Episode ketiga dari versi reboot Unsolved Mysteries di Netflix cukup unik, sebab berlokasi di Prancis. Kita akan membuka part ini dengan membayangkan Nantes, sebuah kota yang romantis di Prancis barat yang penuh dengan gereja-gereja gotik abad ke-15 dan bangunan-bangunan antik nan indah yang berjejer di kota tuanya. Seperti kota-kota tua lainnya di Prancis, kota ini masih menyembunyikan kaum berdarah bangsawan, keturunan dari para borjuis elite dari Abad Pertengahan, yang hingga kini masih bercokol di pemukiman mewah di kota itu. Salah satunya adalah keluarga Dupont de Ligonnes.
Bergelar Count (gelar kebangsawanan Eropa), sang ayah, yakni Xavier Dupont de Ligonnes, merupakan keturunan keluarga aristokrat dari kota Versailles. Tentulah dari namanya yang mashyur kalian pasti tahu bahwa Versailles, yang terkenal dengan istananya, merupakan kota kediaman para raja-raja Prancis semenjak zaman monarki.
Bersama keluarganya, Xavier tinggal di kota Nantes dengan tetap membawa gelar Count yang membuatnya dihormati. Namun siapa sangka, darah biru yang mengalir dalam nadi keluarga Dupont de Ligonnes ternyata tak menjamin kebahagiaan mereka. Sebab hanya dalam satu malam, kehidupan indah keluarga tersebut berubah menjadi mimpi buruk. Sebuah petaka yang hingga ini, masih dinaungi kegelapan misteri.
Dear readers, inilah kasus misterius keluarga Dupont de Ligonnes.
Siapa sangka kebahagiaan keluarga ini akan berakhir duka? |
Siapakah warga kota Nantes yang tak
kenal dengan keluarga Count Dupont de Ligonnes? Tentu, kedarahbiruan
mereka membuat keluarga itu senantiasa dikagumi tetangga-tetangga
mereka. Tak hanya itu, status bangsawan mereka tentu diikuti dengan
harta duniawi yang melimpah. Seakan tak cukup, Xavier dikenal
beruntung sebab memiliki istri bernama Agnes yang terkenal cantik dan
rupawan. Kecantikan itu rupanya menurun pada Anne, satu-satunya putri
mereka, sehingga tak heran, gadis itupun menjadi model. Kesempurnaan
fisik juga seakan menurun pada anak tertua mereka, Arthur, yang
dikenal gadis-gadis sebagai pemuda yang amat rupawan. Selain Anne dan
Arthur, pasangan Xavier dan Agnes juga dikaruniai dua putra lain,
yakni Thomas dan Benoit.
Dari luar kehidupan keluarga mereka tampaklah sempurna, sehingga tak terbilang yang merasa iri dengan mereka. Bahkan, seolah kehidupan bahagia mereka di Prancis tak cukup, mereka diketahui pernah bermukin sementara di Florida, Amerika Serikat, walaupun pada akhirnya mereka kembali ke Nantes.
Namun tak ada yang benar-benar tahu, rahasia apa yang disembunyikan keluarga itu.
Sang Count memang terlihat selalu bahagia dan hidup makmur. Namun ternyata ia juga mampu menyembunyikan sebuah rahasia yang berakibat teramat fatal |
Pada awal April 2011 para tetangga
mulai mencium ada sesuatu yang tak beres. Rumah keluarga Dupont de
Ligonnes kini sepi. Pintu dan jendelanya tertutup. Seluruh anggota
keluarga itu seakan-akan lenyap ditelan bumi, tanpa pamit ke
siapapun. Bahkan orang-orang lain yang terlibat dalam kehidupan
Dupont de Ligonnes pun mulai bertanya-tanya. Bos kedai pizza dimana
Arthur, anak tertua mereka bekerja paruh waktu, heran karena Arthur
tak pernah mengambil gaji terakhirnya. Anna dan Benoit juga absen
selama berhari-hari dari sekolah mereka, hingga membuat guru mereka
khawatir. Bahkan pacar Thomas sampai datang mencarinya ke rumah
karena ketiadaan kabar dari kekasihnya itu selama berhari-hari.
