Hallo guys. Di review #2 ini gue akan membahas beberapa film, antara lain “The Gallows” sebuah horor remaja yang bergenre “found footage”, “Mimic” sebuah film Korea, “Mom and Dad” film-nya Nicholas Cage, dan
THE GALLOWS (2015)
“The Gallows”
adalah salah satu contoh film lain yang gue tonton dengan ekspetasi rendah,
namun ternyata nggak seburuk dugaan gue. Sebelum menonton film ini, gue sudah
mendengar review jelek tentang film
ini, yang katanya tidak memberikan kontribusi apa-apa untuk perkembangan film
bergenre “found footage”. Film ini emang bukan film ber-ide orisinil ataupun
revolusioner seperti “Blair Witch Project” atau “Unfriended”, namun film ini
tetap bisa dinikmati kok.
“The
Gallows” berkisah tentang 4 orang remaja yang menyusup ke sekolah mereka
malam-malam (dengan membawa kamera tentu saja, maklum anak millenials). Sekolah
mereka akan mengadakan pementasan drama “The Gallows” dimana 10 tahun lalu,
seorang anak tewas tergantung sungguhan pada saat pemetasan film ini (“gallows”
sendiri berarti tiang gantungan). Namun begitu sampai di dalam (seperti tipikal
film “found footage” pada umumnya), mereka mulai diteror oleh sosok
supranatural dan terjebak di dalam sekolah, tanpa bisa menemukan jalan keluar.
Ide film
ini emang nggak baru dan udah tipikal banget, tapi tetap saja gue bisa
menikmati jalan ceritanya. Dan sebagai bonus, ada plot twist di akhir film
ini. Film ini emang nggak sejelek review
orang-orang (bahkan skornya di Rotten Tomatoes” hanya 16%) dan menurut gue
skornya seharusnya lebih tinggi. Well,
nggak akan melebihi 50% sih tapi menurut gue film ini cukup menghibur dan nggak
ada “flaw” yang parah-parah banget di film ini.
Pada saat
tayang di CGV, gue ingat banget kebelet pengen nonton film ini tapi batal. Ketika
akhirnya bisa nonton film ini secara online,
justru gue bersyukur nggak sempet nonton film ini di bioskop. Soalnya ceritanya
B aja dan nggak sesuai ekspetasi.
“Mimic”
menceritakan tentang seorang ibu yang masih berduka karena kehilangan anaknya
dan nggak bisa move on. Dia masih
memiliki satu orang anak gadis lain, namun karena rasa duka (sekaligus rasa
bersalah yang dalam), ia sampai mengabaikan anaknya yang masih hidup itu.
Hingga suatu saat, ia menemukan anak yang terlantar dan memutuskan membesarkannya,
demi menebus rasa bersalahnya. Namun tanpa ia tahu, ada sesosok entitas
supranatural yang mengincar keluarganya. Seperti judulnya, “Mimic”, entitas
tersebut mampu meniru suara siapapun demi memanipulasi perasaan mangsanya.
Oke ...
secara konsep sih keren, yakni iblis yang bisa meniru suara manusia. Namun
secara eksekusi, kok kurang greget ya? Drama keluarganya sih dapet banget, tapi
bukan itu tujuan gue menyaksikan film horor. There’s nothing scary about this movie. Awal-awalnya sih cukup
bikin merinding, namun lama-kelamaan, justru film ini lebih condong ke drama
yang menguras air mata. Gue bisa ngerti banget sih perasaan ibunya, namun tetap
bukan “drama” yang gue harapkan dari sebuah film horor. Sosok yang mampu meniru
suara tersebut juga kurang di-utilize.
Bisa aja penulisnya membuat peniru suara ini sebagai plot twist yang dahsyat,
namun sampai ending film ini tiba, hal yang gue tunggu-tunggu itu nggak kunjung
tiba.
Again, it’s a good drama, but not a good horror
movie.
Film ini
memiliki konsep yang amat unik bagi gue. Bayangkan sebuah wabah yang tak
diketahui asal muasalnya merebak di kota. Namun wabah itu bukannya membuat
manusia menjadi zombie, namun
membikin orang tua memiliki hasrat tak terbendung untuk membunuh anak mereka
sendiri. Sick, right?
Yang
membuat gue tertarik dengan film ini, selain konsepnya yang nggak biasa, adalah
adanya Nicholas Cage sebagai peran utamanya. Nggak hanya itu, di sepanjang film
gue juga terpukau ama kecantikan aktris yang memerankan tokoh emaknya. Gue semenjak
awal hingga akhir film selalu mikir, ini siapa ya, kok rasanya pernah liat.
Setelah gue browsing nama pemerannya,
pantas aja gue merasa nggak asing. Ternyata dia adalah Selma Blair yang pernah
bermain di “Hellboy”.
Namun saat
menyaksikan film ini, gue nggak menyangka akan ada satu hal lagi yang membuat
gue terpaku di layar kaca, yakni ketegangan dan adegan gore-nya. Yup, beberapa adegan sadis di sini bikin gue ngilu
(apalagi menjelang akhir). Sepanjang cerita juga gue malah masuk tim “Mom and
Dad” dan malah kecewa pas ayah ama emak ini gagal membunuh anak-anak mereka
wkwkwkw. Kebiasaan psycho kali ya? Tapi emang dari awal film ini, anak-anak ini
(terutama yang cewek) emang digambarin disrepectful
ama ortu mereka.
Secara
garis besar, gue ngerti banget apa pesan moral yang pengen disampaikan film
ini. orang tua harus memiliki kesabaran dalam menghadapi anak-anak mereka dan
sering kali mereka “makan hati” atas kelakuan anak-anak mereka. Belum lagi,
mereka harus menghadapi masalah pribadi dengan pasangan mereka serta stress
akibat pekerjaan. Jadi gue nggak bisa nyalahin ortunya juga sih. Sebaliknya,
sang anak juga harus menyadari bahwa perilaku tak pantas mereka kepada orang
tua mereka juga sebenarnya salah.
THE VOID (2016)
Film berjudul “The Void” ini benar-benar sebuah “hidden gem”. Gue sama sekali nggak pernah mendengar tentang film ini (dan gue yakin kalian juga belum pernah), tapi ternyata filmnya bagus banget. Gue nggak paham kenapa film ini sampai nggak populer.
Film ini berawal dari seorang polisi yang menemukan seorang pria dengan cedera parah di tengah hutan. Tak bisa membawanya ke rumah sakit di kota karena parahnya luka pria tersebut, akhirnya sang polisi membawanya ke sebuah rumah sakit kecil yang hanya memiliki seorang dokter, tiga perawat, dan beberapa pasien. Namun begitu tiba, sang polisi tersebut langsung menyadari bahwa ia dan para penghuni rumah sakit lainnya terjebak di dalam. Anggota cult yang misterius mengepung mereka dan tak membiarkan mereka keluar. Tak hanya itu, ancaman juga muncul dari dalam rumah sakit berupa sosok yang amat mengerikan dan mengancam jiwa mereka satu demi satu.
Gue suka banget ama konsep film ini. Anggota cult-nya ngingetin gue sama Ku Klux Klan dan simbolnya pun simpel banget, cuman segitiga. Settingnya yang berada di rumah sakit sepi yang hampir terbengkalai mirip-mirip film horor Jepang “Infection”. Dan secara tema dan musik, jelas banget film ini terinspirasi dengan “The Thing”. Gue nggak akan banyak spoiler tentang “sesuatu” yang jadi musuh mereka di sini, tapi yang jelas jalan ceritanya cukup seru dan nggak bisa nebak tokoh yang selamat siapa hehehe.
Tapi kalo boleh bahas kekurangannya, sebenarnya ada plot twist di film ini yang sebenarnya bakalan lebih seru dan “mencengangkan” apabila dimunculinnya di menjelang akhir film. Tapi entah, sama sutradaranya plot twist itu malah dimunculin pertengahan film. Anggota cult-nya aja memakai tudung misterius gitu, jadi harusnya bisa lebih dimanfaatkan lah dengan menjadikan villain utama ini lebih misterius, bukan langsung dijelasin identitasnya pas tengah-tengah. Kurang seru aja menurut gue.
Overall, film ini keren dan patut ditonton, apalagi kalo kalian penggemar John Carpenter (soalnya film ini emang John Carpenter-ish banget). Konsepnya unik, keren, dan agak heran juga kenapa film sekeren ini malah minim apresiasi.
Bangdep, ga pengen nonton Aib, Gentayangan, atau Sabrina? Muehehe
ReplyDelete