Sunday, August 17, 2025

GUNDALA: PATRIOT – EPILOG

 


NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Sepeda motor itu berhenti di depan rumah ayah angkat Sancaka.

“Apa kau yakin tak mau kuantar?” tanya Kanigara yang semenjak tadi memboncengkannya.

“Kemana?” Sancaka yang baru saja turun melepas helmnya.

“Masih tanya lagi, ke pernikahan sahabatmu itu!”

Sancaka terdiam.

Hari ini memang hari pernikahan mereka, namun Sancaka memutuskan untuk tdiak menghadirinya. Keduanya juga sepertinya mengerti dan tak menuntut lebih lanjut. Baginya, akan lebih mudah untuk melepaskan gadis yang masih dicintainya itu apabila ia menjauhkannya dari pikirannya. Termasuk, apabila ia tak melihat berbahagia dalam balutan gaun pernikahannya sendiri.

“Tak usahlah! Suasananya justru akan jadi awkward jika aku hadir.”

“Huh, memang seperti itulah mantan, bikin hati tak tenang.”

“Kayak kamu pernah punya saja.”

“Huh, banyak tahu!” jawab Kanigara kesal, “Ya sudah, aku pergi dulu!”

Motornya pun melenggang pergi, meninggalkan suara knalpot yang keras yang berdengung di telinganya. Sancaka kemudian memutuskan masuk, namun keheranan melihat sepatu wanita yang ditanggalkan di depan pintu.

“Lho, ada tamu rupanya?” Sancaka kemudian melepaskan sepatu ketsnya.

“Ayah?” ia segera masuk, menikmati udara dingin dari rumah tua yang menyambutnya itu, diiringi sejuknya tegel coklat diinjaknya. “Siapa yang—“

Namun langkahnya terhenti ketika ia menyaksikan seorang gadis berada di sana, tengah duduk sambil bercengkerama dengan ayah angkatnya.

“Ka ... kamu?” tanya Sancaka heran, seolah tak pernah mengharapkan kehadirannya di sini.

“Halo, Sancaka!” senyum Minarti, “Apa kabar?”

 

***

 

Esthy menatap pemuda yang sumringah itu. Kerudung putih kini telah menutupi kepala mereka berdua. Harum wangi mahkota melati yang dikenakannya masih tercium segar di hidungnya, namun tak sedikitpun menenangkan pikiran. Sejenak ia berusaha menoleh sedikit ke arah pintu masjid, berharap bahwa pemuda itu akan muncul, menjemputnya.

“Kau masih mencintainya, kan?”

Esthy terkesiap mendengarnya. Ia segera berpaling ke arah Awang, pemuda yang akan dinikahinya itu.

“A ... apa ...”

“Tak usah berpura-pura. Aku menyadari kegelisahanmu semenjak pagi, Esthy. Kau pikir aku tak tahu kau terus-menerus melihat ke pintu, menantikan kedatangannya?”

“A ... Awang!” mata Esthy membelalak, “Aku sama sekali tak—“

“Tak apa!” Awang mengangkat tangannya, “Jika itu memang kau inginkan, aku tak bisa mengekangmu.”

Wajah Esthy berbinar begitu mendengarnya.

“Awang, apa kau serius?”

“Pergilah! Kembalilah pada Sancaka!” bisiknya dengan wajah tegar, “Aku tahu kau merindukannya.”

“A ... Awang ... terima kasih! Aku benar-benar—“

“Esthy!” suara panggilan itu membuyarkan lamunannya.

“Sayang!” panggil Awang lagi, “Kita akan memulai ijab kabulnya.”

Pemuda itu tersenyum kepadanya.

“KIta akan jadi suami istri sebentar lagi.”

Hanya daydreaming, desah Esthy. Ia memaksakan senyumnya dan menatap ke arah penghulu.

Ia harus tetap bersandiwara. Toh Sancakapun takkan menerimanya kembali. Tidak jika itu berarti mengkhianati sahabatnya.

Jikapun nanti ada air mata yang menetes turun dari pelupuk matanya, biarlah mereka mengira itu adalah air mata kebahagiaan.

***

 

Tangguh menarik napas lega. Kini, ia tak perlu mengenakan seragam Sembrani ini. Ia tentu akan kangen terbang dengan kedua sayapnya, namun ia lebih merindukan keluarganya.

Jika ia sudah mencegah Pralaya, berarti keluarganya akan hidup kembali dan menanti kehadirannya di rumah nanti.

Gerbang waktu itupun membuka dan Tangguh bersiap menikmati sinar matahari yang menyambut—

“Tu ... tunggu ...” cekamnya, “Apa ini?”

Apa yang dilihatnya kini sama sekali berbeda dengan pengharapannya.

Kota itu masih sama. Hanya terlihat reruntuhan dimana-mana, tanpa sedikitpun tanda-tanda kehidupan. Hanya ada bau harum kematian yang masih semerbak di antara puing-puing bangunan, termasuk Menara Monas yang kini roboh dan hanya terlihat reruntuhannya saja.

Bahkan, ia masih bisa merasakan aura dark energy menyelimutinya, merasuk hingga ke tulangnya.

“Ce ... celaka!”

***

 

Esthy berjalan keluar masjid itu didampingi oleh Awang.

“Wah, lihat pengantin yang berbahagia itu!” tunjuk Buana.

“Berbahagia?” tanya Dhana yang masih heran bagaimana para lelaki bisa begitu buta akan perasaan yang dimiliki oleh wanita.

“Apa maksudmu?” Buana balik bertanya.

“Tak apa-apa,” hindar Dhana. Ia kemudian menoleh ke arah Adi alias Sang Kalong.

“Ada apa?” tanyanya heran ketika melihat bocah dengan pendengaran super itu menatap ke arah yang berlawanan.

“Entahlah, aku merasakan sesuatu ...” ucapnya penuh waswas. Firasatnya tak pernah berbohong dan kini ia merasakan bencana yang sebentar lagi akan terjadi.

Ketakutan Adi serasa mengejawatah. Tiba-tiba saja terdengar suara letusan yang amat keras.

“DOR!!!”

“Astaga!” seru Buana, “Apa itu tadi tembakan?”

Dhana menjerit begitu menyaksikan tubuh Esthy yang tadinya terlihat menuruni tangga dengan gaun pengantinnya tiba-tiba limbung berlumuran darah dan ambruk. Awang segera menangkap tubuhnya yang hampir terguling di atas tangga.

“Esthy!” teriak Awang dengan panik. Ia segera memangkunya, namun matanya membelalak melihat luka tembak di dada gadis itu.

Luka itu tepat mengoyak jantungnya, merembeskan warna merah yang seakan mengalir tak terbendung ke kebaya putihnya. Ia sempat bergeduk, memuntahkan darah, sebelum akhirnya terkulai lemas.

“ESTHY!” seru Awang lagi dengan suara bergetar. Air matanya mulai mengalir tak terbendung. Ia memutar otaknya yang tengah kalut, berusaha mencari cara untuk menyelamatkan nyawa wanita yang dicintainya, namun percuma.

Ia bisa merasakan denyut jantungnya makin melemah hingga akhirnya terhenti. Kepalanya pun tergolek lemas dan tatapan matanya kosong, seolah kini raganya telah hampa.

“TIDAAAAAAK!!!!”

 

END OF GUNDALA: FIRST PATRIOT


No comments:

Post a Comment