“MASA
LALU YANG KELAM”
WARNING: Cerbung ini akan memuat konten dewasa
Kereta dari
Kuala Lumpur itu bergerak menembus senja yang mulai menggelayut.
Serpihan cahaya mulai meremang ditelan pegunungan, tenggelam,
sementara pepohonan yang merambatinya hanya meninggalkan jejak siluet
yang memudar. Warna lembayung tua mulai larut dan digantikan oleh
gelapnya malam yang merangkak naik ke langit.
Sudah lima
tahun lebih sejak Upin meninggalkan kampung ini. Seperti apakah
tempat ini sekarang? Apakah banyak yang berubah?
Yang jelas,
tempat ini takkan sama lagi.
Tidak
semenjak ia kehilangan Ipin untuk selamanya.
***
Upin
kembali ke baraknya, sementara rekan-rekannya seangkatan masih
berlari mengelilingi lapangan seusai apel pagi. Ia dipanggil ke sana
karena atasannya memanggilnya.
“Apakah
Pak Cik memanggil Saya?” tanyanya dengan logat Melayu yang kental.
Dalam hati ia merasa cemas. Apa ia membuat kesalahan? Apa ini tentang
latihan militer di hutan Borneo beberapa bulan lalu? Apa performanya
tak cukup bagus?
Seorang
kolonel yang sudah mendampinginya sejak ia pertama masuk menjadi
bintara menatapnya dalam-dalam. Ia tahu ada yang tidak beres ketika
atasannya itu hanya terdiam.
“Upin,
kurasa awak harus kembali ke kampung halaman awak.”
“Kenapa,
Pak Cik? Apa saya berbuat kesalahan?”
“Bukan
masalah itu,” ia terlihat berat mengucapkannya, “Ini tentang
saudara kembar awak.”
“Ipin?
Ada apa dengannya?”
***
Hujan mulai
turun ketika Upin mulai melangkah keluar dari stasiun. Masih jelas
terbayang di benaknya saat kolonelnya memberitahukan tentang berita
duka itu.
Beliau
hanya memperlihatkan sebuah artikel di koran. Tentang sebuah
pembunuhan misterius yang terjadi di Kampung Durian Runtuh. Kampung
halamannya itu hanyalah sebuah desa biasa yang tak pernah menarik
perhatian sebelumnya. Namun, tiba-tiba perhatian seluruh negeri
tertuju kepadanya.
Kalian
harus mengerti, tak banyak kejadian kriminal yang terjadi di
Malaysia. Negeri ini damai, tak banyak kejahatan terjadi di negeri
ini, tak seperti negara tetangganya, Indonesia. Maka ketika seorang
pemuda ditemukan dengan puluhan luka tusuk dan mayatnya dibiarkan
teronggok begitu saja di tepi hutan, kabar itu menjadi berita
nasional.
Namun bagi
Upin, berita ini lebih menyentaknya ketimbang siapapun.
Sebab
korban itu, pemuda yang dibunuh itu, adalah saudara kembarnya.
Ia adalah
Ipin.
***
Suara derap
langkah kuda yang menarik delman itu menyusup di tengah kegelapan
malam. Upin mulai merindukan bau tanah yang menyeruak ketika rintikan
hujan menderanya. Bau ini hampir tak pernah diciumnya semenjak ia
pindah ke Kuala Lumpur, dimana setiap jengkal tanahnya telah tertutup
aspal dan beton. Karena itu, Upin memutuskan untuk menyesapnya
dalam-dalam, seakan-akan itu adalah nafas terakhirnya.
Delman itu
berhenti di sebuah rumah sederhana. Upin memberikan uang lebih kepada
pengendaranya yang sudah tua renta serta menolak kembaliannya. Pemuda
itu membiarkan rambut plontosnya terkena air hujan sebelum akhirnya
ia berlari menuju pintu depan.
“Tok tok
tok.” ketuknya. Tak butuh waktu lama untuk pintu kayu itu membuka,
didorong dari dalam oleh seorang wanita berumur paruh baya.
“Kak
Ros?”
Mata wanita
itu membelalak. Dibukanya pintu itu lebar-lebar dan segera dipeluknya
pemuda di hadapannya.
“U ...
Upin ...” ia menangis di dalam dekapan pemuda itu.
***
Kak Ros
memasakkan nasi opor yang baunya menguar dari dapur hingga ke ruang
tamu. Upin duduk di sana, memandangi foto-foto keluarga mereka yang
terpajang di dinding. Ia tersenyum melihat foto ketika ia dan Ipin
masuk ke TK untuk pertama kali. Lalu foto mereka waktu SD, SMP, dan
akhirnya SMA.
Mata Upin
terdiam memandang foto senyum terakhir mereka sebelum akhirnya mereka
berpisah dan memilih jalan mereka sendiri.
“Awak
yakin tak mau Kak Ros masakkan ayam goreng?” wanita itu membawakan
sepiring nasi dan lauk lalu meletakkannya di atas meja. “Bukankah
dulu awak sangat menyukainya?"
“Jangan!”
jawabnya sembari duduk di atas kursi rotan, “Itu hanya akan
mengingatkan saya pada Ipin. Itu adalah makanan favoritnya.”
Upin
mendelik sedikit ke arah kakaknya ketika ia menuang kuah opor ke atas
nasinya.
“Kakak
tidak makan?” tanyanya.
Kak Ros
menggeleng, “Kakak tak selera makan. Tidak semenjak ...”
Terdengar
isakan pelan, namun wanita itu tetap berusaha agar tangisannya tak
pecah.
Upin juga
merasa tak berselera makan. Ia memandang rumah kontrakan kecil yang
kini ditempati Kak Ros semenjak kematian Opah. Rumah panggung luas
yang dulu mereka tempati telah lama mereka jual.
“Kakak
tinggal sendirian di sini?”
“Mau
bagaimana lagi.” Kak Ros mendesah, “Tak ada yang menemani Kakak.
Awak-pun juga ... setelah cutinya selesai, Upin akan kembali ke Kuala
Lumpur kan?”
“Maafkan
Upin.” Upin merasa bersalah. "Saya berjanji awak, eh Kak Ros ..."
Tanpa
diduga, Kak Ros justru tertawa.
“Awak
belum berubah ya, Upin? Kau masih suka mengucap ‘Awak’, sedangkan
Ipin ... dia sudah terbiasa mengatakan 'Kamu'. Hanya itu satu-satunya
perbedaan kalian yang kentara. Saat kecil kalian mudah dibedakan.
Namun setelah dewasa, bahkan aku dan Opah-pun susah membedakan yang
mana Upin dan mana Ipin.”
“Ya, itu
karena Ipin sangat dekat dengan gadis Indonesia itu, Susanti. Apakah
dia masih ...”
“Jangan
ucapkan lagi nama perempuan itu!” wajah kak Ros beringsut kesal.
Upin sendiri heran. Betapa mudahnya perasaan wanita berubah hanya
dalam waktu sekian detik. Tadi dia sedih, kemudian bernostalgia
dengan gembira, dan kini marah.
“Maaf
Upin tak bisa hadir saat pemakaman Ipin. Butuh waktu bagi Upin untuk
melakukan perjalanan dari KL ke sini.”
“Tak apa,
Upin.” Kak Ros menggeleng, “Justru Kak Ros yang seharusnya minta
maaf karena menguburkannya tanpa menunggu awak dahulu. Kakak tahu
awak pasti ingin melihat Ipin untuk yang terakhir kalinya. Namun ....
Kakak takut itu hanya akan membuat awak sedih.”
Tanpa
melihatnya langsung pun, Upin tahu bagaimana keadaan mayat Ipin saat
ditemukan. Ia masih ingat fotonya yang terpampang jelas di media
massa. Bagaimana tubuhnya teronggok di pinggir ladang, dibuang di
sana seakan-akan dia sampah. Luka-luka tusukan yang menganga dan
wajah yang tak bernyawa itu ....
“Siapa
yang melakukannya?” tanya Upin geram. “Apa mereka sudah menemukan
pembunuhnya?”
“Sayangnya
belum.” kembali wajah kak Ros menampakkan raut sedih, “Namun Fizi
sedang menyelidiknya. Awak masih ingat padanya kan? Dia menjadi
polisi sekarang.”
“Kenapa
ada yang tega melakukan hal sekeji itu pada Ipin?” Upin mengepalkan
tangannya penuh amarah. “Padahal dia ... dia ...”
“Sungguh
naif jika mengatakan bahwa Ipin tak memiliki musuh.” Kak Ros
menatapnya dengan tajam, “Awak sendiri tahu kan, Ipin bukan lagi
anak polos seperti waktu kalian kecil dulu. Dia sudah berubah. Awak
mengetahuinya lebih dari siapapun di dunia ini.”
Upin
berpikir sejenak. Ya, memang benar. Bisa dibilang ada banyak orang
yang menginginkan Ipin celaka.
Bahkan
termasuk dirinya sendiri.
***
“Ipin!
Apa yang awak lakukan!” Upin menampar saudara kembarnya itu. Saat
itu mereka masih mengenakan seragam SMA.
Upin
bergegas dari tempat bekerja sambilan di counter
HP ke kantor polisi begitu mendengar bahwa Ipin terlibat tawuran. Ia
mulai merasa muak dengan tingkah saudaranya itu. Dari dulu ia memang
suka iseng, namun beberapa tahun terakhir kelakukannya mulai
melunjak.
Semua ini
dimulai ketika mereka duduk di tahun terakhir SMP, dimana Ipin mulai
mengenal game
online.
Karena kecanduan, ia bahkan berani mencuri uang dan perhiasan milik
Opah. Ia ingat betapa Kak Ros dan Opah saat itu terlilit banyak
hutang karena ulah Ipin. Hingga saat itu mereka berencana untuk
menjual harta mereka yang paling berharga: rumah yang sudah
diwariskan turun-menurun dalam keluarga mereka.
Upin
berusaha semampunya untuk membantu perekonomian keluarga mereka.
Namun tak banyak yang bisa Upin lakukan. Kampung tempat mereka
tinggal hanyalah sebuah desa kecil yang tak memiliki banyak lapangan
pekerjaan.
Hanya Datuk
Dalang yang masih berbaik hati untuk menolong mereka. Tapi Upin
lama-kelamaan merasa tak enak terus-menerus meminta bantuan pada
tetua desa itu.
Hingga
puncaknya, Ipin ditangkap polisi karena membacok siswa SMA dari desa
sebelah. Upin berhasil meyakinkan polisi untuk tidak menahannya. Pada
saat Ipin akhirnya bebas, Upin sudah tak bisa lagi menahan amarahnya.
“Apa yang
awak lakukan! Opah dan Kak Ros bekerja membanting tulang untuk
melunasi seluruh hutangmu dan awak di sini hanya menambah masalah
mereka! Apa awak tak malu pada mendiang orang tua kita?!”
“Tak usah
munafik!” Ipin menampik tangannya dan balas berteriak, “Kau
sendiri juga akan meninggalkan mereka kan! Aku tahu rencanamu, seusai
lulus SMA kau akan pergi menjadi tentara ke Kuala Lumpur. Kau juga
akhirnya akan meninggalkan kami, jadi jangan sok suci!”
Upin
tersentak. Ipin pastilah membaca buku diari-nya karena ia belum
menceritakannya kepada siapapun.
Upin
melihat saudaranya menangis dan berlari menjauhinya.
“Ipin!
Tunggu!” Upin mengejarnya ke rumah.
Dan ketika
mereka sampai, tibalah mereka ke tragedi itu.
Tragedi
yang akhirnya memisahkan mereka berdua.
Begitu
sampai di depan rumah, mereka tersentak. Tubuh Opah tergeletak di
depan tangga rumah panggung mereka.
“OPAH!
OPAAAAAH!!!”
Upin dan
Ipin dengan histeris menghampirinya. Namun terlambat. Nenek mereka
tak lagi bernyawa.
Ipin
menangis memeluk jenazah neneknya, sementara Upin hanya menatapnya
dengan diam.
Opah
pastilah terjatuh dari tangga. Walaupun sudah berusia uzur, Upin tahu
neneknya takkan seceroboh itu.
Hanya ada
satu alasan kenapa Opah bisa terjatuh seperti itu.
Pastilah
Opah mendengar berita tentang Ipin kemudian panik. Hanya itu yang
bisa menyebabkan Opah tewas seperti ini.
Semenjak
itu Upin tak pernah memandang Ipin dengan tatapan yang sama lagi.
Di matanya
kini ia bukan lagi saudara kembarnya.
Ia adalah
pembunuh neneknya.
TO BE
CONTINUED
my childhood ruined in 3... 2... 1...
ReplyDeleteDOR
Deletebukannya fizi itu jadi tukang sampah?
ReplyDeletewkwkwk iya juga ya, padahal ipin juga harusnya akur sama upin terus jadi astronot
DeleteApa aku yg ga ngeh ato emg typo 😅 d bagian 5 yg “Maafkan Awak.” Upin merasa bersalah.
ReplyDeleteAwak ktanya artinya 'kamu' tapi kok ...
typo hehehe ... makasih dah diingetin ;)
Deletepelakunya pasti si mail
ReplyDeletemail udah jadi manager bola
DeleteWarningnya bikin deg degan astaga
ReplyDeleteUdah gede masih plontos aja 😅
ReplyDeleteWew
ReplyDeletegue Yang lahir di Malaysia merasa aneh membaca dialognya ●﹏●'
ReplyDeleteTapi best Bang Ceritanya, meski bahasanya campurannya 95% Indonesia