Hallo lagi guys. Di review #3 ini gue akan membahas
“Annihilation” dan “Cloverfield Paradox” dua buah film horor bergenre “science
fiction”, “Gonjiam: Haunted Asylum” sebuah film horor Korea bergenre “found
footage”, dan “It Follows” sebuah film Amrik dengan konsep yang tidak biasa.
“Annihilation”
is clearly one of the best horror movie
I’ve seen. Menggabungkan genre science
fiction dengan horror, film ini emang kurang terdengar gaungnya. Bahkan
film yang dibintangi Natalie Portman ini hanya mandeg tayang di Netflix dan
nggak pernah dirilis ke layar lebar, karena para produsernya takut film ini
terlalu “cerdas” dan nggak sesuai dengan selera penonton.
Film ini
bercerita tentang Lena, yang suaminya adalah seorang tentara yang lama tak
pulang karena bertugas. Suatu hari, sang suami pulang dalam keadaan aneh. Demi
menyelidiki apa yang terjadi dengan suaminya, Lena memutuskan untuk meneruskan
misi terakhir suaminya, yakni masuk ke sebuah wilayah bernama “Shimmer”, dimana
semua flora dan fauna penghuninya berubah akibat mutasi. Sayang, tim Lena yang
seluruhnya terdiri atas perempuan kemudian tewas satu demi satu akibat kekuatan
mengerikan yang menguasai tempat tersebut.
Gue punya background biologi jadi sedikit-demi
sedikit gue paham ketika film ini menjelaskan sedikit tentang mutasi dan
evolusi DNA. Namun gue kasian juga ya ama yang nggak mudeng hahaha, soalnya
penjelasannya lumayan rumit. Mungkin karena itulah film ini dianggap terlalu
“intelektual”. Namun film ini justru nggak menggurui. Sebaliknya, horor dalam
film ini amat kentara (salah satu adegan paling mengerikan adalah adegan dimana
mereka hampir dimangsa beruang jadi-jadian yang berubah akibat mutasi).
Film ini
sempurna, menurut gue. Mulai dari cast-nya
yang all-female, sinematografi dan visual effect-nya yang canggih sekaligus
indah, monsternya yang melekat di ingatan, ceritanya yang dalam, karakterisasi yang
nggak kalah dalam, dan yang terpenting: musical
score-nya!
Jujur,
seumur-umur gue nggak pernah mendengar musical
score segila dan seberani ini. Alih-alih menggunakan musik yang biasa
dipakai di film horor, kesan seram dan disturbing
di film ini (terutama di klimaksnya) justru diberikan oleh suara trombon.
Begitu denger, gue langsung merinding. Apalagi musiknya digunakan untuk
mengiringi adegan yang cukup disturbing
(sekaligus fascinating) buat gue.
Dan monster
yang muncul di klimaks filmnya, walaupun secara visual sama sekali nggak seram,
namun memberikan rasa desperate yang
dalam. Gue bayangin jika gue jadi tokoh utamanya, gue pasti bakalan ketakutan
banget. Soalnya nggak ada cara buat ngalahinnya dan kita tahu, bahwa hal yang
amat buruk akan terjadi jika makhluk itu dibiarin hidup.
Gue kasi
skor sempurna buat film. Yep, it’s that
good. You should try it!
Gue masih
ingat ketika film “Cloverfield” pertama kali tayang. Film itu cukup
revolusioner (pertama kali yang menggabungkan genre “found footage” dengan special effect ber-budget besar). ceritanya juga nggak mengecewakan. Makanya ketika
gue mendengar tentang sekuel film tersebut, gue langsung excited.
“Cloverfield
Paradox” judul aslinya sebenarnya adalah “God’s Particles”. Judul itu diberikan
setelah dikonfirmasi bahwa naskah film tersebut akan dimasukkan ke dalam
Cloverfield Universe besutan JJ Abrams. Jujur sih gue lebih suka judul aslinya.
Film ini bercerita tentang tim astronot yang berjuang menciptakan suatu sumber
energi baru di luar angkasa. Namun percobaan mereka justru membuat mereka
terperangkap dalam dunia paralel yang hostile
dan mengancam jiwa mereka satu demi satu.
Film ini
emang cukup berbobot dari segi cerita, terutama karena genrenya juga berbau science fiction. Beberapa bagian dari
film ini emang cukup keren (terutama konsep tentang dunia paralelnya). Namun
sayang, gue nggak bisa menutup mata akan berbagai kekurangan yang gue lihat di
sana sini. Pertama, akan lebih meyakinkan jika pesawat luar angkasa di sini
digambarkan dengan “zero gravity” seperti pesawat luar angkasa beneran di film
“Life”. Gue mengerti bahwa setting film ini di “near-future” jadi teknologi dalam
cerita tersebut mungkin lebih canggih. Namun tetap saja, gue nggak bisa
menghapus kesan bahwa filming-nya
dilakukan di studio, alih-alih membuat penonton merasa di kapal luar angkasa
sungguhan. C’mon guys, it’s 2018. Special effect udah canggih banget
sekarang jadi orang-orang di Hollywood pasti nggak kesulitan bikin adegan
astronotnya melayang dalam kapal.
Kedua,
karakterisasinya nggak banget. Ada banyak bintang gede di film ini, antara lain
Gugu Mbatha-Raw, Daniel Bruhl (yang main jadi Zemo di “Captain America: Winter
Soldier”), dan Zhang Ziyi. Tapi selain Gugu Mbatha-Raw (yang aktingnya di sini
emang apik), gue kok merasa kemampuan akting yang lain disia-siakan saja dengan
penokohan yang tipis. Apalagi Zhang Ziyi yang di sini nggak melakukan apa-apa,
cuman lari kesana-kesini terus mati. Padahal dia bintang gede lho setelah
kesuksesannya di “Crouching Tiger, Hidden Dragon”. Ketiga adalah adanya aktor
yang memberikan bumbu komedi di sini. Gue selalu menyambut komedi di tiap film,
tapi gue merasa komedi yang diberikan di sini “salah tempat”. Justru lebih
bagus gue rasa kalo film ini sepenuhnya horor. It’s just not too convincing to me.
Memang ada
kelebihan yang diberikan di film ini, antara lain tokoh antagonisnya (gue suka
banget ama motivasi dan keambiguan sang karakter antagonis). Tapi gue nggak
bisa ngasi skor tinggi-tinggi buat film ini hehehe. The first Cloverfield movie was definitely more superior, but still,
it’s an interesting movie.
Yap, yang
ini pasti kalian udah nonton, jadi gue nggak akan mengulas banyak tentang film
ini. Sedikit banyak, film ini emang mirip ama “Grave Encounter”; sama-sama
bergenre “found footage” dan sama-sama bersetting di sebuah asylum (rumah sakit jiwa) yang
terbengkalai. Bedanya, film ini kali bikinan Korea Selatan dan lebih “kekinian”
dengan berpusat pada para tokohnya yang merupakan youtubers.
“Gonjiam:
Haunted Asylum” menceritakan tentang tujuh youtubers yang menjelajahi Gonjiam,
RSJ yang disebut-sebut sebagai salah satu tempat terangker di muka bumi.
Awalnya hanya dirancang sebagai “settingan” untuk mendapatkan viewers, kisah horor yang mereka alami
berubah menjadi nyata ketika satu demi satu, mereka mulai mengalami kejadian
supranatural menakutkan.
Secara
umum, film ini sama sekali nggak mengecewakan. Emang agak lambat di awal dan
pertengahan film, tapi selama 10 menit terakhir, film ini benar-benar amazing! Scare-nya bener-bener dapet dan ini mengingatkan gue, bahwa dengan budget rendah dan teknik sederhana, film
found footage tetap bisa menakut-nakuti
pemirsanya. Bahkan, film ini digadang-gadang sebagai film horor Korea tersukses
kedua setelah “The Tale of Two Sisters”.
Pendek
kata, film ini totally recommended.
Gue juga sangat mengapresiasi film ini memberikan aura baru yang lebih kekinian
dengan menjadikan para youtubers sebagai tokoh utamanya.
Okeeee ...
film ini jelas membuat gue bingung. Seluruh review
yang gue baca tentang film ini, semuanya memberikan pujian dan menyebutnya
sebagai film yang “original”. Tapi kenapa pas gue nonton, terasa biasa-biasa
aja? Apa karena ekspetasi gue yang terlampau tinggi?
Kisahnya
cukup simpel, tentang seorang gadis yang dikuntit entitas misterius setelah dia
berhubungan “ena ena” dengan seorang pria. Konsepnya sendiri emang cukup fresh dan minim-budget. Ketegangan dibangun dari sosok yang terus mendekati sang
pemain utama dan ia harus menghindar, sebab jika ia sampai disentuh oleh sosok
itu, maka tamatlah riwayatnya.
Secara
konsep emang oke, ditambah lagi soundtrack ala “John Carpenter”-nya yang
membuat film ini terdengar seperti film horor di era 70-an. Jelas banget bahwa
konsep “kutukan” yang menular lewat aktivitas seksual di film ini sebenarnya
adalah alegori untuk STD (Sexually
Transmitted Disease) atau penyakit menular secara seksual, seperti HIV
AIDS.
Namun
secara cerita, gue merasa biasa-biasa aja. Tokoh-tokohnya juga B aja, nggak ada
yang spesial. Dan yang kata orang merupakan “plot twist” sempurna di
endingnya, menurut gue bukan plot twist
karena nggak di-foreshadowing
sebelumnya (apa gue yang nggak teliti ya?). Di luar idenya yang emang original,
gue rasa film ini terlalu overrated
deh. But that’s just my opinion.
No comments:
Post a Comment