Gara-gara gue tertarik banget
sama kasus Fyre, gue akhirnya memutuskan nonton film dokumenter
tentang festival ini. Nggak tanggung-tanggung, film ini diproduseri
oleh layanan streaming raksasa, Netflix. Dokumenter berjudul “Fyre:
The Greatest Party That Never Happened” ini menceritakan dari awal
mula terbentuknya Fyre, yang sebenarnya adalah perusahaan start-up
aplikasi, hingga ide CEO-nya, yakni Billy McFarland dan Ja Rule untuk
membuat pesta sejagad yang akhirnya gagal total tersebut. Bisa
dibilang, ini adalah salah satu film dokumenter paling menghibur yang
pernah gue lihat.
Kapan sih terakhir kali
kalian nonton film dokumenter? Jangan-jangan malah belum pernah?Gue
nggak akan nyalahin kalian guys, soalnya kalo mendengar kata “film
dokumenter” pasti yang terbayang rasa bosan ya? Biasanya
kisah-kisah nyata yang diangkat di film dokumenter emang nggak seapik
dan semenarik fiksi. Gue sendiri sebenarnya juga bukan penikmat film
dokumenter. Namun film ini membuat gue berubah pikiran. Ternyata film
dokumenter bisa dibuat menghibur, apalagi jika kita sudah tertarik
duluan dengan isinya.
Dalam sejarah blog ini selama
8 tahun, baru kali ini lho gue mereview film dokumenter. Makanya
dijamin film kali ini bakalan unik banget.
Jika kalian udah baca artikel
dua seri gue tentang Fyre Festival” pastinya kalian udah nggak
asing lagi dengan kasus ini. Fyre Festival adalah pagelaran musik
akbar yang dipromosikan oleh para selebgram dan influencer serta
menjanjikan pengalaman tak terlupakan di pulau eksotik di Bahama.
Namun kenyataannya, pesta yang digawangin Billy McFarland dan rapper
Ja Rule ini berujung nista ketika segala kemewahan yang mereka
janjika justru jadi “zonk” bagi mereka yang sudah telanjur
membeli tiketnya. Namun bedanya, jika Fyre Festival kerap diberitakan
sebagai sebuah candaan yang menyindir kaum milenial, maka film
dokumenter ini akan lebih jauh mengupas sisi para manusia yang berada
di balik produksi festival “tergagal” sepanjang masa ini.
Perlu diingat bahwa
dokumenter “Fyre” ala Netflix diproduksi oleh Jerry Media, yakni
perusahaan yang menangani promosi Fyre Festival di medsos dan MATTE
Projects yang menangani video promosi Fyre Festival. Karena adanya
orang-orang “dalam” ini, maka film inipun mengulik lebih dalam
tentang proses “behind the scene” yang membawa kegagalan bagi
produksi festival musik yang seharusnya menjadi yang terakbar
sepanjang masa ini.
Film ini menampilkan proses
“behind the scene” dari video promosi Fyre Festival yang
kontroversial. Terungkap bahwa Billy sama sekali tak memiliki ide dan
visi tentang bagaimana video ini akan diproduksi. Ia hanya menyuruh
para kru untuk menyorot para model instagram tengah bersenang-senang
di video itu. Dan di sinilah masalah pertama muncul. Billy mulai
menampakkan egonya dengan memecat anak buahnya yang berbeda visi,
bahkan berani mengatakan bahwa Fyre Festival sejatinya ditakdirkan
untuk gagal.
Disinilah terlihat “toxic
positivity” yang berusaha didogmakan Billy kepada anak-anak
buahnya. Ia menganggap semua masalah pasti akan selesai dan mengajak
semua yang bekerja dalam Fyre Festival untuk melihat sisi positif
dari semua masalah yang mereka hadapi. Celakanya, sikap Billy itu
hanya mengabaikan masalah yang benar-benar ada tanpa mau melihat
sisi-sisi negatif yang sebenarnya sudah sejak awal bermunculan.
Gue belajar banyak dari film
dokumenter ini. Pertama, gue kagum dengan kaum “millenial” yang
bekerja untuk Billy. Mereka teramat muda, namun pekerja keras. Ada
seorang pemuda yang baru berusia 20 tahun, namun ia disuruh untuk
mem-booking para artis yang akan tampil di Fyre Festival itu. Di
umurnya yang masih semuda itu, ia belum pernah berbicara dengan artis
secara langsung, apalagi melakukan hal semacam itu. Namun ia akhirnya
bisa melakukannya (walaupun katanya ia harus membatalkan beberapa
aksi karena biaya yang mereka minta amat tinggi). Semangat mau
belajar dan nggak mudah menyerah kayak beginilah yang seharusnya
dimiliki kaum muda saat ini.
Sayang, mereka bekerja dengan
orang yang salah. Seandainya Billy mau mendengar feedback dari
anak-anak muda luar biasa yang bekerja dengannya, mungkin saja Fyre
Festival bisa berhasil, atau minimal tak segagal seperti yang
diberitakan.
