Saturday, April 18, 2020

BUS TO MAGELANG - CHAPTER 1


BUS menuju Magelang itu mulai berangkat perlahan. Dengan terburu-buru, aku segera berusaha menghentikannya. Sepertinya sang sopir melihat lambaian tanganku dan menghentikan busnya. Suara rem angin terdengar menghembus, kemudian seorang kernet membukakan pintu.

Ayo naik!” katanya. Aku segera menerima uluran tangannya. Memang susah berpergian membawa tas ransel sebesar ini, namun apa boleh buat.

Beberapa penumpang melemparkan tatapan tak suka ke arahku. Memang salahku sih, memperlama perjalanan mereka. Dengan kikuk aku segera duduk di salah satu bangku yang kosong. Sepi sekali bus itu, mungkin karena masih weekdays. Aku membayangkan, jika musim liburan atau akhir pekan, pastilah bus ini diipenuhi oleh wisatawan yang ingin pergi ke Candi Borobudur.

Tas ranselku memakan tempat satu kursi penumpang sendiri. Kuharap sang kernet tidak membebankan biaya tambahan bagiku. Hampir semua penumpang duduk di area depan, terkecuali seorang penumpang pria terlihat menyendiri di belakang.

Aku melongok dan menatap mereka satu-persatu ketika bus mulai berjalan dan sang kernet menariki uang. Ada sepasang nenek-nenek di sana, berpakaian kebaya. Mungkin warga lokal, pikirku. Ada pula seorang ibu dan anaknya yang masih kecil. Ia terlihat memasangkan topi (yang terlihat baru ia belikan, topi semacam itu banyak dijual di Malioboro). Ada pula beberapa anak muda membawa tas ransel besar tampak bercengkerama, bahkan sesekali bercanda. Aku menebak mereka pasti backpacker yang menuju ke Candi Borobudur.

Turun Candi Borobudur bisa kan, Pak?” tanya salah satu pemuda di rombongan itu. Ia memiliki wajah oriental.

Bisa, tapi turunnya di terminal. Kalian harus jalan sedikit.” jawab sang kernet.

Tak apalah.”

Ia tampak mengumpulkan uang dari rekan-rekannya, dua orang gadis dan seorang pemuda lain.

Aku kemudian mengalihkan perhatianku ke jalanan. Yogya mulai berlalu. Jalanan yang semula kuhapal perlahan berubah menjadi jalanan yang asing, diisi perkampungan dan sesekali sawah di kanan kirinya. Aku masih bisa melihat Merapi dari kursiku berada.

Karcis.” ujar sang kernet ketika mendekatiku.

Magelang, satu.” Aku mengulurkan uang pas yang sudah kusiapkan.

Bus kami berbelok ke sebuah pom bensin. Mungkin sang sopir ingin mengisi bahan bakar sejenak. Bus kami berhenti dan kulihat tiga orang remaja berseragam sekolah berlari tergopoh-gopoh menghampiri bus kami.

Pak, pak! Ke candi kan?” tanya salah seorang di antaranya terengah-engah.

Ya, silakan masuk!”

Ketiga anak SMA itu masuk. Salah satunya, pemuda bertubuh besar, memukul kepala pemuda yang lebih kecil badannya.

Huh, gara-gara kamu sih! Kita sampai ditinggal bus!”

Sudah, sudah! Semoga kita masih bisa menyusul bus rombongan study tour kita.” sang gadis tampak menggenggam tangan sang pria bertubuh besar. Aku melihat lirikan mata tak suka dari pemuda satunya. Ah, drama remaja, pikirku. Untunglah aku tak lagi disibukkan dengan masalah cinta. Hanya skripsi yang harus kuselesaikan saat ini.

Hei,” seorang pemuda mencolek bahuku dari belakang, “Kau mau ke candi juga?”

Aku menoleh dan melihat wajah pemuda oriental itu tersenyum kepadaku.

Ya, kalian juga?”

Ia mengangguk. “Kami satu rombongan dari Jakarta. Mengisi libur kuliah.”

Ah, enaknya.”

Bukannya kau juga?”

Aku ke sana bukan untuk pelesiran, tapi mengerjakan project skripsiku.”

Oh, ya? Jurusan apa kau?” ia tampak tertarik.

Aku sejarah. Ada penemuan candi baru di kaki Bukit Menoreh, tak jauh dari Borobudur. Aku ingin menyaksikannya.”

Oh, maaf. Perkenalkan dulu, namaku Foo.” Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Rima.” jawabku singkat.

***

Dengan cepat, kami berlima menjadi akrab. Ternyata mereka memiliki minat sama denganku, mengunjungi objek-objek bersejarah.

Apa kau percaya teori yang menyatakan bahwa candi-candi di sini dibangun dengan bantuan alien,” pemuda bernama Bima bertanya. Ia satu rombongan bersama Foo dan kawan-kawannya, “Aku membaca bahwa ada candi bernama Sukuh di Jawa Tengah yang gaya arsitekturnya mirip piramida kuil Inca di Amerika Selatan. Juga aku pernah dengar bahwa ada relief kaktus yang harusnya hanya ada di gurun Amerika Utara, tapi nyatanya terukir di Candi Penataran, Blitar.”

Aku tertawa pelan, “Ya, aku penah mendengar teori gila itu. Tapi itu hanya dugaan saja. Belum pernah ada buktinya kan?”

Lalu bagaimana cara nenek moyang kita mengangkat batuan yang amat berat untuk disusun menjadi candi? Padahal kan beratnya mencapai berton-ton?” tanya Syefira, kurasa ia salah satu teman kuliah Foo.

Iya, aku juga penasaran dengan gunung di Garut yang katanya merupakan piramida terbesar buatan manusia.” tambah Tara, anggota terakhir rombongan itu.

Sudah, sudah,” aku berusaha menghentikan kegilaan teori mereka, “Yang pasti, bangsa kita memang teknologinya sudah maju kala itu. Aku sendiri tak begitu paham bagaimana cara mereka membuat candi. Namun justru itulah yang harus kita apresiasi bukan? Bahwa kecerdasan bangsa kita ternyata tak kalah dengan bangsa lain?”

Lalu bagaimana dengan candi yang baru temukan di Magelang itu?” tanya Foo.

Aku belum pernah melihatnya, ini akan jadi kali pertamaku. Namun kata temanku yang sudah mengunjunginya, candi itu masih terkubur dalam tanah.”

Hah, terkubur?” mereka tampak tertarik.

Begitu pula dengan Candi Borobudur dulu. Sebelum ditemukan oleh Belanda, candi tersebut juga terkubur dan terbengkalai. Dulu Magelang menjadi pusat peradaban yang maju, namun entah mengapa, tiba-tiba ditinggalkan.”

Membayangkan bentuk Candi Borobudur, aku jadi membayangkan,” ujar Foo, “Apakah ada UFO terkubur di bawahnya?”

Aku terkekeh, “Kalian ini ada-ada saja. Aku jadi curiga jangan-jangan kalian anggota Turangga Seta.”

Turangga Seta?” tanya Bima. “Apa itu?”

Oh, mereka terkenal di kalangan sejarawan. Mereka penganut pseudo-history, jadi mereka yakin akan kebenaran teori Ancient Aliens itu dan bersikukuh kalau alien itu ada. Bahkan, mereka tak jarang menggunakan kekerasan untuk membuktikannya.”

Kelompok radikal ya?” Syefira manggut-manggut.

Kurasa seperti itu. Mereka biasanya anarkis, merusak bahkan mencuri peninggalan bersejarah untuk membuktikan maksud mereka.” ujarku sambil menghela napas, “Benar-benar orang-orang yang tak bisa diajak kompromi.”

Hei, itu!” tunjuk salah satu pemuda SMA itu. Dari dekat, aku bisa melihat nama yang terjahit di seragam mereka. Mulia, Faleny, dan Jerry.

Aku segera menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjukkan Mulia.

Kenapa orang itu terus mengejar bus kita?”

Jerry malah tertawa melihatnya, “Ya ampun, dia niat banget pengen naik bus ini. Kenapa nggak nunggu yang lain aja sih?”

Dia benar. Saat melihat ke jendela paling belakang, kulihat seorang bapak-bapak tengah berlari susah payah, berusaha mengejar bus kami dari belakang. Ia terus melambai-lambaikan tangannya, menyuruhnya untuk berhenti.

Hei,” kataku pada sang kernet, “Apa tidak sebaiknya kita berhenti dulu?”

Aku menoleh kembali dan melihat sesuatu yang membuat mataku terbelalak.

Ada darah di sekujur tubuhnya.

BERSAMBUNG


2 comments:

  1. keknya gw bakal bikin cerbung juga terinspirasi ama ini namanya ride to solo😂

    ReplyDelete