Friday, October 5, 2018

MOVIES REVIEW #7


Di review film terakhir untuk bulan ini, gue akan membahas lima film sekaligus dan semuanya bagus-bagus. Mereka antara lain sekuel “Unfriended”, yakni “Unfriended: Dark Web” yang masih mengusung format yang sama dengan pendahulunya, “Texas Chainsaw 3D” yang bergenre slasher, serta dua film adaptasi karya Stephen King, yakni “1922”, dan “Gerald’s Game”.




UNFRIENDED: DARK WEB (2018)


Jujur aja, setelah tahu bahwa “Unfriended” bakal dibikin sekuelnya, gue sempat skeptis. Apalagi setelah gue melihat trailernya yang kurang meyakinkan. Tapi gue akhirnya tertarik untuk menontonnya setelah membaca review dari teman gue di Line yang mengatakan filmnya lumayan. Hasilnya, gue terkejut karena film ini malah lebih superior ketimbang pendahulunya.

Masih mengusung tema yang sama, yakni desktop horror, “Unfriended: Dark Web” menceritakan seorang pemuda yang mencuri sebuah laptop. Namun ia tak menyangka bahwa laptop itu ternyata milik seorang psikopat dan terhubung dengan dark web, dimana komplotannya bersedia membayar mahal demi video-video snuff yang ada di dalam komputer itu. Nyawa pemuda itu dan teman-temannya pun terancam oleh sebuah konspirasi yang berbahaya.



“Unfriended” yang pertama memang superb karena berhasil mengolah genre found footage yang mulai membosankan menjadi lebih fresh. Walaupun kreatif, namun gue sulit melihat ada hal apa baru yang bisa diberikan oleh sekuelnya ini, sebab formatnya masih tetap sama. Namun ternyata jalan ceritanya sungguh berbeda. Jika “Unfriended” lebih bernuansa supranatural dan hence, adegan kematiannya tidak masuk akal, namun sekuelnya ini sangat berbeda. Film ini berhasil mengatasi “kekurangan” tersebut dengan menjadikan pelaku pembunuhannya manusia biasa dan adegan-adegan kematiannya pun menjadi masuk akal.

Perubahan itu cukup memuaskan karena membawa nuansa baru bagi sekuel ini. Jujur, gue lebih suka sekuelnya ini ketimbang pendahulunya, namun tetap “Unfriended” yang pertama tetap memiliki nilai lebih dengan inovasi yang ditawarkannya dalam dunia perfilman. Adegan-adegan kematiannya pun cukup kreatif. Adegan yang bikin gue ngeri adalah video snuff dimana salah satu korbannya hendak disiram cairan korosif. Walaupun nggak terlihat, namun adegan itu tetap merasa ngeri karena mengajak pemirasanya membayangkan apa yang akan terjadi.



Dan yang mengejutkan lagi, salah satu pemerannya adalah orang Indonesia lho, yakni Savira Windyani sebagai Lexx Putri (walaupun gue rasa Lexx jelas bukan nama Indonesia). Namun itu tetap bikin gue bangga. Mungkin posisi Indonesia sebagai salah satu pemakai media sosial terbanyak di dunia membuat penulis naskahnya berpikir untuk menyisipkan karakter orang Indonesia di film ini ya? Gini dong cara yang benar agar karakter Indonesia masuk ke film Hollywood, nggak kayak Cinta Laura main film nggak jelas. Endingnya cukup twist menurut gue dan pesan moralnya juga jelas, yakni jangan nyolong laptop orang.

Namun tetap, ada beberapa kekurangan di film ini. pertama adalah tokoh utama (dan love interest-nya) yang kurang like-able, bahkan annoying. Di film kedua gue juga merasa agak sedih karena tokoh-tokohnya (beda dengan film pertama dimana para peserta terlibat cyber-bullying) tidak berdosa, jadi agak miris aja melihat mereka mati satu demi satu, apalagi mereka hendak berbuat kebaikan. And in the end (spoiler alert), evil wins!



TEXAS CHAINSAW 3D (2013)


Gue pas lagi mood pengen nonton film slasher pas gue memilih film ini, jadi gue nggak begitu peduli ama kualitas film yang gue tonton (yang penting ada bunuh-bunuhannya hehehe). Tapi gue terkejut, film yang dapat rating rendah ini ternyata cukup bisa dinikmati. Film ini bercerita tentang Heather, seorang gadis yang mendapat kabar bahwa ia mendapat warisan sebuah rumah dari neneknya yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Bersama teman-temannya, iapun datang ke rumah itu untuk menyelidiki lebih jauh tentang masa lalunya. Namun ia tak menduga, di rumah itu bersembunyi Leatherface, pembunuh legendaris dari franchise “Texas Chainsaw Massacre”.

Gue sebenarnya mengharapkan film horor yang biasa-biasa aja dan nggak punya ekspetasi tinggi-tinggi tentang film ini. Tapi makin ke sana, gue makin menikmati film ini. Ceritanya sih tipikal slasher, namun menarik di sini ketika sosok antagonis justru switched jadi protagonis (atau at least antihero lah di sini). Kecantikan pemeran utamanya, yakni Alexandra Daddario juga enak banget diliat dan bikin gue betah ngikutin film ini sampai akhir. Pokoknya buat penggemar slasher, film ini dijamin nggak mengecewakan.


1922 (2017)


“It” yang merupakan adaptasi karya Stephen King dari novel berjudul serupa membuat perasaan gue campur aduk. Filmnya memang bagus, jika melihat selera dan trend film horor masa sekarang. Namun penempatan jumpscare-nya membuat film ini seolah mengkhianati gaya penceritaan Stephen King yang lebih condong ke teror psikologis ketimbang monster yang jelas terlihat. Adaptasi lain dari novel Stephen King yang berjudul “1922” ini gue rasa lebih faithful dalam gaya bercerita sang novelisnya.

“1922” memiliki premis yang amat sederhana (tokoh utamanya aja cuman 3 orang) yakni sepasang suami istri yang bertengkar karena berbeda pandangan. Sang suami ingin tinggal di lahan pertanian dan peternakan yang sudah menjadi hidupnya, sedangkan sang istri ingin menjual semua tanah mereka dan tinggal di kota karena ia bosan tinggal di pedesaan. Perselisihan itu berujung pada rencana sang suami untuk membunuh istrinya, dibantu anak kandungnya sendiri. Namun karma ternyata tak tinggal diam. Kejadian buruk, termasuk teror supranatural kemudian menimpa keluarganya sebagai bentuk balas dendam.
Film original Netflix ini gue rasa merupakan adaptasi sempurna bagi karya Stephen King. Adegan-adegan ngeri memang tetap ada, namun suasana pedesaan Omaha yang gelap (settingnya pada tahun 1922 sehingga pada saat malam sumber cahaya hanya dari lampu minyak) itulah yang memberikan atmosfer seram di sepanjang film ini. Pencahayaan yang minimalis juga membuat film ini lebih artistik, belum lagi sinematografinya juga indah untuk ukuran film horor.

Kekuatan lain dari film ini adalah akting pemeran utamanya, Thomas Jane. Gue agak kaget ngeliat dia di sini karena setau gue dia bintang film action yang pernah meranin film “Deep Blue Sea” dan “The Punisher” (dan yang terbaru, “Predator”). Gue hanya sekali melihatnya di film horor, yakni “The Mist”, salah satu adaptasi lain dari novel Stephen King. Film ini jelas menguji kemampuan akting Jane, sebab hampir 90% adegan di sini diperankan olehnya. Tapi gue rasa tokoh ini amatcocok ia perankan. Penampilan fisiknya sebagai seorang pekerja keras sudah pas, aktingnya pun sama sekali tak mengecewakan. Belum lagi aksen Southern-nya yang kental membuat tokohnya ini terdengar unik.


GERALD’S GAME (2017)


Lagi-lagi salah satu adaptasi apik dari novel Stephen King, raja horor asal Amerika. “Gerald’s Game” menceritakan tentang sepasang suami istri yang ingin me-refresh kehidupan pernikahan mereka dengan berlibur ke sebuah lokasi terpencil. Sang suami, tertarik dengan BDSM (mungkin seabis membaca “Fifty Shades Darker”) memborgol sang istri di ranjang. Namun celaka, sang suami (yang udah paruh baya, namun nekad menenggak viagra) justru terkena serangan dan meninggalkan istrinya terjebak dalam jeratan borgol tersebut. Di sepanjang film, kita akan disuguhi perjuangan sang istri untuk melepaskan diri. Namun ia tak sendiri. Ada sosok menakutkan bernama “Moonlight Man”, yang entah iblis atau manusia, menerornya di dalam kegelapan kamarnya. Apakah Moonlight Man hanyalah khayalannya, ataukah dia nyata?

Stephen King emang selalu memiliki ide unik dalam cerita-ceritanya, termasuk ini. Mungkin kalian masih ingat film tentang pendaki gunung yang tangannya terjebak di batu dan ia terpaksa harus memotong tangannya sendiri (lupa judulnya, tapi yang main James Franco). Nah, film ini mirip-mirip lah, tapi dengan sentuhan horor tentunya. Adegan pas sang istri melepaskan tangannya dari borgol benar-benar membuat gue ngeri karena gore-nya minta ampun (ampe gue nggak bisa tidur gara-gara bayangin adegannya). Sosok asli sang Moonlight Man yang terkuak di akhir film juga pasti membuat para penontonnya terkejut.


Sekian guys, review film horor dari gue (udah 7 jilid hehehe). Kalo kalian masih ada saran film yang harus gue tonton, silakan aja masukin di kolom comment. Thanks for reading :D

3 comments:

  1. Biar gw tebak, Bang Dave pasti gk ngikutin seluruh franchise TCM, makanya bilang Texas Chainsaw 3D bagus. gw sih setuju kalo abang bilang Texas Chainsaw 3D bagus (film ini salah satu sekuel TCM fav gw), cuma yang bikin jelek itu, film ini malah dijadiin Sekuel langsung dari film TCM (1974) pertama dan ngerusak citra leatherface.. i mean, kenapa kita harus dibuat kasihan sama pembunuh kanibal yg udh ngebunuh banyak orang?

    ReplyDelete
  2. Bang nonton serbian film dong trus kasih review dan spoiler hehe soalnya baca review org aja uda ciut hehe
    Btw makasi bang uda review lagi dan kembali mosting heheheheheee keep goingg!!

    ReplyDelete
  3. Pernah nonton yg Gerald Game, kereeen sumpah. Bagian yg lepas borgol itu bnr2 iuuuuuwww bgt,adegannya tiba2,kaget nontonnya ,tanpa persiapan nutup tangan 😁😁😁

    ReplyDelete