Saturday, December 5, 2020

THE MALIN KUNDANG TRILOGY (3): KASUS JENNIFER PAN DAN DENDAM KESUMAT SANG ANAK DURHAKA

SUMBER GAMBAR

Di episode penutup trilogi Malin Kundang ini, gue akan membahas kasus Jennifer Pan, Jika kala membahas Grant Amato hati kita bergejolak panas karena perilaku biadab dan tak tahu terima kasihnya, sedangkan di episode Menhaz Zaman kita mungkin sedikit bersimpati dengan sang pelaku karena tuntutan orang tuanya yang senantiasa mengharapkannya sebagai anak sempurna tanpa kekurangan suatu apapun; suatu hal yang tentu mustahil. Maka di cerita ketiga ini, entah apa yang akan kita rasakan saat membahas kasus Jennifer Pan ini.

Sama seperti Menhaz, Jennifer emang dididik terlalu keras oleh orang tuanya, yang mengharapkannya sebagai anak sempurna tanpa cela sedikitpun. Namun apa yang dilakukannya berikutnya tetaplah tak bisa dibenarkan. Kasus Jennifer ini juga menjadi bukti tak terbantahkan tentang pertentangan nilai-nilai tradisional yang dibawa oleh para imigran dengan nilai-nilai modern yang dipegang di negara Barat tujuan para imigran tersebut.

Emang separah apakah kasusnya? Mari kita simak pembahasannya di Dark Case kali ini.

Sama seperti kisah sebelumnya, kasus Jennifer Pan dimulai dengan culture shock antara gaya asuh Asia yang menuntut anak tunduk pada orang tua dengan nilai-nilai kebebasan nan liberal yang ditenggak sang anak lewat pendidikan di dunia Barat

SUMBER GAMBAR

Pada 8 November 2010 malam, di sebuah pemukiman suburban di kota Ontario, Kanada, keheningan perlahan merayapi rumah-rumah yang kini telah sepi ditinggal tidur para penghuninya yang kini terlelap dalam mimpi. Namun di tengah kesunyian itu, tiga pasang jejak langkah perlahan memasuki sebuah rumah kediaman keluarga imigran asal Vietnam bermarga Pan. Jelas, mengingat kedatangan mereka di tengah malam, niat mereka tidaklah baik.

Para penyusup itu kemudian menyandera pemilik rumah itu. Menuntut semua harta benda milik keluarga itu, merekapun menyeret pasangan suami istri itu ke ruang bawah tanah lalu menembak mereka. Sang putri yang tinggal bersama mereka, bernama Jennifer Pan, kemudian mengaku berhasil melepaskan tangannya dari ikatan para pencuri itu dan memanggil 911. Polisipun segera datang dan menemukan TKP tersebut berlumuran darah, namun para penjahat itu berhasil melarikan diri.

Akan tetapi, tak butuh lama bagi para pihak berwajib untuk mengendus ketidakberesan dalam kasus perampokan dan pembunuhan tersebut. Pertama, tak ada tanda-tanda masuk paksa di pintu rumah itu, artinya pintu rumah itu dalam keadaan tak terkunci ketika para penjahat itu masuk. Kedua, Jennifer, satu-satu saksi dalam kejadian itu dan berhasil selamat dari usaha pencurian itu, mengaku memanggil 911 setelah berhasil melepaskan ikatannya. Namun nyatanya, kala polisi datang, justru merekalah yang melepaskan tangan Jennifer yang kala itu masih terikat. Ketiga, sangat sulit dipercaya mengapa para penjahat itu, yang telah membunuh kedua orang tua Jennifer, membiarkannya tetap hidup. Tentu saja, jika mereka tega membunuh pasangan suami istri itu agar tak meninggalkan satupun saksi mata, bukankah lebih masuk akal jika mereka ikut membunuh putri mereka?

Kecurigaan itu membuat para polisi menggali masa lalu keluarga Pan dan menemukan fakta-fakta mengejutkan tentang Jennifer. Mereka akhirnya mengambil kesimpulan yang membuat siapapun yang mendengarnya bergidik: bahwa ketiga pembunuh bukanlah masuk ke rumah itu dengan kebetulan. Mereka bertiga adalah pembunuh bayaran yang disewa Jennifer untuk membunuh orang tuanya sendiri.

