Welcome
back guys, kali ini gue punya review film “Session 9” dari Amrik, “Pyewacket” asal Kanada,
“The Ritual” dari Inggris, dan “Ninth Passenger” filmnya Cinta Laura. Enjoy.
Gue udah
lama kepengen nonton film ini karena dibintangi oleh salah satu aktor favorit
gue, yakni Michael Caruso dari CSI Miami. Gue sempet mikir, “Horatio main film
horor?”. Gue sempet sukar mempercayainya, tapi karena dia emang aktor yang
baik, gue yakin dia bisa memerankannya dengan meyakinkan.
“Session 9”
menceritakan tentang sebuah kru yang ditugaskan untuk membersihkan sebuah RSJ
tua yang terbengkalai (arsitekturnya keren banget, kayak istana, padahal RSJ).
Film ini bisa dibilang berjalan amat pelan. Dan horornya juga lebih ke
psikologis. Sama sekali nggak ada adegan setan nongol di sini (bahkan kita juga
nggak tau apakah setannya bener-bener apa atau tidak). Yang jelas, dari sejak awal
kita sudah bisa merasakan ada yang bener-bener nggak beres dengan rumah sakit
jiwa ini.
Gue sangat
dihibur dengan arsitektur RSJ-nya yang megah banget (hampir sama dengan setting
“Orphanage” di rumah tua yang indah banget). Tapi sebagai film horor, kalian
harus sabar menikmatinya. Jawaban atas semua pertanyaan kalian baru bakal
terjawab pada menit-menit terakhir film ini, dimana sebuah plot twist sudah disiapkan untuk kalian. Jadi, apakah bener ada
setan atau ada alasan lain dibalik apa yang menimpa para kru ini di endingnya,
juga nggak dijelaskan dengan gamblang. Kalian sendiri-lah yang harus
menentukan.
Seperti
yang gue bilang, film ini pace-nya
pelan banget dan kalian harus sabar, so
this film is not for everyone. Tapi kalo kalian suka horor yang atmosferik
dan jalan cerita yang menduga-duga (di film ini kita akan dibuat menduga-duga
siapa sebenarnya yang jahat dan siapa yang baik), kalian harus nonton film ini.
Film ini jelas lebih mengandalkan suasana yang kelam dan depresif ketimbang jumpscare yang menakutkan. Dan setelah
gue survey, ternyata film ini adalah
film independen dengan budget minim, makanya kok nggak masuk akal settingnya di
Amrik tapi tokoh utamanya punya aksen Inggris hehehe.
“Pyewacket”
adalah salah satu film yang punya review
yang bias banget. Banyak yang bilang filmnya jelek, tapi tak sedikit yang
memuji film ini. Akhirnya setelah menonton film ini, gue paham kenapa ada yang
menyukai film ini dan ada pula yang tidak.
“Pyewacket”
menceritakan tentang Leah, seorang gadis yang mempelajari dunia supranatural
sebagai pelariannya setelah ayahnya meninggal. Sayang, sang ibu kurang
pengertian dan memilih larut dalam kesedihannya sendiri, sehingga banyak
mengambil keputusan sendiri tanpa memperhatikan pendapat sang anak. Ditambah
lagi, Leah masih remaja sehingga memiliki hormon pemberontak. Salah satu
keputusan yang sulit diterima Leah adalah ketika sang ibu memutuskan pindah
rumah ke sebuah hutan. Setelah pertengkaran dengan ibunya, Leah akhirnya kabur
ke hutan dan memutuskan untuk memanggil Pyewacket, sesosok iblis untuk membalas
dendam pada ibunya.
Film ini
bukan bertipe “revenge”. Jelas, setelah kejadian itu, Leah merasa menyesal.
Namun iblis itu sudah telanjur dipanggil dan kejadian-kejadian aneh-pun mulai
terjadi di rumah mereka. Secara garis besar, film ini sangat slow, baik dalam penceritaannya maupun
dalam membangun ketegangan. Mungkin karena inilah ada yang nggak menyukai film
ini (mungkin terbiasa ama film yang temponya cepat ya).
Setan dalam
film ini juga ditunjukkan secara “subtle” banget, nggak terang-terangan. Namun
itu justru bagus, menurut gue. Hasilnya adalah, pada saat klimaks dimana sosok
iblis ini akhirnya ditunjukkan, skala ngerinya langsung naik dari 1 ke 10,
mungkin karena sejak awal sang sutradara amat pelit dalam menampakkan sosok
asli iblis tersebut. Sejak awal, walaupun hanya dalam bentuk bayangan, pintu
yang terbuka, ataupun suara di langit-langit, sosok misterius ini cukup membuat
gue deg-degan.
Ada adegan
yang menurut gue brilian banget, yakni saat teman Leah berkunjung. Gue nggak
akan spoiler apa yang terjadi berikutnya.
But damn guys, that’s how you make a great horror without any budget!
Sisi
dramanya juga cukup kerasa. Hubungan ibu dan anak di sini nggak hitam putih
seperti Snow White dimana sang ibu jahat dan sang anak baik hati, atau
sebaliknya. Mereka berdua anak dan ibu yang “normal” dan mengalami tragedi
kehilangan, jadi wajar banget mereka bersikap seperti itu. Dramanya emang real dan bisa terjadi di kehidupan
sebenarnya (kecuali bagian manggil setan hihihi).
Dan yang
gue suka juga, teman-teman Leah di sini digambarkan memiliki porsi dan peranan
penting mereka sendiri-sendiri dalam jalan cerita. Nggak seperti “It Follows”
dimana teman-temannya sang tokoh utama menurut gue cuman tempelan aja tanpa
banyak makna, kecuali bantuin protagonisnya.
