Friday, October 5, 2018

REVIEW “SCREAM” SEASON 1 & 2: DROP DEAD GORGEOUS




Bagi yang pernah merasakan era 90-an, pasti sudah tak asing lagi dengan film slasher remaja berjudul "Scream", ceritanya tentang sekelompok anak SMU yang dikejar-kejar pembunuh bertopeng misterius yang disebut “Ghostface”. Trilogi besutan Wes Craven ini amat terkenal di masanya dan seolah ingin mengulangi kesuksesan yang sama, MTV membuat serial TV-nya. Secara keseluruhan, serial ini cukup enjoyable, walaupun tentu banyak kekurangan di sana-sini. Tapi worth it nggak sih buat ditonton? Simak yuk review-nya.


"Scream" yang “asli” bercerita tentang sosok Sidney Prescott (diperankan Neve Campbell) yang diteror pembunuh misterius yang menghabisi teman-teman terdekatnya satu demi satu karena masa lalu keluarganya yang kelam. Namun justru bukan sosok Sidney yang menjadi karakter yang memorable di trilogi tersebut, namun Gale Wheaters (diperankan Courtney Cox dari serial Friends), seorang wartawati gigih dengan perilaku menyebalkan.

Serial "Scream" yang baru ini memiliki jalan cerita yang tak jauh berbeda. Ceritanya bersetting di kota kecil bernama Lakewood yang tersohor berkat aksi pembunuh berantai bernama Brandon James yang melakukan sederetan aksi pembantaian karena terobsesi dengan seorang gadis remaja bernama Daisy. Brandon James (yang menjadi sosok ikonik karena topeng yang dikenakannya) akhirnya ditembak polisi, namun tubuhnya terjatuh ke danau dan tak pernah ditemukan. 20 tahun kemudian, dipicu oleh sebuah kasus cyber bullying, pembunuhan berantai kembali terjadi di kota tersebut. Seorang podcaster bernama Piper (jelas  sebagai sosok Gale yang lebih kekinian) kemudian datang ke kota itu untuk  menyelidikinya. Tokoh utamanya sendiri adalah Emma Duval, seorang gadis yang masa lalunya terkait dengan Brandon James, sebab ibunya adalah Daisy, gadis yang digilai oleh sang pembunuh. Benarkah sang pembunuh legendaris itu kembali dari kematiannya? Ataukah sang pelakunya justru salah satu di antara teman-teman Emma sendiri?



Secara umum, kelemahan serial ini sudah dibeberkan oleh salah satu tokohnya di episode pilotnya, bahwa cerita slasher aslinya nggak bisa dibikin serial TV. Alhasil, kebanyakan adegan di serial ini berujung pada aksi kucing-kucingan antara sang pembunuh dan korbannya yang berujung pada antiklimaks yang menjengkelkan. Udah tegang-tegangnya, eh tiba-tiba polisi udah dateng. Kan jadi nggak seru. Tapi yah patut dimaklumi, karena adegan-adegan itu bertujuan untuk memperpanjang durasi serial slasher ini.

Gue juga agak terganggu sama beberapa karakter di sini. Karakter-karakternya annoying as hell. Bahkan saking ngeselinnya, gue malah sedih pas mereka ternyata malah selamat dari kejaran pembunuh dan nggak jadi mati beneran. Ambil contoh karakter utama di serial ini, yakni Emma Duval. Emang dia cantik banget dan enak dipandang (sexy lagi), namun karakternya sama sekali nggak simpatik. Bahkan kalo boleh gue berpendapat, dia banyak mengambil keputusan goblok yang akhirnya berujung pada kematian teman-temannya.


Tokoh lain yang sebenarnya cukup berpotensi di serial ini adalah Brooke Maddox yang b*tchy, tapi lalu dijelaskan bahwa dia sebenarnya damaged karena kehidupan keluarganya yang kurang harmonis. She could be the next Caroline Forbes dari "Vampire Diaries" dengan karakternya yang kompleks. Namun kenyataannya, tokoh itu juga nggak di-flesh out lebih dalam dan cuma hadir buat nambah-nambahin konflik aja.

Tokoh yang cukup prominent dan unik di serial ini justru Audrey Jensen, "mantan" sahabat Emma yang terang-terangan lesbian. Gue biasanya nggak setuju kalo karakter LGBT ditempelin di sebuah serial atau film cuma buat lebih diverse aja tanpa ada kaitan dengan jalan cerita (kayak “Riverdale” semisal, ada karakter gay di sana tapi sama sekali nggak ngaruh ama penokohan dan jalan cerita). Tapi gue akuin, karakter Audrey yang tough dan tomboy memberi warna unik sekaligus fresh bagi serial ini serta membuat “Slasher” ini beda dengan serial remaja lain.

Hal yang juga membuat gue cukup kecewa di serial ini adalah topeng Ghostface yang nggak sesuai dengan versi filmnya. Emang sih dijelasin dengan logis asal usul topengnya kenapa bentuknya seperti itu, tapi tetap saja itu membuat serial ini jadi kurang berasa "Scream" banget.


Bagaimana dengan segi misterinya? Serial "Scream" terdiri atas dua season, dimana season 1 gue rasa cukup "so so" lah alias lumayan. Salah satu keistimewaan season 1 adalah kita sama sekali nggak bisa menduga siapa korban selanjutnya. Kirain dia yang mati tapi malah tokoh lain yang sama
sekali nggak kita sangka. Kita pikir dia selamat eh tapi ujung-ujungnya mati juga. Tapi sayang, bagi gue kurang banyak darah ditawarkan di season 1. Korbannya kurang banyak. I mean, one murder every 3 episodes? That kinda lame. Pelaku pembunuhannya juga (menurut gue pribadi sih) udah tertebak dan nggak bikin gue kaget-kaget amat (walau emang plot twist-nya cukup smart menurut gue).

Nah, baru di season 2 serial ini baru mendapat "nyawanya". Tiap episodenya jauh lebih seru, membuat kita tak sabar melihat episode lanjutannya. Misteri yang ditawarkan jauh lebih mencekam. Masih banyak sih adegan kucing-kucingan yang berujung antiklimaks, namun ada banyak misteri yang membuat para penonton bertanya-tanya. Dan yang membuat gue terkejut dan kagum adalah karakter-karakter baru yang diperkenalkan di season 2 ini benar-benar keren penokohannya.

Gue biasanya nggak demen kalo di season baru sebuah serial diperkenalkan tokoh baru selain tokoh-tokoh inti yang udah ada. Biasanya ini menandakan para writer-nya udah stuck dengan ide dan ada hingga terpaksa nambahin karakter baru. Tapi ternyata gue salah. Di season 2 ini, tokoh-tokoh barunya amat menarik dan nggak sekedar nongol buat jadi calon tersangka yang harus dicurigai saja. Salah satu karakter kesukaan gue adalah sheriff baru dan anaknya yang misterius.



Namun sayang, misteri yang sudah terjalin sedemikian bagusnya justru berakhir di season finale yang mengecewakan. Identitas pelaku yang sebenarnya sangat membuat gue kecewa, bukan karena siapa dia, tapi karena motifnya yang terlewat simpel. Padahal misteri yang dibangun, termasuk masa lalu Brandon James, sudah ditata sedemikian apiknya. Dan dua episode terakhir dimana Emma dkk terjebak di pulau dengan pembunuh berantai baru, don't bother to watch it. It’s a piece of trash.

Kesimpulannya, gue kudu ngasi penilaian berbeda untuk dua season "Scream" ini. 


Season 1: 

Season 2:


Sedangkan adegan “panas”-nya, yah lumayan banyak (namanya juga serial remaja Amrik) tapi nggak ada nudity-nya kok. 


Serial ini lumayan sih buat mengisi waktu luang kalian, just don't have any high expectation. Or even, don't have any expectation at all.


No comments:

Post a Comment