Namun mengapa?


Hann dan Bich, pasangan orang tua Jennifer yang menuntut yang terbaik sang anak, tak peduli tekanan yang anak mereka rasakan

SUMBER GAMBAR

Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri secara dalam keluarga Pan, termasuk menelisik lorong-lorong rahasia yang selama ini disembunyikan keluarga imigran yang dari luar tampak sukses, namun dijejali misteri itu.

Kisah ini diawali pada 1979, dimana hanya beberapa tahun setelah kemenangan kaum Komunis akan Perang Vietnam, situasi negara itu tentu saja menjadi tak aman. Untuk menghindari gejolak politik, seorang pria bernama Hann Pan kemudian memutuskan melarikan diri ke Kanada sebagai pengungsi. Di sana, ia bertemu sesama pengungsi asal Vietnam, seorang gadis bernama Bich yang kemudian dinikahinya. Pada 1986, anak mereka, Jennifer, lahir. Pasangan Hann dan Bich bekerja di sebuah pabrik manufaktur mobil di Ontario. Walaupun bukan pekerjaan yang mentereng, namun kerja keras mereka akhirnya membuahkan hasil manis. Mereka menabung cukup uang untuk membeli sebuah rumah dan juga dua mobil.

Hann dan Bich menginginkan kesuksesan yang sama bagi anak mereka, Jennifer. Oleh karena itu, semenjak kecil orang tuanya selalu memiliki ekspektasi yang amat tinggi bagi anak mereka. Sejak usia 4 tahun saja Jennifer sudah rutin mengikuti kursus piano. Jennifer diawasi dengan ketat hingga “tak mampu bergaul” dengan teman-teman sebayanya. Sepulang sekolah, ia akan langsung dijemput oleh orang tuanya dan di rumah, akan segera mengikuti berbagai kegiatan les yang sudah diatur orang tuanya. Ia bahkan dilarang berpacaran, atau sekedar datang ke pesta dansa di sekolahnya, karena mereka menganggap hal itu hanya akan mendistraksi Jennifer dari prestasi akademiknya. Bahkan bukan rahasia lagi bagi teman-teman sekelas Jennifer bahwa orang tuanya amat restriktif, opresif, dan juga over-protektif.

Kala masih berada di bangku sekolah, Jennifer tak diperolehkan orang tuanya menikmati masa remajanya dan ditekan untuk selalu berprestasi secara akademik

SUMBER GAMBAR

Walaupun dididik dengan keras, namun tetap saja nilai akademik yang dicapai Jennifer hanya pas-pasan. Nilai rata-ratanya “hanya” 7 (kecuali di pelajaran musik yang memang menjadi minatnya) dan jelas takkan mampu memuaskan kedua orang tuanya. Jennifer terpaksa memalsukan rapotnya dan mengisi semuanya dengan nilai A, hanya agar tak mendapat murka dari kedua orang tuanya, terutama ayahnya. Orang tuanya tentu bangga dengan “nilai-nilai” ini, padahal kenyataannya, Jennifer bahkan tak lulus SMA karena gagal dalam ujian matematika. Hal ini juga membuatnya tak diterima masuk ke universitas yang diincarnya.

Tak mau dianggap sebagai “kegagalan”, Jennifer mulai berbohong bahwa ia diterima masuk ke Universitas Toronto jurusan farmakologi. Setiap pagi ia pergi dan baru pulang sore harinya, mengaku kuliah. Padahal kenyataannya, ia bekerja paruh waktu di sebuah kafe dan mengajar sebagai guru piano. Agar dustanya semakin meyakinkan, ia membeli buku-buku farmasi bekas dan membuat buku catatan kuliah sendiri dari materi yang ia dapat secara online sebagai bukti bahwa ia benar-benar menimba ilmu di sana. Lama-kelamaan, Jennifer juga meminta izin untuk tinggal di dekat kampu agar bisa lebih berkonsentrasi dengan pelajarannya. Padahal, kenyataannya, ia justru tinggal dengan kekasihnya, seorang pemuda blasteran Chinese-Filipino bernama Daniel Wong.