Gue siap
memberikan skor sempurna pada film ini jika saja bukan karena ... endingnya.
Yap, endingnya mengecewakan banget. Gue berharap endingnya bakal tentang si
cewek ini melawan si iblis, tapi endingnya malah ... twist banget sih, tapi tetep gue merasa itu juga antiklimaks. But overall, gue suka banget ama film
ini.
Gue nggak
peduli komentar negatif tentang film ini (dan gue sendiri juga paham kenapa
banyak yang nggak suka sama film ini), tapi menurut gue film ini udah dalam
skala “hampir sempurna”. Gue berharap saja makin banyak film horor dibuat
dengan tipe-tipe seperti ini, ketimbang mengandalkan jumpscare. Gue menikmati jumpscare
sih, tapi gue berpendapat bahwa film horor selayaknya lebih bereksperimen pada
sisi horor yang subtle dan yang nggak
kelihatan, ketimbang jumpscare yang
sudah jelas bakal menakuti pemirsanya.
Another great movie! “The Ritual” memiliki premis yang amat sederhana,
yakni empat sahabat yang tersesat di hutan dan diburu oleh sosok monster
misterius. namun ada banyak hal baru yang ditawarkan di cerita ini. Pertama,
semua tokohnya cowok. Jarang-jarang kan ada film horor dengan tokoh utama
cowok, apalagi ini semua karakternya cowok. Menurut gue, mirip-mirip sih ama
film “The Descent” (yang semua tokohnya cewek), tapi gendernya dibalik. Kesasar
di hutan sih udah biasa di film horor, tapi kali ini mereka kesasarnya di hutan
Skandinavia. Alhasil, mereka bertemu sosok monster dari mitologi Viking. Hmmm
... keren ya?
Film ini
sempurna dalam banyak hal. Konflik antara para tokohnya cukup masuk. Karakter
mereka juga cukup dapet. Adegan-adegan surealnya juga menurut gue cukup
memukau. Jalan ceritanya bagus. Atmosfernya serem (maklum, lokasinya saja di
dalam hutan). Monsternya juga memiliki desain yang unik sekaligus disturbing. Film ini mengambil keputusan
bagus dengan tidak menampakkan wujud asli sang monster hingga adegan
klimaksnya. Di sepanjang film, cukup dengan adegan-adegan penampakan yang bikin
merinding dan situasi-situasi aneh yang melingkupinya.
This movie is definitely worth to watch. Ada banyak adegan yang gue suka di
sini, tapi gue nggak bisa cerita banyak (soalnya itu berarti gue bakalan
ceritain keseluruhan filmnya hehehe). Kalian harus saksikan sendiri untuk
membuktikan betapa kerennya film ini. Definitely,
one of the best (but underrated) horror movie I’ve ever seen.
From the good one to the sucks one. Gue nonton film ini cuman karena
ada Cinta Laura di sini. Yup, film ini merupakan breakthrough pertama Cinta Laura di dunia perfilman Hollywood. Well, gue mengapresiasi usahanya untuk go international, sayang sekali gue
nggak bisa memberikan pujian yang sama untuk film ini.
“Ninth
Passenger” bercerita tentang delapan orang yang secara random berada di dalam
sebuah kapal. Namun satu persatu mereka tewas di tangan sosok misterius. Film
ini memiliki jalan cerita yang amat berbeda dengan sinopsisnya. Di sinopsis
(serta di judulnya) tersirat bahwa ada penumpang kesembilan yang misterius yang
membunuhi para penumpangnya. Alhasil, gue berkesimpulan bahwa film ini bergenre
thriller kriminal atau bahkan
detektif. Namun ternyata tidak. Film ini ternyata film monster. Dan monsternya
pun tidak meyakinkan.
Ada banyak
hal yang membuat film ini kacau banget. Pertama, editingnya aneh. Di adegan
kedua aja gue udah ngerasa ini film editingnya asal-asalan. Kedua, jalan
ceritanya cuman muter-muter dan nggak masuk akal. Ketiga, karakter utamanya
ceweknya malah annoying banget.
Bahkan, semua karakter di sini kayaknya nggak simpatetik, kecuali buat Jesse
Metcalfe yang jadi peran utamanya. Keempat, klimaksnya sangat “eeeew” dan
endingnya mengecewakan banget. Kelima (banyak banget yah), seperti kata gue
tadi, monsternya sama sekali nggak meyakinkan dan lebih mirip “monster of the
week” di Satria Baja Hitam atau tokusatsu lainnya. Bahkan, monster dari
film-film pendek di youtube yang budgetnya super-minim aja malah lebih bagusan
ketimbang monster di film layar lebar ini. Kan malu-maluin?
Secara
keseluruhan, film ini berasa kayak B-movie dari tahun 70-an atau 80-an. Tapi
ini udah tahun 2018 guys! Isn’t movie
supposed to be much better? There’s nothing good about this movie, but if you
want to see Cinta Laura in it, please go ahead. But let me remind you, this
movie is a piece of crap, not enjoyable
at all. But kudos for Cinta Laura for her achievement. I only hope that she’ll
get a better movie next time.
Wah, tjinja dapat cd satoe
ReplyDeleteAku suka banget sama Session 9 bang. Suasana horornya bener-bener mencekam banget dan aku belum pernah ngerasa setakut itu nonton film lain. Slow paced nya itu yg makin lama makin nambah kengerian penonton.
ReplyDelete