Jika
kita ditanya, apa insiden nuklir mematikan yang pernah terjadi di
Jepang, mungkin pikiran kita akan melayang ke Tragedi Fukushima yang
pernah terjadi tahun 2011 lalu. Namun tragedi yang lebih mematikan
ternyata pernah terjadi pada 30 September 1999 di Tokai, Prefektur
Ibaraki, Jepang. Jika Insiden Fukushima terjadi karena dipicu gempa
yang tentunya di luar jangkauan manusia, Insiden Tokaimura disebabkan
oleh kelalaian manusia, dan yang lebih buruk lagi, keserakahan. Tak
hanya itu, insiden kecelakaan nuklir di Tokaimura terjadi hingga dua
kali!
JCO
(Japan Nuclear Fuel Conversion Corporation) merupakan perusahaan
pengolah bijih uranium asal negara matahari terbit. Di sana, uranium
mentah hasil penambangan diolah atau dimurnikan menjadi uranium murni
yang siap ditransportasikan ke berbagai fasilitas PLTN yang tersebar
di Jepang. Walaupun negara tersebut pernah dibayang-bayangi mimpi
buruk akibat ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, namun Jepang
nyatanya cukup percaya diri dalam menggunakan nuklir sebagai sumber
energi alternatif.
Akan
tetapi JCO sebagai sebuah perusahaan korporat ternyata bermain-main
dengan nyawa manusia. Walaupun sudah ada legislasi ketat untuk
mengatur pengolahan bijih uranium untuk meredam dampak
radioaktivitasannya bagi manusia, ternyata JCO memilih untuk
“mempersingkat” proses itu demi keuntungan finansial.
Hasilnya,
bisa ditebak, berujung pada bencana.
Ilustrasi
PLTN
Seperti
sudah gue singgung sebelumnya, ada dua kecelakaan yang terjadi di
pabrik pengolahan nuklir milik JCO tersebut. Insiden pertama terjadi
pada 11 Maret 1997 di pabrik mereka yang terletak di Dōnen. Kala itu
terjadi sebuah ledakan kecil yang cukup untuk memecahkan 30 jendela
di pabrik itu. Kita sedang membahas ledakan nuklir di sini, jadi
ledakan yang “kuat” sudah pasti akan membumihanguskan seluruh
kota. Akibat pecahnya kaca jendela tersebut, radiasi nuklir pun lepas
ke udara. Sekitar 37 pekerja mengalami luka-luka dan udara di radius
sekitar 40 kilometer dari pabrik tersebut diketahui terkontaminasi
radioaktif.
Apakah
insiden tersebut membuat JCO belajar dari pengalaman mereka? Ternyata
tidak. Alih-alih beralih ke bisnis donat yang lebih aman dan mungkin
lebih menguntungkan, mereka justru hanya menempelkan kembali
kaca-kaca yang pecah itu dengan selotip (serius!) and then call it a
day.
Akibat
tidak berkaca dari insiden tersebut, kecelakaan kedua, kali ini lebih
parah, terjadi dua tahun kemudian. Pada 30 September 1999, kecelakaan
di pabrik lain, kali ini terletak di desa bernama Tokai, pun tak
terhindarkan.
Pada
1988, JCO mendapat komisi untuk memproduksi uranium sebagai bahan
bakar PLTN sebanyak 3 ton per tahun. Dengan target sebesar itu, tentu
sebagai perusahaan yang juga mengejar laba, mereka harus bekerja
seefisien mungkin. Bahan mentah yang mereka gunakan adalah senyawa
uranium oksida, dimana sesuai dengan regulasi yang gue baca di
World-Nuclear.org, serbuk senyawa tersebut dilarutkan ke dalam
senyawa asam nitrat untuk menghasilkan senyawa uranil nitrat. Proses
pelarutan tersebut harusnya dilakukan di dalam sebuah tangki bernama
“dissolution tank” yang tentunya pasti memiliki spesifikasi
khusus demi keamanan.
Langkah
berikutnya adalah menyimpan uranil nitrat tersebut di tangki berdua
bernama “buffer tank” untuk sementara. Langkah ini penting karena
reaksi antara uranium oksida dan asam nitrat adalah reaksi
eksotermik, artinya menghasilkan panas. Sebelum berlanjut ke tahap
pengolahan yang lain, senyawa uranil nitrat yang dihasilkan haruslah
didinginkan dulu di tangki tersebut. Barulah, tahap terakhir yakni
memindahkan larutan tersebut ke tangki ketiga bernama “precipitation
tank”, bisa dilakukan.
Akan
tetapi, tanpa persetujuan badan nuklir dunia, JCO mempersingkat
prosedur itu tanpa memperhatikan sisi keamanan sama sekali. Alih-alih
menggunakan “dissolution tank”, pihak JCO menyuruh karyawannya
untuk melarutkan uranium oksida secara langsung di sebuah ember
stainless steel biasa. Tak hanya itu, bukannya disimpan dulu di
“buffer tank” agar dingin, larutan uranil nitrat yang masih panas
itu langsung disiramkan ke dalam “precipitation tank”. Prosedur itu yang dilakukan saat Insiden Tokaimura terjadi.
Lokasi insiden tersebut di peta Jepang
Tragedi
akhirnya terjadi saat tiga pekerja, Hisashi Ouchi, Masato Shinohara,
and Yutaka Yokokawa mempersiapkan uranium dengan cara tersebut.
Ketika ketiga pekerja itu menuangkan ember uranil nitrat ketujuh ke
dalam “precipitation tank”, mereka melihat cahaya biru keluar
dari tangki tersebut.
Jika
kalian sudah membaca “Radioactive Series” gue tentang Bencana
Goiania di Brazil, kalian pastilah sudah tahu cahaya biru itu disebut
“Radiasi Cherenkov” yang amatlah berbahaya. Jumlah manusia yang
melihat cahaya tersebut dan masih hidup bisa dihitung dengan jari.
Tanpa
mereka sadari, uranium dalam tangki tersebut telah mencapai massa
kritis dan mengeluarkan radiasi berbahaya. Di dalam “precipitation
tank” sebenarnya sudah terdapat air yang bertugas menekan reaksi
nuklir dalam tangki tersebut. Uranium menghasilkan radiasi neutron
sebagai hasil reaksi berantainya. Molekul air akan menghambat neutron
sehingga partikel tersebut akan bergerak lebih pelan, sehingga
reaksinya pun bisa diperlambat. Akan tetapi saat itu, sudah terlalu
banyak kandungan uranium dalam tangki itu.
Tangki
itu hanya bisa menahan 2,4 kg uranium, sedangkan ember ketujuh itu
menambahkan total uranium dalam tangki itu hingga berjumlah 16 kg.
Segera,
setelah menyaksikan cahaya biru mematikan itu, ketiganya langsung
merasakan gejala sakitm yakni mual dan sulit bernapas. Walaupun sudah
dibawa ke ruang dekontaminasi, namun semua telah terlambat. Ketiganya
mulai muntah dan akhirnya kehilangan kesadaran.
Tubuh
mereka kini telah terpapar radiasi yang amat berbahaya dengan
konsekuensi yang amat mengerikan.
Lima
jam setelah insiden itu, seluruh pekerja dievakuasi. Celakanya,
pabrik itu berdiri di dekat sebuah pedesaan sehingga ratusan penduduk
desa tersebut kemudian diungsikan. Yang tidak sempat mengungsi atau
berada dalam radius yang dianggap aman diperingatkan untuk tidak
keluar rumah.
Bagaimana
dengan para korban yang terpapar radiasi langsung? Hisashi Ouchi
terekspos radiasi sebesar 17 sieverts (Sv), Masato Shinohara menerima
10 Sv, dan Yutaka Yokokawa mendapat 3 Sv. Sebagai perbandingan, batas
maksimal radiasi yang diperbolehkan terkena manusia adalah 0,05 Sv
saja! Dosis 8 Sv sudah dipastikan akan berdampak fatal dan berujung
pada kematian.
