Sebagai bagian kedua trilogi Malin Kundang, kali ini gue akan menghadirkan Menhaz Zaman, seorang putra dari orang tua imigran asal Bangladesh di Kanada. Menhaz dikenal sebagai anak alim, pendiam, dan juga berbakti yang menjadi tumpuan harapan kedua orang tuanya. Namun dibalik itu, Menhaz menyimpan sebuah rahasia mematikan.
Sebuah rahasia yang akhirnya akan merenggut nyawa seluruh anggota keluarganya dengan tragis.
Cerita ini seolah menjadi isyarat akan tekanan yang diterima seorang anak atas tuntutan dan ekspektasi yang terlalu tinggi dari orang tuanya. Tak hanya itu, cerita ini juga menampilkan pertentangan antara nilai-nilai kolot dan tradisional yang dipegang teguh sang orang tuanya yang bertabrakan dengan nilai-nilai modern sang anak yang menjunjung tinggi kebebasan.
Dear readers, inilah kisah Menhaz Zaman, anak durhaka kita yang kedua.
Kepindahan keluarga Zaman dari Bangladesh ke Kanada yang modern dan berpaham liberal kemungkinan menyebabkan culture shock yang berujung pada tragedi kematian mereka |
Kisah ini dimulai dengan seorang pria bernama Moniruz Zaman yang ingin memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya dengan pindah ke Kanada, “tanah emas” yang menawarkan banyak kesempatan. Di tempat asalnya, Bangladesh, yang merupakan negara dunia ketiga, tentu tak banyak peluang kerja yang bisa memperbaiki nasibnya. Walaupun sudah meninggalkan tanah airnya, Moniruz dikenal sebagai pria yang masih memegang teguh adat istiadatnya. Buktinya, ia sama sekali tak menolak ketika dijodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya, yakni Momotaz Begum.
Di Kanada, Moniruz dan Momotaz memiliki dua buah hati. Anak pertama bernama Menhaz, lahir pada tahun 1996 dan anak kedua mereka, seorang putri bernama Malesa, lahir dua tahun kemudian. Karena sibuk bekerja dan mengurus kedua anaknya, Moniruz akhirnya mendatangkan ibunya, Firoza dari Bangladesh untuk membantunya merawat anak-anaknya.Tentu saja, sebagai anak sulung laki-laki, baik Moniruz dan istrinya menaruh harapan besar bagi Menhaz.
Sifat ekstrovert Momotaz yang mudah berkawan dengan siapa saja membuat diterima dengan baik dan mendapat banyak teman di Kanada. Sebaliknya, Moniruz, adalah pria introvert yang pendiam, namun pekerja keras. Walaupun hanya bekerja sebagai sopir taksi, Moniruz memiliki etos kerja dan prestasi yang mengagumkan sehingga sering dinobatkan sebagai pegawai teladan. Berkat kerja keras mereka, akhirnya mereka berhasil membeli rumah dan mobil, sebuah bukti akan kemapanan finansial mereka. Walaupun sudah sukses, namun pasangan keluarga Zaman sama sekali tak melupakan budaya asal mereka. Momotaz sering terlihat mengenakan salwar kamiz, pakaian tradisional Bangladesh. Sementara suaminya sering terlihat mengenakan panjabi kala pergi ke masjid dan menjalankan kewajibannya sebagai Muslim yang taat, seringkali dengan mengajak putranya, Menhaz.
Sebagai orang tua berdarah Asia, apalagi yang merantau ke negeri orang, tentu baik Moniruz dan Momotaz memiliki harapan yang amat tinggi terhadap kedua anak mereka. Mereka mengharapkan Menhaz menjadi seorang insinyur, sementara Malesa menjadi dokter. Menhaz sendiri dikenal tetangga dan teman-temannya sebagai anak berbakti. Ia jarang keluar rumah dan hanya terlihat saat ia membantu kedua orang tuanya dengan membawakan belanjaan ibunya atau membersihkan halaman, atau ketika sedang pergi Jumatan ke masjid bersama ayahnya.
Di sekolah, Menhaz dikenal sebagai anak yang pendiam dan pemalu. Di SMA, ia mengambil mata pelajaran fisika, kimia, dan matematika, sebuah persyaratan yang harus ditempuhnya jika ia ingin mengambil jurusan teknik apabila ia kuliah nanti. Namun teman-teman sekelasnya tak sepenuhnya tahu, apakah Menhaz mengambil mata pelajaran itu karena memang menjadi minatnya ataukah ia hanya menyenangkan hati kedua orang tuanya.
Jika Menhaz dikenal sebagai anak penurut, maka Malesa, adiknya, justru sebaliknya. Ia dikenal sebagai gadis pemberontak, bahkan pernah tertangkap basah menghisap ganja dan meminum minuman keras, sebuah kebiasaan yang jelas “big no no” bagi kepercayaan Muslim keluarganya. Ia juga gemar pergi berpesta, memakai baju-baju yang terbilang minim, bahkan berani berpacaran. Tak heran, orang tuanya kerap membandingkannya dengan kakaknya yang tak pernah sekalipun membantah mereka.
Mereka tak tahu, bahwa di balik sikap pendiam dan alim Menhaz, sesungguhnya ia menyimpan rahasia kelam.
Aktivitas game online, yang awalnya hanya ditekuninya untuk mengusir kejengahan, akhirnya memerangkapnya hingga kehidupannya perlahan-lahan hancur |
Karena tak pandai bergaul, yang Menhaz lakukan setiap hari di waktu luangnya adalah bermain internet di kamarnya sepanjang hari. Suatu hari, ia menemukan sebuah game role-playing 3D online bernama “Perfect World Void” dimana di sana, akhirnya ia menemukan teman-teman sejawat. Bagi Menhaz, game itu bak sebuah tempat pelarian sempurna dari semua tuntutan kedua orang tuanya yang mulai menghimpit kedua pundaknya bak beban berat yang menindihnya. Tak heran, pemuda itu mulai menghabiskan sebagian besar waktunya di sana.
Akhirnya, hobinya bermain game online ini mulai meminta tumbal. Kala itu, Menhaz berhasil masuk jurusan Teknik di York University, untuk memenuhi impian kedua orang tuanya agar ia menjadi insinyur. Namun ia mulai terlambat datang ke kelas dan ketinggalan pelajaran. Tak hanya itu, nilai-nilainya mulai menurun dan akhirnya pada semester dua, ia terpaksa drop out dari kuliahnya.
Menhaz tak tega memberitahukan hal tersebut kepada kedua orang tuanya, takut jika ia dianggap sebagai sebuah “kegagalan”. Bukannya bersikap jujur, malahan setiap jam 7 pagi, ia “pura-pura” berangkat kuliah dan naik bus menuju ke kampusnya. Di sana, ia hanya berkeliaran hingga waktunya pulang tiba. Peristiwa ini terjadi selama berbulan-bulan hingga akhirnya, Menhaz sama sekali berhenti datang ke kampusnya. Ia memilih pergi ke mall setiap hari (sementara orang tuanya mengira ia pergi menimba ilmu) dan duduk di food court, membuka laptopnya, dan bermain game online.
Celakanya hal ini berlangsung selama 4 tahun.
Alih-alih menimba ilmu demi masa depannya, Menhaz justru memilih berbohong dan terpuruk dalam kedustaannya, yang berujung pada petaka |
Pada musim panas 2019, Menhaz akhirnya kehabisan waktu. Setelah empat tahun berlalu, tentu orang tuanya mengharapkan ia akan segera diwisuda. Tak hanya itu, salah satu sepupu Menhaz juga ternyata diterima masuk di York University, kampusnya. Tentu saja, ia akan dengan mudah membongkar kebohongan Menhaz jika ia pergi ke fakultasnya dan tak menemukan Menhaz kuliah di sana.
Sementara itu, di dunia maya, perilaku Menhaz semakin mengkhawatirkan. Ia mulai mengatakan bahwa ia akan bunuh diri. Namun tentu saja, teman-temannya menganggap itu hanya sekedar sebagai candaan belaka.
Akhirnya, ketika terus ditanya kapan akan lulus, Menhaz menyerah dan mengatakan bahwa ia akan wisuda pada 28 Juni 2019. Orang tuanya tentu menanggapi kabar itu dengan kegembiraan, namun Menhaz justru merasa makin tertekan karena kebohongan terakhirnya itu. Bahkan, depresi dan rasa tertekan yang awalnya hanya menyiksa batin psikologisnya, kini mulai mengejawantah menjadi rasa sakit sungguhan yang mendera fisiknya.
Kala itu, pada 27 Juni, sehari sebelum hari-H dimana ia mengatakan akan diwisuda, Menhaz merasakan rasa sakit yang teramat sangat di perutnya, seolah-olah apapun yang ia makan tengah menyayat perutnya dari dalam. Semua yang ia telan, terasa seperti pecahan kaca yang mengiris-iris bagian dalam tubuhnya.
Menhaz akhirnya sadar bahwa hari itu ia tak punya pilihan lain dan harus mengakhiri kebohongannya. Namun cara yang ia pilih justru teramat mengejutkan.
Setiap orang tua pastinya menginginkan anaknya diwisuda sebagai bukti pentahbisan kesuksesannya. Namun bagaimana jika hidup yang dijalaninya hanya kebohongan belaka? |
Sore harinya, ia mengambil sebuah linggis, lalu menghampiri ibu dan neneknya yang tengah tertidur di kamar mereka. Ia lalu menghantamkan linggis itu ke kepala mereka berkali-kali hingga mereka tewas. Ia kemudian kembali ke depan laptop, log in ke game online favoritnya. Lalu ia mengetik.
“Aku barusan membunuh ibu dan neneknya. Sedang menunggu adikku pulang dalam 5 menit dan ayahku dalam 1 jam.”
Beberapa menit kemudian, ia mendengar Malesa masuk melalui pintu depan. Sama dengan apa yang ia lakukan terhadap ibu dan neneknya, iapun membunuh adiknya itu dengan cara yang sama, menghantamkan linggis ke kepalanya. Kala itu, Malesa bahkan masih mengenakan seragam supermarket dimana ia bekerja paruh waktu.
Menhaz kembali ke depan layar laptopnya dan chatting dengan kawan-kawan onlinenya. Kemudian, sekitar tengah malam, ia mendengar ayahnya yang baru saja pulang lembur. Ia kemudian mengambil linggisnya kembali dan berjalan menuju ke garasi. Di sanalah, ia akhirnya menghabisi satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa, yakni ayahnya, dengan cara yang sadis pula.
Ia kemudian kembali ke depan komputer dan mengetik,
“Aku sudah menghabisi seluruh anggota keluargaku.”
Tentu saja teman-temannya di game online kala itu menganggapnya bercanda, namun Menhaz kemudian mengirimkan pada mereka foto-foto jenazah keluarganya yang berlumuran darah. Detik itulah, mereka baru sadar bahwa ia ternyata serius.
Tragis memang, seluruh anggota keluarga Zaman termasuk, adik, orang tua, dan neneknya meregang nyawa ditangan anak sulung mereka sendiri |
Mereka tentu saja langsung kalang kabut dan berusaha terus mengajak Menhaz mengobrol agar ia tak kembali menyakiti orang lain. Kala itu Menhaz memang sempat menyinggung ingin menemui mantan kekasihnya untuk yang terakhir kali. Teman-teman Menhaz yang takut bahwa ia juga akan membunuh gadis itu terus berusaha menahannya agar tetap online dengan menanyakan berbagai pertanyaan.
“Mengapa kau melakukan ini semua?” tanya mereka.
Menhaz hanya menjawab bahwa ini adalah satu-satunya jalan keluar. “Aku sudah merencanakannya selama 3 tahun. Aku sudah telanjur mengatakan pada orang tuaku bahwa aku akan diisuda pada 28 Juli. Aku tak bisa menundanya lebih lanjut.” jawabnya. “Aku melakukan ini karena aku tak mau orang tuaku malu memiliki anak seperti aku.” lanjutnya. “Aku adalah pengecut yang menyedihkan.”
Beruntung, para gamers itu berinisiatif untuk membuat grup tersendiri di Discord untuk menghentikannya aksi Menhaz. Mereka kala itu tak tahu dimana alamat Menhaz. Yang mereka tahu hanyalah ia tinggal di Kanada. Mereka berusaha melacak IP addressnya, namun usaha mereka tak berbuah banyak. Untungnya, salah satu gamer yang tinggal di Toronto berhasil menemukan akun PayPal milik Menhaz dan melacak alamatnya. Merekapun segera menghubungi polisi.
Sekitar 12 jam kemudian, polisi akhirnya mengetuk pintu depan rumah kediaman keluarga Menhaz. Mendengarnya, Menhaz mengucapkan kata-kata terakhirnya pada kawan-kawannya itu.
“Polisi sudah ada di sini. Selamat tinggal.”
TKP tempat pembunuhan sadis tersebut berlangsung |
Sosiolog asal Northern Arizona University, Neil Websdale mengatakan bahwa kejahatan yang dilakukan Menhaz ini sejalan dengan modus operandi seorang “family annihilator”. Namun apa yang dilakukan Menhaz Zaman ini unik, sebab biasanya peran “family annihilator” dilakukan oleh ayah (seperti kasus Chris Watts, Xavier Dupont de Ligonnes, John List, dan Jean Claude Romane). Sedangkan, di kasus Menhaz (dan juga Grant Amato), pelakunya justru sang anak.
