Thursday, October 3, 2024

GUNDALA: JAGAD GENI – CHAPTER 1


AMNESIA


NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

AWALNYA adalah rasa sakit. Rasa sakit yang mencabik bak halilintar, menyetrum setiap nadi, setiap sel, hingga darahku bergejolak dan terasa mendidih. Halilintar inilah yang merambat di tiap impuls sarafku, menelusup hingga ke relung zirah pelindung dadaku, bahkan menguasai detak jantungku, membuatnya berpacu.

Aku ingat terakhir kali jantungku berdegup sekencang ini – bukan karena takut atau marah – tapi ketika pertama kali aku berjumpa dengan-nya. Rambut hitamnya yang menyibak, senyum manisnya yang menggelisahkan hatiku tiap malam, hingga lantunan suaranya yang hingga kini masih menggema di delapan sudut benakku.

Kenapa? Kenapa dalam saat terakhir hidupku ini, hanya ia yang ada di dalam pikiranku?

Aku terbaring di sini, menyaksikan listrik itu memercik di sekitarnya, mengisi tiap ether (bila teori itu memang benar, bahwa ada ether yang menghubungkan tiap atom di alam semesta). Namun bukan setruman itu yang membuatku merasakan sakit – aku  telah kebal terhadap semua rasa sakit – akan tetapi melihat penjahat itu menang, tertawa bengis di di depan mataku yang nyaris menutup. Menertawakan semua kegagalanku.

Sebaiknya aku mulai dari awal, mumpung aku masih memiliki sisa kekuatan untuk bercerita.

“Namaku Gundala ... dan aku bukanlah seorang pahlawan.”


***

 

“Hoi hoi!” kudengar seutas suara, mendengung bak lebah di kepalaku, “Kau sudah bangun?”

Aku membuka mataku, namun hanya cahaya silau yang membutakan mataku.

“Pupil matamu bereaksi, berarti kau tidak apa-apa.” ia mematikan apa yang akhirnya kusadari sebagai senter kecil yang ia kilatkan di depan mataku. “Siapa namamu?”

“A ... aku ...” kepalaku terasa pening, seakan ada ribuan kunang-kunang berhamburan di dalamnya.

Aku baru saja menyadari bahwa aku tak ingat namaku sendiri.

“Sancaka?” ia menunjuk ke arah dadaku, “Apa itu namamu?”

Aku menunduk dan menarik baju yang kupakai. Benar, ada sablon terbalik yang dengan perlahan kubaca, “San – ca – ka.”

“Anak ITB ha? Benar-benar hebat.” ujarnya sambil bangkit berdiri. Baru aku menyadari bahwa kami berada di sebuah kamar yang amat sederhana.

“Kurasa itu jaket angkatanmu.” ujarnya, “Aku juga pernah kuliah kok, walau tidak selesai. Kuambilkan minum ya?”

“Eh ...” aku ragu sebentar untuk bertanya, “Apa yang barusan terjadi?”

“Kau mengalami shock. Tak heran kau hilang ingatan. Itu cara otakmu melindungimu dari memori rasa sakit yang bisa membekaskan trauma berkepanjangan. Namun jangan khawatir, ingatanmu akan kembali kok lambat laun.”

Shock? Apa yang barusan terjadi denganku?” aku bangkit dan melihat dinding-dinding yang ditempeli beberapa poster pemain sepakbola dan anehnya, chart aliran pembunuh darah manusia dalam bahasa Latin.

“Kau tersambar petir, kurasa itu yang terjadi.” ia kembali dengan segelas air putih. “Maaf aku tak membawamu ke rumah sakit. Orang-orang akan menuduhku menabrakmu dengan motorku. Itu pernah terjadi sekali.”

Aku menerima air itu, namun tidak meminumnya. Aku masih memicingkan mata curiga pada seragam ojek online yang dikenakannya. Namun buku Fisiologi Harper yang tergeletak di atas meja serta beberapa buku medis, farmakologi, dan buku teks biologi tebal lain yang berjejer di rak bukunya ... bahkan Grey's Anatomy versi Inggris, buku kedokteran termashyur yang diangkat menajdi judul serial TV ... ini semua jelas tidak klop.

“Kau siapa?”

“Awang.” Ia dengan ramah mengulurkan tangannya. Sebuah senyum tulus tersimpul di wajahnya.

“Sancaka!” (jika itu memang namaku) jawabku sambil menerima jabat tangannya. “Dimana kau menemukanku?”

“Di pintu keluar kampus ITB. Dekat lab fisika instrumentasi. Sepi memang di sana, apalagi jam-jam segini.”

“Satu ... dua ... tiga ...” bisikku dalam hati sambil menghitung denyut nadi yang merambat di telapak tangannya. Pelan dan teratur. Tak ada adrenalin yang mendesir. Ia tak berbohong.


Astaga, dari mana aku dapat kemampuan ini?


 “Jadi ... kau tak ingat dimana kau tinggal?” ia melepaskan tangannya,  “Kau jelas mahasiswa ITB dengan nama tak biasa. Kurasa takkan susah menemukan identitas aslimu.” ia tertawa.

“Aku harus melakukan sesuatu ...” aku memegang kepalaku yang kembali terasa berputar, “Aku merasa aku hendak melakukan sesuatu ... namun aku tak ingat.”

“Beristirahatlah dulu.” katanya sambil menepuk pundakku, “Biarkan laju pernapasanmu normal. Kau hyperventilated sejak tadi. Respon normal untuk orang yang habis tersetrum.”

Selintas wajah seorang gadis terngiang di ingatanku.

Aku tahu harus menemui-nya ... Hanya, aku tak tahu siapa ...

 

BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment