Hallo guys,
admin MBP balik lagi nih dengan segudang review
film, mulai dari film Indo sampai film Barat. Ada banyak banget yang akan gue review, jadi gue bagi menjadi beberapa
post, I hope you enjoy it. Untuk post
#1 gue akan membahas beberapa film baru, antara lain “Hereditary” sebuah film
dari Amrik yang dapat banyak review bagus
tahun ini, “Kafir: Bersekutu dengan Setan” dan “Sebelum Iblis Menjemput”
dua-duanya film Indonesia, dan “Searched” sebuah film “desktop thriller” dengan
plot twist keren.
Banyak yang
mengatakan “Hereditary” yang dirilis 2018 ini sebagai salah satu film yang
revolusioner. Kalo menurut gue kok biasa-biasa aja wkwkwk. Kalo menurut
analisis gue sih (cailah), ini disebabkan karena dunia perfilman Barat mulai
lelah dengan film-film horor yang gitu aja (ngandalin gore, jumpscare, dsb).
Jangan salah, film ini juga adegan gore-nya
kok. Tapi film ini juga ngadalin atmosfer seram, cerita yang tak kalah seram,
juga penokohan yang kelam.
“Hereditary”
diawali dengan meninggalnya seorang nenek yang kemudian memicu teror yang
mencekam keluarga tersebut, terutama menimpa cucu-cucunya. Di film ini kita
diajak berpikir, apakah “kegilaan” yang menimpa keluarga ini adalah akibat
keturunan (atau “hereditary” seperti judulnya) ataukan ada sesuatu berbau
supranatural yang terjadi di keluarga ini?
Film ini
sih menurut gue biasa aja. Bahkan satu-satunya hal yang mendorong gue
menuntaskan film ini sampai kelar adalah adanya adegan “tak terduga” (at least buat gue) di pertengahan film.
Gue puas banget ama adegan itu soalnya it
came from nowhere dan cukup membuat gue terkejut. Karakterisasinya juga
bagus, gue sendiri juga bakal gila kali ya kalo mengalami apa yang keluarga ini
alami. Endingnya nggak begitu spesial, gue pernah liat film dengan ending dan twist yang serupa.
Intinya,
ini film yang menarik, cocok buat kalian lihat, apalagi yang penggemar film
horor. Tapi film ini nggak semenakjubkan seperti yang biasa kalian baca di review-nya.
Gue bangga
banget ama perfilman Indonesia yang mulai bangkit, khususnya di genre horor.
Pada tahun-tahun pertama kemunculan kembalinya (pada masa 2000-an seperti
“Jalangkung” dan “Bangsal 13”, inget banget tuh filmnya Luna Maya), film horor
Indonesia memang cukup menjanjikan dalam hal cerita. Namun lama-kelamaan, kualitasnya
mengalami penuruan drastis, hingga menjadi sebatas film soft-porn. Untunglah, kemunculan remake “Pengabdi Setan” sepertinya memberikan napas baru yang lebih
segar terhadap perfilman horor Indonesia yang tengah collapse.
“Sebelum
Iblis Menjemput” mengisahkan dua saudari tiri, yakni Alfie (diperankan Chelsea
Islan) dan Maya (Pevita Pearce) yang kembali ke rumah tua milik ayah mereka
hanya untuk menemukan teror supranatural yang mengancam keluarga mereka. Gue
suka banget ama film ini, atau at least
mulai dari awal hingga separuh film ini. Film ini cukup “wow” menurut gue, baik
dari segi konsep (agak-agak mirip “Evil Dead”), tata rias, hingga jumpscare-jumpscare menegangkan.
Adegan-adegan ngeri pertama semisal teror di rumah sakit dan adegan saat kedua
saudari ini membuka pintu terlarang ke basement
menurut gue amat brilian. Namun sayang, semua keunggulan itu nggak bisa menutup
mata gue atas berbagai kekurangan yang gue temukan.
