Pada
malam 28 November 2009, hujan deras tengah turun mengguyur kota.
Guntur menggelora di luar, meninggalkan kilat yang membekas di
langit. Namun di tengah badai itu, seorang pemuda justru membuka
pintu rumah dan berlari keluar tanpa sepatu. Orang tuanya berteriak
di belakangnya, berusaha mengejarnya. Namun pemuda itu tak
mengindahkannya. Ia terus berlari hingga tubuhnya lenyap dibalik
derasnya hujan.
Kala itu
pemuda itu mengatakan bahwa ia dikejar seseorang dan ada yang hendak
membunuhnya. Pemuda itu memang dikenal memiliki sejarah depresi dan
paranoia, sehingga orang tuanya mengira hal itu hanyalah
halusinasinya semata. Namun kali ini berbeda, ia terlihat amat
ketakutan hingga lari dari rumah.
Itulah
kala terakhir keluarganya melihatnya dalam keadaan hidup. Selama 10
tahun berikutnya, ia menghilang bak ditelan bumi. Hingga pada 2019,
polisi mengetuk pintu rumah keluarganya. Kepada orang tuanya, polisi
menyampaikan berita buruk, bahwa anak mereka yang telah menghilang
selama satu dekade telah diketemukan, namun bukan dalam kondisi yang
ingin mereka dengar.
Kisah
tragis inilah yang kali ini ingin gue angkat dalam episode “Tales
of Paranoia” kali ini. Kasus aneh nan misterius yang akhirnya
berbuntut pada kematian yang tak kalah ganjilnya.
Inilah kasus Larry Ely Murillo-Moncada dan inilah Dark Case kali ini.
Inilah kasus Larry Ely Murillo-Moncada dan inilah Dark Case kali ini.
Begitu
Larry memilih kabur dari rumah, keluarganya berusaha keras untuk
menemukan keberadaannya. Mereka amat khawatir, terutama karena
kondisi kejiwaan Larry yang kala itu tengah tidak stabil. Mereka
melapor ke kepolisian negara bagian Iowa, Amerika Serikat. Mereka
menelepon teman-teman Larry dan menyebarkan pamflet ke penjuru kota
Omaha, tempat mereka tinggal. Namun hasilnya nihil, tak ada yang tahu
keberadaannya.
Namun
kali itu tak ada yang tahu, bahwa kepergiannya ternyata tak pernah
jauh dari mereka.
Mundur
sejenak, Larry adalah pemuda berusia 25 tahun dari keluarga imigran
Honduras yang bekerja di sebuah supermarket. Kehidupan terkesan
biasa-biasa hingga suatu malam ketika ia baru pulang dari shift
panjangnya di hari raya Thanksgiving, ibunya mencium sesuatu yang
aneh. Larry kala itu terlihat kurang fokus, kebingungan, bahkan
mengatakan bahwa ia mendengar “suara-suara”. Ibunya yang khawatir
lalu membawanya ke dokter yang kemudian meresepkan obat antidepresan.
Namun
kondisi Larry tak kunjung membaik. Ia mengatakan pada keluarga dan
teman-temannya bahwa seseorang selalu mengikutinya. Ia terlihat amat
ketakutan, namun semua yang mengenalnya menganggap itu hanyalah
halusinasinya semata.
Hingga
pada malam itu, Larry yang hanya mengenakan hoodie berwarna biru dan
celana jeans dengan warna senada memutuskan kabur dari rumah di
tengah hujan lebat. Keluarganya berusaha menghentikannya karena saat
itu ia bahkan tak memakai sepatu, namun mereka gagal. Ia memiliki
mobil, namun ia meninggalkan kuncinya di rumah. Mengetahui bahwa ia
tak mungkin pergi jauh tanpa mobilnya, orang tuanya pun mencarinya,
namun ia tak kunjung ditemukan.
Sepuluh
tahun berlalu. Supermarket tempat Larry dulu biasa bekerja kini telah
bangkrut pada 2016 dan menjadi bangunan tak berpenghuni semenjak itu.
Pada Januari 2019 yang dingin, ketika salju dari musim dingin yang
telah berlalu mulai mencair, para pekerja mulai bersiap untuk
mengosongkan bangunan itu. Satu persatu mereka memindahkan rak dan
kulkas keluar. Namun ketika mereka memindahkan sebuah lemari
pendingin, mereka terkejut setengah mati.
Di
balik sebuah lemari pendingin, terjepit sebuah mayat yang telah
membusuk dan mengering hingga tak mampu dikenali lagi.
Ilustrasi supermarket dan deretan freezer tempatnya terjebak
Tak
butuh waktu lama bagi polisi untuk mengenali identitas jenazah itu.
Mengenakan hoodie biru dan celana jeans dengan warna serupa, tak
salah lagi, mayat itu adalah Larry yang dikabarkan telah lama
menghilang.
Namun
bagaimana ia bisa berakhir di sana? Dan mengapa tak ada yang
menyadarinya hingga sepuluh tahun?
Para
pekerja rekan-rekan Larry mengatakan bahwa mereka memang sering
memanjat ke atas lemari pendingin itu untuk mengambil barang-barang
yang diambil di sana. Namun tak ada seorangpun yang kepikiran untuk
mengintip ke belakang lemari pendingin yang berjarak 45 cm dari
dinding itu. Kemungkinan Larry merangkak ke atas sana, namun kemudian
terjatuh dan terjebak di balik lemari pendingin setinggi 3,5 meter
itu. Sebagai sebuah supermarket, tentu tak hanya itu satu-satunya
lemari dingin di sana. Pasti ada lemari-lemari lain berjajar dari
satu sisi ke sisi yang lain sehingga tak ada jalan keluar.
Diduga,
setelah kabur dari rumah orang tuanya tanpa membawa kunci mobil, ia
akhirnya pergi ke satu-satunya tempat yang ia kenal dengan baik,
yakni supermarket tempatnya bekerja. Ia kemudian berusaha bersembunyi
di sana tanpa ada seorangpun yang tahu, namun malah terjatuh dan
terperangkap di sana. Namun mengapa ia tak berteriak meminta tolong?
Mungkin ia sudah melakukannya, namun lemari pendingin itu ternyata
mengeluarkan suara yang amat berisik ketika beroperasi sehingga
menenggelamkan jeritan pinta tolongnya.
Tragisnya
lagi, para pekerja supermarket dan para pelanggan mungkin saja
berjalan lalu lalang di depan lemari itu tanpa tahu seseorang
terjebak di belakangnya.
Hingga
kini tak ada yang tahu, apakah sosok yang mengejar Larry itu
benar-benar nyata ataukah hanya halusinasinya saja. Namun ada ataupun
tidak, paranoianya itu benar-benar telah mengakibatkan nyawanya
melayang. Kini satu-satunya korban yang bisa meratap hanyalah orang
tua Larry. Selama status anaknya menghilang, mereka sebenarnya masih
bisa berharap. Mereka bisa berandai-andai bahwa anak mereka kini
berada di suatu tempat yang aman, mungkin dengan kehidupan baru yang
lebih bahagia. Namun kini setelah kenyataan terungkap, mereka hanya
bisa berdoa agar tak ada orang lain yang mengalami paranoia sama yang
membunuh anak mereka.
Sumber: Washington Post
jadi pelajaran juga buat supermarket biar ngasih celah diantara freezernya
ReplyDelete