Pemuda bernama Daniel inilah yang mulai memberikan pengaruh buruk bagi Jennifer. Walaupun memiliki paras yang memikat hati Jennifer, sesungguhnya Daniel memiliki kepribadian yang tercela. Tak hanya ia di-DO karena nilai-nilainya yang terus menurun di kampusnya, ia juga aktif menjual ganja sebagai pekerjaannya.

Sayang, Jennifer justru jatuh hati pada pria semacam Daniel Wong ini yang rupanya bukan pria baik-baik

SUMBER GAMBAR

Kebohongan Jennifer mulus selama bertahun-tahun hingga tiba saatnya ia lulus. Ia kembali berbohong bahwa ia sudah kerja magang di sebuah rumah sakit. Namun kali ini dustanya mulai membuat kedua orang tuanya curiga. Pasalnya, Jennifer sama sekali tak memiliki seragam rumah sakit ataupun ID yang dapat membuktikan bahwa ia benar bekerja di sana. Akibatnya, pada suatu kesempatan, Bich, sang ibu, diam-diam mengikuti anaknya ketika ia mengaku berangkat bekerja. Ia kemudian shock saat melihat Jennifer justru bermesraan bersama pacarnya.

Kebohongan Jenifer selama bertahun-tahun akhirnya terbongkar jua.

Hal ini tentu saja membuat Hann, sang ayah, marah besar pada putrinya. Kini ia semakin memperketat pergerakan anaknya. Ia melarang keras anaknya keluar rumah, kecuali untuk melanjutkan pekerjaan paruh waktunya. Tak hanya itu, Bich juga melarang keras anaknya untuk berpacaran dengan Daniel lagi, karena melihat pria itu sama sekali tak baik untuk putrinya. Namun tentunya Jennifer yang keras kepala masih saja diam-diam berhubungan dengan Daniel.

Kini, Jennifer merasa dengan terkurung di rumahnya sendiri, mimpi buruknya selama remaja, dimana orang tuanya hanya menyuruhnya belajar dan belajar tanpa boleh bersosialisasi, terasa terulang kembali. Jennifer kemudian mengambil keputusan tak terbayangkan. Jika ia ingin bebas dari mimpi buruk yang menderanya ini, tak ada jalan lain.

Ia harus membunuh kedua orang tuanya.

Jenniferm Daniel, dan sosok-sosok pembunuh bayaran yang mereka sewa untuk memperlancar aksi keji mereka

SUMBER GAMBAR

Ide ini ternyata justru disambut baik oleh Daniel. Pemuda itu mendukungnya bukan karena ia tengah mabuk kepayang dengan gadis itu (Daniel kala itu sudah memiliki kekasih lain), namun lantaran ia mendengar bahwa jika orang tua Jennifer mati, maka kekasihnya itu akan mewarisi sekitar 500 ribu dolar atau 7 M rupiah. Berkat latar belakang Daniel yang sudah terbiasa dengan dunia kriminal, bukan perkara sulit baginya mencari komplotan untuk melancarkan aksi keji tersebut. Ia lalu menghubungi seorang pria Lenford Roy Crawford, yang kemudian mengajak temannya, Eric Shawn "Sniper" Carty untuk membantu aksinya. Yang mengerikan, Eric sendiri adalah seorang “bromocorah” alias residivis yang sudah sering keluar masuk penjara, bahkan (setelah kasus Jennifer terungkap) ia terbukti pernah melakukan pembunuhan sebelumnya.

Kitapun sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya. Seperti awal cerita tadi, pada 8 November 2010, setelah orang tuanya tertidur, Jennifer diam-diam membuka kunci rumahnya agar para pembunuh bayaran yang telah disewanya bisa leluasa masuk. Ketika malam mulai larut, Daniel, Lenford, dan Eric masuk melalui pintu yang tak dikunci itu dan melancarkan aksi keji mereka. Mereka bertiga kemudian menggiring Hann dan istrinya, Bich, ke ruang bawah tanah dan menembak mereka. Sesudah itu, mereka bertiga kabur dengan uang yang berhasil mereka gondol, ditambah uang sebesar 2 ribu dolar (28 juta rupiah) yang diberikan Jennifer sebagai imbalan atas “jasa” mereka.

Konon, kala itu, kata terakhir yang diucapkan sang ibu, Bich, sebelum ia dibunuh adalah:

"Kumohon, kau boleh membunuhku. Tapi jangan sakiti putriku ..."


Jennifer tak mampu berkutik ketika kebohongan demi kebohongannya terbongkar di kantor polisi

SUMBER GAMBAR

Namun ternyata rencana mereka tak semulus yang mereka perkirakan. Bich, sang ibu, memang tewas pada malam itu. Namun sang ayah, Hann, ternyata berhasil selamat walaupun terluka parah. Iapun menjadi saksi kunci perbuatan biadab tersebut. Keterangan yang diberikan Hann, ternyata bertolak belakang dengan pengakuan Jennifer. Tak heran dalam waktu singkat, polisi akhirnya berhasil membongkar semua kejahatan mereka. Tak hanya Jennifer yang ditangkap, namun juga tiga komplotannya, yakni Daniel, Lenford, dan Eric, semuanya dijebloskan ke penjara dengan hukuman seumur hidup.

Entah apakah kita harus bersimpati dengan Jennifer. Mungkin ya, mungkin tidak. Memang kita mengerti kadang tuntutan kedua orang tua kita membuat kita merasa tertekan. Namun tetap, aksi balas dendam seperti itu bagi gue terlalu ekstrim. Mungkin saja kesalahan memang terletak di pundak kedua orang tua Jennifer, yang menginginkan yang terbaik bagi anaknya, namun dengan cara yang otoriter dan tak manusiawi. Toh, walaupun disiplin memang diperlukan untuk keberhasilan sang anak, namun kunci yang terpenting tetap saja kasih sayang dan penerimaan. 

Namun Jennifer sendiri juga jelas bersalah. Jika saja ia menuruti kedua orang tuanya untuk tak lagi berhubungan dengan pria semacam Daniel, mungkin tragedi ini takkan terjadi. Entah siapa yang salah, namun yang jelas, jika kalian kelak beruntung menjadi orang tua, didiklah anak kalian bukan dengan tangan besi, melainkan dengan cinta kasih dan pengertian.

SUMBER: WIKIPEDIA

8 comments:

  1. Jujur menurutku untuk kasus yang ini, yang harusnya diselidiki itu kondisi mentalnya Jennifer. Di kasua pertama dan kedua, mereka tahu apa yang mereka perbuat itu salah tapi entah ga peduli gara-gara terlalu dimanja dan jadi egois (di kasus Grant) ato ingin menyenangkan ortu trus merasa bersalah (di kasus kedua).
    Tapi di kasus Jennifer, murni berdasar fakta dari postingan ini, hubungan mereka bukan kaya orang tua-anak tapi napi dan opsir penjara. Kalo aku ngebayangin jadi Jennifer, kebohongan dan pembunuhan yang dia lakuin itu semata-mata buat nglepasin diri dari penjara yang dibuat ortunya. Meskipun dia ga ketemu Daniel, suatu saat pasti kejadian yang sama bakal terjadi, saat Jennifer udah bener2 ga tahan dengan semua kungkungan orang tuanya.
    Dan jujur, aku ga simpati sama ortunya sama sekali. Soalnya apa yang ortunya mau dari Jennifer bukan untuk kebaikan Jennifer sendiri, tapi buat memenuhi ego dan ambisi ortunya.

    ReplyDelete
  2. Aku gak sengaja nemu dokumenter Jennifer's Solution di yutub, dan banyak yang komen kalo Jennifer keliatan masih anak2 dibanding usia sebenernya. Ada hubungannya sama perlakuan ortunya ke Jennifer kali ya?

    ReplyDelete
  3. Bagi para readers yang merasa terlalu di kekang orang tua, silahkan share cerita ini ke orang tua kalian 😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Entar kita langsung diperlakukan seperti ratu sama ortu kita hihihi

      Delete
    2. Entar kita langsung diperlakukan seperti ratu sama ortu kita hihihi

      Delete