“Penggunaan bom dilarang
pada saat pelaksanaan The Purge!!!”
Para polisi itu menembaki
para perusuh yang berusaha meledakkan brankas bank. Mereka pun
langsung berjatuhan bak lalat mati, sementara sisanya melarikan diri.
“Huh, tugas kita malam
ini sangat melelahkan. Capek sekali rasanya.” Bewa melap keringat
di dahinya, “Bagaimana denganmu, Raga?”
Namun Raga masih
termenung, “Bagaimana ya kondisi anak-anak remaja dalam bus itu?
Apa mereka berhasil selamat?”
“Kok kamu masih
memikirkan mereka sih? Mereka berada di tengah-tengah pelaksanaan
Purge tanpa senjata dan mereka juga tak mampu membela diri mereka
sendiri. Kecil kemungkinannya mereka bertahan hidup.”
“Jangan berkata seperti
itu, Kak! Apa kau tidak kasihan pada mereka?”
“Kasihan sih kasihan.
Tapi mau bagaimana lagi? Memang itulah takdir mereka. Pengorbanan
mereka pada malam Purge akan selalu dikenang dan pasti akan membawa
kebaikan bagi bangsa kita.”
“Aku heran kenapa kau
begitu mengaung-agungkan The Purge?” Raga mulai emosi mendengar
ketidakpedulian kakaknya sendiri, “Apa tidak menggelitik hati
nuranimu kalau banyak orang-orang tak bersalah menjadi korban?”
“The Purge tak hanya
membawa kemalangan dan kematian, Rag.” Bewa hanya menyeringai, “The
Purge juga membawa kebaikan bagi orang-orang. Contohnya itu!”
Raga menoleh ke arah yang
ditunjukkan oleh kakaknya. Terlihat seorang sosok wanita berpakaian
lingerie hitam yang seksi dan sepasang sayap malaikat terikat di
punggungnya. Ia juga membawa cambuk dan rantai. Di ujung rantai yang
dipegangnya, terlihat pria-pria merangkak dengan rantai di leher
mereka bak anjing mengikuti tuannya. Ia melihat beberapa pria bahkan
diikat hingga menyerupai Human Centipede.
“U … Uci …” sahut
Raga tak percaya, “Apa betul itu Amelia Uci, rekan kita di
kepolisian?”
“Atau lebih tepatnya
Sang Victoria Angel. Kau sering mendengar namanya kan? Dia beraksi
tiap malam The Purge untuk membasmi pria-pria hidung belang.”
“U … Uci adalah
Victoria Angel?” ujar Raga tak percaya.
“Kau tahu sendiri
kan banyak kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang menimpa
wanita banyak yang tak terselesaikan. Penyebabnya adalah banyak
korban yang merasa malu sehingga tak mau melapor. Selain itu, kau
tahu sendiri masyarakat kita yang sering menyalahkan korban alias
victim blaming.
Bukannya menyalahkan para pemerkosa, mereka malah menyalahkan pakaian
para wanita itu.”
Raga dengan enggan
mengangguk. Pola pikir masyarakat memang harus diubah. Naasnya,
memang begitulah kenyataannya. Buktinya, masyarakat menganggap KKN di
Desa Penari yang cerita fiktif lebih menakutkan dan lebih viral
ketimbang KKN yang dijalani Agni.
“Hanya pada malam Purge
inilah, para korban itu bisa mendapat keadilan. Uci menangkap dan
menyeret para pria pelaku pelecehan itu seperti anjing agar mereka
kapok.”
“AAAAA!!!” seorang
pria hidung belang yang berhasil ditangkap Uci berusaha melarikan
diri dari rantai itu. Namun Uci langsung menggapai sebuah belati dari
sayapnya …. Ya, Raga baru menyadari bahwa sayap itu bukan terbuat
dari helaian bulu-bulu yang lembut, melainkan pisau-pisau tajam yang
ditata bak sayap.
“Jika cinta
memelukmu, maka dekaplah dia walaupun pedang disela-sela sayapmu akan
melukaimu …” Raga teringat kutipan puisi “Sayap-Sayap
Patah” milik sastrawan Lebanon, Kahlil Gibran. Dari sanalah Uci
mendapat inspirasi untuk senjatanya, pikir pemuda itu.
“HIAAAAT!” Uci segera
melemparkan pisau itu ke arah buronannya. Pisau itu segera
melumpuhkannya, menusuk punggungnya dan membuatnya terjerembap ke
tanah.
Dengan santai, Uci
mendatanginya dan menancapkan ujung high heels yang dipakainya ke
organ uwuwuwu pria itu.
“AAAAARGH!!!” pria itu
langsung memuntahkan darah. Rupanya, ujung sepatu berhak tinggi yang
dikenakan Uci juga terbuat dari bilah logam yang amat tajam.
Raga mengernyit
menyaksikan kematian sadis dari pria itu, namun dalam hati, ia juga
merasa bahwa pria itu pantas mendapatkan ganjarannya. Walaupun tetap
ia tak setuju dengan aksi main hakim sendiri yang dilakukan Uci.
“AAAAAAA!!!” tiba-tiba
Raga mendengar seutas teriakan.
“Kau mendengar itu?”
“Apa?”
“Teriakan itu!”
“Ini malam The Purge,
Rag.” Bewa menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tentu saja ada banyak
teriakan dimana-mana.”
“Kita harus
menolongnya!” Raga segera bergegas.
“Hei, Rag! Tunggu!”
***
Suara tembakan terdengar
membabi buta.
“Habisi mereka semua!”
jerit Cicil, “Mereka membunuh kekasihku!”
Anggota geng Fluffy itu
masih menembaki mereka. Bagus yang tengah terluka hanya bisa
bersembunyi bersama Fira di belakang sofa.
“DOR DOR DOR!!!”
“AAAAKH!!!”
“Oom Foo!” ia
berteriak begitu melihat Foo terkena letusan senjata. Ia segera
menarik tubuh pria tua renta itu ke dekatnya dan berusaha memberikan
pertolongan pertama.
“Oom Foo! Bertahanlah!”
serunya. Ia berusaha menghentikan pendarahan, namun ia justru
menemukan sebuah liontin tersibak dari dalam bajunya.
Liontin itu bertuliskan
FF.
“Founding Father …”
bisik Bagus. Akhirnya ia mengerti siapa Foo sebenarnya. “Oom adalah
salah satu dari Founding Father.”
“Be … benar …dan aku
tak bangga dengan hal itu,” Foo berkata-kata dalam napas
terakhirnya, “Aku sungguh menyesal … aku sungguh menyesal
menciptakan semua ini … Selama ini aku bersembunyi di sini, takut
jika para korban The Purge akan membalas dendam terhadapku … namun
mereka terus menghantuiku … ya, bahkan di sini …”
“Oom Foo … bertahanlah
… ini semua bukan salahmu!”
“A … aku hanya bisa
berharap … kalian semua bisa selamat dari kekacauan yang kubuat ini
… “ Foo mulai kehilangan kesadaran, “Ma … maafkan aku …”
Kepalanya pun terkulai
lemas, tak bernyawa.
“TIDAAAAK!” seru
Bagus.
Tiba-tiba Panic Room itu
dikelilingi cahaya yang amat terang.
“PEMBUNUHAN TERHADAP
FOUNDING FATHER BERARTI PELANGGARAN TERHADAP ATURAN THE PURGE!”
suara yang menggelegar mengelilingi mereka, diikuti desiran
baling-baling helikopter di luar mereka. “DENGAN KEKUATAN PARA
FOUNDING FATHER, KAMI AKAN MENGHUKUMMU!”
“DEDEDEDEDET!!!”
Suara tembakan otomatis
langsung berdesing. Ribuan peluru dimuntahkan dalam hanya waktu
beberapa detik, menghancurkan semua yang ada. Para Flufffy itupun
tewas tertembak seluruhnya. Tubuh mereka tercabik-cabik peluru, tak
terkecuali Cicil yang akhirnya tewas memeluk jenazah kekasihnya.
Setelah itu, suasana
berubah menjadi sunyi. Lampu sorot yang membutakan mata tadi akhirnya
dimatikan.
Bagus mendongak begitu
mendengar suara baling-baling helikopter itu mulai terbang menjauh.
“Ku … kurasa kita aman
…” Bagus melepaskan Fira dari dekapannya. Mereka berduapun
berdiri di antara puing-puing itu dan melihat keadaan.
“Bagaimana ini? Apa yang
harus kita lakukan?” isak Fira.
“Paling tidak sekarang
kita aman. Semua anggota geng itu sudah tewas.” kata Bagus, “Kurasa
kita sekarang ke tempatmu saja untuk merawat luka-lukaku.”
Matanya tertuju pada sosok
bertopeng putih yang tengah terbaring di tengah ruangan. Bagus segera
beranjak untuk memeriksa keadaannya.
“Di … dia masih
hidup!” Bagus terkejut, lalu segera membopong tubuhnya.
“A … apa yang Kak
Bagus lakukan?” tanya Fira dengan heran. “Dia kan baru saja
berusaha membunuh Kakak?”
“Kita tak bisa
membiarkannya di sini. Ayo, kita obati dia!”
***
“DASAR GENERASI MICIN!
JANGAN KABUR KALIAN!” para guru menggila dan mengejar Sandi serta
Lia di tengah lapangan bola. Tiba-tiba saja terdengar suara tembakan
peringatan. Langkah merekapun terhenti.
“Apa yang terjadi di
sini?” Raga yang mendengar teriakan Aulia segera membantu mereka.
“Ka … kalian lagi?”
tanyanya heran begitu melihat dua anak yang di awal Purge tadi
dilihatnya berada di dalam bus. Dalam hati ia merasa lega mereka
selamat. Namun ia juga merasa sedih karena hanya dua yang ia lihat,
itu berarti sisanya telah tewas.
“Astaga, apa yang
terjadi pada teman-teman kalian?” perhatian Raga kemudian beralih
pada para guru yang tengah memegang berbagai senjata tajam, “Kalian
guru kan? Seharusnya kalian melindungi murid kalian!”
“Ini adalah The Purge!
Kami bebas melakukan apa yang kami mau!” bela Pak Yuga, “Kau
sebaiknya minggir!”
“Dia benar, Raga!”
Bewa kemudian datang, “Biarkan mereka berbuat semau mereka!”
“Tidak! Kali ini aku
takkan tinggal diam!” tolak Raga, “Tetap saja salah membiarkan
remaja-remaja tak berdosa ini terbunuh! Mereka adalah generasi
harapan bangsa ini!”
“Kau melanggar hukum,
Raga!” ujar Bewa dengan marah, “Hukum mewajibkan kita sebagai
para LEGION mengawal pelaksanaaan The Purge supaya tak ada
pelanggaran yang terjadi! Bukan untuk menolong mereka!”
“Benarkah begitu?”
Raga justru menyeringai, “Kalau begitu, aku bisa melanggarnya,
bukan? Bukankah di malam Purge, semua pelanggaran hukum
diperbolehkan?”
“Apa kau bilang?”
gerutu Bewa. Namun ia tak lagi bisa melarang adiknya. Paradoks itu
memang berlaku.
“Sekarang, jauhi
anak-anak ini!” Raga menodongkan senjatanya ke arah guru-guru itu.
Merekapun mau tak mau mundur.
“Te … terima kasih,
Pak Polisi!” ucap Sandi terbata-bata.
“A … AWAAAS!” jerit
Aulia. Namun terlambat. Seorang guru matematika tiba-tiba menerkam
Raga dari belakang dan menusuk punggungnya dengan ujung jangka
raksasa yang biasa dipakai di papan tulis.
“AAAAARGH!”
“Ini kesempatan kita!”
seru Pak Yuga, “Ayo maju!”
Para guru pun berusaha
menyerang mereka. Seorang guru biologi menghantamkan mikroskop ke
kepala Raga, sementara guru lain yakni guru TIK mengikatkan kabel USB
ke lehernya, berusaha mencekiknya. Guru lain seperti guru Bahasa
Indonesia memukulkan kamus KBBI yang amat tebal ke kepalanya supaya
ia gegar otak dan guru kimia memecahkan silinder gelas ukur sehingga
ujungnya menjadi tajam dan berusaha menikam Raga dengan senjata itu.
Guru terakhir, yakni guru PKN berusaha membacakan pelajarannya dengan
harapan Raga menjadi lengah dan tertidur.
“Le … lepaskan aku …”
ujar Raga yang mulai kehilangan kesadaran.
“Kurang ajar!” melihat
rekannya terluka, Bewa segera melawan dan menembakkan senjatanya ke
arah guru-guru yang mengamuk bak zombie itu. Satu-persatu mereka
mulai tumbang.
Bewa menoleh dan melihat
seorang guru agama mengendap-endap di belakang Raga. Ia membuka kitab
tebalnya dan di dalamnya, tersimpan sebuah pistol. Ia membidikkan
senjata itu ke arah Raga dan …
“RAGA! AWAS!!!”
“DOR!!!”
Bewa segera melemparkan
tubuhnya ke depan Raga untuk melindunginya. Akibatnya, peluru itu
justru menembus dadanya.
“BEWA! TIDAAAAK!!!”
seru Raga.
Sang guru kemudian
berusaha membidik Raga kembali, namun …
“DOOOOOR!!!”
Guru itupun tumbang dengan
luka tembak di kepalanya. Raga menoleh dan melihat Sandi memegang
sebuah pistol yang masih berasap. Pistol itu adalah pistolnya yang
tadi terjatuh ke rumput saat berkelahi dengan para guru.
“Kak! Bertahanlah!”
Raga segera menghampiri kakaknya yang kini terkulai sekarat di atas
tanah itu.”Ke … kenapa kau berusaha menolongku?”
“Pertanyaan bodoh macam
apa itu?” Bewa terkekeh, “Tentu saja, kau adalah keluargaku
satu-satunya … uhuk!”
Bewa memuntahkan darah,
membuat Raga semakin panik.
“A … aku yang sama
sekali tak mengerti … mengapa kau tak mau menerima The Purge …”
bisik Bewa.
“A … apa maksudmu?”
Bewa tersenyum, walau ia
sendiri nyaris dijemput ajal, “Du … dulu ketika kita masih kecil,
ayah kita berlaku amat kejam. Kau mungkin tak ingat karena kau
terlalu kecil, namun dulu Ia suka menyiksa ibu. Ia berjudi hingga
menghabiskan harta keluarga kita. Ia juga kerap mabuk dan memukuliku.
Hingga suatu hari, ia pulang dan mulai menendangi ibu kita yang
tengah hamil tua. Ia keguguran malam itu dan nyawanya sendiripun
nyaris tak tertolong …”
“Kak … kenapa kau
ceritakan itu?” Raga mulai menangis, “Itu semua sudah berakhir
kan semenjak rumah kita terbakar dan ayah meninggal?”
“Tidak … itu yang
kuceritakan kepadamu, namun bukan begitu kejadiannya …” jelas
Bewa, “Malam itu adalah malam Purge. Itu adalah satu-satunya
kesempatanku … kesempatanku agar ia tak lagi menyiksa kita. Aku
tahu … jika aku tak melakukannya … nyawamu pun bisa terancam …”
“Ja … jadi kau …”
“Ya, aku membunuh si tua
bangka itu … itu adalah malam pertamaku … aku selalu ingat malam
Purge pertamaku … semenjak itu aku ingin menjadi polisi karena aku
ingin melindungi orang-orang seperti kita. Namun kenyataan berkata
lain … kita melihat sendiri bagaimana mudahnya seorang penjahat
bisa lepas dan bebas … hanya di malam Purge-lah … hanya di malam
inilah keadilan bisa ditegakkan …” Bewa kembali memuntahkan
darah.
“Kak, bertahanlah!
Kumohon … jangan mati!”
“Terpujilah Republik
Sosialis Indonesia …” Bewa membisikkan kata terakhirnya dengan
sisa tenaganya, “Terpujilah … para … Founding … Father …
kita …”
Kepalanya pun terkulai di
pangkuan Raga.
“Kakak! TIDAAAAAK!!!”
seru Raga di tengah keheningan malam.
“A … aku sangat
berduka cita …” Sandi yang menyaksikan kejadian itu sampai
kehabisan kata.
“Ka … kau juga terluka
…” Aulia melihat darah segar masih mengucur dari luka di punggung
Raga, “Kita harus segera membawamu ke rumah sakit!”
***
Para korban Purge
bergelimpangan di tengah jalan. Beberapa masih hidup, beberapa sudah
dijemput ajal, beberapa masih menggeliat menanti malaikat maut tiba.
Sebuah truk hitam
berhenti. dari dalamnya, muncul sosok-sosok mengerikan … para
suster dengan topeng wajah rusak dengan gerakan tubuh mereka yang tak
normal. Mereka-lah suster Silent Hill yang selalu berkeliaran pada
malam Purge.
Seorang pria misterius
berjubah hitam dan bertopeng paruh burung, Sang Doctor Plague,
menatap lautan manusia itu.
“Bawa mereka semua ke
dalam truk!”
Di sana, ia menyiapkan
pisau-pisau bedahnya.
Ia akan menikmati malam
ini.
BERSAMBUNG
Ngakak sama guru PKN 😂😂
ReplyDelete