“BRAAAAAK!!!” tembok
depan apartemen mereka kini rata dengan tanah.
“CICIL! KELUARLAH!”
Tak ingin melewatkan pesta
seru yang disebut “The Purge” itu, Adit kemudian mengenakan
topeng dan kostum agar sama seperti partisipan lainnya yang
berpenampilan seheboh mungkin. Ia memilih kostum boneka salah satu
tokoh dari “Happy Tree Friends”. Memang terlihat imut, namun ia
menyimpan berbagai rencana sadis untuk menyiksa mantannya itu, sama
seperti adegan-adegan dalam serial kartun itu.
“Oh, Cicil sayang ….
Ayo kita bermain, HAHAHAHA!”
Cicilia mengendap-endap
keluar dari kamarnya, namun tiba-tiba seutas tangan menggenggamnya.
“AAAAA!!!” jeritnya.
“Tenang! Ini aku!”
Bagus segera menyuruhnya untuk diam.
“Ba … Bagus?” Cicil
segera mengenali tetangganya itu.
“Jangan berisik, ayo ke
sini! Aku tahu tempat yang aman!”
Sementara itu, sosok lain
menyaksikan semua kejadian itu. Ia mengendap dari balik pepohonan dan
masuk ke dalam apartemen itu melalui dinding yang tadi sudah
dirobohkan Adit.
Seakan tak ingin
identitasnya diketahui orang lain, sosok itu kemudian mengenakan
topeng putih Michael Myers dari Halloween.
***
“Gu … gue nggak
sanggup lagi berlari …” Shalsa berhenti karena kelelahan.
“Iya … gue rasa kita
harus beristirahat …” napas Fajar tersengal-sengal, “Berapa
jauh tadi kita berlari? Lima kilo?”
“Baru 500 meter,”
keluh Chris, “Makanya lu olahraga dong!”
“Baiklah, kita
beristirahat dulu di sini.” Sandi memandang ke arah bus mereka yang
terbakar tadi dan asapnya tak lagi terlihat, tertutup gedung-gedung
tinggi, “Gue rasa kita aman di sini.”
“Hei, ada mall di sana!”
tunjuk Ariel, “Yuk kita ke sana!”
“Lu gila apa!” Sandi
tak setuju. Sebagai ketua kelas mereka, ia merasa bertanggung jawab
membawa teman-temannya ke tempat aman, “Justru di situlah
orang-orang jahat berkumpul! Mereka pasti ke sana semua untuk
menjarah barang-barang yang ada.”
“Justru karena itu,”
balas Ariel, “Di sana semua kebutuhan kita pasti ada.”
“Maksud lu,” Aulia
menatapnya tak percaya, “Lu mau ikut-ikutan menjarah di sana?”
“Wah, gila lu Riel!”
protes Chris.
“Terserahlah apa kata
kalian! Gue udah muak dianggap pengecut ama teman-teman sekelas kita
karena nggak berani ikutan The Purge! Dari dulu gue pengen merasakan
adrenalin dan inilah kesempatan emas buat gue!”
“Bukan masalah elu
pengecut apa bukan,” Sandi berusaha meyakinkannya, “Tapi kita
harus punya prinsip!”
“Whatever,
pokoknya gue mau ke sana … terserah kalian mau ikut apa nggak!”
“Ariel! Tunggu!” seru
Sandi. Namun Ariel bersikeras masuk ke sana. Sandi dan teman-temannya
tak mampu menghentikannya.
“San … ini gawat! Dia
bisa terluka di dalam sana.” kata Aulia, “Kita harus menjaganya!”
Huh, nggak ada pilihan
lain!” kata Sandi. Ia segera menoleh pada teman-temannya yang lain.
“Fajar dan Chris, kalian
tetap di sini jaga Aulia dan Shalsa. Gue akan masuk ke sana!”
“Nggak, gue akan ikut
sama lu, San!” kata Aulia sambil menggelengkan kepala.
“Tapi …”
“Gue ikut, titik!
