“Terima kasih, Oom.”
Bagus dengan lega masuk ke dalam “Panic Room” yang berada dalam
kamar Foo. Foo adalah pemilik apartemen yang mereka tinggali. Ia
sendiri jarang terlihat, karena tiap bulan para penghuni apartemen
itu membayar via transfer bank.
“Apa kalian baik-baik
saja?” tanya Foo, “Siapa pria itu? Selama bertahun-tahun, para
penghuni apartemen ini hidup dengan damai dan selama The Purge, tak
ada yang menyerang kami.”
“Maaf …” Cicil
merasa bersalah, “Ini salah saya. Dia adalah Adit, mantan saya yang
masih sakit hati dengan saya.”
“Sejak dulu sudah sering
kukatakan pada para penghuni di sini, satu-satunya cara agar kita
aman selama The Purge adalah berperilaku ramah dan selalu berbuat
baik dengan orang lain. Dengan begitu, takkan ada yang dendam dengan
kita, bahkan merekapun justru melindungi kita sebagai balas budi.”
Bagus mengangguk. Semenjak
dulu ia memang mengagumi Foo karena kebijaksanaannya. Walaupun dia
sudah tua, namun ia sama sekali belum pikun, bahkan bisa menjadi
sosok teladan di masyarakat mereka. Sosok seperti dia-lah yang patut
dipuja di negeri ini, bukan sekelompok pembunuh yang beraksi di malam
Puge. Justru malah mereka yang dianggap keren dan dijadikan panutan
anak muda sekarang.
“Kalian akan aman di
sini.” kata Foo sambil duduk di sofanya. “Tunggulah hingga fajar
menyingsing dan Purge berakhir.”
“Apa Anda sudah lama
tinggal di sini?” Cicil melihat-lihat. Ada banyak barang mewah di
sana. “Kenapa Anda bersembunyi di sini? Anda jarang sekali
kelihatan.”
“Aku sudah tua, Nona.”
Balas Foo sambil meminum kopinya, “Aku hanya ingin beristirahat
dengan tenang.”
“Oh ya,” Bagus
langsung teringat. Semua ancaman yang datang dari pria berpakaian
Hapy Tree Friends itu membuatnya lupa akan masalah yang dihadapi
Syefira. “Fira, bagaimana dengan orang tuamu? Apa mereka sudah
memberi kabar.”
Gadis itu menggeleng
dengan sedih.
“Apa? Dimana orang
tuamu?” tanya Foo penuh simpati.
“A … aku tidak tahu.
Mereka tak pulang malam ini.”
“Astaga … apa mereka
menjadi korban The Purge?” tanya Cicil.
Raut wajah Foo berubah
menjadi sedih, “Ma … maafkan aku …”
“Jangan salahkan diri
Anda, Oom Foo,” kata Bagus, “Anda memang pemilik rumah apartemen
ini, namun Anda tak bisa melindungi semuanya …”
“Bukan itu. Semua ini
salahku …” Foo mulai menangis, “Semua penderitaan ini … aku
sungguh menyesal …”
Foo meraih liontin
kalungnya dan mulai menggenggamnya dengan erat.
Sementara itu, Cicil
menoleh dan menatap ke arah layar kamera keamanan.
***
“Kanti?” ujar Ratu
Ilmu Hitam, “Ya, aku ingat gadis itu … aku ingat saat aku
mencongkel matanya menggunakan pencabut paku pada martil … aku juga
ingat teriakannya …”
“Keparat kau!” Tara
segera menembakkan senjatanya ke arah sosok mirip hantu itu. Namun
percuma. Peluru-peluru itu hanya menembus kegelapan malam di
belakangnya.
“Percuma, Tara.” Egi
berusaha menghentikannya, “Dia hanya hologram!”
“Aku juga masih ingat
kata-kata terakhirnya. Apa kau ingin tahu, Tara?” godanya,
“Kata-kata terakhirnya adalah: KAKAAAAAK! KAKAK, TOLONG AKU …
RASANYA SAKIT SEKALI. TOLONG KAKAK, TOLONG …. AAAAA!!!”
“HAHAHAHA!” tawa Ratu
Ilmu Hitam bergaung, “Teriakannya sungguh merdu, seperti simponi
melodi yang enak didengar. Sampai akhir hayatnya-pun dia terus
memanggil namamu Tara, namun kau tak pernah datang. Kau tak pernah
menolongnya, padahal ia terus percaya kau akan menyelamatkannya.
HAHAHAHAHA!!!”
“Hentikan! HENTIKAN!!!”
air mata Tara bercucuran. Iapun jatuh berlutut, mencoba menutup
telinganya agar ia tak lagi mendengar ejekan yang kejam itu.
