Jika
membahas kecelakaan nuklir, pasti yang terlintas di benak kalian
adalah kasus Chernobyl dan Fukushima. Kedua pembangkit listrik tenaga
nuklir itu mengalami kecelakaan yang menyebabkan penduduk di
sekitarnya terinfeksi radiasi nuklir yang mematikan. Namun pada
September 1987, penduduk kota kecil bernama Goiânia
di Brazil dihantui insiden mengerikan, dimana lebih dari 100 ribu
penduduk mengaku sakit akibat radiasi. Bagaimana bisa sebuah bencana
nuklir bisa menimpa warga sipil di sebuah kota yang jauh dari
pembangkit listrik tenaga nuklir?
Jawabannya,
adalah rumah sakit. Setiap rumah sakit, kita sadari atau tidak, pasti
memiliki bahan radioaktif yang digunakan untuk kemoterapi ataupun
CT-scan.
Jika
bahan berbahaya itu sampai jatuh ke tangan yang salah, akibatnya bisa
amat berbahaya.
Kota Goiânia di Brazil, tak ada yang menyangka di kota padat penduduk ini
terjadi salah satu musibah radioaktif terparah di dunia
Pada
malam hari, 13 September 1987, dua orang pria mengendap-endap ke
sebuah bekas bangunan rumah sakit yang sudah hampir rubuh. Bangunan
tua itu dulunya adalah Instituto Goiano de Radioterapia (IGR), sebuah
rumah sakit swasta yang mengkhususkan diri bagi radioterapi. Beberapa
tahun sebelumnya, pada 1985, rumah sakit tersebut pindah ke lokasi
baru, meninggalkan gedung terbengkalai yang kini hanya tersisa
reruntuhannya saja.
Kedua
pria itu adalah Roberto dos Santos Alves dan Wagner Mota Pereira, dua
“pemulung” lokal yang berniat mencari barang rongsokan yang
mungkin bisa mereka jual. Mereka tiba di sebuah ruangan terapi dan
melihat sebuah kapsul logam misterius. Merasa tertarik karena belum
pernah melihatnya, terlebih lagi karena terbuat dari logam yang bisa
mereka jual, akhirnya mereka mengambilnya.
Mereka
sama sekali tak menyadari bahwa mereka tengah mengambil sebuah kapsul
berisi cesium klorida, sebuah bahan radioaktif yang amat berbahaya.
Kapsul itu memancarkan radiasi sebanyak 4,56 gray per jam, dimana
dosis 2 gray saja cukup untuk menimbulkan bahaya pada tubuh jika
terpapar beberapa jam.
Saat itu
mereka masih aman, sebab cesium tersebut masih terbungkus rapi dalam
kapsul yang terbuat dari timah dan baja. Namun tak lama. Setelah
membawa kapsul itu ke kediaman Roberto, mereka berdua mulai
membongkarnya; sebuah langkah yang berujung pada bencana dan kematian
beruntun.
(sumber
gambar)
Kapsul berisi bahan radioaktif ini yang mencelakakan penduduk kota tersebut
Dengan
peralatan seadanya, mereka berusaha membukanya. Segera, kedua pria
itu mulai merasakan efeknya. Mereka mulai pusing dan muntah-muntah.
Namun tak menyadari bahwa reaksi itu ditimbulkan oleh zat radioaktif
di depan mata mereka, merekapun meneruskannya. Keesokan harinya, rasa
sakit yang dialami Wagner semakin parah, bahkan tangan yang tadinya
ia pakai untuk memegang kapsul itu kini mulai membengkak karena luka
bakar.
Nantinya,
jemari yang ia gunakan untuk memegang kapsul itu terpaksa harus
diamputasi.
Wagner
mencoba datang ke rumah sakit dan mengeluhkan rasa yang timbul di
tubuhnya. Namun sang dokter, tak menyadari bahwa gejala itu
diakibatkan oleh radioaktivitas, mengira penyakitnya disebabkan oleh
alergi makanan dan menyuruhnya pulang. Sementara itu Roberto
meneruskan usahanya untuk membuka kapsul itu. Usahanya itu nantinya
akan menyebabkan tangannya harus diamputasi, sama seperti rekannya.
Kali ini
usaha Roberto berhasil. Ia berhasil menusukkan obeng ke kapsul itu
dan melihat cahaya biru keluar dari dalamnya. Ia bahkan mencungkil
sedikit dari bahan yang menyala itu dan terkesima akan keindahannya.
Ia sama sekali tak sadar bahwa sinar yang memukau itu disebut "Radiasi Cherenkov" dan hanya dihasilkan oleh pancaran radioaktif yang amat berbahaya.
Gambaran radiasi Cherenkov yang menyala dalam sebuah reaktor nuklir
Bahkan
bisa dibilang, tak banyak yang bisa melihat kemilau cahaya itu dan
tetap hidup.
Roberto
kemudian menjual kapsul kepada pemilik sebuah usaha rongsokan bernama
Devair Alves Ferreira. Terhipnotis oleh cahaya biru yang dikeluarkan
kapsul itu, Devair mengira benda itu berbau supranatural dan
mengundang keluarga dan teman-temannya untuk menyaksikannya.
Devair
kemudian berhasil mengeluarkan butiran cesium klorida dari dalam
tabung itu dan membagikannya ke keluarga dan teman-temannya,
menyebarluaskan petaka itu. Pada hari itu pula, istri Devair yang
bernama Gabriela mulai merasa sakit. Ivo, saudara dari Devair yang
juga terpukau pada zat bercahaya biru itupun memintanya sedikit dan
membawanya pulang. Di sana, putrinya yang baru berusia 6 tahun
bernama Leide bermain dengannya, bahkan memakannya sedikit.
Gabriela
adalah orang pertama yang menyadari dampak dari zat bercahaya biru
itu ketika ia menyadari bahwa ia dan orang-orang di sekitar itu
menjadi sakit semenjak benda itu muncul di rumah itu. Rambutnya mulai
rontok tanpa sebab dan dengan ketakutan, iapun membawa kapsul itu ke
rumah sakit pada 28 September (15 hari semenjak Roberto dan Wagner
memungutnya). Disana, segalanya akhirnya terkuak. Pemerintah kota dan
seluruh pihak berwenang langsung menyadari bahwa bencana mengerikan
tengah mencekam kota kecil mereka.
Namun
semua itu telah terlambat. Semua orang yang menyaksikan cahaya biru
itu sudah telanjur sakit dan sekarat. Satu demi satu mereka akhirnya
menemui ajalnya. Dimulai dengan Admilson Alves de Souza, seorang
pekerja di usaha rongsokan milik Devair yang menderita kerusakan
paru-paru, pendarahan dalam, dan gagal jantung. Ia meninggal 18
Oktober tahun itu.
Kematiannya
disusul dengan tragis oleh dua anggota keluarga Ferreira, yakni si
mungil Leide dan Gabriela, istri Devair. Mereka menerima dosis
sekitar 6 gray (dimana radiasi sebesar 2 gray saja sudah cukup untuk
mencelakakan nyawa manusia). Leide mengalami kerusakan di hampir
semua organ tubuhnya. Ia dirawat di sebuah ruang isolasi, dimana para
dokter dan perawat di kota kecil itu tak ada yang berani
mendekatinya.
Pemandangan seperti ini menjadi umum pasca terbongkarnya inside Goiânia
Setelah
akhirnya menghembuskan napas terakhirnya pada 23 Oktober, Leide
dikubur di dalam sebuah peti khsuus dari bahan fiberglass dan dibalut
dengan timah tebal untuk mencegah radiasi tubuhnya menular keluar.
Bahkan proses pemakamannya sempat ditentang warga setempat karena
mereka takut jenazahnya akan mencemari lingkungan mereka.
