Friday, April 11, 2025

GUNDALA: PATRIOT – CHAPTER 4

 


SAHABAT LAMA

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Sancaka? Astaga?” Nathan menjatuhkan botol kaca yang dipegangnya hingga jatuh berkeping-keping. Sancaka yang sejak tadi menatap isi kamar kostnya yang tak berubah kemudian menoleh.

“Nathan!” Sancaka senang melihat kehadiran pemuda itu, “Apa kabar?”

“Darimana saja kau?” Nathan memunguti pecahan beling yang berserakan di lantai, “Sudah lama sekali sejak kau menghilang begitu saja.”

Sancaka penasaran dan memungut salah satu potongan kaca dengan label minuman keras masih menempel.

“Kau minum sekarang?” tanyanya heran. Ia juga memperhatikan penampilan Nathan sekarang acak-acakan.

“Yah, kondisiku tak begitu bagus akhir-akhir ini,” akunya, “Kau tahu, pada saat kau pergi, ada serangan dan kekasihku ... Maya, dia tewas ...”

“Maya?” Sancaka terkesiap. Apa Nathan masih tak menyadari siapa perempuan itu?

“Dia meninggal di depan mataku, Sancaka ... dan aku tak mampu melakukan apapun untuk melakukannya ...” pemuda itu merunduk dan menangis. Sancaka segera menenangkannya.

“Semenjak itu aku berhenti bekerja dan menjadi pengangguran. Hidupku hancur .... karena trauma itu ...”

Sancaka menjadi sedih mendengarnya.

“Semuanya akan baik-baik saja, Nate ...” ia menepuk bahu pemuda itu.

“Ya Tuhan, Sancaka!” terdengar seruan lain dari arah dapur, “Apa benar ini kau?!”

Pemuda itu menoleh, “Yoga! Apa kabarmu?”

“Baik tentu saja!” wajah pemuda itu agak berubah, namun masih sama seperti yang Sancaka ingat terakhir kali. “Kemana saja kau? Awang ternyata selama ini benar ... ia selalu yakin kau akan kembali. Bahkan mempertahankan kamarmu supaya bisa kau tiduri lagi jika suatu saat kelak kau kembali.”

Ia tersenyum. Ia sudah tak sabar lagi bertemu dengan Awang.

Dan juga kekasihnya, Esthy.

“Baiklah, aku akan mencari Awang sekarang. Senang sekali bertemu dengan kalian lagi!”

Nathan mendongak ke arah Yoga sepeninggal Sancaka pergi.

“Apa kau takkan mengatakan kepadanya?”

Yoga hanya terdiam.

“Walaupun menyakitkan, kurasa ia harus mengetahuinya sendiri.”

***

 

“Lama sekali? Kenapa Nathan dan Yoga mengatakan hal semacam itu?” Sancaka tak habis pikir, “Berapa lama aku pergi? Tak lebih dari dua hari bukan? Lagipula kenapa penampilan mereka agak berubah semenjak terakhir kali aku masih di sini?”

Sancaka terhenyak melihat pemandangan di dekat kost-nya.

“Gedung-gedung tinggi ini, kapan mereka ada?” Sancaka merasa tak pernah melihatnya sebelumnya. “Dimana Esthy dan Awang? Aku harus segera mencarinya.”

“Ugh!” tiba-tiba Sancaka tersungkur. Ia merasakan sesuatu yang membuat dadanya sesak.

“A ... apa ini?” ia merasakan partikel-partikel di sekitarnya yang bergerak. Partikel-partikel lepton seperti muon dan tau, serta versi neutrino mereka, elektron dan proton, hingga partikel boson seperti foton yang bergerak dengan kecepatan cahaya. Ia bisa membedakannya karena “string” penyusunnya bergetar dalam frekuensi yang berbeda-beda.

Namun ia juga merasakan hal yang lain.

“Dark energy!” Sancaka menyadarinya. Ia pernah merasakannya saat berada di masa depan.

“Musuh itu? Ia ada di sini?” Sancaka menoleh, namun yang ia lihat hanyalah orang-orang biasa yang lalu lalang.

“Bukan ... tenaganya tak sebesar ini. Ini ... ini hanya residunya saja.” Sancaka sadar, mungkin ia sendiri membawa jejak radiasi itu. Ia pernah berada di dekat musuh misterius yang menghancurkan masa depan itu, bahkan pernah hampir menerima serangannya. Mungkin saja karena itu residu dark energy itu masih menempel padanya.

Sancaka kembali bangkit. “Tak ada waktu untuk memikirkannya. Aku harus mencari Esthy dulu!”

Sementara itu, tak jauh dari Sancaka yang kembali berjalan menembus kerumunan, seorang pemuda tengah mengawasinya sembari mengigit apel.