“Tara, ayo kita pergi
saja.” Egi berusaha membantunya berdiri, “Ini percuma. Kita
takkan bisa membunuhnya. Dia berada di tempat lain!”
“Kau memang takkan bisa
membunuhku, Tara.” ujar Ratu Ilmu Hitam, “Namun apa kau ingin
tahu dimana mata itu berada?”
Tara mendongak.
“Ya, aku bisa
memberitahumu dimana mata itu dan kau bisa mengambilnya kembali!”
ia lalu menoleh ke arah gadis berpakaian sexy ala tokoh Resident Evil
itu, “RATNA!”
“Ya, Baginda!” gadis
itu berlutut menyembahnya.
“Antar mereka ke sana!”
ujarnya sambil menyeringai. Bayangannya pun perlahan menghilang, bak
sosok hantu sungguhan.
Ratna hanya tersenyum.
***
Sandi dan Lia akhirnya
tiba di sekolah mereka. Pintu depan tak dikunci. Lampu di dalam
sekolah pun menyala. Jelas sekali para guru-guru tidak malam pulang
malam ini. Namun mengapa?
Kedua remaja tersebut tak
ambil pusing tentang hal itu. Justru mereka beruntung guru mereka
masih berada di sekolah, sehingga mereka bisa meminta perlindungan
pada mereka.
“Ayo kita masuk,” ujar
Sandi. Namun langkahnya terhenti ketika ia menyadari Aulia masih
berdiri saja di halaman tempat mereka biasanya melakukan upacara
bendera. Sepertinya ia masih enggan.
“Ada apa, Lia? Kenapa lu
nggak masuk?”
“Ba … bagaimana kita
akan menjelaskan tentang kematian yang lainnya? Anak-anak di dalam
bus … lalu Chuu dan Mulia yang memutuskan untuk ikut The Purge …
serta teman-teman kita yang ikut menjadi korban …”
“Gue mengerti, itu
sangat berat. Namun guru-guru kita pasti membantu kita.”
“Justru itu, San … apa
kau merasa ini tidak sedikit aneh?”
“Aneh? Aneh bagaimana?”
“Ini malam The Purge
kan? Kenapa … kenapa di sini justru ramai?”
“Kau kenapa curiga
begitu? Mereka kan sensei kita … guru kita. Pak Yuga memang galak,
tapi ia amat peduli pada siswa-siswanya.”
Masih dengan enggan,
akhirnya Aulia ikut masuk ke dalam gedung sekolah itu.
***
Iklan di layar kacapun
berganti dengan tayangan baru. Kamera men-shot penampilan Zalika yang
menyanyikan lagu terbarunya dengan latar belakang mayat para penonton
alay yang kini hanya tertinggal potongan-potongan tubuhnya saja. Kali
ini ia bergoyang dengan kostum baru, yakni dengan atasan tank top dan
rok rumbai ala penari hawaii. Lagu yang dibawakannya itu juga menjadi
soundtrack The Purge tahun ini.
“Stamina mina …. ee …
waka waka ee … stamina mina stamina mina …”
“Kembali lagi acara
kami!” Darmas dan Yuli kali ini duduk bak presenter acara
bincang-bincang di studio mereka untuk meneruskan acara yang tadi
sempat terinterupsi oleh aksi Tara dan Egi.
“Nah, karena set
'Dahsyatnya Komunis' kami sudah porak poranda, maka kami putuskan
menggantinya dengan acara dialog berjudul 'Mata Dajjal'. Nah, rekan
Yuli.” Darmas menoleh ke arahnya, “Bagaimana liputan Anda tentang
pelaksanaan The Purge di negara-negara lain? Apa sama suksesnya
dengan di tanah air?”
“Tentu saja, rekan
Darmas. Bahkan pelaksanaan The Purge di luar negeri amat unik sesuai
dengan karakteristik masing-masing negara. Di Jepang, aksi ini
dikenal dengan nama 'Purago Mantappu' dan Rekan Darmas pasti sudah
tahu seperti apa karakter orang-orang Jepang. Begitu usai, para
peserta The Purge di Jepang langsung bergotong-royong untuk
membersihkan kekacauan yang mereka buat.”
Siaran TV langsung
menunjukkan slide warga Jepang membersihkan bekas kerusuhan dan
penjarahan serta menyingkirkan mayat-mayat di jalan sambil berselfie.
“Aku dengar pelaksanaan
The Purge di negara-negara Eropa juga unik karena digabung menjadi
satu, yakni 'Europurge'. Gosipnya karena di sana tingkat kriminalitas
amat rendah sehingga aksi-aksi kejahatan yang dilakukan di sana amat
sepele dan kurang seru, seperti kentut sembarangan dan hack akun
mantan. Beda banget ya sama di sini?”
