Di review
film terakhir untuk bulan ini, gue akan membahas lima film sekaligus dan
semuanya bagus-bagus. Mereka antara lain sekuel “Unfriended”, yakni
“Unfriended: Dark Web” yang masih mengusung format yang sama dengan
pendahulunya, “Texas Chainsaw 3D” yang bergenre slasher, serta dua film adaptasi karya Stephen King, yakni “1922”,
dan “Gerald’s Game”.
Jujur aja,
setelah tahu bahwa “Unfriended” bakal dibikin sekuelnya, gue sempat skeptis. Apalagi
setelah gue melihat trailernya yang kurang meyakinkan. Tapi gue akhirnya
tertarik untuk menontonnya setelah membaca review dari teman gue di Line yang
mengatakan filmnya lumayan. Hasilnya, gue terkejut karena film ini malah lebih
superior ketimbang pendahulunya.
Masih
mengusung tema yang sama, yakni desktop horror, “Unfriended: Dark Web”
menceritakan seorang pemuda yang mencuri sebuah laptop. Namun ia tak menyangka
bahwa laptop itu ternyata milik seorang psikopat dan terhubung dengan dark web,
dimana komplotannya bersedia membayar mahal demi video-video snuff yang ada di dalam komputer itu.
Nyawa pemuda itu dan teman-temannya pun terancam oleh sebuah konspirasi yang
berbahaya.
“Unfriended”
yang pertama memang superb karena
berhasil mengolah genre found footage
yang mulai membosankan menjadi lebih fresh.
Walaupun kreatif, namun gue sulit melihat ada hal apa baru yang bisa diberikan
oleh sekuelnya ini, sebab formatnya masih tetap sama. Namun ternyata jalan
ceritanya sungguh berbeda. Jika “Unfriended” lebih bernuansa supranatural dan hence, adegan kematiannya tidak masuk
akal, namun sekuelnya ini sangat berbeda. Film ini berhasil mengatasi
“kekurangan” tersebut dengan menjadikan pelaku pembunuhannya manusia biasa dan
adegan-adegan kematiannya pun menjadi masuk akal.
Perubahan
itu cukup memuaskan karena membawa nuansa baru bagi sekuel ini. Jujur, gue
lebih suka sekuelnya ini ketimbang pendahulunya, namun tetap “Unfriended” yang
pertama tetap memiliki nilai lebih dengan inovasi yang ditawarkannya dalam
dunia perfilman. Adegan-adegan kematiannya pun cukup kreatif. Adegan yang bikin
gue ngeri adalah video snuff dimana
salah satu korbannya hendak disiram cairan korosif. Walaupun nggak terlihat,
namun adegan itu tetap merasa ngeri karena mengajak pemirasanya membayangkan
apa yang akan terjadi.
Dan yang
mengejutkan lagi, salah satu pemerannya adalah orang Indonesia lho, yakni
Savira Windyani sebagai Lexx Putri (walaupun gue rasa Lexx jelas bukan nama
Indonesia). Namun itu tetap bikin gue bangga. Mungkin posisi Indonesia sebagai
salah satu pemakai media sosial terbanyak di dunia membuat penulis naskahnya
berpikir untuk menyisipkan karakter orang Indonesia di film ini ya? Gini dong cara yang benar agar karakter Indonesia masuk ke film Hollywood, nggak kayak Cinta Laura main film nggak jelas. Endingnya
cukup twist menurut gue dan pesan
moralnya juga jelas, yakni jangan nyolong laptop orang.
Namun
tetap, ada beberapa kekurangan di film ini. pertama adalah tokoh utama (dan
love interest-nya) yang kurang like-able, bahkan annoying. Di film kedua gue juga merasa agak
sedih karena tokoh-tokohnya (beda dengan film pertama dimana para peserta
terlibat cyber-bullying) tidak berdosa, jadi agak miris aja melihat mereka mati
satu demi satu, apalagi mereka hendak berbuat kebaikan. And in the end (spoiler alert), evil wins!
Gue pas
lagi mood pengen nonton film slasher
pas gue memilih film ini, jadi gue nggak begitu peduli ama kualitas film yang
gue tonton (yang penting ada bunuh-bunuhannya hehehe). Tapi gue terkejut, film
yang dapat rating rendah ini ternyata cukup bisa dinikmati. Film ini bercerita
tentang Heather, seorang gadis yang mendapat kabar bahwa ia mendapat warisan
sebuah rumah dari neneknya yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Bersama teman-temannya,
iapun datang ke rumah itu untuk menyelidiki lebih jauh tentang masa lalunya. Namun
ia tak menduga, di rumah itu bersembunyi Leatherface, pembunuh legendaris dari
franchise “Texas Chainsaw Massacre”.
Gue sebenarnya
mengharapkan film horor yang biasa-biasa aja dan nggak punya ekspetasi
tinggi-tinggi tentang film ini. Tapi makin
ke sana, gue makin menikmati film ini. Ceritanya sih tipikal slasher, namun menarik di sini ketika sosok
antagonis justru switched jadi
protagonis (atau at least antihero
lah di sini). Kecantikan pemeran utamanya, yakni Alexandra Daddario juga enak
banget diliat dan bikin gue betah ngikutin film ini sampai akhir. Pokoknya buat
penggemar slasher, film ini dijamin nggak mengecewakan.