Dua
pekerja yang menerima dosis tertinggi kala itu, Hisashi dan Masato
meninggal beberapa bulan kemudian. Seperti apa dampak radioaktif
tersebut pada tubuh mereka, mungkin kalian bertanya. Well, seluruh
tubuh Hisashi terbakar, hampir semua organ dalamnya rusak, dan jumlah
sel darah putih dalam tubuhnya nyaris nol. Dampak langsung radioaktif
biasanya menimpa organ yang sel-selnya mudah membelah, dalam hal itu
adalah sel kulit dan sel darah putih. Sel kulit membelah setiap saat
untuk menggantikan lapisan kulit atas, sedangkan sel darah putih
penting untuk pertahanan tubuh, sehingga setiap kali tubuh mengalami
infeksi, sel darah putih dengan cepat membelah menjadi berlipat
ganda.
gambar
sel darah putih
Radoaktif
bekerja bagai peluru (pasti kalian sudah nggak asing dengan istilah
ini kalo udah nonton miniseries “Chernobyl”), dimana
“peluru-peluru” itu akan menghujam inti sel dan merusak
kromosomnya. Dengan kromosom yang rusak, sel takkan mampu membela.
Atau jikapun bisa, akan dihasilkan sel mutan yang tidak berfungsi
seperti sel normal. Karena itulah, biasanya korban radiasi nuklir
umumnya akan mengalami kanker darah (leukimia).
Dokter
berusaha menyelamatkan nyawa Hisashi dengan transplantasi stem cell,
yang kala itu merupakan teknologi baru. Pada awalnya, perawatan itu
terlihat berhasil. Namun para dokter kemudian menyadari bahwa
leukosit “baru” yang dihasilkan transplant itu juga berubah
menjadi mutan akibat radiasi yang tersisa di tubuh Hisashi. Lebih
parah lagi, sel darah putih “baru” itu malah menyerang sel-sel
lainnya sehingga iapun malah terinfeksi penyakit baru, yakni
autoimun.
Akibat
kondisinya yang luar biasa parah, jantung Hisashi berhenti beberapa
kali. Namun atas desakan keluarganya, para dokter kembali
“membangkitkannya” setiap kali hal itu terjadi. Masato sendiri
mengalami nasib yang tak kalah naas. Sudah hampir “tak berbentuk
lagi” karena kulitnya terbakar parah, ia menerima transplantasi
kulit hampir di sekujur tubuhnya. Namun lagi-lagi kerusakan tubuhnya
tak dapat ditanggulangi dan karena sistem imunnya terus menurun
hingga iapun mengalami infeksi parah.
Pada
21 December 1999, Hisashi akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Sementara Masato menyusulnya pada musim semi berikutnya, 27 April
2000.
Kisah
Hisashi Ouchi sudah melegenda menjadi Creepypasta. Di kisahnya
diceritakan, ia terus meminta agar ia dibunuh agar terhenti dari
penderitaannya. Namun para dokter menolak. Selain karena pada masa
itu euthanasia masih dianggap tabu, para dokter juga yakin mereka
bisa menyembuhkannya. Mereka bahkan menggunakan tubuhnya sebagai
“kelinci percobaan” untuk melakukan berbagai metode-metode baru,
kendati Hisashi tak menginginkannya.
Entah
kisah itu memang benar atau hanyalah bumbu rekaan belaka, yang pasti
foto kesakitan Hisashi banyak beredar di internet, bahkan banyak
dicari. Gue rasa tindakan mencari foto-foto korban seperti itu
benar-benar memuakkan.
Bagaimana
dengan akhir kisah ini? Pada September 2000, JCO akhirnya setuju
untuk membayar ganti rugi sebesar 121 juta dolar sebagai kompensasi
kepada 6.875 penduduk yang terekspos radiasi mematikan akibat
kelalaian dan keserakahan mereka. Pada April 2001, presiden direktur
JCO President juga mengaku bersalah di pengadilan atas bencana yang
ditimbulkannya. Akan tetapi sayang, seperti yang kita ketahui,
insiden tersebut bukanlah yang terakhir di Jepang.
Dan
pastinya masih akan ada insiden-insiden lain jika manusia masih
menggantungkan diri pada kekuatan yang ternyata tidak mampu mereka
tundukkan.
SUMBER: Wikipedia
SUMBER: Wikipedia
Yutaka Yokogawa gimana kabarnya? Kok ngga disebut lagi?
ReplyDeleteTapi, ngeri banget tuh proses meninggalnya Hisashi sama Masato. Daripada begitu, mendingan langsung mati kena ledakan or something.
Jsdi keinget quotesnya Albus Dumbledore di Harry Potter and the Order of the Phoenix, "there's things that much worse than death" (ato kira2 gitu deh, ga inget kata per kata nya)
bang dave kalo nulis penutupan kalimat pasti keren" banget sampe bikin hela napas wkwkwk
ReplyDelete