Salah satu sifat lain yang
gue tangkap adalah betapa manipulatif dirinya terhadap orang-orang di
sekitarnya. Kasus yang jelas adalah yang menimpa Andy King (kalian
akan tahu begitu nonton film dokumenternya). Padahal, dari luar Billy
terlihat seperti sosok pemimpin yang sewajarnya. Ia murah senyum,
berbicara amat ramah (walaupun dikejar-kejar wartawan pasca-Fyre
Festival, ia tetap menyapa mereka dan mengatakan terima kasih, walau
kehadiran mereka bak paparazzi yang menganggu), serta selalu bersikap
positif dalam menghadapi berbagai problem (sayangnya, seperti kata
gue tadi, a toxic kind of positivity).
Ada satu hal yang menurut gue
kurang beres tentang cowok satu ini, yakni caranya berbicara.
Sepanjang film ini kalian akan menyadari bahwa Billy selalu berbicara
dengan nada yang sama, apakah di depan teman-temannya, di depan
wartawan yang menekannya. Kita bahkan nggak tahu “mood” Billy
kala itu karena nada berbicaranya yang selalu sama. Singkat kata,
Billy tak pernah menunjukkan perasaan aslinya sama sekali dan
menggantinya dengan keramahan, apapun situasi yang dihadapinya.
Ini tentu sekilas membuat
Billy terlihat sebagai teman yang baik dan bisa dipercaya, namun gue
bertanya-tanya. Apakah sikap ini justru sifat seorang psikopat yang
tak mau menunjukkan perasaannya?
Sifat manipulatif Billy mulai
terkuak setelah kasus penipuannya (yang tak hanya lagi tentang Fyre)
mulai terkuak satu demi satu. Jati dirinya yang asli mulai
terbongkar. Selama ini ia hanya memanfaatkan teman-temannya. Satu
cerita yang miris banget bahkan membekas di benak gue adalah
pengakuan salah satu karyawannya, dimana ia amat menghormati Billy
dan menganggapnya sebagai saudara, bahkan mengajaknya makan malam
bersama keluarganya. Namun ternyata Billy menggunakan kartu kreditnya
dan membuatnya berhutang puluhan ribu dollar (setara ratusan juta
rupiah) demi kepentingan pribadinya.
He's the best part of this documentary
Dokumenter ini bisa membuat
kita tertawa terbahak-bahak (terutama pas pengakuan Andy King yang
selalu kebagian nasib ngenes) hingga hampir menangis karena sedih
(terutama pas wawancara sang wanita pemilik katering), bahkan tegang
bak film thriller (gue suka banget adegan transisi saat kegagalan
Fyre Festival yang awalnya membuat kita geli tiba-tiba berubah
menjadi serius ketika FBI mulai terlibat). Dan yang jelas, seperti
ada “mini-sekuel” di dalamnya dimana gue mengira film ini bakalan
berakhir, tapi ternyata masih Billy masih “berulah” (sampai gue
mikir, “Oh boy, here we go again”).
Singkat kata, gue sangat
merekomendasikan film dokumenter ini. Jalan ceritanya amat menghibur
dan kita bisa belajar banyak dari film ini. Gue kasih 5 CD berdarah
untuk film ini dan berbeda dengan film-film bagus lain yang pernah
gue tonton, gue benar-benar berharap film ini nggak akan ada
sekuelnya. And I also hope you won't meet a guy like Billy in the
future.
Film dokumenter ga selamanya ngebosenin lho... justru film-film dokumenter alam, terutama dari National Geographic kadang lebih seru dan menegangkan dari film action dan lebih gore dari film horor.
ReplyDeleteTapi, tragis banget ya nasib para pegawainya si Billy. Padahal masih muda dan pinter. Tapi kalo calon boss tau mereka salah satu kru Fyre Festival, pasti deh kemungkinan diterima merosot banget, bahkan mungkin kaga dipercaya soalnya dikirain scammer juga
Jangan khawatir, liat deh artikel2 ini
Deletehttps://www.eonline.com/photos/26846/the-faces-of-the-fyre-festival-documentaries-what-are-they-up-to-now
mereka baik2 aja kok, soalnya mrk emang anak2 muda yg kualitasnya bagus, jadi tetep eksis
Kemarin nonton filmnya, karena sebelumnya udah baca blogpost di sini jadi udah tau garis besarnya gimana, tapi kaget banget pas bagian Andy :((
ReplyDeleteDia udah bertahun-tahun ikut si Billy, nge-handle puluhan acaranya, tapi malah (menurutku) dilecehkan terang2an. Tau sih sogokan macam itu udah biasa, tapi tetep aja greget. Andy-nya mau lagi :"(((. Atau mungkin justru karena udah ikut Billy lama jadi dia ngerasa punya tanggung jawab untuk ngiyain ya?
Paling kasian sama pegawainya, ga kebayang pusingnya kayak apa harus menuhin permintaan bos yg mustahil plus mereka juga yg pertama dicaci maki peserta/partner sebelum ke Billy kan :((
Terakhir gw nonton dokumenter itu beberapa bulan yang lalu, nonton flat earther coba buktiin bumi itu datar pake peralatan mahal yg dia beli sendiri tapi jadinya malah ngebuktiin sebaliknya
ReplyDelete