Hampir saja ia mengetahui keberadaannya. Mata mereka sempat bertemu, namun sepertinya Sancaka tak menyadari keberadaannya. Penampilannya yang biasa-biasa saja dengan mudah membuatnya membaur bersama orang-orang itu.

“Energi elektromagnetik yang luar biasa.” bisik hologram di sampingnya, yang tak kelihatan oleh mata manusia, “Sulit dipercaya pemuda kikuk sepertinya adalah pemegang salah satu dari empat kekuatan terbesar alam semesta.”

“Jangan sekarang, Orthorb!” balas pemuda itu sembari berusaha keras tak menarik perhatian. Ia mengigit apel yang dipegangnya untuk menyamarkan gerakan bibirnya.

“Orang-orang bisa menganggapku gila jika bicara sendirian,” bisiknya sambil mengunyah apel, “Bukan pria itu. Dia bahkan tak punya kristal. Namun aku penasaran, darimana ia memperoleh kekuatan sedahyat ini.”

“Bagaimana? Apa yang akan kita lakukan padanya?”

“Menunggu.” Tangguh kembali menggigit apelnya, “Yang lain pasti akan segera muncul.”

***

 

Inspektur Garuda berjalan di depan Mekanisme Antykhitera, mesin raksasa yang dapat membuat Pengkor meramalkan masa depan. Gotri-gotri nanobot yang disebut “microtir” itu tak bergerak di layar yang disusunnya, seolah sedang tertidur.

“Seandainya benda ini lebih cepat ditemukan, mungkin Mariam takkan ...” gumamnya pelan.

“Anda masih belum bisa melupakan kekasih Anda rupanya.” Terdengar suara Pengkor dari belakangnya.

Garuda terkejut dan segera menoleh, “Sejak kapan kau ada di sana?”. Nalurinya masih belum bisa mempercayai mantan penjahat itu seratus persen.

“Saya sudah mendengar ceritanya. Sangat tragis.” Pengkor berdecak, “Dia meninggal gara-gara runtuhnya Jembatan Pasupati yang juga hampir menewaskan Presiden bukan? Ya, saya ingat sekali kejadian itu, walaupun saat itu saya masih berada di penjara.”

Masih terbayang di benak Garuda kejadian naas itu, terutama karena peristiwa itu terjadi tepat di depan matanya.

Saat itu Mariam, tunangannya, berada di dalam bus yang melaju di bawah jembatan Pasupati. Garuda yang sedang bertugas segera menuju ke sana karena mendengar kabar hilangnya kontak dengan iring-iringan Presiden.

Ia tak menyangka Mariam juga ada di sana.

Lebih buruk lagi, ia datang terlambat.

Bus itu hancur dalam sekerjapan mata, ditimpa oleh runtuhan beton berbobot ratusan ton.

Jenazahnya, bersama dengan korban-korban lain, tak pernah ditemukan. Tentu saja, akan sulit menarik tubuh mereka dalam kondisi utuh dari reruntuhan jembatan tersebut. Seharusnya ini membuatnya Garuda sedikit berharap bahwa Mariam masih hidup.

Namun seberkas cincin pertunangan yang temukan di bawah reruntuhan cukup untuk memupuskan segala asanya.

Garuda ingat benar, setelah jembatan itu runtuh menimpa kekasihnya dan para warga tak berdosa lain, ia mendongak dan melihatnya.

Sosok berjubah tengah terbang dengan palu di tangannya.

Semenjak itu, berita penampakan tentang Godam, pria berkekuatan adidaya itu dan Putra Petir, pria yang menimbulkan badai listrik, muncul di semua media elektronik dan media massa. Ia yakin orang-orang semacam mereka-lah yang menyebabkan berbagai kekacauan yang terjadi di Indonesia.

Dan juga kematian wanita yang ia cintai.

“Karena itulah Anda begitu membencinya, para pahlawan adidaya itu?”

“Pahlawan adidaya? Itukah sebutanmu untuk mereka?” Garuda merasa muak mendengarnya, “Mereka tak lebih dari pengacau! Jika mereka memang berniat baik, kenapa mereka tak mengungkapkan diri mereka pada pemerintah dan membantu kami? Alih-alih mereka hanya bersembunyi dan bertempur satu sama lain di tengah kota, menimbulkan banyak korban.”

Pengkor justru terkekeh mendengarnya, “Mesin yang akan Anda pakai juga akan mengubah diri Anda menjadi sama seperti mereka. Tidakkan Anda sadar akan hal itu?”

“Namun aku berbeda! Aku akan menggunakan kekuatan itu untuk menjadi seorang pahlawan yang sesungguhnya!” ucap Garuda dengan yakin. Ada sedikit nada kesombongan terendap dalam suaranya.

Pengkor tersenyum misterius, “Ya, saya yakin Anda akan menjadi pahlawan adidaya yang luar biasa!”


BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment