Okeeee,
masih berkecimpung di dunia Matematika setelah bulan lalu berkutat di
ilmu Fisika, kali ini gue akan mengenalkan kalian pada “Bilangan
Fibonacci” yang akan membuat kita bersentuhan sedikit dengan
Biologi. Galileo Galilei, seorang astronom yang hidup pada tahun
1564-1642 pernah mengatakan bahwa “matematika adalah bahasa yang
digunakan Tuhan saat menciptakan alam semesta ini”. Hal ini karena
sebagai matematikawan, ia melihat bahwa angka-angka tertentu selalu
muncul saat ia menyelidiki tentang kosmos.
Semisal
angka “pi” (π)
atau 3,14 atau 22/7) muncul ketika kita menghitung sebuah
lingkaran. Bukan kebetulan bahwa sebagian besar benda langit sendiri
berbentuk bola, semisal Bumi, Bulan, dan Matahari (tragisnya, ia
sendiri kemudian dihukum karena mengemukakan bahwa Bumi itu bulat).
Maka mungkin muncul pertanyaan di benak kita, apakah ada angka
tertentu yang seakan-akan dijadikan patokan dalam Penciptaan seluruh
kehidupan, bahkan alam semesta?
Jawabannya
mungkin bisa kita ketahui menggunakan deret bilangan yang disebut
sebagai “Fibonacci Sequence”.
FIBONACCI
SEQUENCE
Jika
kalian menanyakan pertanyaan di atas tentang “bilangan favorit
Tuhan” kepada kaum Katolik di masa Eropa kuno, maka mungkin
mereka menjawab bahwa angka “mistis” yang mengatur seluruh alam
semesta adalah “7”. Hal ini mengingat betapa seringnya angka 7
muncul dalam Kitab Suci: Tuhan menciptakan dunia dalam 7 hari, ada 7
hari dalam seminggu, ada 7 dosa mematikan (“Seven Deadly Sin:
pride, greed, wrath, envy, lust, gluttony, sloth), bahkan
kemunculan 7 malaikat dengan 7 sangkalala (terompet) pada akhir
zaman. Gue nggak tahu dengan agama lain, mungkin ada angka-angka
tertentu lainnya yang dianggap memiliki signifikansi tertentu dalam
penataan alam semesta.
Ketika
merumuskan Bilangan Fibonacci, mungkin bukan hal tersebut yang
dipikirkan seorang pemuda bernama Leonardo Fibonacci kala itu.
Bahkan, hal yang terbersit dalam benaknya justru “kelinci”!
Leonardo lahir pada tahun 1170 di Pisa, Italia yang terkenal akan
menara miringnya. Ayah Leonardo yang seorang pedagang (sehingga kerap
berpergian kemana-mana) ingin putranya meneruskan bisnis keluarga
mereka. Karena itulah, ia kemudian menyekolahkan Leonardo hingga jauh
ke Maroko, di ujung utara Benua Afrika (wilayah Maghribi) untuk
berguru pada seorang guru Muslim. Kala itu masihlah puncak kejayaan
“Golden Age of Islam” (abad ke 8 hingga 14 M) sehingga ayahnya
tahu pendidikan terbaik berada di negara-negara Islam, sedangkan di
Eropa sendiri masih berkecamuk “Dark Age”.
Salah satu sudut Maroko. tempat dimana Leonardo Fibonacci menimba ilmunya |
Namun
ketika telah dewasa dan kembali ke Italia, Leonardo sudah keburu
“dicuci otak” dengan keindahan sains, sehingga ia sama sekali tak
berminat menjadi pedagang. Ia malah menjadi matematikawan. Ia
kemudian merumuskan sebuah model yang menggambarkan laju reproduksi
kelinci dimana ia kemudian menemukan “Bilangan Fibonacci”.
“Bilangan Fibonacci” sebenarnya adalah kumpulan angka yang
menyusun sebuah deret (disebut “Fibonacci Sequence”) dimana angka
selanjutnya adalah hasil penambahan kedua angka di depannya.
Angka
pertama dan kedua Deret Fibonacci adalah 0 dan 1. 0+1 adalah 1, jadi
angka ketiga adalah 1. Angka keempat adalah 1+1=2, Angka ketiga
adalah 1+2=3, begitu seterusnya. Maka
Deret Fibonacci akan berupa:
0, 1, 1,
2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, 89 .........
Pada
saat merumuskannya dalam bukunya yang berjudul “Liber Abaci” pada
1202, Leonardo Fibonacci belum mengetahui “keampuhan” deret itu
yang sesungguhnya. Barulah 500 tahun kemudian, ketika angka itu
digali kembali oleh Luca Paciola lewat bukunya “The Divine
Proportion”, barulah manusia menyadari “kemistisan” angka-angka
ini, terutama apabila angka-angka ini diperbandingkan. Bahkan seniman
legendaris, Leonardo da Vinci pada abad ke-16 menyebut perbandingan
antara angka-angka ini sebagai “The Golden Ratio”.
GOLDEN
RATIO
Tangga spiral ini dirancang menggunakan Fibonacci Spiral. Apakah kehidupan juga dirancang oleh Sang Pencipta dengan pola ini? |
Apa itu
Golden Ratio (Rasio Emas)? Seperti bisa kita ketahui, Deret Fibonacci
bisa kita teruskan hingga tak terbatas. Namun apa yang terjadi bila
kita mencari rasio (perbandingan) di antara dua angka di Deret
Fibonacci, yakni antara bilangan di depannya dibagi bilangan
sebelumnya?
Seperti
kalian lihat, angka tersebut akan semakin mendekati nilai 1,6. Angka
tersebut dinamakan “Golden Ratio”. Apabila terus-menerus
dihitung, maka kita akan menemukan nilai “pasti” Golden Ratio
tersebut (dilambangkan “phi” atau φ)
adalah:
φ
= 1,6180339887 ....
Nah, apa
sih keistimewaan Bilangan Fibonacci dan Rasio Emas yang mengikutinya?
Ternyata, banyak struktur di alam dibangun dengan pola-pola yang
mengikuti Bilangan Fibonacci dan Rasio Emas. Contoh-contoh yang jelas
terlihat adalah pada tumbuhan.
Rasio
Emas di Alam
Kita
beri contoh bunga. Bunga ternyata tersusun dalam jumlah mahkota bunga
yang senilai dengan salah satu Bilangan Fibonacci, semisal berjumlah 1, 2, 3, 5, atau 8. Bahkan bunga-bunga yang terkenal memiliki jumlah
mahkota bunga yang banyak (seperti bunga aster dan bunga matahari)
memiliki jumlah antara 13, 21, 34, sampai 55 yang kesemuanya merupakan Bilangan
Fibonacci.
Namun
kalian yang masih ingat tentang perbedaan tanaman monokotil dan
dikotil di pelajaran Biologi SD ataupun SMP mungkin bertanya-tanya,
lah Bang kan ada bunga yang jumlah mahkotanya 4 (dikotil) atau 6
(monokotil), berarti mereka nggak ngikutin Bilangan Fibonacci dong?
Hmmm ... nggak juga, sebab kedua angka itu adalah kelipatan Bilangan
Fibonacci, yakni 2 dan 3.
Ada
lagi. Apabila nilai derajat dalam satu lingkaran penuh, yakni 360o
dibagi oleh nilai φ , maka hasilnya adalah 137,51o
atau disebut dengan “The Golden Angle” atau “Sudut Emas”,
Bunga dan biji dalam tanaman (terutama jenis Composit atau bunga
majemuk) yang tersusun dalam Sudut Emas ini akan lebih efisien,
sehingga akan menampung lebih banyak biji. Biji yang tersusun dalam
Sudut Emas ini juga memiliki pola unik yang jika dilihat akan
menjelma seperti ilusi optik. Contoh tumbuhan yang memiliki Sudut Emas ini adalah bunga matahari dan Chamomile. Sudut Emas ini juga terlihat dalam tanaman lain, seperti Pinus.
Apakah pola spiral di bunga ini searah jarum jam ataukah berlawanan jarum jam? Jumlah spiralnya juga sesuai lho dengan Bilangan Fibonacci |
Bilangan
Fibonacci juga tampak pada tata letak daun (istilah latinnya:
Phyllotaxis). Ada tanaman yang memiliki phyllotaxis 1/2, 1/3, 2/5,
3/8, hingga 5/13. Apa artinya?
Kita
misalkan saja tanaman Pear (bisa juga diterapkan di tanaman
Bougenville) yang mengikuti phyllotaxis sebesar 3/8. Daun A letaknya
tepat di atas Daun B. Untuk bisa mencapai Daun A dari Daun B, maka
kita perlu melewati (secara urut): Daun I, Daun II, Daun III, Daun
IV, Daun V, Daun VI, dan Daun VII. Kebetulan, Daun A adalah daun
ke-VIII dari urutan tersebut (membuktikan angka “8” yang juga
Bilangan Fibonacci). Tak hanya itu, karena daun-daun itu tersusun
secara spiral, diperlukan 3 kali memutar untuk mencapai Daun A. “3”
lagi-lagi adalah Bilangan Fibonacci.
Salah
satu ciri khas Bilangan Fibonacci adalah dapat membentuk pola spiral.
Misalkan kita membuat satu kotak berukuran 1x1 cm, kemudian di
sampingnya kita buat kotak ukuran 1x1 (karena 1 dan 1 adalah dua
bilangan pertama Deret Fibonacci). Di bawahnya kita akan bisa membuat
kotak berukuran 2x2 (karena 1+1=2). di sampingnya, kita akan bisa
membuat kotak berukuran 3x3 (karena 1+2=3), begitu seterusnya. Apa
yang terjadi?
Kita
akan membentuk sebuah spiral. Spiral
ini bisa kita teruskan hingga Bilangan Fibonacci di atasnya, bahkan
tak terbatas.
Keberadaan
spiral inilah yang membuat Bilangan Fibonacci digadang-gadang sebagai
bilangan penyusun kehidupan, sebab banyak sekali makhluk hidup, baik
tumbuhan maupun hewan, yang memanfaatkan Spiral Fibonacci ini (atau
yang disebut Spiral Emas). Spiral Emas ini bisa disebut sebagai
“geometri sakral” sebab bisa kita lihat mulai dari susunan daun
dan bunga pada tanaman, cangkang Nautilus, hingga embrio
manusia.
Tak
hanya itu, jika kita memperluasnya, kita juga menemukan Spiral
Fibonacci ini di gejala alam seperti ombak dan badai. Bahkan
di alam semesta, galaksi spiral-pun menjadi bukti pembenaran
Fibonacci sebagai bilangan yang menyusun alam semesta.
Leonardo
da Vinci juga menyadari, bahwa segala sesuatu yang mengikuti Rasio
Emas secara otomatis akan dipandang “indah” oleh otak kita.
Sebagai contoh, tubuh manusia yang proporsional dan “sempurna” di
mata kita adalah tubuh yang mengikuti Rasio Emas. Konon, jarak antara
kaki hingga pusar kita apabila dibandingkan dengan jarak antara ujung
kepala hingga pusar akan membentuk Rasio Emas (1,6). Contoh lain,
proporsi tubuh lelaki yang dianggap ideal adalah jika perbandingan
antara lebar pinggang dan lebar pundak adalah 1,6. Begitu
pula perbandingan wajah kita, jika tidak sesuai dengan Rasio Emas,
maka wajah kita takkan dianggap menarik (at least begitulah pendapat
bangsa Eropa kala itu).
Salah
satu karya Leonardo da Vinci yang paling terkenal (selain Monalisa
tentunya) adalah “Vitruvian Man” yang tentu saja digambar da
Vinci menggunakan konsep Rasio Emas.
Rasio
Emas Dalam Arsitektur
Ternyata
bukan Leonardo da Vinci yang pertama kali menyadari keistimewaan
Rasio Emas. Ternyata peradaban-peradaban kuno seperti Yunani hingga
Golden Age of Islam sudah mengetahuinya. Bangunan kuil Yunani semacam
Parthenon di Athena dibangun menggunakan Rasio Emas. Bahkan jauh
lebih purba dari itu, Piramida Agung di Mesir (yang dibangun sejak
2.500 SM) juga mengikuti Rasio Emas. Masjid Agung Kairouan di di
Tunisia, salah satu masjid-masjid perdana yang dibangun pada tahun
670 M hingga Masjid Loftallah yang dibangun tahun 1603 di Iran, juga
dibangun dengan pengetahuan mengenai Rasio Emas ini.
Bahkan
secara kebetulan, konversi nilai 1 mil menjadi kilometer adalah
1,609344 kilometer, nyaris serupa dengan nilai φ
Kalian nggak
perlu jadi arsitek kok buat nerapin Rasio Emas ini dalam kehidupan
sehari-hari. Ukuran kertas folio dan ukuran standar buku hingga kini
masih mengikuti tradisi Eropa kuno untuk dicetak mengikuti Rasio
Emas. Bahkan ada ide menggelitik yang pernah gue baca bahwa merancang
sebuah website menggunakan Rasio Emas akan membuatnya lebih enak
dipandang.
Namun
tidak berarti Rasio Emas dan Bilangan Fibonacci harus menjadi
bilangan “cocoklogi”. Memang tak semua struktur di alam, baik
yang hidup maupun tidak, mengikuti Bilangan Fibonacci. Walaupun nggak
bisa dipungkiri bahwa pola “spiral” merupakan tema yang amat
sering kita temukan, nggak hanya di Bumi, namun juga di alam semesta
ini. Keindahan yang ditampilkan oleh Deret Fibonacci dan Rasio Emas
ini juga patutlah diapresiasi dan tak diayal lagi memang mengagumkan
bagaimana alam menampilkan sebuah desain yang tak hanya teratur dan
efisien, namun juga indah.
Mungkin
benar apa yang dikatakan Profesor Michio Kaku, seorang ahli
String Theory yang dengan berani menyatakan bahwa: “God is a Mathematician”.
SUMBER: The Beauty of Chaos, Eniscuola
Bang dep. Setau aku mas galileo itu dihukum bukan karena pendapat dia soal bumi bola yg bertentangan sama gereja n pemerintah saat itu, tapi karena gagal membuktikan suatu rumus. Aku lupa apa rumus atau pembuktian yg dia gagal buktikan tapi kayaknya bukan soal bumi bulet deh
ReplyDeleteAtau teori heliosentris ya? 🤔
DeleteSeingetku sih yg ini ^^, krn bertentangan dengan pendapat bahwa bumi yg pusat
DeleteIni pertama kalinya matematika terasa indah 😍😍😍 makasih bang Dave ♥️
ReplyDeleteKebetulan banget, lagi baca The Da Vinci Code (dimana angka phi menjadi salah satu pembahasan utama), langsung ada artikel ini.
ReplyDeleteaku juga nyambung di bagian fibonacci dan vitruvian man wkwk
DeleteKabarnya lagu Havdalah-nya umat Yahudi juga makai rasio emas ini dalam notasinya, makanya jadi enak didenger
ReplyDelete