Gue lebih membuat postingan ini sebagai curhatan alih-alih review
serial horor. Akhir-akhir ini gue sering banget binge-watching
serial-serial horor terbaru, mulai dari “Haunting of The Hill
House”, “Stranger Things”, “Slasher”, “Scream”,
“Twilight Zone”, “Hemlock Grove”, “Castle Rock”, dan
“Kingdom”. Gue kali ini akan menyinggung tiga serial aja, yakni
“Slasher”, “Scream”, dan “Twilight Zone” karena ketiganya
akan gue pakai sebagai contoh akan isu SJW yang tengah melanda
perfilman Hollywood dan dampak positif (dan juga negatif) yang akan
ditimbulkannya.
Awalnya gue nggak terlalu peduli ama isu SJW yang tengah
kencang-kencangnya digelontorkan di Hollywood. FYI SJW sendiri adalah
singkatan dari “Social Justice Warrior” atau sebutan bagi
orang-orang yang menginginkan kesetaraan hak di industri perfilman
Hollywood. Kita tahu bahwa industri perfilman di Hollywood didominasi
oleh pria kulit putih (yang kebanyakan menjabat sebagai produser dan
sutradara), bahkan aktor utamanya pun biasanya berasal dari gender
dan ras tersebut.
Hal ini menyebabkan pihak casting bisa dibilang
diskriminatif terhadap kaum perempuan dan kaum minoritas. Kita bisa
lihat, jarang banget kan ada film yang tokoh utamanya perempuan atau
kaum minoritas (bisa dari kulit hitam, keturunan Latin atau Asia,
Muslim, ataupun kaum minoritas lain semisal gay). Nah, para SJW
menginginkan lebih banyak diversifikasi dalam hal casting ini.
Makanya kita bisa lihat lebih banyak representasi di film-film
Hollywood zaman sekarang, semua semata karena usaha dan protes para
SJW ini.
Salah satu bukti kemenangan kaum SJW adalah film “Black Panther”
yang disutradari oleh Ryan Coogler yang berkulit hitam, bahkan hampir
semua cast-nya berkulit hitam. Namun nyatanya, film ini sukses besar
dan membuktikan bahwa nggak hanya film yang diperani oleh cast kulit
putih (yang biasanya lebih rupawan) saja yang bakalan sukses. Contoh lain adalah Jordan Peele dengan film “Get Out” yang
juga diperankan oleh cast utama berkulit hitam, tapi nyatanya juga
bisa meraup untung besar.
Reaksi gue terhadap SJW di film-film superhero nggak terlalu
berpengaruh bagi hidup gue, toh gue juga bukan penggemar berat
film-film tersebut. Mau Captain Marvel mewakili feminisme, Black
Panther mewakili kulit hitam, ataupun bahkan Valkyrie yang katanya
bakal didapuk jadi superhero lesbian pertama di Marvel, gue sama
sekali nggak peduli. Let them do what they wanna do, I don't
care.
Tapi kalo sudah merembet sampai ke film horor, itu jadi masalah
gue!
Ketika isu SJW muncul di season ketiga “Slasher” semisal, gue
nggak terlalu mempermasalahkannya. FYI “Slasher” adalah serial
horor bergenre slasher (ofc) yang hingga kini telah mencapai season
ketiga. Season pertama dan kedua masih didominasi oleh kaum kulit
putih. Hampir seluruh cast-nya adalah bule yang rupawan. Tapi gue
nggak mempermasalahkannya. Toh yang gue pentingin adalah adegan gore
dan juga sisi misterinya. Namun di season ketiga, pengaruh SJW mulai
terasa. Di sini diperkenalkan tokoh protagonis Muslim berhijab
pertama dalam dunia horor, yakni seorang remaja bernama Saadia
(diperankan aktris cantik berdarah Arab bernama Baraka Rahmani).
Yang gue salut, identitasnya sebagai seorang pengungsi dari Timur
Tengah ini nggak hanya untuk memperkaya cast saja, namun benar-benar
digunakan dalam plot ceritanya. Di sini diceritakan bagaimana dia
dibully di sekolah hanya karena cara berpakaiannya dan identitasnya
sebagai Muslim (yang sejak Tragedi 9/11 sering dituding secara tidak
adil sebagai teroris). Dalam salah satu adegan, bahkan pengalamannya
sebagai korban perang juga membantunya memecahkan misteri yang tengah
terjadi (di plotnya sendiri, satu demi satu penghuni
apartemen tempatnya tinggal dihabisi satu persatu oleh pembunuh
misterius). Terakhir, sebagai seseorang yang mengalami banyak
penderitaan hidup, mentalnya teruji hingga ia pada akhirnya mampu
melawan sang pembunuh dan berhasil menggagalkan rencananya.
Plot yang bagus menurut gue serta keserasian isu SJW dengan jalan
cerita membuat gue menikmati serial ini dari awal sampai akhir.
Sayang, hal yang sama nggak bisa gue katakan tentang “Twilight
Zone” dan “Scream” season ketiga.
“Twilight Zone” adalah serial legendaris yang sudah berjalan
sejak 1959 (bayangkan, pada saat itu televisi masih hitam putih!).
Serial ini kemudian “dibangkitkan” kembali pada 2019 dengan
mendapuk Jordan Peele sebagai produser. Tentu nama besar Jordan Peele
yang sudah sukses dengan film horor “Get Out” dan “Us”
membuat banyak orang yakin bahwa ia akan menelurkan karya yang
fantastis. Akan tetapi sayang, harapan itu pupus ketika Jordan
terlalu banyak mengangkat isu SJW di dalam ceritanya.
Gue sempat girang ketika awal episode pertama memperkenalkan
karakter utama seorang berdarah India. Namun ternyata, hingga akhir
episode itu gue malah kecewa sebab ceritanya menurut gue biasa-biasa,
bahkan gue yakin nggak akan mencapai status “legend” seperti
Twilight Zone season-season jadul sebelumnya.
Dan isu SJW nggak berhenti sampai di situ. Episode 3 membahas
diskriminasi terhadap kaum kulit hitam, episode 4 membicarakan status penduduk asli Amerika, episode 5 menyentuh ke panggung
politik dan jelas-jelas menyindir terpilihnya Donald Trump sebagai
presiden, episode 7 menyinggung “toxic masculinity”, episode 8
jelas mengalegorikan isu pengungsi, dan episode 9 mengangkat tema
“gun control” di Amerika. Season ini berakhir di episode 10
sebenarnya, namun gue terlanjur kecewa hingga memutuskan takkan
mengakhiri serial ini dengan menonton finalenya.
Kenapa? Kalian mungkin bertanya.
Karena semua cerita di atas hanya peduli pada isu SJW yang
dibawanya, tanpa mengunggahnya ke dalam cerita yang apik.
Yap, ceritanya biasa-biasa aja. Dalam hati gue sebenarnya salut
mereka mau mengangkat isu-isu yang kekinian dan jarang dibicarakan
orang karena dianggap “tabu”. Namun dalam “Twilight Zone” ini
gue ragu, apakah sang sutradara merasa seolah-olah isu SJW adalah
“misi suci” yang harus mereka kotbahkan karena merekalah
“nabi”-nya, alih-alih memberikan hiburan yang apik pada
pemirsanya? Karena itulah yang gue rasakan saat menonton serial ini.
Yap, memang gue akui nggak ada hiburan apapun yang gue dapatkan
dari “Twilight Zone” ini. Semuanya berisi isu SJW yang tanpa
menonton serial inipun bisa gue baca sendiri di artikel berita di
internet. Sebuah film ataupun serial fiksi harusnya bukan melulu
berisi agenda politis atau komentar sosial yang dipaksakan masuk.
Jika memang tujuannya memang untuk agenda politik atau menyadarkan
masyarakat, bikin saja film dokumenter yang niatnya emang sejak awal
bukan untuk menghibur (walaupun kini mulai ada trend membuat film
dokumenter dengan sifat lebih entertaining untuk menangkap lebih
banyak audiens). Atau bikin aja “iklan layanan masyarakat” di
televisi, itu lebih mudah, murah, dan nggak membuang-buang waktu
pemirsanya.
Satu-satunya episode yang bagus menurut gue adalah episode
keduanya yang berjudul “Nightmare at 30.000 feet” dan itupun
entah kenapa harus diakhiri dengan ending yang tolol dan nggak masuk
akal.
Menginjak ke isu SJW lain yang membuat gue marah adalah “Scream”
season 3. Isu SJW memang sudah diperkenalkan semenjak season
pertamanya. Walaupun masih didominasi aktor kulit putih, namun sudah
ada karakter yang mewakili minoritas, yakni sidekick lesbian bernama
Audrey yang diperankan salah satu aktris favorit gue Bex
Taylor-Klaus. Bisa dibilang gue mengidolakan tokoh ini yang walaupun
cewek tapi punya temperamen kayak cowok dan ini membuatnya
berkali-kali menghadapi (atau bahkan dicurigai sebagai) sang
pembunuh. Apalagi akting Bex di sini amat memukau dan meyakinkan
(belum lagi dandanannya). Bisa dibilang tokohnya ini amat sentral
(bahkan kalo gue bilang lebih dominan dan likable ketimbang tokoh
utamanya) serta bener-bener menyatu dan ngalir dalam cerita. Bahkan gue berani berkata, tanpa tokoh Audrey ini, serial “Scream” bukanlah
“Scream”.
Gue sempet girang setelah mendengar bahwa season 3 bakalan digarap
dan kali ini merupakan reboot (sebab banyak yang protes kenapa sosok
“Ghostface” yang udah jadi trademark “Scream” nggak nongol di
Season 1 dan 2-nya). Bahkan sudah ada “teaser” yang dikeluarkan
MTV selaku sponsor dan rumah produksinya, kali ini menampilkan Tyler
Posey, aktor remaja kenamaan yang udah duluan tenar lewat aktingnya
di “Teen Wolf”.
Dari teaser di atas udah keliatan bahwa mayoritas pemerannya
adalah remaja berkulit putih serta mengindikasikan adegan gore yang
mantap. Namun sayang, setelah teaser ini dikeluarkan, pihak MTV
justru mencancel rencana awal mereka dan justru membuat season 3
Scream ini selang 3 tahun setelah teaser pertama dikeluarkan.
Yap, dari cast-nya kelihatan bahwa mereka sudah dirombak abis.
Yang awalnya memiliki plot yang setia dengan tetralogi film “Scream”
versi orisinil yang bercerita tentang remaja-remaja kulit putih yang
dikejar-kejar pembunuh gila, tiba-tiba settingnya diubah dengan
memasukkan unsur SJW yang menurut gue udah kelewat batas. Alih-alih
bersetting di kawasan suburb yang aman, lokasinya malah dipindah ke
sebuah sekolah dimana siswanya kudu berbaris melewati metal detector
untuk mengangkat isu gun control. Alih-alih menceritakan
remaja-remaja kulit putih, malah tokoh utamanya diganti menjadi
berkulit hitam. Tyler Posey yang harusnya jadi tokoh utama malah
dijadikan karakter sekunder. Lucu menurut gue, kenapa nggak karakter
Tyler sekalian aja dihapus kalo dia emang mau “diturunkan
derajatnya”? Alasannya cukup simpel, Tyler adalah satu-satunya
artis terkenal di film ini dan mereka merasa perlu mempertahankan
wajahnya demi tetap meraup untung. Sounds hypocrite?
Semua perubahan ini membuat gue muak hingga gue memutuskan nggak
akan menonton kelanjutan serial ini. Gue nggak peduli jika ternyata
ceritanya bagus, sebab muatan SJW di serial ini gue anggap sudah
nggak sehat lagi. Setelah excited dengan teasernya yang gue harap
bakalan seru karena mengikuti plot asli film “Scream”, malah
mereka mengubahnya dengan drastis cuman untuk mengikuti “mode”
(atau menghindari “backlash” mungkin, karena di teaser-nya hampir
semua aktornya kulit putih dan kurang “diverse”). Fuck diversity,
dude! Satu-satunya yang penonton inginkan adalah cerita, cerita, dan
cerita! Memaksakan isu SJW masuk ke sebuah cerita yang sudah matang
(dan cast yang harusnya sudah mapan) malah terlihat janggal bagi gue.
Kalo pemeran utamanya kulit hitam terus mau apa? Apa yang bakalan
berbeda jika dia kulit putih? Apa akan diceritain kalo dia tinggal di
perumahan kumuh dan tidak aman? Bukankah itu justru memperparah
stereotip bahwa kaum kulit hitam erat kaitannya dengan kriminalitas?
Bukankah alasan utama SJW adalah mendobrak stereotip negatif seperti
itu?
Gue merasa bahwa Hollywood kini sedang salah kaprah dengan isu
SJW. Mereka berpikir dengan mengangkat isu SJW sebanyak-banyaknya ke
cerita mereka, maka mereka akan makin sukses. Sebab kini ukuran
sukses bukan hanya berasal dari pemirsa setianya, namun juga dari
“mulut nyinyir” para netizen yang menghakimi sebuah karya bahkan
sebelum karya itu dirilis.
Mereka menganggap memiliki aktor utama kulit hitam akan menaikkan
pamor film mereka. Lihat saja “Star Wars: The Force Awakens” yang
sukses di mata kritikus maupun penonton awam karena dengan berani
memajang seorang John Boyega, seorang aktor kulit hitam yang saat itu
kurang dikenal, sebagai bintang utamanya Lucunya, ketika rumah produksi di Hollywood ingin
mengulang kesuksesan serupa dengan memajang aktor yang sama di sekuel
“Pacific Rim”, yang ada filmnya justru flop alias jatuh di
pasaran.
Sama halnya dengan isu feminisme. Film-film seperti “Frozen”,
“Beauty and The Beast”, “Hunger Games”, dan “Alita: Battle
Angel” dipuji karena menampilkan karakter utama wanita yang kuat.
Kesuksesannya di Box Office-pun sangat tidak mengecewakan. Namun
ketika “Ghostbusters” dan “Ocean's 8” menampilkan seluruh
cast-nya perempuan, sambutannya malah dingin-dingin saja, bahkan tak
sesuai harapan.
Kapan Hollywood belajar, bahwa bukan isu SJW-lah yang membuat
suatu karya sukses. Bukan masalah ketika lead actornya kulit hitam
atau, ataupun perempuan, ataupun dari kaum minoritas lain. Melainkan
ketika sebuah film atau serial memiliki cerita yang bagus. Ketika
film atau serial itu adalah horor, maka perlu ada shock factor
seperti gore, jumpscare, suspense, sosok antagonis yang ikonik,
ataupun sekedar misteri atau atmosfer kelam dan mistis. I love
diversity, tapi ketika diversity itu benar-benar masuk ke dalam
cerita. Not this piece of shit, you guys!
IDK, mungkin mereka harus berkaca pada "Stranger Things" yang sudah mencapai season ketiganya tapi tetap dicintai oleh pemirsanya bahkan sudah memiliki fanbase yang tak bisa dianggap remeh. "Stranger Things" memiliki karakterisasi yang sama sekali tak mempedulikan warna kulit, tidak menyinggung sama sekali tema SJW, bahkan memiliki karakter-karakter yang stereotip, namun tetap saja sukses luar biasa dan menjadi fenomena global. Rahasianya hanya satu: karena mereka membuat naskah sebaik mungkin dengan cerita yang walaupun simpel, namun amat menarik, serta tidak disisipi isu-isu politik dan sosial, hanya kepolosan anak kecil dan kedunguan orang dewasa yang menyegarkan. Bagaimana menurut kalian?
IDK, mungkin mereka harus berkaca pada "Stranger Things" yang sudah mencapai season ketiganya tapi tetap dicintai oleh pemirsanya bahkan sudah memiliki fanbase yang tak bisa dianggap remeh. "Stranger Things" memiliki karakterisasi yang sama sekali tak mempedulikan warna kulit, tidak menyinggung sama sekali tema SJW, bahkan memiliki karakter-karakter yang stereotip, namun tetap saja sukses luar biasa dan menjadi fenomena global. Rahasianya hanya satu: karena mereka membuat naskah sebaik mungkin dengan cerita yang walaupun simpel, namun amat menarik, serta tidak disisipi isu-isu politik dan sosial, hanya kepolosan anak kecil dan kedunguan orang dewasa yang menyegarkan. Bagaimana menurut kalian?
Bang Dave, alasan utama Ghostbusters dapat rating rendah bukan karena pemeranx perempuan semua, tapi karena efek CGI yang jelekx minta ampun
ReplyDeleteya emang kok, maksud gue sutradara film ini sengaja manfaatin isu SJW buat mendongkrak popularitas filmnya, tapi dia lupa kalo banyak faktor lain yg mendukung kesuksesan suatu film, semisal cerita dan naskah yg bagus juga (seperti kata lu) CGI yang mengesankan. lebih parah lagi, yg nggak suka ama film ini justru diserang anti-feminis, padahal mah yg jelek naskah ama CGI-nya
Deleteaku setuju sama tulisan bung dave bukan masalah SJW atau feminisme tapi FAIRNESS kalo bagus ya bagus aja hehehe
ReplyDeleteNebeng curcol tentang SJW di film favorit saya, Harry Potter. Pas the Cursed Child publish, masa banyak yang nganggap JK Rowling rasis soalnya tokoh-tokoh HP mayoritas kulit putih, semakin menjadi-jadi setelah Fantastic Beast 2 karena Nagini, yang notabene cewek Asia bakal jadi peliharaan pria kulit putih.
ReplyDeleteProtes begituan jujur bikin kesel. Pertama, HP itu settingnya Inggris tahun 1990-an yang mana globalisasi belum terlalu mendunia dan Wizarding Worldnya sendiri baru saja pulih dari perang besar, jadi terang aja mayoritas anak-anak Hogwarts ya kulit putih. Mana mau wizards negara lain pindah ke negara yang ga aman?
Kedua soal Nagini, Mrs. Rowling udah ngejelasin kalo kutukannya itu berasal dari mitologi Asia, tentunya witches yang kena banyakan yang berasal dari Asia.
Intinya, SJW si boleh-boleh aja. Tapi juga harus bisa disesuaikan konten. Misal main settingnya kehidupan sehari-hari nunnery di London tahun 1500-an, ya terang aja ga mungkin ada wanita berjilbab, cowok, ato artis Asia.
Setuju bang. Twilight zone versi Jordan ini yang seru cuman Nightmare at 30.000 feet doang walau akhirnya bikin mikir "Apaan sih". Btw tau link buat nonton Twilight zone versi originalnya gak bang? Ingin nonton gak nemu-nemu :(((.
ReplyDeleteJordan Peele bukan sutradara black panther, salah.
ReplyDeletehehehe sorry, udah diedit kok
DeleteMemang SJW ini pemaksaan banget tapi yang disayangkan rumah produksi Hollywood lebih suka baca twit-nya SJW alih-alih penggemarnya sehingga mau nggak mau menurutinya padahal mereka nonton atau beli DVD/BD nya saja belum tentu
ReplyDeleteGue malah kecewa berat pas ada rencana James Bond baru pengganti Daniel Craig itu berkulit hitam atau wanita atau malah perpaduan dua-duanya, awas saja jika fix malah jadi lesbian karena bond girl aja sudah jadi bumbu cerita apalagi Miss Moneypenny yang baru saja diganti berkulit hitam 😤