Kasus Glico-Morinaga merupakan salah satu kasus kriminal yang paling terkenal di Jepang, namun gaungnya kurang terdengar di dunia internasional. Gue yakin kalianpun belum pernah mendengarnya. Insiden ini melibatkan dua perusahaan manufaktur raksasa asal negeri matahari terbit tersebut, yakni Glico dan Morinaga. Glico terkenal berkat salah satu produknya yang mendunia, yakni “Pocky”. Sementara Morinaga lebih menyasar produk susu untuk anak-anak. Pada rentang tahun 1984-1985 sebuah kasus pemerasan menghantui dua perusahaan itu. Polisi tak pernah berhasil memecahkannya, sebab sang penjahat, yang menjuluki dirinya sebagai “Monster with 21 Faces” atau “Monster dengan 21 Wajah” teramat lihai dalam melakukan aksinya.
Namun alasan utama gue ingin mengulas kasus kriminal ini bukannya untuk menguak siapa pelakunya, melainkan motif insiden tersebut yang menurut gue amatlah mengejutkan, hingga dalam taraf tertentu, bisa dibenarkan.
Kisahnya akan gue ulas tuntas di Dark Case kali ini.
Markas Glico |
Kasus ini dimulai pada 18 Maret 1984. Bak adegan film horor bertema “home invasion” ala Hollywood, dua orang pria bertopeng menyusup masuk ke rumah Katsuhisa Ezaki, CEO Glico, kemudian menculiknya. Keesokan harinya, telepon di perusahaan raksasa itu berdering. Telepon itu datang dari sang penculik yang meminta tebusan dengan angka tak main-main, yakni 1 miliar yen (setara hampir 60 M rupiah). Seolah belum cukup, mereka juga menuntut 100 kilogram emas batangan, dimana harga 1 kilogramnya saja mencapai hampir 850 juta rupiah. Namun sebelum tuntutan itu dipenuhi, sang CEO berhasil melarikan diri dari tangan para penculiknya.
Ternyata hal tersebut tak menyurutkan niat para penculik. Bahkan aksi mereka makin ekstrim. Markas perusahaan Glico kemudian mereka serang dengan membakar mobil-mobil yang terparkir di sana. Kemudian, pada bulan April, markas mereka kembali diancam menggunakan paket berisi asam klorida, zat korosif yang amat berbahaya.
Pada bulan Mei, identitas para penculik itupun mulai terungkap. Mereka mengirim surat kepada Glico dan menyebut mereka sebagai “Monster dengan 21 Wajah”, terinspirasi dari nama tokoh antagonis dalam novel besutan Edogawa Ranpo, “Phantom with 21 Faces”. Dalam surat itu, sang “monster” mengaku telah mencemari permen-permen buatan Glico yang tengah beredar di pasaran dengan racun potasium sianida. Mendengar kata “sianida”, tentu yang terbayang adalah racun yang amat mematikan, hingga tak ayal kabar tersebut membuat Glico menjadi pontang-panting. Demi keselamatan para konsumennya, Glico terpaksa menarik seluruh produk mereka dari pasaran, hingga menimbulkan kerugian setara 21 juta dolar (hampir 300 miliar rupiah).
Cover novel Edogawa Ranpo yang menjadi inspirasi nama sang pemeras |
Aksi sang “Monster dengan 21 Wajah” terhenti pada 26 Juni dimana mereka mengirimkan surat bahwa mereka “mengampuni” Glico. Namun itu bukan berarti mereka benar-benar mengakhiri aksinya. Mereka justru berganti sasaran dan melancarkannya pada perusahaan lain, yakni Morinaga.
Pada bulan Oktober 1984, sang “monster” mengulangi aksi yang sama dengan menyatakan telah meracuni permen-permen buatan Morinaga yang telah beredar di pasaran dengan sianida. Perbuatan itu juga membuat Morinaga dilanda kerugian besar, sebab mereka harus menarik 90% dari semua produk mereka dari pasaran.
Selanjutnya, pada bulan Juni tahun berikutnya, sang “monster” kemudian mengancam Marudai, sebuah perusahaan lain. Mereka berjanji takkan melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lakukan pada Glico dan Morinaga apabila Marudai membayar mereka 50 juta yen (setara hampir 3 miliar rupiah). Mengetahui bahwa angka itu masih jauh lebih “murah” ketimbang kerugian mereka apabila harus menarik seluruh produk mereka (yang bisa mencapai puluhan juta dolar), pihak Marudai pun setuju. Namun tentu saja, mereka diam-diam bekerja sama dengan kepolisian yang sudah getol ingin menangkap para penjahat tersebut.
Sang “monster” menuntut Marudai mengirimkan salah satu pegawainya untuk mengirimkan uang tebusan. Seorang polisi kemudian menyamar menjadi pegawai tersebut untuk menangkap basah sang “monster”. Kala tengah mengintai, polisi melihat sosok yang mencurigakan. Polisi menjulukinya sebagai “Fox Eyed Man” atau “Pria Bermata Rubah”. Julukan itu tak hanya menyasar pada bentuk fisiknya saja, melainkan karena rubah dalam mitologi Jepang dikenal sebagai hewan yang licik dan banyak akal. Namun sayang, di tengah pengintaian, polisi kehilangan jejak pria mencurigakan tersebut.
Sketsa sang "Fox Eyed Man" yang misterius |
Seorang polisi lokal (yang sama sekali tak tahu menahu tentang penggebrekan itu) melihat sebuah mobil van yang terparkir mencurigakan di dekat TKP dan mendekatinya. Di dalamnya, ia melihat sang “Pria Bermata Rubah” tengah mengenakan headphone di dalam mobil. Menyadari polisi mendekat, pria itupun membawa kabur van-nya. Mobil van tersebut kemudian diketahui merupakan mobil curian dan ditemukan terparkir di dekat sebuah stasiun. Di dalamnya tak lagi ditemukan jejak sang “Pria Bermata Rubah”, namun polisi menemukan peralatan radio yang ternyata mampu mencuri dengar percakapan para polisi. Inilah sebabnya para “monster” itu selalu saja satu langkah di depan para polisi.
Pada Agustus 1985, karena merasa gagal menangkap sang “Monster dengan 21 Wajah”, seorang kepala polisi bernama Yamamoto kemudian melakukan “harakiri”, sebuah aksi bunuh diri yang memang sejalan dengan tradisi Jepang kala itu. Hanya lima hari setelah kematian sang kepala polisi, sang monster tiba-tiba mengirimkan pesan ke surat kabar yang menyatakan bahwa mereka akan mengakhiri aksi mereka, selamanya. Semenjak itu, kiprah dan sepak terjang para “monster” itupun tak terdengar lagi. Pada tahun 2000, “statute of limitation” kasus mereka telah berakhir. Dengan kata lain, kasus itu telah kadaluwarsa sehingga tak bisa diselidiki lagi.
Hingga sekarangpun, identitas para “Monster dengan 21 Wajah” itupun tak pernah diketahui.
Sepak terjang para "Iblis dengan 21 Wajah" akhirnya menguar lenyap setelah kematian sang kepala polisi yang memutuskan bunuh diri karena merasa malu gagal menangkap mereka |
Namun seperti yang sudah gue kemukakan di awal, bukanlah identitas asli sang penjahat yang membuat gue tertarik pada kasus ini, melainkan motifnya. Apakah yang menyebabkan mereka berani mengancam perusahaan-perusahaan besar semacam Glico maupun Morinaga? Apakah demi uang semata?
Ternyata, track record para perusahaan raksasa itupun tak seluruhnya bersih. Mereka bukanlah semata-mata korban “tak berdosa”. Glico contohnya, ternyata selama ini membuang limbah mereka secara sembarangan ke sungai sehingga merusak lingkungan sekitar dan merugikan penduduk setempat. Bukan mustahil pula, langkah ini juga diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain demi memangkas pengeluaran mereka.
Gue jadi teringat akan kasus Ted Kazcinsky yang tega membunuh demi ideologi cinta lingkungannya. Tindakan ekstrim dengan dalih menyelamatkan alam ini disebut dengan “eco-terrorisme”. Bukan mustahil, bila para “monster” ini sesungguhnya juga adalah eco-terrorist.
Ada hal menarik yang juga ingin gue soroti. Ketika kasus Glico mengemuka, mereka mengaku menyebarkan permen rasa sianida untuk meracuni konsumen mereka. Namun, sesungguhnya ancama itu hanya pepesan kosong belaka. Para pihak berwajib tak pernah menemukan permen Glico beracun di pasaran.
Bayangkan permen-permen lezat ini berbalut racun sianida yang amat mengerikan |
Setelah pihak Glico mengalami kerugian dahsyat akibat ancaman itu, para “monster” itupun puas dan menghentikan ancaman mereka. Hal ini membuktikan bahwa uang tak pernah menjadi tujuan utama mereka (ingat, sesungguhnya dari berbagai kasus yang mereka lancarkan, mereka tak pernah mendapatkan uang tebusan satu peserpun). Tujuan utama mereka hanyalah untuk membuat Glico menerima ganjarannya karena telah merusak lingkungan.
Namun berbeda dengan kasus Morinaga. Di sini, para polisi menemukan setidaknya 21 permen yang benar-benar mengandung sianida. Namun ada satu hal yang belum gue ungkapkan, yakni ke-21 permen itu ternyata memiliki peringatan di bungkusnya, berbunyi: “BAHAYA: MENGANDUNG RACUN”. Peringatan itu jelas bertujuan agar para pembeli tak mengambilnya. Namun mengapa mereka melakukan itu? Hanya ada satu alasan, yakni sejak awal mereka tak berniat menyakiti siapapun. Bahkan ketika terjadi tragedi dimana sang kepala polisi bunuh diri, sang “monster” itupun langsung mengumumkan bahwa ia akan “undur diri” dari “dunia kejahatan”. Hal ini kembali membuktikan bahwa mereka tak pernah ingin melukai siapapun. Bahkan mereka merasa menyesal dan bersalah ketika akhirnya jatuh korban jiwa akibat perbuatan mereka.
Sepak terjang para “Monster dengan 21 Wajah” ini akan selalu dikenang publik Jepang sebagai kasus kriminal paling misterius di negara anime tersebut. Namun gue masih bertanya-tanya, apakah masih patut kita menyebut mereka sebagai “monster” begitu mengetahui tujuan dan alasan mereka?
Wah udah 4 tahun gak mampir, ternyata masih aktif update aja blog bang dave
ReplyDeleteKeren banget asli.
ReplyDeleteBagus bang dave
ReplyDeleteBerasa baca komik detektif Conan :')
ReplyDeleteGw rasa diantara anggota “monster” ini ada orang dalem kepolisian bang, rasanya aneh aja kalo mereka bisa selalu nebak langkahnya polisi dan bahkan selangkah di depan mereka. Dan pastinya anggota dari “monster” ini pinter2, atau bahkan org2 yg punya pengaruh juga di jepang, entahlah. Anyway, gw malah ngfans sama mrk, keren bgt kek film2 wkwkwk
ReplyDeletePliss lahh ini percobaan komen keberapa nda ngerti lagi kenapa gagal mulu
Monster yang melindungi jepang dari balik bayangan 😎😎
ReplyDelete