SAHABAT LAMA
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Sancaka?
Astaga?” Nathan menjatuhkan botol kaca yang dipegangnya hingga jatuh
berkeping-keping. Sancaka yang sejak tadi menatap isi kamar kostnya yang tak
berubah kemudian menoleh.
“Nathan!”
Sancaka senang melihat kehadiran pemuda itu, “Apa kabar?”
“Darimana
saja kau?” Nathan memunguti pecahan beling yang berserakan di lantai, “Sudah
lama sekali sejak kau menghilang begitu saja.”
Sancaka
penasaran dan memungut salah satu potongan kaca dengan label minuman keras
masih menempel.
“Kau
minum sekarang?” tanyanya heran. Ia juga memperhatikan penampilan Nathan
sekarang acak-acakan.
“Yah,
kondisiku tak begitu bagus akhir-akhir ini,” akunya, “Kau tahu, pada saat kau
pergi, ada serangan dan kekasihku ... Maya, dia tewas ...”
“Maya?”
Sancaka terkesiap. Apa Nathan masih tak menyadari siapa perempuan itu?
“Dia
meninggal di depan mataku, Sancaka ... dan aku tak mampu melakukan apapun untuk
melakukannya ...” pemuda itu merunduk dan menangis. Sancaka segera
menenangkannya.
“Semenjak
itu aku berhenti bekerja dan menjadi pengangguran. Hidupku hancur .... karena
trauma itu ...”
Sancaka
menjadi sedih mendengarnya.
“Semuanya
akan baik-baik saja, Nate ...” ia menepuk bahu pemuda itu.
“Ya
Tuhan, Sancaka!” terdengar seruan lain dari arah dapur, “Apa benar ini kau?!”
Pemuda
itu menoleh, “Yoga! Apa kabarmu?”
“Baik
tentu saja!” wajah pemuda itu agak berubah, namun masih sama seperti yang
Sancaka ingat terakhir kali. “Kemana saja kau? Awang ternyata selama ini benar
... ia selalu yakin kau akan kembali. Bahkan mempertahankan kamarmu supaya bisa
kau tiduri lagi jika suatu saat kelak kau kembali.”
Ia
tersenyum. Ia sudah tak sabar lagi bertemu dengan Awang.
Dan
juga kekasihnya, Esthy.
“Baiklah,
aku akan mencari Awang sekarang. Senang sekali bertemu dengan kalian lagi!”
Nathan
mendongak ke arah Yoga sepeninggal Sancaka pergi.
“Apa
kau takkan mengatakan kepadanya?”
Yoga
hanya terdiam.
“Walaupun
menyakitkan, kurasa ia harus mengetahuinya sendiri.”
***
“Lama
sekali? Kenapa Nathan dan Yoga mengatakan hal semacam itu?” Sancaka tak habis
pikir, “Berapa lama aku pergi? Tak lebih dari dua hari bukan? Lagipula kenapa
penampilan mereka agak berubah semenjak terakhir kali aku masih di sini?”
Sancaka
terhenyak melihat pemandangan di dekat kost-nya.
“Gedung-gedung
tinggi ini, kapan mereka ada?” Sancaka merasa tak pernah melihatnya sebelumnya.
“Dimana Esthy dan Awang? Aku harus segera mencarinya.”
“Ugh!”
tiba-tiba Sancaka tersungkur. Ia merasakan sesuatu yang membuat dadanya sesak.
“A ...
apa ini?” ia merasakan partikel-partikel di sekitarnya yang bergerak.
Partikel-partikel lepton seperti muon dan tau, serta versi neutrino mereka,
elektron dan proton, hingga partikel boson seperti foton yang bergerak dengan
kecepatan cahaya. Ia bisa membedakannya karena “string” penyusunnya bergetar
dalam frekuensi yang berbeda-beda.
Namun
ia juga merasakan hal yang lain.
“Dark energy!” Sancaka menyadarinya. Ia
pernah merasakannya saat berada di masa depan.
“Musuh
itu? Ia ada di sini?” Sancaka menoleh, namun yang ia lihat hanyalah orang-orang
biasa yang lalu lalang.
“Bukan
... tenaganya tak sebesar ini. Ini ... ini hanya residunya saja.” Sancaka
sadar, mungkin ia sendiri membawa jejak radiasi itu. Ia pernah berada di dekat
musuh misterius yang menghancurkan masa depan itu, bahkan pernah hampir menerima
serangannya. Mungkin saja karena itu residu dark
energy itu masih menempel padanya.
Sancaka
kembali bangkit. “Tak ada waktu untuk memikirkannya. Aku harus mencari Esthy
dulu!”
Sementara
itu, tak jauh dari Sancaka yang kembali berjalan menembus kerumunan, seorang
pemuda tengah mengawasinya sembari mengigit apel.