Pertama,
karakter Maya di sini gue anggap nggak terlalu konsisten. Gue nggak paham ama
karakter ini. Maunya dibikin dalam, tapi tetap aja janggal menurut gue. Sosok
setannya juga terlalu sering muncul. Awal-awalnya sih serem. Tapi setelah
kemunculan ketiga, keempat, dst gue mulai merasa nggak impressed. Gue juga agak
kecewa konsep “Evil Dead” di awal film nggak diteruskan.
Namun,
terlepas dari beberapa ketidakpuasan di atas, gue tetap mengapresiasi banget
karya anak bangsa ini. film horor ini emang layak mendapat pujian. One of the best Indonesian horror film I’ve
seen so far, but just not the best.
Film ini
dirilis hampir bersamaan dengan “Sebelum Iblis Menjemput” dan sama-sama film
bikinan anak bangsa juga. Banyak sih yang membandingkan keduanya dan hampir
semua berkesimpulan bahwa “Sebelum Iblis Menjemput” jauh lebih superior
ketimbang film ini. Tapi kok pendapat gue beda ya?
“Kafir”
berkisah tentang sebuah keluarga yang baru saja ditinggal mati sang ayah akibat
ulah santet. Di tengah keterpurukan keluarga itu, sang ibu mulai merasa bahwa kematian
suaminya bukanlah akhir dari tragedi yang menimpa keluarga mereka, melainkan
barulah sebuah awal. Di tahun 2002, terdapat film dengan judul sama (dan
sama-sama diperankan Sujiwo Tejo juga). Namun keduanya nggak ada hubungannya
sama sekali.
Film ini
mau nggak mau mengingatkan gue ama “Pengabdi Setan”. Mulai dari settingnya yang
jadul (pada tahun 1980-an) hingga temanya yang hampir mirip (teror yang menimpa
sebuah keluarga di rumah tua). Berbeda dengan “Sebelum Iblis Menjemput” dimana
kita dihujani berbagai jumpscare dan
penampakan seram di tiap adegannya, film ini kalo boleh gue bilang lebih softcore. Terornya ditampilkan secara
halus, nggak “vulgar” sama sekali. Bahkan mungkin itulah yang membuat beberapa
penonton merasa bosan terhadapnya.
Namun gue
sendiri menikmati film ini. Mulai dari musiknya hingga sinematografinya,
semuanya cukup mumpuni dan membuat gue terhibur. Plot twist-nya (walaupun
udah bisa gue tebak) juga tetap gue apresiasi. Banyak juga yang mengkritik
ending pada klimaksnya, namun menurut gue adegan tersebut cukup sah-sah aja
(gue nggak mau spoiler ya di sini).
Bahkan, gue
sendiri bahkan lebih puas menonton film ini ketimbang “Sebelum Iblis
Menjemput”. Mungkin karena ekspetasi yang gue bawa sebelum menonton film ini
ya? Gue menonton film ini dengan ekspetasi rendah karena setelah membaca
berbagai review yang mengatakan film
ini biasa-biasa aja. Tapi setelah menontonnya dan merasa puas, gue merasa film
ini nggak seburuk yang di-review-kan
banyak orang. I enjoy it very much
dan sama sekali nggak keberatan jika dibikin sekuelnya.
Sebaliknya,
gue menonton “Sebelum Iblis Menjemput” dengan ekspetasi sangat tinggi karena
kata orang-orang filmnya bagus banget. Jadi, ketika ternyata filmnya nggak
seperti harapan gue, gue merasa agak kecewa (walaupun gue akuin filmnya emang
bagus, tapi nggak “seluar biasa bagus” seperti yang gue harapkan). Ini bisa
jadi pelajaran buat gue guys (dan
termasuk buat kalian juga) bahwa sebelum pergi ke bioskop, hilangkan semua
ekspetasi kalian. It’s better to have
zero expectation at all than to have a high one.