Ketika tiba di sanapun, kecurigaannya justru bertambah. Pasalnya,
lampu di lantai satu rumah itu menyala, tapi tak ada orang di rumah.
Selain itu, kedua anjing milik keluarga tersebut juga biasanya
menyalak jika ada tamu. Namun kala itu, hanya kesunyian yang
menyambutnya.
Kemudian pada 11 April, sebuah email dikirimkan ke keluarga dekat Xavier, sang ayah. Ia meminta keluarganya agar tidak khawatir. Xavier mengaku bahwa ketika ia tinggal di Amerika, ia bekerja sama dengan DEA (badan penanggulangan narkoba di Amerika) untuk membantu menangkap seorang gembong berkebangsaan Prancis yang terlibat peredaran narkoba dan pencucian uang. Namun menurut penuturannya, penyamarannya terbongkar hingga keluarga merekapun berada dalam bahaya. Oleh karena itu, mereka masuk ke dalam “Witness Protection Program” dan diungsikan ke Amerika Serikat.
Namun pada 13 April, para tetangga yang tak tahu menahu tentang email itu, tak tahan lagi membendung kekhawatiran mereka dan menelepon polisi. Pada 21 April, polisi akhirnya mendobrak masuk ke rumah keluarga bangsawan tersebut dan melakukan investigasi di seluruh bagian rumah itu.
Sebuah penemuan mengerikan terkuak di bawah patio rumah keluarga itu. Di sana, terkubur di taman belakang rumah mereka, tergeletak jenazah Agnes, sang istri, beserta keempat anak mereka. Tak hanya itu, bahkan mayat dua anjing mereka juga ditemukan di sana.
Namun dari semua mayat itu, sama sekali tak ditemukan jenazah Xavier, sang ayah.
Di TKP inilah pihak forensik menemukan dan mengevakuasi mayat keluarga Dupont de Ligonnes |
Para polisi segera melakukan pencarian yang lebih intensif. Kini mereka tak hanya menangani kasus menghilangnya sebuah keluarga. Mereka kini menangani sebuah kasus pembunuhan massal. Namun apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar Xavier membunuh keluarganya sendiri? Jika memang benar, kenapa Xavier tega melakukannya?
Untuk menjawabnya, kita harus menelusuri satu kemungkinan dulu: apakah bisa seorang ayah dengan berdarah dingin membunuh istri yang dinikahinya bertahun-tahun, bahkan menghabisi nyawa darah dagingnya sendiri? Jawaban untuk pertanyaan ini: tentu bisa. Kita perlu mengingat kasus yang pernah heboh di Amerika dua tahun lalu, yakni kasus Chris Watts. Kala itu, tak hanya menghabisi nyawa istrinya yang tengah hamil tua, Chris juga tega membekap kedua anak kandungnya sendiri hingga tewas. Kita semua tahu, motif yang melatarbelakangi peristiwa keji itu ialah kasus perselingkuhan. Namun, jika benar kesadisan Xavier memang menyamai Chris Watts, apakah yang menjadi motifnya?
Lagi-lagi, kita bisa menilik satu lagi persamaan antara kasus Chris Watts dan Count Dupont de Ligonnes. Keduanya menampilkan kehidupan yang seakan-akan tanpa cela. Padahal pada kenyataannya, hal sebaliknya justru tengah menimpa keluarga mereka. Dalam kasus Chris Watts, istrinya Shannon selalu menampilkan wajah keluarga yang bahagia di akun Facebook-nya. Padahal dalam kehidupan asli mereka, keluarga mereka tengah carut marut dan mungkin senantiasa dibayangi pertengkaran karena kehadiran orang ketiga. Tapi tentu, orang lain tak pernah menyadarinya karena apa yang di-display Shannon dalam media sosialnya hanyalah foto-foto dan caption yang menandakan hidup mereka senantiasa sempurna.
Sama halnya dengan yang dialami keluarga Dupont de Ligonnes. Gelar “Count” yang tersemat dalam nama Xavier tentu membuat orang-orang iri, tapi benarkah kehidupan Xavier dan keluarganya benar-benar sebahagia yang dibayangkan orang-orang?
|
Ia adalah seorang penagih hutang yang
datang untuk menagih hutang yang melilit Xavier sebanyak 20 ribu
euro, atau sekitar hampir 350 juta rupiah.
Ya, sesungguhnya keluarga bangsawan yang dari luar terlihat tanpa cacat itu sesungguhnya tengah terbelit kesulitan ekonomi yang amat serius.
Xavier sendiri ternyata tak memiliki bakat berdagang yang mumpuni. Diketahui, semua bisnis yang coba dirintisnya selalu berujung pada kegagalan. Bahkan, kepergiannya ke Amerika, yang dipandang oleh para tetangganya sebagai bukti keberhasilan finansialnya, justru bertujuan untuk memulai hidup yang baru di sana. Namun usaha yang tentu memakan biaya tak terbilang banyaknya itu lagi-lagi gagal dan keluarga Dupont de Ligonnes terpaksa kembali ke kampung halaman mereka. Yang lebih mencurigakan, salah satu usaha yang didirikannya pada 2004, SELREF, sangatlah ambigu dan tak jelas apa layanan yang disediakannya. Kita hanyalah bisa berasumsi, apakah bisnis sang Count kala itu legal ataukah tidak.
Semuanya memuncak tiga minggu sebelum bulan April, dimana tragedi itu menyeruak. Kala itu ayah Xavier meninggal. Xavier tentu berharap, harta warisan yang diterimanya bisa membantu keluarganya keluar dari keterpurukan ekonomi tersebut. Namun sebaliknya, ternyata ayahnyapun memiliki nasib naas, sama seperti dirinya. Ia meninggal sendirian karena usia tua, di sebuah kamar apartemen kecil dan pengap, bahkan tak mampu meninggalkan sepeserpun untuk anaknya. Satu-satunya yang diwariskan sang ayah kepada Xavier hanya sebuah senapan.
Senapan itu adalah senapan yang sama yang menghabisi keluarga Dupont de Ligonnes.
Keempat anak keluarga Dupont de Ligonnes yang sesungguhnya masih memiliki masa depan yang panjang. Benarkah mereka meregang nyawa di tangan ayah mereka sendiri? |
Polisi menduga, semenjak kejadian itu,
Xavier sadar, hanya ada satu-satunya jalan keluar dari kondisinya. Ia
bukanlah orang biasa. Ia adalah seorang Count, darah biru, seorang
keturunan bangsawan. Dengan statusnya yang tinggi, tentu saja ia
memiliki harga diri yang harus ia pertahankan. Ia melihat,
satu-satunya jalan keluar dari masalah yang membelitnya adalah dengan
kematian keluarganya.
Ini bukan kali pertama hal serupa terjadi. Ada banyak kejadian (bahkan di Indonesia) tentang satu keluarga yang akhirnya bunuh diri karena kesulitan ekonomi ataupun hutang yang menumpuk. Tak jarang, ayah ataupun ibu yang bunuh diri, tak mampu meninggalkan anak mereka sendirian selepas kematian mereka, sehingga merekapun mengajaknya. Namun kasus yang menimpa keluarga Dupont de Ligonnes amatlah berbeda. Sebab pada akhirnya, entah mengapa, hanya Xavier yang selamat.
Polisi sangat mendalami kecurigaan mereka ini, bahkan yakin bahwa Xavier satu-satunya tersangka dalam kasus ini. Hal yang menguatkan kecurigaan mereka adalah fakta bahwa pada Maret 2011, segera setelah Xavier mewarisi senjata api milik mendiang ayahnya, ia langsung membeli peluru dan berlatih menembak.
Setelah tubuh lima anggota keluarga Dupont de Ligonnes ditemukan pada 21 April 2011, polisi segera melakukan otopsi. Mereka mencanangkan waktu kematian Agnes dan keempat anaknya adalah sekitar 2-5 April 2011. Lalu kemana perginya Xavier setelah (jika benar) menghabisi keluarganya? Yang aneh, ia justru terlihat “berpelesir”. Pada 11 April, tercatat dia menggunakan kartu kreditnya untuk menginap di sebuah hotel di Blagnac, Toulouse di Prancis selatan (ingat bahwa Nantes berada di Prancis barat). Keesokan harinya, kartu kredit itu kembali terlacak di Le Pontet, Vacluse di Prancis tenggara. Sehari kemudian, ia tercatat berada di sebuah kota kecil bernama La Seyne-sur-Mer di Var, Prancis tenggara, dimana ia pernah tinggal. Terakhir, ia terlihat di hotel Fomulae-1 di kota Roquebrune sur-Agens, masih di wilayah Var, pada 14 April 2011. Kali ini, tak hanya catatan penggunaan kartu kreditnya yang terlacak di sini, tapi juga penampakannya tertangkap kamera CCTV.
Penampakan Xavier di salah satu pelariannya kala tengah menggunakan ATM |
Setelah itu Count Xavier Dupont de Ligonnes lenyap bak ditelan bumi. Mobilnya ditemukan polisi terparkir di depan hotel itu, tapi ia tak ditemukan dimanapun.
Pada 30 April, jenazah Agnes, Arthur, Anne, Thomas, dan Benoit akhirnya dimakamkan di kampung halaman Agnes. Tak ada seorangpun diizinkan melihat kondisi jenazah mereka, bahkan ibadah-pun dilakukan dengan peti tertutup. Bersama tubuh mereka yang disemayamkan, kebenaran tentang kematian keluarga Dupont de Ligonnes pun ikut terkubur.
Misteri masih saja tersisa, dimanakah sang Count sekarang? Benarkah dia yang membunuh keluarganya?
Pencarian besar-besaran untuk menemukan sang Count pun dilakukan, bahkan melibatkan Interpol karena ditakutkan ia kabur ke luar negeri. Namun ada pula yang menyebutkan, sang Count kemungkinan besar telah tewas.
Para ahli menyebut perilaku Xavier setelah membunuh keluarganya adalah sebuah bentuk “peziarahan”. Xavier sejak awal (menurut mereka, jika memang benar ia adalah dalang semua ini) memang berniat ikut mati bersama keluarganya. Tapi terlebih dahulu, ia ingin mengenang masa lalunya dengan pergi ke kota kecil dimana ia pernah tinggal. Setelah berpamitan dengan masa lalunya, kemungkinan ia pergi ke hutan atau tempat terpencil untuk mencabut nyawanya sendiri dan menyusul kepergian keluarganya.
Hingga 2013, polisi belumlah menyerah dan melakukan pencarian besar-besaran di wilayah hutan dan pegunungan di Var, untuk menindaklanjuti teori bahwa Xavier bunuh diri. Uniknya, wilayah tersebut (entah secara kebetulan atau tidak) merupakan tempat dimana kasus pembunuhan sadis lain pernah terjadi, yakni kasus kematian Jacques Massie, seorang inspektur polisi yang pada tahun 1981 yang dibantai bersama keluarganya.
Pada Juni 2013, sebujur mayat ditemukan di wilayah tersebut, diduga sebagai milik Xavier. Namun hasil otopsi menampik kecurigaan tersebut. Dua tahun kemudian, pada 2015, tulang belulang milik seorang pria juga ditemukan tak jauh dari tempat Xavier menghilang. Namun lagi-lagi, hasil penyelidikan membuktikan tulang-tulang itu milik orang lain. Lalu dimana Xavier sekarang? Benarkah ia bunuh diri?
Bagaimana jika bukan ia pembunuhnya?
Di part ke-4 setelah ini, gue akan membahas teori konspirasi dibalik lenyapnya sang Count dan kemungkinan lain tentang siapa pembunuh keluarga Dupont de Ligonnes.
Aaaaahhh pemasaran 👻👻👻
ReplyDeleteKeren ya orang sana, padahal dari keluarga kahya rahya, tapi anaknya ada yang mau kerja paruh waktu di pemizaaan
ReplyDeleteSatu pertanyaan saya yg terjawab:
ReplyDeleteAnak berdarah bangsawan kerja di kedai pizza?
Ternyata emang keluarganya terlilit hutang
Kalo menurut gue dah biasa sih di sana, gw pernah baca dimana gt ortunya pengusaha kaya tapi anaknya kerja part time jadi waiter. Mungkin krn didikan ortunya jg pengen anaknya ngrasain kerja biar ga manja
DeleteIndonesia
ReplyDeleteKerja paruh waktu = nguli