“It” yang
merupakan adaptasi karya Stephen King dari novel berjudul serupa membuat
perasaan gue campur aduk. Filmnya memang bagus, jika melihat selera dan trend
film horor masa sekarang. Namun penempatan jumpscare-nya
membuat film ini seolah mengkhianati gaya penceritaan Stephen King yang lebih
condong ke teror psikologis ketimbang monster yang jelas terlihat. Adaptasi
lain dari novel Stephen King yang berjudul “1922” ini gue rasa lebih faithful dalam gaya bercerita sang
novelisnya.
“1922”
memiliki premis yang amat sederhana (tokoh utamanya aja cuman 3 orang) yakni
sepasang suami istri yang bertengkar karena berbeda pandangan. Sang suami ingin
tinggal di lahan pertanian dan peternakan yang sudah menjadi hidupnya, sedangkan
sang istri ingin menjual semua tanah mereka dan tinggal di kota karena ia bosan
tinggal di pedesaan. Perselisihan itu berujung pada rencana sang suami untuk
membunuh istrinya, dibantu anak kandungnya sendiri. Namun karma ternyata tak
tinggal diam. Kejadian buruk, termasuk teror supranatural kemudian menimpa
keluarganya sebagai bentuk balas dendam.
Film
original Netflix ini gue rasa merupakan adaptasi sempurna bagi karya Stephen
King. Adegan-adegan ngeri memang tetap ada, namun suasana pedesaan Omaha yang gelap
(settingnya pada tahun 1922 sehingga pada saat malam sumber cahaya hanya dari
lampu minyak) itulah yang memberikan atmosfer seram di sepanjang film ini.
Pencahayaan yang minimalis juga membuat film ini lebih artistik, belum lagi
sinematografinya juga indah untuk ukuran film horor.
Kekuatan
lain dari film ini adalah akting pemeran utamanya, Thomas Jane. Gue agak kaget ngeliat dia di sini karena setau gue dia bintang film action yang pernah meranin
film “Deep Blue Sea” dan “The Punisher” (dan yang terbaru, “Predator”). Gue
hanya sekali melihatnya di film horor, yakni “The Mist”, salah satu adaptasi
lain dari novel Stephen King. Film ini jelas menguji kemampuan akting Jane,
sebab hampir 90% adegan di sini diperankan olehnya. Tapi gue rasa tokoh ini
amatcocok ia perankan. Penampilan fisiknya sebagai seorang pekerja keras sudah
pas, aktingnya pun sama sekali tak mengecewakan. Belum lagi aksen Southern-nya
yang kental membuat tokohnya ini terdengar unik.
Lagi-lagi
salah satu adaptasi apik dari novel Stephen King, raja horor asal Amerika.
“Gerald’s Game” menceritakan tentang sepasang suami istri yang ingin me-refresh
kehidupan pernikahan mereka dengan berlibur ke sebuah lokasi terpencil. Sang suami,
tertarik dengan BDSM (mungkin seabis membaca “Fifty Shades Darker”) memborgol
sang istri di ranjang. Namun celaka, sang suami (yang udah paruh baya, namun
nekad menenggak viagra) justru terkena serangan dan meninggalkan istrinya
terjebak dalam jeratan borgol tersebut. Di sepanjang film, kita akan disuguhi
perjuangan sang istri untuk melepaskan diri. Namun ia tak sendiri. Ada sosok
menakutkan bernama “Moonlight Man”, yang entah iblis atau manusia, menerornya
di dalam kegelapan kamarnya. Apakah Moonlight Man hanyalah khayalannya, ataukah
dia nyata?
Stephen
King emang selalu memiliki ide unik dalam cerita-ceritanya, termasuk ini. Mungkin
kalian masih ingat film tentang pendaki gunung yang tangannya terjebak di batu
dan ia terpaksa harus memotong tangannya sendiri (lupa judulnya, tapi yang main
James Franco). Nah, film ini mirip-mirip lah, tapi dengan sentuhan horor
tentunya. Adegan pas sang istri melepaskan tangannya dari borgol benar-benar membuat gue ngeri
karena gore-nya minta ampun (ampe gue nggak bisa tidur
gara-gara bayangin adegannya). Sosok asli sang Moonlight Man yang terkuak di
akhir film juga pasti membuat para penontonnya terkejut.
Sekian guys,
review film horor dari gue (udah 7 jilid hehehe). Kalo kalian masih ada saran
film yang harus gue tonton, silakan aja masukin di kolom comment. Thanks for reading :D
Biar gw tebak, Bang Dave pasti gk ngikutin seluruh franchise TCM, makanya bilang Texas Chainsaw 3D bagus. gw sih setuju kalo abang bilang Texas Chainsaw 3D bagus (film ini salah satu sekuel TCM fav gw), cuma yang bikin jelek itu, film ini malah dijadiin Sekuel langsung dari film TCM (1974) pertama dan ngerusak citra leatherface.. i mean, kenapa kita harus dibuat kasihan sama pembunuh kanibal yg udh ngebunuh banyak orang?
ReplyDeleteBang nonton serbian film dong trus kasih review dan spoiler hehe soalnya baca review org aja uda ciut hehe
ReplyDeleteBtw makasi bang uda review lagi dan kembali mosting heheheheheee keep goingg!!
Pernah nonton yg Gerald Game, kereeen sumpah. Bagian yg lepas borgol itu bnr2 iuuuuuwww bgt,adegannya tiba2,kaget nontonnya ,tanpa persiapan nutup tangan 😁😁😁
ReplyDelete