Hampir
saja ia mengetahui keberadaannya. Mata mereka sempat bertemu, namun sepertinya
Sancaka tak menyadari keberadaannya. Penampilannya yang biasa-biasa saja dengan
mudah membuatnya membaur bersama orang-orang itu.
“Energi elektromagnetik yang
luar biasa.” bisik
hologram di sampingnya, yang tak kelihatan oleh mata manusia, “Sulit dipercaya pemuda kikuk sepertinya
adalah pemegang salah satu dari empat kekuatan terbesar alam semesta.”
“Jangan
sekarang, Orthorb!” balas pemuda itu sembari berusaha keras tak menarik
perhatian. Ia mengigit apel yang dipegangnya untuk menyamarkan gerakan
bibirnya.
“Orang-orang
bisa menganggapku gila jika bicara sendirian,” bisiknya sambil mengunyah apel,
“Bukan pria itu. Dia bahkan tak punya kristal. Namun aku penasaran, darimana ia
memperoleh kekuatan sedahyat ini.”
“Bagaimana? Apa yang akan kita
lakukan padanya?”
“Menunggu.”
Tangguh kembali menggigit apelnya, “Yang lain pasti akan segera muncul.”
***
Inspektur
Garuda berjalan di depan Mekanisme Antykhitera, mesin raksasa yang dapat
membuat Pengkor meramalkan masa depan. Gotri-gotri nanobot yang disebut
“microtir” itu tak bergerak di layar yang disusunnya, seolah sedang tertidur.
“Seandainya
benda ini lebih cepat ditemukan, mungkin Mariam takkan ...” gumamnya pelan.
“Anda
masih belum bisa melupakan kekasih Anda rupanya.” Terdengar suara Pengkor dari
belakangnya.
Garuda
terkejut dan segera menoleh, “Sejak kapan kau ada di sana?”. Nalurinya masih
belum bisa mempercayai mantan penjahat itu seratus persen.
“Saya
sudah mendengar ceritanya. Sangat tragis.” Pengkor berdecak, “Dia meninggal
gara-gara runtuhnya Jembatan Pasupati yang juga hampir menewaskan Presiden
bukan? Ya, saya ingat sekali kejadian itu, walaupun saat itu saya masih berada
di penjara.”
Masih
terbayang di benak Garuda kejadian naas itu, terutama karena peristiwa itu
terjadi tepat di depan matanya.
Saat
itu Mariam, tunangannya, berada di dalam bus yang melaju di bawah jembatan
Pasupati. Garuda yang sedang bertugas segera menuju ke sana karena mendengar
kabar hilangnya kontak dengan iring-iringan Presiden.
Ia tak
menyangka Mariam juga ada di sana.
Lebih
buruk lagi, ia datang terlambat.
Bus
itu hancur dalam sekerjapan mata, ditimpa oleh runtuhan beton berbobot ratusan
ton.
Jenazahnya,
bersama dengan korban-korban lain, tak pernah ditemukan. Tentu saja, akan sulit
menarik tubuh mereka dalam kondisi utuh dari reruntuhan jembatan tersebut.
Seharusnya ini membuatnya Garuda sedikit berharap bahwa Mariam masih hidup.
Namun
seberkas cincin pertunangan yang temukan di bawah reruntuhan cukup untuk
memupuskan segala asanya.
Garuda
ingat benar, setelah jembatan itu runtuh menimpa kekasihnya dan para warga tak
berdosa lain, ia mendongak dan melihatnya.
Sosok
berjubah tengah terbang dengan palu di tangannya.
Semenjak
itu, berita penampakan tentang Godam, pria berkekuatan adidaya itu dan Putra
Petir, pria yang menimbulkan badai listrik, muncul di semua media elektronik
dan media massa. Ia yakin orang-orang semacam mereka-lah yang menyebabkan
berbagai kekacauan yang terjadi di Indonesia.
Dan
juga kematian wanita yang ia cintai.
“Karena
itulah Anda begitu membencinya, para pahlawan adidaya itu?”
“Pahlawan
adidaya? Itukah sebutanmu untuk mereka?” Garuda merasa muak mendengarnya,
“Mereka tak lebih dari pengacau! Jika mereka memang berniat baik, kenapa mereka
tak mengungkapkan diri mereka pada pemerintah dan membantu kami? Alih-alih mereka
hanya bersembunyi dan bertempur satu sama lain di tengah kota, menimbulkan
banyak korban.”
Pengkor
justru terkekeh mendengarnya, “Mesin yang akan Anda pakai juga akan mengubah
diri Anda menjadi sama seperti mereka. Tidakkan Anda sadar akan hal itu?”
“Namun
aku berbeda! Aku akan menggunakan kekuatan itu untuk menjadi seorang pahlawan
yang sesungguhnya!” ucap Garuda dengan yakin. Ada sedikit nada kesombongan
terendap dalam suaranya.
Pengkor
tersenyum misterius, “Ya, saya yakin Anda akan menjadi pahlawan adidaya yang
luar biasa!”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment