Judul Asli: “Siren”
Sumber Gambar: Unsplash |
Kisah ini terjadi di pedesaan tempat
aku tinggal.
Aku tinggal di sebuah desa yang dikelilingi oleh pegunungan, di mana pada pukul 9 pagi, 12 siang, dan 6 sore setiap hari, stasiun pemadam kebakaran membunyikan sirene yang menandakan waktu. Mereka yang tinggal di kota mungkin tidak akan memahaminya, tetapi bagi orang-orang seperti aku yang lahir dan besar di sana, itu adalah kejadian sehari-hari yang normal.
Ketika aku menjadi siswa SMA, tidak
ada bioskop atau tempat karaoke yang bisa dikunjungi sebagai tempat
bersenang-senang. Yang kami miliki hanyalah gunung, sungai, dan bendungan yang
terletak di pinggiran desa.
Namun bahkan di desa kecil kami yang
memalukan, kami memiliki sebuah tempat yang semua orang anggap sebagai lokasi berhantu
yang terkenal. Tempat itu adalah Rumah Sakit Tentara Kekaisaran Jepang yang
lama. Menurut rumor, rumah sakit yang kini terbengkalai itu adalah tempat yang sangat
menakutkan.
Untuk mencapainya, kalian harus
melewati jalan pegunungan yang hanya diketahui oleh penduduk setempat, kemudian
naik kendaaan selama sekitar dua jam untuk menemukannya. Jalan kerikil yang
kasar ini hanya cukup lebar untuk memuat satu mobil, jadi kebanyakan orang yang
melihatnya akan mundur dan berpikir, “Ah, jalan buntu.”
Aku mendengar dari orang tuaku bahwa
itu adalah rumah sakit itu terletak di dalam hutan, sehingga tidak masuk akal
jika dipikir-pikir. Mengapa mereka membangun sebuah rumah sakit di tempat
seterpencil itu.
Tentu saja seperti bisa kalian tebak,
bagi anak-anak muda yang haus “hiburan” seperti kami, kami menggunakannya
sebagai lokasi ujian keberanian. Jika kalian belum pernah ke sana sebelumnya,
maka kalian bukan seorang pria sejati!
Ketika aku duduk di kelas satu SMA, aku
dipelonco oleh para siswa senior. Rupanya adalah sebuah aturan bagi mereka
untuk merahasiakan lokasi tempat itu sampai seseorang mencapai usia SMA.
“Kau dengar? Pergi ke sana malam
ini, kemudian kembali lagi besok!” katanya. Ternyata, tidak sembarang orang
bisa mengikuti tes keberanian ini. Hanya aku, serta dua anak A dan B, yang
terkenal nakal di SMP, yang terpilih.
“Tidak mungkin anak-anak pendiam
bisa melewatinya,” begitulah tanggapan mereka.
Malam itu kami berangkat dengan peta
buatan tangan yang kami terima dari para senior kami serta berbekal senter. Dari
rumah, kami menyelinap keluar dan membawa sepeda kami untuk menemukan rumah
sakit itu. Instruksi berikut ditulis pada peta tersebut:
Berangkat
jam 9 malam, tiba jam 11:30. Tulis nama Anda kalian pada papan nama dengan
pena. Lari secepat mungkin.
Seluruh perjalanan akan memakan
waktu lima jam dengan sepeda, pada malam hari, jadi kami agak kesal. Namun kami
tetap bersemangat. Kami mengobrol sambil mengayuh sepeda di jalan pegunungan
yang gelap.
"Apakah kamu benar-benar
berpikir rumah sakit itu benar-benar ada di sana?" B bertanya.
"Ini pertama kalinya aku
mendengarnya," kataku. "Kalau benar ada, tempat itu pasti sangat
menakutkan, ya?"
"Jika tidak, aku akan menghajar
mereka besok!" kata A, yang malah berani melawan senior kami itu.
Pada saat itu, kami lebih takut pada
jalan di gunung ketimbang tempat itu. Salah jalan sedikit kami akan masuk
jurang, apalagi di tengah gelap gulita seperti ini
Kami telah mendengar dari para
senior bahwa fasilitas ini dikelilingi oleh pagar kawat berduri yang membentang
di sekitar tempat itu. Karena tidak mungkin masuk ke dalam, begitu kami menulis
nama kami di papan nama di depan, maka tantangan ini selesai.
Karena tidak harus masuk ke dalam,
sejujurnya kami pikir itu akan menjadi tugas yang mudah dan tidak terlalu
mengkhawatirkannya. Namun, ketakutan untuk berkendara selama dua setengah jam
sendirian di jalan yang gelap dan berkerikil di pegunungan menggelayuti kami. Jadi
untuk menyembunyikan ketakutan itu, kami bertiga mengobrol.
Setelah kami berkendara selama
sekitar dua jam, lampu sepeda kami tiba-tiba menyinari sebuah pohon besar yang
rubuh menghalangi jalan.
"Sial, awas!" A berteriak.
"Hei, aku tidak diberitahu
apa-apa tentang ini!" B protes..
"Pasti jatuh karena topan tahun
lalu." usulku. Kami turun dari sepeda dan memutuskan untuk melompatinya.
Pertama A, B, dan kemudian aku menggendong sepeda kami untuk memanjat pohon
besar itu.
Kemudian…
"Ah!" aku berteriak. Saat
aku mengangkangi pohon itu, sesuatu seperti kain putih bergerak di tanah di
bawah kami. Terkejut, aku jatuh bersama sepedaku.
"Hei hei, apa yang kamu
lakukan?" kata A.
"Apa yang terjadi?" B
menimpali.
“Berhenti main-main!” aku merintih.
Baik A dan B tampak bingung. “Kalian baru saja mencoba menakutiku dengan kain
putih itu, bukan?”
"Hah?" kata mereka berdua.
Mereka menatapku kosong saat aku marah-marah. "Mungkin itu hanya bayanganmu
saja?" kata mereka. Tanpa berpikir panjang, kami semua kembali ke sepeda
dan mulai bersepeda lagi.
Setelah dua setengah jam perjalanan,
akhirnya kami tiba, tepat waktu. Ada gerbang setinggi tiga meter yang ditutupi
kawat berduri untuk mencegah orang memasukinya. Kawat berduri terus menjulur ke
arah kiri dan kanan dari gerbang itu. Kami menyorotkan lampu kami ke kejauhan,
tetapi sepertinya itu kawat itu tak ada akhirnya.
"Sial, itu menakutkan!"
kata B.
"Bisakah kita melihat bangunan
di dalamnya?" aku bertanya.
“Ini membosankan, ayo selesaikan ini
dan pergi dari sini,” kata A. B dan aku sama-sama setuju bahwa tidak ada
gunanya berkeliaran, jadi kami pergi untuk menulis nama kami di papan dengan
spidol. "No Entry" muncul dalam huruf besar di bawah lampu kami.
"Wow, itu huruf-hurufnya kuno
sekali!" kata B.
"Mereka agak aneh, ya?"
"Hei, lihat ke sini!" kata
A sambil menunjuk sesuatu. Ada banyak nama yang tertulis di papan tulis. Semua
anak-anak yang datang sebelum kami. Tapi di antara mereka ada tulisan aneh.
"Pergi
dari sini sebelum tengah malam."
"Pfft, bodoh sekali," kata
A.
"Apa-apaan itu? Ayo pergi dari
sini!” aku bilang.
“Kertas yang mereka berikan kepada
kami mengatakan untuk pergi dari sini secepat mungkin,” B setuju. A segera
melirik jam tangannya.
“Hei, tinggal 10 menit lagi menuju
tengah malam, ayo kita tunggu!”
"No way, Bro! Ayo kita pulang!"
“Yah, jika hanya 10 menit, nggak ada
salahnya kita tunggu saja,” aku setuju. Kami mengalahkan B, jadi pada akhirnya ia
setuju untuk menunggu.
Sebentar lagi akan tengah malam. A
memulai hitungan mundur.
10…
9…
8…
7…
6…
5…
4…
3…
2…
1…
0…
Tidak ada yang terjadi. Atau
begitulah yang kami pikirkan.
NGUUUUUUUUUUUUNG!
Sebuah sirene keras terdengar dari arah
rumah sakit itu. B dan aku panik dan melompat ke sepeda kami untuk melarikan
diri.
"Hei! Apakah kalian tidak malu
dengan diri kalian sendiri?” A memanggil kami.
"Hah? Apa yang kau lakukan? Ayo
cepat pergi dari sini!”
“Jangan lari. Justru ini tujuan
mereka!”
"…Hah?"
"Para senior sialan itu pasti
bersembunyi dan membunyikan sirine itu pas jam 12 malam untuk menakuti kita.
Kalau dipikir-pikir, mana mungkin rumah sakit itu masih memiliki sirine, kan
nggak ada listrik di sana."
B dan aku tidak mengatakan apa-apa.
"Kita lebih baik dari ini, ayo
kita balas dendam pada mereka"!
"Hah? Bagaimana caranya?"
A menyeringai.
"Ayo kita masuk ke dalam."
A bertubuh lebih besar dari kami (ada
gosip kalau sebelumnya ia tinggal kelas beberapa kali) dan bertindak seperti
pemimpin. Tentu saja, kami takut, tetapi aku sebenarnya penasaran, apa yang ada
di dalam sana. Selain itu kami tahu jika kami kabur, besok A akan
memberitahukannya ke seluruh kelas dan menertawakan kami, jadi mau tak mau
akupun mengikutinya. B menentang mati-matian, tetapi karena aku mengikuti ide A
dan B tidak sudi tinggal di luar sendirian, akhirnya ia setuju untuk ikut juga.
Kami mulai memanjat bagian pintu
yang tidak memiliki kawat berduri. Begitu kami semua berada di dalam, kami
memegang senter di tangan dan mulai berjalan.
Kami terus berjalan di sepanjang
jalan yang baru saja kami datangi.
"Hei, kita tidak benar-benar
akan masuk ke dalam, kan?" aku bertanya.
"Hah? Apa yang kamu katakan?
Kita akan masuk dan menulis nama kita di bagian paling menakutkan di dalam!”
“Aku tidak bisa. Aku akan tinggal di
luar saja!” kata B.
"Yaudah kalau kamu mau tinggal
di sini saja sendirian!"
B merengut dan akhirnya mengikuti
kami.
Kami mengobrol sambil berjalan,
mencoba membunuh rasa takut kami. Akhirnya, kami sampai di gedung rumah sakit
itu itu.
"A-Apa itu?"
"Maksud kamu apa?"
Tiba-tiba listrik di gedung itu menyala.
Lampu di dalam gedung juga terlihat menyala.
"Nah, ini benar-benar terlihat
seperti rumah sakit," kataku.
"Sekarang ini yang aku
bicarakan." A tersenyum.
“…Tidakkah menurutmu ini agak aneh?”
kata B. Aku dan A menatapnya. "Apakah kalian melihat kabel listrik dalam
perjalanan ke sini?"
"Bisa saja senior-senior bodoh
itu menemukan generator yang masih menyala di sana, mungkin saja kan?" A
menyarankan. Kami mendekati gedung itu. Itu adalah bangunan sederhana berlantai
dua tanpa huruf atau tanda di luarnya. Saat kami berdiri di depan pintu masuk, aku
menyadari sesuatu yang aneh.
Pintu depan dalam keadaan terbuka.
Gedung itu seperti mengundang kami
masuk.
"Tunggu sebentar!" B
berteriak sebelum kami melangkah masuk.
"Apa? Berhentilah ribut! Apakah
kamu benar-benar akan menunggu di sini?"
"Tu … tunggu ..." B
menyorotkan cahayanya ke luar gedung lagi.
Bangunan itu bersih. Terlalu bersih.
Seperti baru saja dibangun beberapa tahun sebelumnya. Sungguh luar biasa untuk
sebuah bangunan yang begitu dalam di pegunungan. Bahkan, seakan-akan gedung ini
tak pernah ditinggalkan dan terbengkalai.
B menyorotkan senternya ke lantai
dua. Seorang perawat berbaju putih dengan wajah pucat menatap kami. Saat mata
kami bertemu, dia menghilang ke belakang.
“Aaaahhhh!” aku berteriak.
"Apa yang terjadi?"
Sepertinya hanya aku yang
melihatnya. "Kalian tidak melihat itu?" Aku gemetar dan mencoba
menjelaskan, tetapi mereka tidak mempercayaiku.
"Kamu hanya mengatakan itu
untuk menakut-nakuti kami. Berhentilah!"
“Aku tidak bisa melakukan ini lagi!
Berhenti main-main!”
Sepertinya mereka berdua juga
menjadi takut. Kemudian …
NGUUUUUUUUUUUUUNG!
Sirene itu gedung berbunyi lagi.
Suara itu sangat keras sehingga aku takut gendang telinga aku akan pecah.
"Aaaaaargh … telingaku!"
Kami berlari ke dalam gedung dan
membanting pintu di belakang kami, mencoba menghindari suara itu. Saat kami
masuk, sirene itu berhenti.
“Astaga, darimana suara itu?” A
berkata dan mencoba membuka pintu. Dia menggoyang-goyangkan pegangannya.
"Hah?" Dia bergeming lagi. "Apa-apaan?" Dia dengan keras
mengguncang pegangannya dan mulai menendangnya.
B dan aku berpikir dia mencoba
menakut-nakuti kami lagi, tapi sepertinya pintunya benar-benar tidak mau
terbuka. Kami berjuang untuk membuka pintu itu di bawah cahaya redup. Saat aku
menyadari situasi yang kami hadapi, rasanya seperti ribuan serangga merayap di
seluruh kulitku.
Tak lama, kami mendengar suara lain.
Seperti sesuatu yang berderit. Kami berbalik ke arahnya, dan sebuah kursi roda
meluncur di lorong menuju kami dari dalam kegelapan.
B dan aku berteriak, tetapi A malah
berteriak ke arahnya.
“Berhenti main-main! Siapa ini?
Apakah itu kamu?” Dia berbicara tentang senior yang telah memberi kami perintah
untuk datang ke sini. "Kamu tidak bisa menakuti kami dengan ini!"
A menuju kursi roda tua dan mencoba
menendangnya. Tetapi pada saat yang sama, sesuatu dengan paksa mengangkatnya ke
udara dan kemudian mendudukkannya di atasnya.
“Hei, apa-apaan ini?!” Dia berbalik
untuk melihat kami. “B-Bantu aku— ”
Sebelum dia bisa menyelesaikan
kalimatnya, kursi roda itu meluncur kembali ke kegelapan dengan kecepatan yang
menakutkan. Kami sangat ketakutan sehingga selama beberapa detik, kami tidak
bisa bergerak, juga tidak bisa berteriak.
Saat kami menyadari bahwa ini adalah
kenyataan, yang benar-benar terjadi, kelumpuhan yang mencengkeram kamipun pecah.
"SIAL, SIAL!"
“Biarkan kami keluar! Biarkan kami
keluar!”
B dan aku berteriak dan menggedor
pintu masuk.
Ada yang berderit lagi.
Kali ini dua kursi roda tua muncul
dari kegelapan. Kami berbalik, melihat mereka, dan berteriak. Wajah kami pucat
dan kamipun mulai menggedor pintu lagi.
Perawat berwajah pucat itu berdiri
di sisi lain pintu, memelototi kami.
“Ahhhh!” kami berteriak dan kemudian
pingsan.
Krik… krek…
Ketika aku kembali sadar, B dan aku
sedang didorong oleh perawat di kursi. Aku berbalik untuk menatapnya dan dia
menatapku, wajahnya kaku.
Aku tidak bisa bergerak.
Aku tidak bisa berbicara.
B sepertinya mengalami nasib yang
sama. Seorang perawat berwajah pucat sedang mendorong kursinya.
Kursi B didorong ke dalam ruangan
terlebih dahulu. Bahkan melihatnya dari belakang, aku bisa melihat bahwa
tubuhnya tersentak ketakutan untuk sesaat. Kemudian kursiku didorong di
belakangnya. Sama seperti B, sesaat tubuhku tersentak. Aku sangat takut hingga
kurasa aku barusan kencing di celana.
Tempat itu adalah ruang operasi. A
diikat ke meja operasi dan mereka membedahnya hidup-hidup. Ketika dia melihat
kami, dia berteriak, air mata mengalir di pipinya.
"Tolong aku! Tolong aku!
Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! AAAAHHHH!”
Beberapa pria yang tampak seperti
dokter berdiri di sekelilingnya, perutnya terbuka seperti katak saat mereka
mengeluarkan organ satu per satu. B dan aku duduk di kursi kami menyaksikan itu
semua sembari menangis.
Para dokter memberi perintah kepada
perawat untuk mendorong kursi kami. Kemudian kami dibawa ke lokasi yang
berbeda.
Kursi-kursi roda kami berderit
ketika kami dibawa ke sebuah ruangan seperti sel penjara. Kami diikat ke tempat
tidur, dan perawat memberi kami suntikan. Ketakutan menguasaiku ketika
kesadaranku mulai memudar. Kemudian aku pingsan.
… y.
… eh.
…Hei! Ia bangun!
Ketika aku bangun, seniorku dari SMA
memanggil aku, khawatir. Aku tiba-tiba melompat. Aku berada di satu-satunya
rumah sakit kami di pedesaan. Aku menoleh dan B sedang berbaring di tempat
tidur di sebelahku. Dua hari telah berlalu semenjak ujian keberanian kami. Aku
bertanya kepada dokter apa yang terjadi dan mengapa aku ada di sana.
Dia mengatakan kepada aku bahwa
keesokan harinya, senior kami menjadi khawatir ketika kami tidak datang ke
sekolah, jadi mereka memberi tahu guru kami tentang ujian keberanian itu. Hari
itu juga mereka berangkat mencari kami dengan mobil. Anehnya, mereka tidak
menemukan pohon tumbang yang kami temukan di jalan.
Mereka menemukan jejak kaki kami
melewati kawat berduri, jadi mereka mengikutinya ke dalam dan ketika mereka
melihat sekeliling, mereka menemukan kami semua tidur di kamar yang berbeda.
Aku menangis dan memberi tahu dokter
semua yang telah terjadi pada kami, tetapi saat dia mendengarkan, ia terlihat
sama sekali tidak mempercayai cerita kami. Karena aku terus bersikeras, iapun
mengantar kami ke rumah sakit yang terbengkala itu.
Ketika kami melihatnya di siang
hari, kami terkejut.
Seluruh bangunan itu telah terbakar
habis. Hampir tidak menyerupai bangunan dan jelas bukan seperti bangunan bersih
yang kami lihat malam itu.
Dengan gugup kami masuk ke dalam dan
menemukan kamar tempat kami diikat dan ruang operasi A berada. Nama A tertulis
di atas meja…
Rupanya ketika mereka menemukannya,
A berteriak kesakitan, tetapi tidak ada obat penghilang rasa sakit atau obat
penenang yang bekerja, jadi mereka memindahkannya ke rumah sakit besar untuk dites
di laboratorium. Mereka tidak dapat menemukan sesuatu yang salah dengannya, di
dalam atau di luar tubuhnya, jadi mereka pikir itu pasti gangguan jiwa dan
memindahkannya ke rumah sakit jiwa. Kami pergi mengunjunginya berkali-kali
setelah itu, tetapi dia tidak pernah kembali normal.
Tempat apa itu, dan apa yang terjadi
di sana? Satu-satunya catatan yang dapat kami temukan adalah bahwa itu pernah
menjadi rumah sakit tentara dan telah terbakar setelah Jepang menyerah pada
Sekutu pada akir Perang Dunia II. Bukan, bukan karena serangan bom sekutu atau
apa, tapi mereka sengaja membakarnya. Ada pula rumor bahwa para pasiennya
sendiri yang membakarnya. Kalia harus mengerti, bahwa jika benar tentara
sendiri yang melakukannya, itu hanya berarti satu hal.
Untuk menghilangkan barang bukti.
Ada rumor bahwa di rumah sakit itu,
mereka menguji serta membedah hidup-hidup para tawanan perang, bahkan warga
lokal yang menurut mereka tidak berguna karena tak bisa berangkat perang,
seperti orang-orang dengan kelainan mental. Pada saat perang berkecamuk, mereka
disebut Unit 731 dan dibentuk kala itu untuk menemukan senjata biologis yang
bisa membantu mereka memenangkan perang. Demi riset mereka, mereka tega
menyiksa para pasien mereka dengan mencekoki berbagai jenis penyakit ke tubuh
mereka, lalu mengotopsi mereka hidup-hidup untuk mengetahui apa akibatnya bagi
tubuh mereka.
Yang mengerikan, demi menghapus
semua jejak dan barang bukti mereka, tak hanya seluruh pasien yang dibunuh,
melainkan juga semua dokter, suster, bahkan semua orang yang tahu akan
keberadaan rumah sakit itu.
Beberapa bulan setelah kejadian itu,
A benar-benar kehilangan akal sehatnya. Sedangkan untuk B dan aku sendiri,
malam tanpa tidur kami berlanjut. Setiap kali jam menunjukkan tengah malam,
kami bisa mendengar sirene meraung dari rumah sakit itu.
NGUUUUUUUUNG!
Seperti memanggil kami. Meminta kami
untuk kembali.
SUMBER: KOWABANA
SUPER THANKS BUAT KARYAKARSA'ERS YANG SANGAT SPECIAL INI:
Junwesdy Sinaga
K Margaretha
Radinda dan Ananda Nur Fathur Rohman Prast
JUGA UCAPAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA KARYAKARSA-ERS UNTUK DUKUNGANNYA DI BULAN DESEMBER INI:
Rahmayanisma, Sean Noyoucannot, Noval Fadil, Muhammad Aidil Fajri, Dyah Ayu Andita Kumala, Sharnila Ilha, Dinda Laraswati Kharismariyadi, Rose, Victria Tan, Maulii Za, Syahfitri, Cacing Caripit, Rio Ali Adithia, Sekar Tandjoeng, Steven Alexandro, Yoonji Min, Dennis Bramasta, Popy Saputri, Rio Ali Adithia
Pesan moralnya, kalau uji keberanian, jangan jadi sok berani
ReplyDeletePesan mortal?
ReplyDeleteLucky Club - Play at Lucky Club in Málaga, Spain!
ReplyDeleteLucky Club is a social casino that was launched in 2020 luckyclub and is licensed by Curacao. The casino uses Bitcoin, Ethereum, and other cryptocurrencies,