Korban
berikutnya adalah Gabriela yang meninggal di hari yang sama dengan
Leide. Gejala awal yang ringan seperti rambut rontok akibat radiasi
akhirnya diikuti dengan gejala yang lebih serius, seperti pendarahan
dalam, gagal ginjal, hingga dampak mental seperti kepikunan, walaupun
ia baru berusia 37 tahun, membuktikan bahwa radiasi itu sudah
menyerang otak. Darah keluar dari matanya dan saluran pencernaannya
benar-benar hancur. Setelah sebulan menderita, akhirnya ia menderita
karena keracunan darah setelah mengalami infeksi di sekujur tubuhnya.
Korban
lainnya adalah Israel Baptista dos Santos, pemuda berusia 24 yang
juga pekerja di tempat penjual rongsokan. Saluran pernapasan dan
limpanya rusak parah hingga ia akhirnya meninggal pada 27 Oktober.
Korban
terakhir adalah Devair dan saudaranya, Ivo yang menerima dosis
tertinggi, yakni 7 gray. Keduanya sebenarnya sempat selamat beberapa
tahun, namun Devair akhirnya meninggal pada 1994, diikuti Ivo pada
2003. Depresi juga berkontribusi pada kematian keduanya, sesuatu yang
tak diherankan sebab keduanya pasti merasa bersalah atas kematian
keluarga mereka.
Berita
tentang insiden radioaktif itu langsung menghebohkan seantero negara.
Sekitar 130 ribu penduduk kota kecil itu langsung menyerbu rumah
sakit dan ternyata benar, alat geiger counter yang digunakan untuk
mengukur radiasi menyala tanpa henti. Sekitar 250 orang ditemukan
terekspos radiasi dengan kadar yang cukup mengkhawatirkan. Beruntung,
semuanya mendapat perawatan yang intensif sehingga meminimalisir
dampak buruk radiasi tersebut pada tubuh mereka.
Pembongkaran rumah yang terpapar radiasi nuklir
Lalu
siapa yang akhirnya bertanggung jawab atas tragedi ini? Roberto dan
Wagner yang pertama kali mencuri tabung radioaktif itu dianggap tidak
berdosa, sebab mereka tak tahu apa yang mereka lakukan. Tanggung
jawab jatuh pada pihak rumah sakit yang sengaja membiarkan bahan
berbahaya itu terbengkalai sehingga pengadilan mewajibkan mereka
membayar uang ganti rugi pada para korban.
Lalu
bagaimana dengan sumber radiasinya sendiri? Kapsul radioaktif itu
diamankan oleh pihak militer dan proses pembersihan pun mulai
dilakukan. Untuk menggambarkan betapa beratnya proses pembersihan
radiasi itu, seluruh lapisan tanah atas di wilayah yang
terkontaminasi mesti digali dan dipindahkan. Beberapa rumah terpaksa
dirubuhkan dan yang masih diperbolehkan berdiri, seluruh cat
dindingnya harus dikelupas, lantainya disiram dengan asam, dan
atapnya harus dilepas. Bahkan agar para korban-pun tidak “menularkan”
radiasi ke lingkungan, air seni merekapun harus diproses dulu dengan
resin penukar ion agar bisa dibuang dengan aman. Celakanya, waktu
paruh cesium sendiri adalah 35 tahun, artinya butuh 35 tahun hingga
angka radiasi cesium turun menjadi separuhnya.
Radiasi
yang menimpa fasilitas pemerintah (pembuat bom atom mungkin) atau
pembangkit listrik tenaga nuklir menurut gue pantas mendapatkan
ganjarannya karena bermain-main dengan energi semesta yang teramat
berbahaya. Namun nasib setragis itu tak selayaknya dialami oleh warga
sipil yang tak tahu apa-apa, apalagi mereka yang telah menderita
karena kondisi ekonominya.
SUMBER:
Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Goi%C3%A2nia_accident
Dari postingan ini saya menyadari betapa berbahayanya radiasi radioakif yang selama ini saya abaikan 😱
ReplyDeletetapi kita juga ga bisa menutup diri dari nuklir karena itu salah satu energi yang lebih ramah dibanding batu bara
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletesalah pihak rumah sakit sama pemerintah si
ReplyDeleteGw suka baca yg ginian nambah ilmu gweh
ReplyDeleteAnjim ngeri amat
ReplyDelete