AMNESIA
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
AWALNYA
adalah rasa sakit. Rasa sakit yang mencabik bak halilintar, menyetrum setiap
nadi, setiap sel, hingga darahku bergejolak dan terasa mendidih. Halilintar
inilah yang merambat di tiap impuls sarafku, menelusup hingga ke relung zirah
pelindung dadaku, bahkan menguasai detak jantungku, membuatnya berpacu.
Aku
ingat terakhir kali jantungku berdegup sekencang ini – bukan karena takut atau
marah – tapi ketika pertama kali aku berjumpa dengan-nya. Rambut hitamnya yang menyibak, senyum manisnya yang
menggelisahkan hatiku tiap malam, hingga lantunan suaranya yang hingga kini
masih menggema di delapan sudut benakku.
Kenapa? Kenapa dalam saat
terakhir hidupku ini, hanya ia yang ada di dalam pikiranku?
Aku
terbaring di sini, menyaksikan listrik itu memercik di sekitarnya, mengisi tiap
ether (bila teori itu memang benar,
bahwa ada ether yang menghubungkan
tiap atom di alam semesta). Namun bukan setruman itu yang membuatku merasakan
sakit – aku telah kebal terhadap semua
rasa sakit – akan tetapi melihat penjahat itu menang, tertawa bengis di di depan
mataku yang nyaris menutup. Menertawakan semua kegagalanku.
Sebaiknya
aku mulai dari awal, mumpung aku masih memiliki sisa kekuatan untuk bercerita.
“Namaku Gundala ... dan aku
bukanlah seorang pahlawan.”
***
“Hoi
hoi!” kudengar seutas suara, mendengung bak lebah di kepalaku, “Kau sudah bangun?”
Aku
membuka mataku, namun hanya cahaya silau yang membutakan mataku.
“Pupil
matamu bereaksi, berarti kau tidak apa-apa.” ia mematikan apa yang akhirnya
kusadari sebagai senter kecil yang ia kilatkan di depan mataku. “Siapa namamu?”
“A ...
aku ...” kepalaku terasa pening, seakan ada ribuan kunang-kunang berhamburan di
dalamnya.
Aku
baru saja menyadari bahwa aku tak ingat namaku sendiri.
“Sancaka?”
ia menunjuk ke arah dadaku, “Apa itu namamu?”
Aku
menunduk dan menarik baju yang kupakai. Benar, ada sablon terbalik yang dengan
perlahan kubaca, “San – ca – ka.”
“Anak
ITB ha? Benar-benar hebat.” ujarnya sambil bangkit berdiri. Baru aku menyadari
bahwa kami berada di sebuah kamar yang amat sederhana.
“Kurasa
itu jaket angkatanmu.” ujarnya, “Aku juga pernah kuliah kok, walau tidak
selesai. Kuambilkan minum ya?”
“Eh
...” aku ragu sebentar untuk bertanya, “Apa yang barusan terjadi?”
“Kau
mengalami shock. Tak heran kau hilang
ingatan. Itu cara otakmu melindungimu dari memori rasa sakit yang bisa
membekaskan trauma berkepanjangan. Namun jangan khawatir, ingatanmu akan
kembali kok lambat laun.”
“Shock? Apa yang barusan terjadi
denganku?” aku bangkit dan melihat dinding-dinding yang ditempeli beberapa
poster pemain sepakbola dan anehnya, chart
aliran pembunuh darah manusia dalam bahasa Latin.
“Kau
tersambar petir, kurasa itu yang terjadi.” ia kembali dengan segelas air putih.
“Maaf aku tak membawamu ke rumah sakit. Orang-orang akan menuduhku menabrakmu
dengan motorku. Itu pernah terjadi sekali.”
Aku
menerima air itu, namun tidak meminumnya. Aku masih memicingkan mata curiga
pada seragam ojek online yang dikenakannya. Namun buku Fisiologi Harper yang
tergeletak di atas meja serta beberapa buku medis, farmakologi, dan buku teks biologi
tebal lain yang berjejer di rak bukunya ... bahkan Grey's Anatomy versi Inggris, buku kedokteran termashyur yang diangkat menajdi judul serial TV ... ini semua jelas tidak klop.
“Kau
siapa?”
“Awang.”
Ia dengan ramah mengulurkan tangannya. Sebuah senyum tulus tersimpul di
wajahnya.
“Sancaka!”
(jika itu memang namaku) jawabku sambil menerima jabat tangannya. “Dimana kau
menemukanku?”
“Di
pintu keluar kampus ITB. Dekat lab fisika instrumentasi. Sepi memang di sana,
apalagi jam-jam segini.”
“Satu ... dua ... tiga ...” bisikku dalam hati sambil
menghitung denyut nadi yang merambat di telapak tangannya. Pelan dan teratur.
Tak ada adrenalin yang mendesir. Ia tak berbohong.
Astaga, dari mana aku dapat
kemampuan ini?
“Jadi ... kau tak ingat dimana kau tinggal?”
ia melepaskan tangannya, “Kau jelas
mahasiswa ITB dengan nama tak biasa. Kurasa takkan susah menemukan identitas
aslimu.” ia tertawa.
“Aku
harus melakukan sesuatu ...” aku memegang kepalaku yang kembali terasa
berputar, “Aku merasa aku hendak melakukan sesuatu ... namun aku tak ingat.”
“Beristirahatlah
dulu.” katanya sambil menepuk pundakku, “Biarkan laju pernapasanmu normal. Kau hyperventilated sejak tadi. Respon
normal untuk orang yang habis tersetrum.”
Selintas
wajah seorang gadis terngiang di ingatanku.
Aku
tahu harus menemui-nya ... Hanya, aku
tak tahu siapa ...
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment