Gimana
nih? Masih betah di karantina? Kalo gue sih kagak hahaha, soalnya
pengen balik kerja lagi dan beraktivitas kayak biasa. Well, jika
kalian sudah membaca artikel-artikel gue sebelumnya, pasti kalian
sudah mengetahui tentang film “Contagion” yang berhasil
“meramalkan” pandemi Coronavirus 9 tahun sebelum wabah itu
berkecamuk. Mengapa film itu sebegitu berhasilnya menerka bahwa
sebuah wabah pandemi global akan melanda dunia dalam bentuk flu?
Sebab sang sutradaranya kala itu, Steven Sodenbergh, berkonsultasi
dengan para ahli di bidang virologi dan ketika ia bertanya pada
mereka, skenario apa yang kira-kira paling realistis sehingga mungkin
akan terjadi, mereka menjawab:
“Sebuah
strain flu baru akan muncul dari 'wet market' di Asia dan disebabkan
oleh seekor kelelawar”
Andaikan
saja kita kala itu, yakni semenjak tahun 2011 ketika film itu
dirilis, benar-benar memperhatikan peringatan para ilmuwan tersebut,
mungkin kita takkan mengalami pandemi ini.
Ramalan
yang mengejawantah menjadi nyata ini, yang naasnya tak didengarkan
orang, adalah pengertian dari “Cassandra Effect”. Dan kegagalan
kita untuk memperhatikan “ramalan-ramalan” berikutnya, pastilah
akan membawa kita kepada kehancuran. Bahkan, jikapun wabah Covid-19
reda, sebuah ramalan “Cassandra” lain tengah menanti kita, dengan
akibat yang mungkin tak terbayangkan, bahkan memicu apa yang
dinamakan “apocalypse' atau kiamat bagi kita.
RAMALAN
“CASSANDRA” DAN CORONAVIRUS
Pertama-tama
kita perlu bertanya, siapakah Cassandra itu? Cassandra adalah seorang
putri cantik dari mitologi Yunani. Ia adalah putri dari Raja Priamus
dari kerajaan legendaris, Troya. Konon, karena terkesima oleh
parasnya yang begitu rupawan, Dewa Apollo berjanji akan mengabulkan
apapun permintaan Cassandra, apabila sang putri bersedia menikah
dengannya. Cassandra-pun meminta agar ia bisa melihat masa depan.
Namun begitu Apollo mengabulkannya dan memberinya kemampuan meramal,
Cassandra justru mengingkari janjinya. Ia merasa dirinya terlampau
cantik jelita, hingga dewa seperti Apollo-pun dirasanya tak pantas
memilikinya. Akibatnya Apollo-pun murka dan memberikan kutukan.
Memang benar Cassandra bisa meramalkan masa depan, namun takkan ada
yang mempercayainya.
Buktinya
adalah ketika ia melihat adiknya, Paris (yang kala kecil terpisah
dari orang tuanya dan kemudian ditemukan kala sudah dewasa),
Cassandra dengan tepat meramalkan bahwa Paris suatu saat nanti akan
membawa Kerajaan Troya ke dalam kehancuran. Sayang, Raja Priamus tak
mau mendengarkan ramalan putrinya itu. Ramalan Cassandra pun
perlahan-lahan mulai mengejawantah.
Paris
jatuh cinta dengan Helena yang kala itu telah menikah dengan seorang
raja Sparta. Helena sendiri sebenarnya terpaksa menikah dan tak
pernah mencintai suaminya, sehingga ketika Paris mengajaknya kabur
bersamanya, Helena-pun bersedia. Sayang, kisah cinta terlarang ini
akhirnya memicu Perang Troya dimana laskar tentara Yunani menyerang
Kerajaan Troya dan akhirnya menang setelah menggunakan siasat “Kuda
Troya”. Kerajaan Troya-pun hancur lebur dan ramalan Cassandra
akhirnya tergenapi.
Lalu apa
relevansinya kisah sang putri cantik Cassandra bagi kita di masa
kini? Bak ramalan sang putri Yunani tersebut, seringkali peringatan
para ilmuwan yang visioner kita abaikan begitu saja karena mungkin
kurang nyaman di telinga kita. Sebagai contohnya, peringatan para
ahli bahwa sebuah virus baru akan mengacak-acak kehidupan dunia dalam
bentuk pandemi mematikan, seperti tertuang dalam film “Contagion”.
Bahkan mereka dengan tepat meramalkan asal dari virus tersebut, yakni
“wet market” di China dan asal muasalnya dapat dirunut ke seekor
kelelawar.
Namun
apa yang terjadi? Bukannya menganggapnya serius, film tersebut hanya
dianggap sebagai hiburan semata dan pesannya yang begitu tegas
diabaikan begitu saja. Akibatnya bisa kita rasakan kini. Siapapun
kita, dimanapun kita, mau berada di Amerika Serikat, Eropa, ataupun
Indonesia, semuanya pasti terimbas oleh wabah Covid-19 ini.
Bayangkan
saja jika ramalan para ahli tersebut benar-benar dianggap serius oleh
WHO dan pemerintah-pemerintah di penjuru dunia. Mungkin saja mereka
akan menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi pandemi ini dan
dampaknya pun pasti takkan sedahsyat yang kita alami sekarang.
Namun
tak hanya wabah Coronavirus. Gue menemukan sebuah ramalan “Cassandra”
lain, yang disebut dengan “Post-Antibiotic Era” atau “Antibiotic
Apocalypse”. Namun gue peringatkan dahulu, bahwa ramalan ini
amatlah tak nyaman untuk didengarkan.
ANTIBIOTIC
APOCALYPSE
Akan ada saatnya dimana semua obat-obatan berlabel antibiotik ini takkan berfungsi lagi |
“Post
Antibiotic Era” mempostulatkan bahwa suatu saat nanti, semua
antibiotik yang kita miliki takkan berfungsi lagi melawan bakteri,
karena semua bakteri patogen (penyebab penyakit) di Bumi akan kebal
terhadapnya. Ketika pertama kali ditemukan Alexander Flemming pada
tahun 1928, antibiotik (kali itu yang pertama kali ditemukan adalah
“penisilin”) dianggap sebagai sebuah “obat ajaib”. Semenjak
diketemukan, antibiotik memang telah menyelamatkan nyawa jutaan
orang, termasuk kala Perang Dunia II. Namun pada pidatonya kala
menerima hadiah Nobel (which he deserved btw), Alexander Flemming
sudah memperingatkan akan bahaya resistensi bakteri terhadap
antibiotik.
Apa itu
resistensi? Resistensi adalah kondisi dimana bakteri menjadi kebal
terhadap antibiotik yang seharusnya bisa membunuhnya. Bakteri adalah
makhluk hidup, seperti halnya manusia. Dan seperti manusia yang bisa
menjadi kebal terhadap beberapa jenis penyakit (apabila sudah
divaksin atau terkena penyakit yang sama, misalnya), bakteri juga
bisa kebal terhadap berbagai jenis antibiotik. Populasi bakteri yang
resisten ini pada akhirnya akan menggantikan populasi bakteri yang
rentan terhadap antibiotik (karena mereka mati), sehingga keseluruhan
populasi akan didominasi bakteri resisten dan antibiotik tak lagi
berguna.
Proses terjadinya resistensi bakteri berdasarkan seleksi alam |
Lalu apa
yang terjadi bila kita mencapai “Post-Antibiotic Era” ini? Jika
kita sudah dikarantina beberapa bulan gara-gara geger Covid-19, maka
jika kita mencapai era Post-Antibiotic ini, kita harus dikarantina
selamanya! Di luar kita bisa rentan sekali terinfeksi bakteri,
semisal bakteri TBC yang berterbangan di udara. Bahkan di dalam
rumah-pun, kita harus menjaga diri agar kita tidak terluka
sedikitpun, sebab luka itu akan dengan mudah terinfeksi bakteri. Luka
sekecil apapun bisa berakibat fatal, sebab bakteri sudah tak mampu
lagi dibunuh dengan antibiotik. Akibatnya, kita harus mendesinfeksi
semua sudut rumah kita setiap hari.
Angka
kematian, terutama di rumah sakit, juga akan meningkat secara
drastis. Penyakit yang awalnya hanya “remeh-temeh”, semacam sakit
gigi, akan bisa membunuh kita. Hal ini karena bakteri bisa masuk ke
dalam pembuluh darah (melalui luka) dan menyebabkan “sepsis” atau
“keracunan darah”. Operasi-operasi pun akan memiliki resiko yang
amat tinggi, bahkan prosedur rutin seperti operasi Caesar juga akan
menjadi teramat berbahaya. Bisa saja jika kita keluar, kita harus
memakai APD full dengan plastik dan helm (nggak cuma masker) agar
kita tak mudah terinfeksi bakteri.
Jumlah
kematianpun akan berlipat ganda dengan amat drastis di negara-negara
dunia ketiga yang memiliki standar higienitas yang rendah. Penduduk
di negara-negara tersebut (termasuk Indonesia) akan mudah sekali
terkena infeksi bakteri dari lingkungan yang tidak sehat dan terutama
sekali: air. Air bisa menyebarkan berbagai penyakit mematikan
seperti kolera, disentri, dan tipus. Bumi-pun akan porak-poranda
sebab manusia dengan begitu mudahnya bisa mati, seperti kondisi kala
“Dark Age” di Eropa kuno.
Saat Antibioic Apocalypse terjadi, kita akan begitu mudah sakit, bahkan mungkin harus dikarantina seumur hidup |
Lalu
kapan kira-kira kita akan memasuki Era “Post-Antibiotic” ini?
Celakanya,
kita mungkin sudah ada di era tersebut. Pada Agustus 2017, seorang
wanita masuk ke UGD sebuah rumah sakit di Reno, dekat Las Vegas,
Amerika Serikat karena infeksi bakteri. Bakteri tersebut adalah
Enterobacteria yang biasanya dengan mudah diatasi dengan
antibiotik bernama Carpabenem. Namun celakanya, bakteri yang
menyerang wanita ini ternyata resisten terhadap antibiotik itu dan 26
jenis antibiotik lainnya! Beberapa
hari kemudian, pasien itupun meninggal.
Hingga
kini sudah diketahui beberapa bakteri “super” yang resisten
terhadap berbagai macam antibiotik, sebut saja MRSA, yakni mutan
bakteri Staphylococcus
aureus; MDR-TB, yakni
mutan bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC;
hingga yang paling berbahaya: super Gonorrhea, yakni strain bakteri
Neisseria gonorrhea penyebab penyakit kelamin “raja singa”
yang kebal terhadap berbagai antibiotik.
Bahkan,
hingga saat ini, sekitar 700.000 penduduk dunia meninggal setiap
tahunnya karena penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang resisten
terhadap antibiotik. Jumlah yang besar? Well, jika ini terus
dibiarkan, sekitar 10 juta penduduk akan mati per tahun karena sebab
yang sama pada tahun 2050.
Maka tak
mengherankan, karena dampaknya yang begitu menakutkan, tak sedikit
pula yang menyebut “Post-Antibiotic Era” sebagai “Antibiotic
Apocalypse”.
Yap,
seperti jentikan jarinya Thanos, “Antibiotic Apocalypse” memang
tak terelakkan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita mengatasinya?
Well, dimulai dengan mendidik para dokter di rumah sakit untuk tidak
sembarangan memberikan antibiotik, terutama pada penyakit yang tak
mengancam jiwa. Penggunaan antibiotik yang sembrono dan berlebihan
justru akan mempercepat proses resistensi bakteri. Masyarakat juga
harus dididik untuk mempergunakan antibiotik secara tepat, salah satu
contohnya dengan meneruskan minum antibiotik sesuai yang diresepkan
hingga habis, walaupun gejala penyakit sudah berkurang ataupun
hilang. Jika kita berhenti meminum antibiotik sebelum obatnya habis,
maka hal itu juga akan menyebabkan bakteri menjadi resisten.
Langkah
ketiga kini bergantung pada para ilmuwan untuk terus-menerus
menemukan antibiotik jenis baru yang lebih efektif membasmi bakteri.
Namun langkah ini menurut gue nggak lebih dari teknik “tambal
sulam” semata, sebab hanya menunggu waktu sebelum bakteri juga
menjadi resisten terhadap antibiotik baru tersebut. Mungkin satu-satu
cara efektif adalah dengan meningkatkan kekebalan tubuh kita sendiri,
semisal dengan makan makanan sehat dan tentunya: tidak anti terhadap
vaksin!
SUMBER: Wired, Stanford Medicine, Longitude Prize
Anti-vaxxers probably crying right now after seeing this
ReplyDeleteNope, they're gonna just "dude, I dont believe you"
DeleteActually, mereka akan selalu siap sedia dengan argumen-argumen (bodoh) mereka
Delete