tidur, dan perawat memberi kami suntikan. Ketakutan menguasaiku ketika kesadaranku mulai memudar. Kemudian aku pingsan.

… y.

… eh.

…Hei! Ia bangun!

Ketika aku bangun, seniorku dari SMA memanggil aku, khawatir. Aku tiba-tiba melompat. Aku berada di satu-satunya rumah sakit kami di pedesaan. Aku menoleh dan B sedang berbaring di tempat tidur di sebelahku. Dua hari telah berlalu semenjak ujian keberanian kami. Aku bertanya kepada dokter apa yang terjadi dan mengapa aku ada di sana.

Dia mengatakan kepada aku bahwa keesokan harinya, senior kami menjadi khawatir ketika kami tidak datang ke sekolah, jadi mereka memberi tahu guru kami tentang ujian keberanian itu. Hari itu juga mereka berangkat mencari kami dengan mobil. Anehnya, mereka tidak menemukan pohon tumbang yang kami temukan di jalan.

Mereka menemukan jejak kaki kami melewati kawat berduri, jadi mereka mengikutinya ke dalam dan ketika mereka melihat sekeliling, mereka menemukan kami semua tidur di kamar yang berbeda.

Aku menangis dan memberi tahu dokter semua yang telah terjadi pada kami, tetapi saat dia mendengarkan, ia terlihat sama sekali tidak mempercayai cerita kami. Karena aku terus bersikeras, iapun mengantar kami ke rumah sakit yang terbengkala itu.

Ketika kami melihatnya di siang hari, kami terkejut.

Seluruh bangunan itu telah terbakar habis. Hampir tidak menyerupai bangunan dan jelas bukan seperti bangunan bersih yang kami lihat malam itu.

Dengan gugup kami masuk ke dalam dan menemukan kamar tempat kami diikat dan ruang operasi A berada. Nama A tertulis di atas meja…

Rupanya ketika mereka menemukannya, A berteriak kesakitan, tetapi tidak ada obat penghilang rasa sakit atau obat penenang yang bekerja, jadi mereka memindahkannya ke rumah sakit besar untuk dites di laboratorium. Mereka tidak dapat menemukan sesuatu yang salah dengannya, di dalam atau di luar tubuhnya, jadi mereka pikir itu pasti gangguan jiwa dan memindahkannya ke rumah sakit jiwa. Kami pergi mengunjunginya berkali-kali setelah itu, tetapi dia tidak pernah kembali normal.

Tempat apa itu, dan apa yang terjadi di sana? Satu-satunya catatan yang dapat kami temukan adalah bahwa itu pernah menjadi rumah sakit tentara dan telah terbakar setelah Jepang menyerah pada Sekutu pada akir Perang Dunia II. Bukan, bukan karena serangan bom sekutu atau apa, tapi mereka sengaja membakarnya. Ada pula rumor bahwa para pasiennya sendiri yang membakarnya. Kalia harus mengerti, bahwa jika benar tentara sendiri yang melakukannya, itu hanya berarti satu hal.

Untuk menghilangkan barang bukti.

Ada rumor bahwa di rumah sakit itu, mereka menguji serta membedah hidup-hidup para tawanan perang, bahkan warga lokal yang menurut mereka tidak berguna karena tak bisa berangkat perang, seperti orang-orang dengan kelainan mental. Pada saat perang berkecamuk, mereka disebut Unit 731 dan dibentuk kala itu untuk menemukan senjata biologis yang bisa membantu mereka memenangkan perang. Demi riset mereka, mereka tega menyiksa para pasien mereka dengan mencekoki berbagai jenis penyakit ke tubuh mereka, lalu mengotopsi mereka hidup-hidup untuk mengetahui apa akibatnya bagi tubuh mereka.

Yang mengerikan, demi menghapus semua jejak dan barang bukti mereka, tak hanya seluruh pasien yang dibunuh, melainkan juga semua dokter, suster, bahkan semua orang yang tahu akan keberadaan rumah sakit itu.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, A benar-benar kehilangan akal sehatnya. Sedangkan untuk B dan aku sendiri, malam tanpa tidur kami berlanjut. Setiap kali jam menunjukkan tengah malam, kami bisa mendengar sirene meraung dari rumah sakit itu.

NGUUUUUUUUNG!

Seperti memanggil kami. Meminta kami untuk kembali.


SUMBER: KOWABANA

 

 SUPER THANKS BUAT KARYAKARSA'ERS YANG SANGAT SPECIAL INI:

Junwesdy Sinaga 

K Margaretha 

Radinda dan Ananda Nur Fathur Rohman Prast 

JUGA UCAPAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA KARYAKARSA-ERS UNTUK DUKUNGANNYA DI BULAN DESEMBER INI:

Rahmayanisma, Sean Noyoucannot, Noval Fadil, Muhammad Aidil Fajri, Dyah Ayu Andita Kumala, Sharnila Ilha, Dinda Laraswati Kharismariyadi, Rose, Victria Tan, Maulii Za, Syahfitri, Cacing Caripit, Rio Ali Adithia, Sekar Tandjoeng, Steven Alexandro, Yoonji Min, Dennis Bramasta, Popy Saputri, Rio Ali Adithia 

3 comments:

  1. Pesan moralnya, kalau uji keberanian, jangan jadi sok berani

    ReplyDelete
  2. Lucky Club - Play at Lucky Club in Málaga, Spain!
    Lucky Club is a social casino that was launched in 2020 luckyclub and is licensed by Curacao. The casino uses Bitcoin, Ethereum, and other cryptocurrencies,

    ReplyDelete