HIPNOSIS
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Pria
itu. Aku merasa mengenalnya.
Aku
berjalan mendekatinya untuk melihat wajahnya lebih baik. Dia sepertinya tak
mendengar langkah kakiku.
Aku
terkesiap melihat wajahnya. Saat itu ia tengah menuangkan cairan kimia ke dalam
tabung reaksi bening.
Pemuda itu adalah aku.
Aku
menatap ke jam dinding yang berdetak
Jam 9
malam dan aku berada di laboratoriumku, sedang bekerja.
Apa
ini malam saat kejadian itu?
“Sancaka!”
Aku
menoleh. Begitu pula diriku yang lain.
“Minarti?”
kami berdua keheranan melihat gadis itu berdiri di ambang pintu.
“Astaga
kau kehujanan!”
“Aku
menunggumu ... aku menunggumu semalaman, Sancaka. Tapi kau tak datang!”
jeritnya geram.
“Aku
... Oh, astaga Minarti ... aku sudah janji padamu ya? Aku benar-benar lupa ...
maafkan aku ...”
“Ini
ulang tahunku!” jerit gadis itu murka, “Ini hari ulang tahunku dan kau
melupakannya!”
Aku
serasa tersentak. Benar, kemarin adalah hari ulang tahun Minarti. Betapa
bodohnya aku sampai melupakannya dan melewatinya seperti malam-malam biasa
dengan bekerja di laboratorium hingga larut malam.
“Aku
tak mau bertemu lagi denganmu, Sancaka!” air mata mengalir di pipi gadis itu.
Sancaka
tahu Minarti adalah gadis yang tegar. Jika ia sampai menangis, itu berarti
Sancaka telah berbuat kesalahan yang teramat besar dan mustahil untuk
dimaafkan.
“AKU
MEMBENCIMU!” teriak Minarti. Iapun berbalik pergi sambil memangis tersedu-sedu.
“Minarti
tunggu!” aku menaruh tabung reaksi itu ke raknya dan segera mengejarnya. Akupun
mengikutinya.
“MINARTI!”
hujan masih turun di luar dan aku sudah kehilangan jejak gadis itu.
Aku
terus berlari mengikuti diriku yang lain.
Kami
berdua berlari ke depan pintu gerbang, tak jauh dari labku, tak mempedulikan
air hujan yang turun dan tanah yang becek.
Suara
gemuruh guntur menggelegar di langit.
Aku
menghentikan langkahku.
Di sini.
Inilah saatnya.
“BLAAAAAR!!!”
Aku
menyaksikan sebilah petir menyambar tubuhku yang berada di masa lalu.
Badanku
jatuh terjerembap, tak berdaya, hingga akhirnya dipeluk oleh lumpur yang
melumer oleh air hujan. Tubuhku sendiri serasa ngilu melihatnya.
Aku
melihat nyala lampu mendekat. Sebuah taksi.
“Hei,
kau tidak apa-apa?”
Seorang
pemuda turun, tak mempedulikan tetesan hujan yang menderanya.
Dia Awang.
“Hei,
kau masih sadar?”
Ia
menempelkan telinganya di dadaku dan mengecek napasku dengan mendekatkan
jarinya. Ia kemudian melakukan CPR bak seorang dokter yang terlatih.
Tiba-tiba
ia mendongak dan menatap ke arahku.
Seakan
ia bisa melihatku.
Namun
dari sorot matanya yang kebingungan, aku tahu ia tak benar-benar melihatku. Ia
hanya merasakan keberadaanku.
Ia
kemudian mengangkat tubuhku yang tak sadarkan diri ke atas taksinya dan melaju.
“Labku!”
aku tersentak, “Siapapun yang mencuri serumku pasti akan beraksi!”
Aku
berbalik, namun tiba-tiba serasa ada lubang hitam yang menyedotku.
“Tidak!
Jangan sekarang!” seruku, “Aku harus melihat apa yang terjadi dengan serumku!”
***
“SANCAKA!”
aku kembali merasakan Awang menyorotkan senter kecilnya ke mataku. Aku segera
menghalaunya.
“Aku
baik-baik saja!” ucapku kesal.
“Tadi
kau pingsan. Bikin panik saja.”
“Terima
kasih.” ucapku lirih sembari bangun.
“Hah,
apa?”
“Aku
belum sempat berterima kasih karena menolongku malam itu.” kataku dengan nada
setulus mungkin. Mungkin ada banyak hal tentang dirinya yang belum ia ceritakan
padaku. Namun aku juga sadar bahwa itu bukanlah urusanku.
“Minarti.”
ujarku singkat, “Malam itu aku mengecewakan Minarti. Itulah yang tak ingin aku
ingat.”
“Kau
sudah ingat nama pacarmu rupanya?”
“Mantan
pacar.” dengusku, “Ia pasti marah besar dan memutuskanku. Belum lagi aku tiba-tiba
menghilang selama seharian ... Aaaaargh!”
“Kau
mau mencarinya?”
“Aku
ingat dimana dia biasa makan, di kafe tepi sungai.” Aku segera bangkit dan
meraih jaketku, “Aku bisa sendiri, tak perlu kau antar!”
***
Minarti
sedang menyeruput segelas moccachino
kesukaannya sembari membaca buku. Sekali-kali ia meraih cincin berliontin lapis
lazuli yang ia kenakan. Ia amat menyukai warna lazuardinya dengan percikan
partikel kuning, seperti bintang-bintang yang berenang di langit biru.
Kehadirannya pun tepat sehari setelah ulang tahunnya, sehingga ia menganggap
dirinya memang ditakdirkan menerima hadiah itu.
“Nona ... akhirnya aku
menemukanmu ...”
Minarti
hampir tersedak ketika melihat pria yang dulu membuang cincin itu kini berdiri
di depannya.
“Kumohon
... kembalikan cincin itu ...” pria itu berjalan ke arahnya bak zombie, membuat
Minarti ketakutan.
“Ta
... tapi kau kan yang membuangnya ...”
“Nona
... berikan atau kau akan mati!”
“AAAAAAA!!!”
Minarti menjerit ketika pria itu berusaha merenggut cincinnya.
“Hentikan!”
Minarti
terkejut melihat kehadiranku.
“San
... Sancaka!”
Aku
mendorong pria itu ke tepi jalan. Namun ia kembali bangkit bak kesetanan.
“Minarti,
lari!” kami berdua menyeberangi jalan, namun pria itu masih terseok-seok
berusaha menggapai kami.
Ia
menyeberang tanpa melihat jalan dan ....
“BRAAAAK!!!”
Minarti
menjerit ketika tubuh pria itu tersambar truk.
Namun
ketika truk itu selesai melintas, seorang wanita muncul, berjalan melangkahi
mayat pria itu begitu saja dengan sepatu hak tingginya.
“Lapis
lazuli itu ...” wanita itu tersenyum bengis, “Berikan padaku!”
Ia
mengulurkan tangannya ke Minarti, namun gadis itu masih bersikukuh sambil
memegangi cincinnya dengan erat.
Lalu
dipandanginya mata Minarti lekat-lekat. “Serahkan padaku!”
“Tidak!
Ini milliku! Benda ini sudah dibuang dan ia memberikannya! Jadi ini milikku!”
“Apa?
Kenapa bisa ...“ mata Maya membelalak, “Ah, aku mengerti sekarang. Cincin itu
membuat hipnotisku tak mempan. Baiklah kalau begitu ...”
Ia
mengalihkan sihirnya ke mataku, sembari mengeluarkan sebilah belati.
“Kau!
Rebut cincin itu dari gadis itu!”
Tubuhku
serasa tak kuasa menolak perintahnya. Otakku berusaha keras melawannya, namun
tanganku tetap saja terulur menerima belati itu. Aku berbalik ke arah Minarti
dan mengacungkannya ke arahnya.
“Sancaka
...” wajah gadis itu memucat karena ketakutan, “Kumohon jangan ...”
TO BE CONTINUED
No comments:
Post a Comment