NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.
Sepeda motor itu berhenti di depan rumah ayah angkat Sancaka.
“Apa
kau yakin tak mau kuantar?” tanya Kanigara yang semenjak tadi memboncengkannya.
“Kemana?”
Sancaka yang baru saja turun melepas helmnya.
“Masih
tanya lagi, ke pernikahan sahabatmu itu!”
Sancaka
terdiam.
Hari
ini memang hari pernikahan mereka, namun Sancaka memutuskan untuk tdiak
menghadirinya. Keduanya juga sepertinya mengerti dan tak menuntut lebih lanjut.
Baginya, akan lebih mudah untuk melepaskan gadis yang masih dicintainya itu
apabila ia menjauhkannya dari pikirannya. Termasuk, apabila ia tak melihat
berbahagia dalam balutan gaun pernikahannya sendiri.
“Tak
usahlah! Suasananya justru akan jadi awkward
jika aku hadir.”
“Huh,
memang seperti itulah mantan, bikin hati tak tenang.”
“Kayak
kamu pernah punya saja.”
“Huh,
banyak tahu!” jawab Kanigara kesal, “Ya sudah, aku pergi dulu!”
Motornya
pun melenggang pergi, meninggalkan suara knalpot yang keras yang berdengung di
telinganya. Sancaka kemudian memutuskan masuk, namun keheranan melihat sepatu
wanita yang ditanggalkan di depan pintu.
“Lho,
ada tamu rupanya?” Sancaka kemudian melepaskan sepatu ketsnya.
“Ayah?”
ia segera masuk, menikmati udara dingin dari rumah tua yang menyambutnya itu,
diiringi sejuknya tegel coklat diinjaknya. “Siapa yang—“
Namun
langkahnya terhenti ketika ia menyaksikan seorang gadis berada di sana, tengah
duduk sambil bercengkerama dengan ayah angkatnya.
“Ka
... kamu?” tanya Sancaka heran, seolah tak pernah mengharapkan kehadirannya di
sini.
“Halo,
Sancaka!” senyum Minarti, “Apa kabar?”
***
Esthy
menatap pemuda yang sumringah itu. Kerudung putih kini telah menutupi kepala
mereka berdua. Harum wangi mahkota melati yang dikenakannya masih tercium segar
di hidungnya, namun tak sedikitpun menenangkan pikiran. Sejenak ia berusaha
menoleh sedikit ke arah pintu masjid, berharap bahwa pemuda itu akan muncul,
menjemputnya.
“Kau
masih mencintainya, kan?”
Esthy
terkesiap mendengarnya. Ia segera berpaling ke arah Awang, pemuda yang akan
dinikahinya itu.
“A ...
apa ...”
“Tak
usah berpura-pura. Aku menyadari kegelisahanmu semenjak pagi, Esthy. Kau pikir
aku tak tahu kau terus-menerus melihat ke pintu, menantikan kedatangannya?”
“A ...
Awang!” mata Esthy membelalak, “Aku sama sekali tak—“
“Tak
apa!” Awang mengangkat tangannya, “Jika itu memang kau inginkan, aku tak bisa
mengekangmu.”
Wajah
Esthy berbinar begitu mendengarnya.
“Awang,
apa kau serius?”
“Pergilah!
Kembalilah pada Sancaka!” bisiknya dengan wajah tegar, “Aku tahu kau
merindukannya.”
“A ...
Awang ... terima kasih! Aku benar-benar—“
“Esthy!” suara panggilan itu
membuyarkan lamunannya.
“Sayang!”
panggil Awang lagi, “Kita akan memulai ijab kabulnya.”
Pemuda
itu tersenyum kepadanya.
“KIta
akan jadi suami istri sebentar lagi.”
Hanya daydreaming, desah Esthy. Ia memaksakan
senyumnya dan menatap ke arah penghulu.
Ia
harus tetap bersandiwara. Toh Sancakapun takkan menerimanya kembali. Tidak jika
itu berarti mengkhianati sahabatnya.
Jikapun
nanti ada air mata yang menetes turun dari pelupuk matanya, biarlah mereka
mengira itu adalah air mata kebahagiaan.
***
Tangguh
menarik napas lega. Kini, ia tak perlu mengenakan seragam Sembrani ini. Ia
tentu akan kangen terbang dengan kedua sayapnya, namun ia lebih merindukan
keluarganya.
Jika
ia sudah mencegah Pralaya, berarti keluarganya akan hidup kembali dan menanti
kehadirannya di rumah nanti.
Gerbang
waktu itupun membuka dan Tangguh bersiap menikmati sinar matahari yang
menyambut—
“Tu
... tunggu ...” cekamnya, “Apa ini?”
Apa
yang dilihatnya kini sama sekali berbeda dengan pengharapannya.
Kota
itu masih sama. Hanya terlihat reruntuhan dimana-mana, tanpa sedikitpun
tanda-tanda kehidupan. Hanya ada bau harum kematian yang masih semerbak di
antara puing-puing bangunan, termasuk Menara Monas yang kini roboh dan hanya
terlihat reruntuhannya saja.
Bahkan,
ia masih bisa merasakan aura dark energy
menyelimutinya, merasuk hingga ke tulangnya.
“Ce
... celaka!”
***
Esthy
berjalan keluar masjid itu didampingi oleh Awang.
“Wah,
lihat pengantin yang berbahagia itu!” tunjuk Buana.
“Berbahagia?”
tanya Dhana yang masih heran bagaimana para lelaki bisa begitu buta akan
perasaan yang dimiliki oleh wanita.
“Apa
maksudmu?” Buana balik bertanya.
“Tak
apa-apa,” hindar Dhana. Ia kemudian menoleh ke arah Adi alias Sang Kalong.
“Ada
apa?” tanyanya heran ketika melihat bocah dengan pendengaran super itu menatap
ke arah yang berlawanan.
“Entahlah,
aku merasakan sesuatu ...” ucapnya penuh waswas. Firasatnya tak pernah
berbohong dan kini ia merasakan bencana yang sebentar lagi akan terjadi.
Ketakutan
Adi serasa mengejawatah. Tiba-tiba saja terdengar suara letusan yang amat
keras.
“DOR!!!”
“Astaga!”
seru Buana, “Apa itu tadi tembakan?”
Dhana
menjerit begitu menyaksikan tubuh Esthy yang tadinya terlihat menuruni tangga
dengan gaun pengantinnya tiba-tiba limbung berlumuran darah dan ambruk. Awang
segera menangkap tubuhnya yang hampir terguling di atas tangga.
“Esthy!”
teriak Awang dengan panik. Ia segera memangkunya, namun matanya membelalak
melihat luka tembak di dada gadis itu.
Luka
itu tepat mengoyak jantungnya, merembeskan warna merah yang seakan mengalir tak
terbendung ke kebaya putihnya. Ia sempat bergeduk, memuntahkan darah, sebelum
akhirnya terkulai lemas.
“ESTHY!”
seru Awang lagi dengan suara bergetar. Air matanya mulai mengalir tak
terbendung. Ia memutar otaknya yang tengah kalut, berusaha mencari cara untuk
menyelamatkan nyawa wanita yang dicintainya, namun percuma.
Ia
bisa merasakan denyut jantungnya makin melemah hingga akhirnya terhenti.
Kepalanya pun tergolek lemas dan tatapan matanya kosong, seolah kini raganya
telah hampa.
“TIDAAAAAAK!!!!”
END OF GUNDALA: FIRST PATRIOT
No comments:
Post a Comment