Neil juga berpendapat bahwa motif seorang “family annihilator” biasanya ada dua macam; salah satunya adalah kemarahan dan balas dendam (seperti kasus Chris Watts). Namun ada juga motif kedua, dimana sang pelaku berpendapat bahwa dengan membunuh keluarga mereka, sesungguhnya mereka malah “menyelamatkan” mereka dari rasa malu (seperti kasus Count Dupont de Ligonnes, Jean Claude Romane dan John List, dimana mereka berbohong selama bertahun-tahun akan kondisi finansial mereka). Tak hanya itu, rasa malu yang diderita para kepala keluarga itu (dan Menhaz, walaupun ia berposisi sebagai anak) atas kegagalan mereka untuk melakukan sesuatu yang dipasrahkan kepada mereka, tertimbun selama bertahun-tahun dan meledak menjadi aksi kekerasan.
Apa yang menimpa keluarga Zaman tentulah tak bisa dipungkiri amatlah tragis. Namun kasus ini selayaknya membuat kita berpikir, benarkah ini semua salah Menhaz, ataukah salah kedua orang tuanya? Apakah gaya mendidik kedua orang tuanya yang masih berpaku pada pakem tradisional, akhirnya bertabrakan dengan nilai-nilai modernitas yang didapat Menhaz di internet? Apakah keputusan orang tuanya yang selama ini tak pernah mendengarkan apa keinginan Menhaz, atau paling tidak membiarkan anak mereka memilih jurusan sendiri sesuai minat dan bakatnya, adalah faktor penting yang berbuntut pada tragedi tersebut? Ataukah sikap tertutup Menhaz dan keterisolasiannya, serta kebohongannya selama bertahun-tahun justru yang menjadi pangkal titik tolak akhir menggenaskan tersebut?
Kematian keluarga Zaman ditangan putra terkasih mereka sendiri menimbulkan shockwave di seantero masyarakat imigran Asia di Kanada. Mereka menganggap, nilai-nilai kuno yang mereka anut dari tanah air mereka sudahlah tak lagi relevan dengan kemajuan peradaban yang berhasil dicapai masyarakat Kanada. Namun salahkah jika orang tua Menhaz mengharap anaknya memiliki masa depan cerah? Atau salahkah jika seorang anak tak mampu menenuhi harapan orang tuanya?
Yang jelas, tak ada gunanya menyalahkan siapapun. Apapun yang terjadi kini, gue harap keluarga Zaman kini beristirahat dengan tenang dan Menhaz sendiri, akhirnya menemukan kedamaiannya sendiri di balik jeruji besi.
SUMBER: TORONTO LIFE
kalau kalian punya masalah dan gak bisa cerita ke siapa pun. berceritalah ke pada teman sesama gamer kalian. minta pendapat mereka tentang masalah yang kalian hadapi. gak cuma teman sesama gamer sih, boleh cerita juga ke temen dekat kalian.
ReplyDeleteJujur, gue lagi diposisi ini. Persis.setelah semester 3 gue berhenti kuliah. Tapi gue ga bilang sama ortu gue Krn harapan mereka besar. Gue takut banget dan kalut. Sekarang harusnya gue udah smt 5. Masih ga sanggup buat ngasih tau. Btw gue di luar kota sih. Ga tinggal serumah dengan ortu.
ReplyDeleteWaduh bro kalo kata gw sih coba minta solusi ke org2 terdekat atau coba sambi kerja deh atau kuliah ke jurusan yg bener2 km senengin. Gw percaya kalo lu melakukan hal (bekerja/belajar) di bidang2 yg bener2 lu minati, pasti lu akan berhasil
DeleteIya coba deh ngambil jurusan baru yg diminati ngulang dri awal smbil kerja pa gmna,trus klau dh lulus Bru Blang ini yang kamu pngen,ceritain aja semuanya:(
DeleteJadi anak sulung emang banyak tuntutan 😔
ReplyDeleteTeruslah bernafas walau cuma beban keluarga
ReplyDeleteSebenarnya budaya bisa berjalan berbarengan dengan kemajuan peradaban, cuma manusia aja yg ngeles mengatasnamakan kebebasan dalam berperadaban padahal malas berbudaya
ReplyDelete