Terlalu berbahaya buat elu untuk pergi ke sana sendirian. Lagian, gue
punya paman yang bekerja di foodcourt mall itu. Dia bisa membantu
kita.”
Melihat keteguhan hati
gadis itu, Sandi akhirnya menyerah.
“Baiklah, tapi jangan
pernah pergi dari sisi gue, mengerti.”
“Oke!”
Sandi tersenyum
mendengarnya.
***
“Woi, buka pintunya!”
Bagus menggedor-gedor kamar berpintu lapis besi yang ada di
sampingnya. Di belakangnya, Cicil dan Syefira mengikutinya.
Pintu itupun dibuka.
Terlihat pengamanan yang amat ketat di kamar itu, sebab terdengar
sampai sepuluh suara “klik” pertanda gembok dibuka.
“Lho, Gus! Pantesan lu
lama amat, bawa cewek rupanya hahaha.” Seorang pria bertopeng Jason
ala Friday The 13 muncul. Cicil dan Fira langsung menjerit dibuatnya.
“Tenang, dia teman gue
kok!” Bagus berusaha menenangkan mereka, “Dia memakai kostum tapi
sama sekali nggak ikut The Purge. Kami cuman ngumpul-ngumpul saja
seperti ini setiap The Purge berlangsung.”
“Iya, mengingat masa
lalu hahaha. Ayo masuk, ada yang mengejar kalian ya?”
“Ya, kami butuh
perlindungan!” Bagus segera menoleh dan mengajak keduanya masuk.
“Nggak apa-apa … mereka teman karib gue kok.”
“Ta … tapi …”
Cicil terlihat masih kurang percaya.
“CICIL! CICIL!”
terdengar teriakan dari lantai di bawah mereka. Dengan enggan, Cicil
akhirnya masuk.
***
“Ariel!” seru Sandi,
“Ariel, lu dimana?”
“Ssssst, San!” Aulia
menaruh jari di bibirnya, “Gue rasa itu bukan ide yang bagus. Lu
bisa menarik perhatian.”
“Dari peserta Purge
lainnya?” namun Sandi menoleh dengan heran, “Tapi lu lihat
sendiri mall ini amat sepi.”
“Ini aneh sekali,”
Aulia justru curiga dengan semua keheningan itu, “Mall dan pusat
perbelanjaan lainnya biasanya menjadi sasaran empuk para penjarah.
Kenapa malah lengang seperti ini?”
“Lihat manekin-manekin
itu. Kenapa mereka malah ditaruh di tengah jalan seperti itu?”
tunjuk Sandi. Aulia menoleh. Benar rupanya. Manekin yang biasanya
dipajang di etalase, mengenakan pakaian dan tas fashion model terbaru
untuk menarik pengunjung, malah ditata menutupi jalan.
“Apa untuk menghalangi
para penjarah?” tanya Aulia.
“Mereka takkan terhenti
hanya karena dihalangi patung seperti itu.” Sandi terkejut ketika
melihat noda merah di lantai di bawahnya.
“Hei, apakah itu darah?”
tunjuknya.
“Arahnya dari toko
perhiasan itu!” tunjuk Aulia. Mereka berdua segera bergegas ke
sana.
Aulia langsung menjerit.
Di lantai mall, tergeletak tubuh Ariel yang tak lagi bernyawa.
Tangannya terpotong, masih menggenggam emas yang dijarahnya dari toko
perhiasan itu. Mulutnya mengeluarkan darah dengan lidahnya tergeletak
di luar. Ususnya pun terburai dari perutnya yang tersayat terbuka.
“Si … siapa yang
melakukan ini …”
“Krak kraaaak …”
Tiba-tiba terdengar suara
langkah. Sandi dan Aulia segera menoleh dengan ngeri.
Para manekin yang tadi
berjejer rapi di belakang mereka mulai bergerak dan mengeluarkan
pisau berlumuran darah.
“Sial!”
BERSAMBUNG
Cerita bagus dan urut
ReplyDelete