Satu hal
yang membuat gue memberikan poin yang lebih tinggi pada film ini adalah adanya
satu adegan yang bikin gue merinding (di klimaks mendekati akhir) yang juga
membuat gue teringat pada salah satu adegan terseram (menurut gue) di film
“Pengabdi Setan”. Adegan itu bukan adegan jumpscare
yang bikin shock atau hantu bergigi
tajam, tapi hanyalah sebuah adegan subtle
sesosok hantu berjubah yang terlihat di kegelapan sebuah basement. Adegan itu bikin gue merinding puoool walaupun nggak ada
unsur kejutan atau make up seram sama
sekali. Dan hal itu yang sangat gue apresiasi dari film ini.
Lupain
“Crazy Rich Asian”, film inilah yang harusnya bikin orang Asia bangga! Sebab
film ini merupakan film thriller
pertama dalam sejarah perfilman Hollywood yang diperankan seorang Asia. Yup,
buat “Crazy Rich Asian”, moves away b*tch! Coz here it comes, “Searching” by John Cho!
Gue emang
sering liat akting John Cho sih di berbagai serial TV (terakhir gue lihat di “Exorcist”),
tapi gue akuin emang, kemampuan aktingnya di Hollywood emang underused. Dia paling banter cuman dapet
tokoh pemeran pembantu. Tapi kali ini John Cho mendapat porsi sebagai bintang
utama di film yang mengisahkan perjuangan seorang ayah mencari anaknya yang
hilang ini.
“Searching”
emang bukan film pertama yang bergenre “desktop thriller”, soalnya udah
keduluan “Unfriended”. Film ini nggak bisa masuk kategori “found footage” sih
soalnya emang setiap adegannya direkam menggunakan layar laptop. “Searched”
memiliki premis yang amat sederhana, yakni seorang ayah bernama David Kim yang
mencari anaknya yang hilang. Hanya, yang bikin beda ama “Taken” semisal yang
berkonsep cerita sama, semua pencarian itu terungkap di depan desktop komputernya.
Film ini ngandalin
banget plot twist yang bertubi-tubi
di sepanjang penyelidikan, dengan ending dimana identitas sang pelaku terungkap
yang “wow” banget. Film ini juga diapresiasi karena “berani” memasang seorang
aktor keturunan Asia untuk membintangi peran utamanya. Heck, sutradaranya juga keturunan India kok. Tapi ini kemajuan
besar dalam industri perfilman Hollywood, sebab mereka mulai menyadari bahwa
praktik “whitewashing” dengan memasang ras kulit putih sebagai peran utama
mulai membuat penonton “lelah”. Mereka membutuhkan lebih banyak diversifikasi
dan memasang bintang Asia (atau etnis minoritas lainnya) sebagai peran utama,
sebenarnya memberikan angin segar bagi penonton yang menginginkan sesuatu yang
berbeda. So, kudos for that!
Selain itu, kemampuannya mengekplorasi fenomena teknologi terkini juga patut diacungi jempol. Seperti "Unfriended" yang menyorot "cyberbullying", film ini juga hampir sama, namun menyorot rasa kesepian yang masih ada bahkan di tengah ramainya media sosial. Fenomena "tagar" oleh netizen yang judgemental di sini juga dieksplor. Dikisahkan, sang ayah yang berusaha keras menemukan ayahnya justru dituduh sebagai pelakunya dengan viralnya tagar #DadDidIt, padahal kebenarannya sama sekali belum terungkap. Well, hampir sama kayak di Indonesia ya. Kudos bagi pembuat film yang mau mengangkat tema-tema kekinian seperti ini.
Bangdep itu mantanmu 2, pevita sama Chelsea kok tumben akur sih?
ReplyDeleteBangdep baitnya beneran gada ini?
Karat
Baru tau kalo Searching genrenya Dekstop Thriller. Tapi emang petjaaah bgt sih nih film!!!
ReplyDeleteMewakili Ika&chuu komen disini, untuk riset film Searching yg g4uL
ReplyDelete