KONSPIRASI
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Iring-iringan
mobil presiden masih dikelilingi oleh suara sirine yang sebenarnya bagi pria
yang dijuluki RI-1 itu, merupakan hal yang mengganggu. Ia tak ingin keamanan
protokoler yang mengekang seperti ini. Ia ingin seperti Gandhi yang bisa
berpergian sambil melambai kepada rakyatnya, atau seperti Bunda Teresa yang
bisa berjalan-jalan melihat kondisi masyarakat yang sebenarnya.
Ia benci
berada di dalam mobil mewah ber-AC ini, dikelilingi kaca riben yang suram serta
wajah para pengawal yang tak kalah muramnya.
Ia
melihat jembatan Pasopati menjulang dengan indahnya. Kabel-kabel penopangnya
bak sebuah layar yang dikembangkan, bersanding dengan langit Bandung yang biru
bersih bak sebuah lukisan zaman Mooi-Indie.
Namun tiba-tiba saja, di tengah lamunannya, mobil yang ditumpanginya itu berhenti.
“Ada
apa ini?” tanya sang presiden, ganjil rasanya iring-iringan mobil mereka
berhenti di tengah jembatan seperti ini. Namun tiba-tiba ia menyadari hal yang
lebih ganjil lagi. Moge para polisi pengawalnya semua berhenti juga.
Seolah-olah waktupun ikut berhenti.
“A ...
ada apa ini?” para pengawalnya tampak lebih penasaran ketimbang dirinya,
“Mengapa kita berhenti?’
Presiden
mencoba mengangkat teleponnya, namun ia tertegun.
Mati.
Ia tak bisa menghubungi siapapun.
“Ponselku
mati. Coba radiomu.” kata sang presiden ke salah seorang pengawal.
Namun
mereka terkesiap begitu menyadari semua alat komunikasi tak berfungsi.
“A ...
apa ini?” mereka semua tak mengerti. “Apa jangan-jangan ...”
Mata
presiden membelalak ketika menatap jam tangannya. Jarum detiknya berhenti, tak
bergerak.
Iapun
membeku menyadarinya. Apa ini ancaman yang dibicarakan para jenderalnya saat
rapat keamanan negara? Ia awalnya menertawakannya karena terdengar sebuah
comotan dari komik sains fiksi. Namun sekarang ...
“Kita
tak punya protokoler untuk serangan EMP. Bagaimana ini?”
Tiba-tiba
ledakan keras menghantam sisi mobil mereka. Begitu sang presiden membuka
matanya, ia melihat mobil mereka telah menghantam sisi jembatan dan pintunya
telah lenyap, begitu pula bodyguard di sampingnya. Pengawal di depannya segera
meraih pistolnya, namun hanya suara “klik” yang terdengar.
Senjata
api juga tak berfungsi.
Presiden
itu tahu dari penjelasan yang diberikan tentang ancaman teroris, EMP akan
melumpuhkan segala teknologi komputer, satelit, semua alat telekomunikasi,
bahkan mobil. Namun kini, senjata api juga?
Seutas
tangan merah tiba-tiba muncul dari atas mobil dan mencengkeram lengan sang
presiden. Sebuah wajah bertopeng muncul dan menghantamkan tinju yang
memercikkan cahaya menyilaukan ke arah satu-satunya pengawal presiden yang
tersisa. Segera, hanya kobaran api dan arang yang tersisa, menggantikan dirinya,
teronggok di atas kursi.
“Halo, Pak Presiden.”
Sosok
itu menyeringai dan mengeluarkannya dengan paksa dari dalam mobil. Di luar,
sang presiden mengernyit ngeri ketika melihat moge-moge yang tadi mengawalnya
kini berubah menjadi rongsokan yang teronggok di jalan, tanpa menyisakan
pengendaranya yang mungkin telah ikut menguap seperti pengawalnya tadi.
“Si
... siapa kau?’ tanya sang presiden. Ia lebih mengkhawatirkan keselamatan para
warga sipil di tengah kota ini daripada nyawanya sendiri. Apabila penjahat
sekuat ini muncul, kota ini bisa hancur!
“Tujuanku
memakai topeng adalah agar tak seorangpun mengetahui identitasku,” seringainya
makin lebar, “Namun panggil saja aku Jagad Geni!”
“Ja
... Jagad Geni?”
“Cincinmu!
Tunjukkan cincinmu!!!”
“Ke
... kenapa?”
Tiba-tiba
sang presiden melihat sosok lain mengambang di aspal. Bayangannya tampak
menggantung di udara.
Siapapun
itu, ia terbang.
“Sialan!
Siapa kau!” penjahat yang menamakan dirinya Jagad Geni itu sepertinya menyadari
keberadaannya dan melancarkan ledakan energi dari tangannya ke arah sosok itu.
Dengan
sigap sosok itu menghindar dan tiba-tiba saja sudah berada berada di
sampingnya.
“Apa?!”
Jagad Geni terlihat terkejut ada yang bisa menghindar dari serangannya.
Tiba-tiba
saja sosok misterius itu mengeluarkan godam dan menghajar dada penjahat itu
hingga terlempar. Percikan energi tersulut ketika tubuhnya terhantam godam itu.
Tubuh sang presiden ikut terlontar, namun sosok penyelamat itu, yang kini ia
sadari memakai jubah, dengan sigap menangkapnya.
“Anda tidak apa-apa, Pak
Presiden?”
tanyanya dengan sopan. Presiden berusaha melihat wajah penyelamatnya itu, namun
matahari terlalu menyilaukan matanya.
“Si
... siapa lagi kau?”
Tiba-tiba
sang penjahat tadi mengamuk dan melancarkan serangannya kembali. Ia melemparkan
begitu saja mobil yang tadi ditumpangi presiden ke arah mereka.
Segera,
sosok berjubah itu menghindar dengan gerakan secepat cahaya, sembari
menggendong sang presiden.
Jagad
Geni kembali mengeluarkan serangan plasma dari tangannya. Serangan itu melucuti
kabel-kabel penopang jembatan Pasopati. Diiringi suara deritan yang memekakkan
telinga, kabel-kabel lain mulai putus dan jembatan itu mulai terbelah dan
ambruk.
Presiden
melihat tanah di bawahnya retak dan akhirnya runtuh bak istana pasir, sementara
dirinya melayang, dipegangi oleh pahlawan super itu. Suara gemuruh bak gempa
memenuhi udara ketika remukan beton-beton itu menghantam jalanan di bawahnya.
Sosok
berjubah itu melayang pergi dan menurunkan sang presiden di atas sebuah mall
yang berada dekat jembatan itu, cukup tinggi dari kepulan asap yang membumbung
akibat runtuhnya jembatan tersebut. Banyak orang sudah berkerumun takjub di
sana.
“Saya
rasa anda sudah aman, Pak Presiden. Penjahat itu sudah kabur.” Ia mengacungkan
jarinya yang dilingkari sebuah cincin dan segera, listrik yang ada di area
tersebut kembali menyala. “Saya sudah menghalau gelombang EMP itu. Anda dapat
menghubungi keluarga dan pengawal anda.”
“Tu
... tunggu! Siapa sebenarnya kau?”
“Saya
adalah Patriot pembela bangsa!”
Sosok
itu segera meluncur terbang dengan kecepatan tinggi, meninggalkan angin kencang
dan tanda tanya bagi semua yang ada di sana.
***
“Siapa
di sana?” para penjaga itu menodongkan senjata mereka begitu mendengar derap
langkah kaki di tengah lorong museum yang kosong.
Tak
mungkin masih ada pengunjung malam-malam begini. Siaga satu sudah ditetapkan di
penjuru Bandung semenjak serangan terhadap presiden siang bolong tadi. Semua
penjagaan diperketat, termasuk di Museum Geologi dimana banyak mineral-mineral
berupa batu mulia disimpan.
Mereka
terkejut melihat sosok yang tak mereka duga, yakni seorang wanita cantik dengan
sepatu hak tinggi melangkah keluar dari kegelapan. Namun kesiagaan mereka tak
berkurang sedikitpun.
“Siapa
kau? Cepat keluar dari sini, museum sudah tutup!”
Wanita
itu tersenyum sambil mengangkat tangannya ke arah dua penjaga itu. Tiba-tiba
tatapan mereka kosong dan mereka saling mengarahkan pistol mereka ke kepala
satu sama lain.
“DUAAAR!!!”
Suara
letusan senjata itu berteriak memecah keheningan. Tubuh kedua penjaga itu
tergeletak bersimbah darah. Langkah wanita itu disusul oleh suara langkah kaki
yang makin banyak terdengar.
“Bagus
sekali, Maya.” ujar lelaki di belakangnya, “Aku memang selalu bisa
mengandalkanmu.”
Wanita
itu tersenyum. “Terima kasih Tuan Ghazul. Ini akan menebus kegagalan kita tadi
siang.”
Pria
yang dipanggil Ghazul itu membalas senyuman itu, “Dengan kecantikanmu, semua
laki-laki di dunia ini pasti akan jatuh dalam hipnotismu. Namun tak ada
salahnya menambah kecantikanmu dengan permata ini.”
Ghazul
meraih sebuah berlian dari dalam lemari kaca berisi deretan koleksi meteorit.
“Kunzite
yang berharga; sumber Lithium terpenting di alam semesta. Dan yang mengejutkan,
batu ini berasal dari luar angkasa dengan materi organik terjebak di dalamnya
... jejak kehidupan lain di alam semesta ini.” Ia langsung mengalungkan permata
berwarna keperakan itu ke leher wanita bernama Maya itu, “Jagalah berlian ini
baik-baik. Kita akan membutuhkannya.”
“Tinggal
dua lagi, Tuan.” Jagad Geni muncul dari belakangnya, “Sayang sekali presiden
itu ternyata tak memilikinya.”
Ghazul
tersenyum, “Tenang. Benda itu pastilah ada di sekitar sini. Aku bisa
merasakannya.”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment