Friday, October 5, 2018

MOVIES REVIEW #3


Hallo lagi guys. Di review #3 ini gue akan membahas “Annihilation” dan “Cloverfield Paradox” dua buah film horor bergenre “science fiction”, “Gonjiam: Haunted Asylum” sebuah film horor Korea bergenre “found footage”, dan “It Follows” sebuah film Amrik dengan konsep yang tidak biasa.

ANNIHILATION (2018)


“Annihilation” is clearly one of the best horror movie I’ve seen. Menggabungkan genre science fiction dengan horror, film ini emang kurang terdengar gaungnya. Bahkan film yang dibintangi Natalie Portman ini hanya mandeg tayang di Netflix dan nggak pernah dirilis ke layar lebar, karena para produsernya takut film ini terlalu “cerdas” dan nggak sesuai dengan selera penonton.

Film ini bercerita tentang Lena, yang suaminya adalah seorang tentara yang lama tak pulang karena bertugas. Suatu hari, sang suami pulang dalam keadaan aneh. Demi menyelidiki apa yang terjadi dengan suaminya, Lena memutuskan untuk meneruskan misi terakhir suaminya, yakni masuk ke sebuah wilayah bernama “Shimmer”, dimana semua flora dan fauna penghuninya berubah akibat mutasi. Sayang, tim Lena yang seluruhnya terdiri atas perempuan kemudian tewas satu demi satu akibat kekuatan mengerikan yang menguasai tempat tersebut.

Gue punya background biologi jadi sedikit-demi sedikit gue paham ketika film ini menjelaskan sedikit tentang mutasi dan evolusi DNA. Namun gue kasian juga ya ama yang nggak mudeng hahaha, soalnya penjelasannya lumayan rumit. Mungkin karena itulah film ini dianggap terlalu “intelektual”. Namun film ini justru nggak menggurui. Sebaliknya, horor dalam film ini amat kentara (salah satu adegan paling mengerikan adalah adegan dimana mereka hampir dimangsa beruang jadi-jadian yang berubah akibat mutasi).



Film ini sempurna, menurut gue. Mulai dari cast-nya yang all-female, sinematografi dan visual effect-nya yang canggih sekaligus indah, monsternya yang melekat di ingatan, ceritanya yang dalam, karakterisasi yang nggak kalah dalam, dan yang terpenting: musical score-nya!

Jujur, seumur-umur gue nggak pernah mendengar musical score segila dan seberani ini. Alih-alih menggunakan musik yang biasa dipakai di film horor, kesan seram dan disturbing di film ini (terutama di klimaksnya) justru diberikan oleh suara trombon. Begitu denger, gue langsung merinding. Apalagi musiknya digunakan untuk mengiringi adegan yang cukup disturbing (sekaligus fascinating) buat gue.

Dan monster yang muncul di klimaks filmnya, walaupun secara visual sama sekali nggak seram, namun memberikan rasa desperate yang dalam. Gue bayangin jika gue jadi tokoh utamanya, gue pasti bakalan ketakutan banget. Soalnya nggak ada cara buat ngalahinnya dan kita tahu, bahwa hal yang amat buruk akan terjadi jika makhluk itu dibiarin hidup.

Gue kasi skor sempurna buat film. Yep, it’s that good. You should try it!



CLOVERFIELD PARADOX (2018)


Gue masih ingat ketika film “Cloverfield” pertama kali tayang. Film itu cukup revolusioner (pertama kali yang menggabungkan genre “found footage” dengan special effect ber-budget besar). ceritanya juga nggak mengecewakan. Makanya ketika gue mendengar tentang sekuel film tersebut, gue langsung excited.

“Cloverfield Paradox” judul aslinya sebenarnya adalah “God’s Particles”. Judul itu diberikan setelah dikonfirmasi bahwa naskah film tersebut akan dimasukkan ke dalam Cloverfield Universe besutan JJ Abrams. Jujur sih gue lebih suka judul aslinya. Film ini bercerita tentang tim astronot yang berjuang menciptakan suatu sumber energi baru di luar angkasa. Namun percobaan mereka justru membuat mereka terperangkap dalam dunia paralel yang hostile dan mengancam jiwa mereka satu demi satu.

Film ini emang cukup berbobot dari segi cerita, terutama karena genrenya juga berbau science fiction. Beberapa bagian dari film ini emang cukup keren (terutama konsep tentang dunia paralelnya). Namun sayang, gue nggak bisa menutup mata akan berbagai kekurangan yang gue lihat di sana sini. Pertama, akan lebih meyakinkan jika pesawat luar angkasa di sini digambarkan dengan “zero gravity” seperti pesawat luar angkasa beneran di film “Life”. Gue mengerti bahwa setting film ini di “near-future” jadi teknologi dalam cerita tersebut mungkin lebih canggih. Namun tetap saja, gue nggak bisa menghapus kesan bahwa filming-nya dilakukan di studio, alih-alih membuat penonton merasa di kapal luar angkasa sungguhan. C’mon guys, it’s 2018. Special effect udah canggih banget sekarang jadi orang-orang di Hollywood pasti nggak kesulitan bikin adegan astronotnya melayang dalam kapal.


Kedua, karakterisasinya nggak banget. Ada banyak bintang gede di film ini, antara lain Gugu Mbatha-Raw, Daniel Bruhl (yang main jadi Zemo di “Captain America: Winter Soldier”), dan Zhang Ziyi. Tapi selain Gugu Mbatha-Raw (yang aktingnya di sini emang apik), gue kok merasa kemampuan akting yang lain disia-siakan saja dengan penokohan yang tipis. Apalagi Zhang Ziyi yang di sini nggak melakukan apa-apa, cuman lari kesana-kesini terus mati. Padahal dia bintang gede lho setelah kesuksesannya di “Crouching Tiger, Hidden Dragon”. Ketiga adalah adanya aktor yang memberikan bumbu komedi di sini. Gue selalu menyambut komedi di tiap film, tapi gue merasa komedi yang diberikan di sini “salah tempat”. Justru lebih bagus gue rasa kalo film ini sepenuhnya horor. It’s just not too convincing to me.

Memang ada kelebihan yang diberikan di film ini, antara lain tokoh antagonisnya (gue suka banget ama motivasi dan keambiguan sang karakter antagonis). Tapi gue nggak bisa ngasi skor tinggi-tinggi buat film ini hehehe. The first Cloverfield movie was definitely more superior, but still, it’s an interesting movie.


GONJIAM: HAUNTED ASYLUM (2018)


Yap, yang ini pasti kalian udah nonton, jadi gue nggak akan mengulas banyak tentang film ini. Sedikit banyak, film ini emang mirip ama “Grave Encounter”; sama-sama bergenre “found footage” dan sama-sama bersetting di sebuah asylum (rumah sakit jiwa) yang terbengkalai. Bedanya, film ini kali bikinan Korea Selatan dan lebih “kekinian” dengan berpusat pada para tokohnya yang merupakan youtubers.

“Gonjiam: Haunted Asylum” menceritakan tentang tujuh youtubers yang menjelajahi Gonjiam, RSJ yang disebut-sebut sebagai salah satu tempat terangker di muka bumi. Awalnya hanya dirancang sebagai “settingan” untuk mendapatkan viewers, kisah horor yang mereka alami berubah menjadi nyata ketika satu demi satu, mereka mulai mengalami kejadian supranatural menakutkan.
Secara umum, film ini sama sekali nggak mengecewakan. Emang agak lambat di awal dan pertengahan film, tapi selama 10 menit terakhir, film ini benar-benar amazing! Scare-nya bener-bener dapet dan ini mengingatkan gue, bahwa dengan budget rendah dan teknik sederhana, film found footage tetap bisa menakut-nakuti pemirsanya. Bahkan, film ini digadang-gadang sebagai film horor Korea tersukses kedua setelah “The Tale of Two Sisters”.

Pendek kata, film ini totally recommended. Gue juga sangat mengapresiasi film ini memberikan aura baru yang lebih kekinian dengan menjadikan para youtubers sebagai tokoh utamanya.




IT FOLLOWS (2014)


Okeeee ... film ini jelas membuat gue bingung. Seluruh review yang gue baca tentang film ini, semuanya memberikan pujian dan menyebutnya sebagai film yang “original”. Tapi kenapa pas gue nonton, terasa biasa-biasa aja? Apa karena ekspetasi gue yang terlampau tinggi?

Kisahnya cukup simpel, tentang seorang gadis yang dikuntit entitas misterius setelah dia berhubungan “ena ena” dengan seorang pria. Konsepnya sendiri emang cukup fresh dan minim-budget. Ketegangan dibangun dari sosok yang terus mendekati sang pemain utama dan ia harus menghindar, sebab jika ia sampai disentuh oleh sosok itu, maka tamatlah riwayatnya.

Secara konsep emang oke, ditambah lagi soundtrack ala “John Carpenter”-nya yang membuat film ini terdengar seperti film horor di era 70-an. Jelas banget bahwa konsep “kutukan” yang menular lewat aktivitas seksual di film ini sebenarnya adalah alegori untuk STD (Sexually Transmitted Disease) atau penyakit menular secara seksual, seperti HIV AIDS.

Namun secara cerita, gue merasa biasa-biasa aja. Tokoh-tokohnya juga B aja, nggak ada yang spesial. Dan yang kata orang merupakan “plot twist” sempurna di endingnya, menurut gue bukan plot twist karena nggak di-foreshadowing sebelumnya (apa gue yang nggak teliti ya?). Di luar idenya yang emang original, gue rasa film ini terlalu overrated deh. But that’s just my opinion.


No comments:

Post a Comment