“Hmmm … jadi penasaran
apakah The Purge di India juga disertai joget-joget?”
“Oke sekarang mari kita
lanjutkan acara kita dengan penerawangan mata batin dari bintang tamu
kita, ahli supranatural sekaligus anak indigo ...”
“Sudah Kakak bilang
jangan dengarkan acara tidak bermutu ini!” tiba-tiba Bagus meraih
remote dan mematikan televisi, “Bolehkah aku bertanya sesuatu,
Fira?”
Gadis cilik itu menoleh
mengikuti arah suara Bagus.
“Kenapa matamu bisa
seperti itu, maksudku … kenapa kau bisa buta?”
Fira menunduk dengan
sedih, “Aku mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu. Tabrak lari.
Pelakunya tak pernah tertangkap. Semenjak itu, ayah dan ibu bekerja
keras demi pengobatanku.”
“Namun itu semua tak
berhasil ya?” Bagus ikut sedih. Ia tahu, kehidupan sempurna yang
didengang-dengungkan Republik Sosialis Indonesia berkat The Purge
sebenarnya hanyalah ilusi semata. Tetap saja ada kaum proletar alias
kaum miskin yang tak mampu membayar tingginya biaya kesehatan.
Terutama jika mereka memerlukan transplantasi organ tubuh. Harganya
amat tinggi, bisa mencapai ratusan juta.
Tak hanya itu, kaum miskin
juga seringkali menjadi sasaran The Purge karena mereka tak mampu
membeli persenjataan atau alat keamanan yang bisa melindungi mereka.
Bahkan, ia curiga sebenarnya The Purge hanya bertujuan untuk
mengendalikan populasi dan melenyapkan kaum miskin yang menjadi beban
pemerintah.
“Semua ini salah
Founding Fathers.” Foo menenggak minumannya, “Ini semua salah
mereka.”
“Founding Father? Apa
Oom mengenal mereka?”
“Mereka adalah
orang-orang idealis yang hanya mempedulikan diri mereka sendiri.
Semua cita-cita mereka … semula tujuan mereka sebenarnya mulia.
Namun cara untuk mencapainya … itu semua adalah kesalahan.”
“Jadi, Oom Foo tak
setuju dengan para Founding Fathers kita?”
“Bagaimana dengan kau
sendiri, Bagus?” Foo balik bertanya, “Apa pendapatmu dengan The
Purge? Apa kau juga mendukungnya?”
Bagus menghela napas,
“Jika Oom menanyakan hal itu beberapa tahun lalu, mungkin aku
menjawab iya. Namun sekarang aku sudah berubah.”
“Gawat!” tiba-tiba
Fira mendongak. Wajahnya terlihat begitu pucat. “Aku mendengar
sesuatu!”
“Mendengar sesuatu? Kau
mendengar apa?” Bagus berusaha memicingkan telinganya, namun yang
terdengar hanya desah kesunyian malam yang menyelimuti kamar itu.
“Ada suara pintu besi
dibuka … dan diikuti jejak langkah …”
Bagus segera waspada. Fira
boleh buta, namun kekurangannya itu justru menajamkan indranya yang
lain.
Namun saat Bagus hendak
bangkit, tiba-tiba seorang pria menghajarnya dengan bagian bawah
pistol.
“BRAAAAK!!!” Bagus
merasakan rahangnya hampir patah karena hajaran itu.
“Kak!” Fira segera
berusaha membantu Bagus yang tersungkur ke lantai. Ia mengusap darah
dari mulutnya dan menatap tajam ke pria yang baru saja menyerangnya.
“Ba … Bagaimana kau
bisa masuk?” seru Foo.
“Hahahahaha …” Adit
dengan kostum Happy Tree Friends-nya menodongkan senjatanya ke arah
mereka bertiga, “Kini riwayat kalian akan berakhir!”
“A … Adit …” seru
Cicil.
“Cil, cepat lari! Pergi
dari sini!” seru Bagus.
Namun tanpa diduga, Cicil
justru melangkah ke arahnya dan memeluknya.
“Hai, Sayang!” senyum
gadis itu. “Akhirnya kau tiba juga.”
“A … apa yang terjadi
sebenarnya?” Bagus terlihat tak paham.
“Kau …” tunjuk Foo
dengan geram ke arah Cicil, “Kau yang membiarkannya masuk.”
“Semua ini akal-akalan
kalian saja.” bisik Fira dengan geram, “Siapa sebenarnya kalian?”
Cicil hanya tersenyum
licik.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment