Friday, June 5, 2020

“EXISTENTIAL CRISIS” PROLOGUE: TEST TURING & ARTIFICIAL INTELLIGENCE



Jika kalian suka dengan film-film atau series bergenre sci-fi seperti “Star Wars”, “Star Trek”, atau mungkin buat kalian yang anti-maintream, “Dr. Who”, banyak tema yang diangkat terlalu futuristis dan bombastis (bahkan khayal). Space warp lah, wormhole lah, mesin waktu lah. Namun tahun lalu gue menonton sebuah film sci-fi thriller yang begitu dekat dengan kenyataan, bahkan seakan “menyentuh” realita. Film itu berjudul “Ex-Machina”, sebuah film besutan tahun 2014 yang dibintangi Alicia Vikander (yang kini main “Tomb Raider”). Film tersebut menyinggung tentang “Turing Test” yang langsung bikin gue penasaran. Apa itu “Turing Test” atau “Tes Turing?”

Tes Turing adalah sebuah tes untuk robot, dimana apabila robot itu lulus, maka berarti robot itu sudah tak bisa dibedakan lagi dengan manusia. Bagaimana akibatnya jika ada robot yang mampu lulus Tes Turing? Tentu itu menjadi bukti kemajuan teknologi manusia yang mumpuni. Namun bagaimana jika robot-robot yang kelewat cerdas tersebut memutuskan untuk memberontak, seperti plot film “Terminator”? Ataukah ketakutan kita itu terlalu dini dan justru tak beralasan?



AI: THE RISE OF THE MACHINE


Kata “robot” mungkin terlalu luas, maka di artikel ini gue akan mulai menggunakan istilah “Kecerdasan Buatan” atau “Artificial Intelligence” (AI). Salah satu contoh AI yang sudah kalian kenal tentunya “Siri” bagi pengguna I-Phone. Tesla, perusahaan milik Elon Musk, juga tengah mengembangkan kendaraan “self-driving car” atau kendaraan yang bisa dikendalikan oleh AI sehingga manusia tak perlu repot menyetir lagi. Keberadaan AI memang sangat berpotensi membantu kehidupan kita, walaupun penggunanya baru segelitintir, yakni kaum melek teknologi.

Namun apakah kita perlu mengkhawatirkan perkembangan AI yang begitu pesat tersebut?

Pada 1950, seorang pakar komputer dari University of Manchester, Inggris bernama Alan Turing sudah memperdiksi, bahwa suatu saat nanti, perkembangan ilmu komputer dan robotik akan sangat maju hingga kita akan menciptakan AI yang tak bisa lagi dibedakan dengan manusia. Beliau kemudian merancang sebuah tes yang kemudian dinamakan “Tes Turing” untuk membuktikan teorinya tersebut. Bagaimana cara kerjanya?

Tes Turing terinspirasi oleh permainan klasik bernama “Imitation Game”. Di game ini ada tiga peserta, katakanlah A, B, dan C. Adan B haruslah memiliki jenis kelamin berbeda (satu laki-laki dan satu perempuan, terserah yang mana), sedangkan C bebas. A dan B kemudian disembunyikan, semisal berada di balik tirai, sehingga C tak bisa melihat mereka. Peserta C kemudian harus menanyakan beberapa pertanyaan kepada A dan B bergantian. Kemudian dari jawaban mereka, C harus menyimpulkan yang mana yang laki-laki dan yang mana yang perempuan.

Ilustrasi sederhana "Imitation Game" dimana sang juri harus menebak dari balik tirai yang mana laki-laki dan yang mana perempuan

Permainan ini kemudian dimodifikasi oleh Alan Turing. A dan B kini digantikan oleh manusia dan AI. Sedangkan C adalah juri, dimana ia menanyakan beberapa pertanyaan dan kemudian menebak, yang manakah yang AI dan yang mana manusia sungguhan. Jika juri “tertipu”, dengan kata lain ia mengira sang AI adalah manusia, maka si AI menang dan dianggap lulus Tes Turing tersebut.

Ilustrasi sederhana Test Turing dimana sang juri harus menebak yang mana komputer (AI) dan yang mana manusia sungguhan tanpa melihatnya, hanya berdasarkan percakapan

Sudah adakah yang berhasil lulus Tes Turing tersebut? Dua kali, yakni pada 1966, sebuah AI bernama ELIZA buatan Joseph Weizenbaum dan tahun 1972, sebuah AI bernama PARRY buatan Kenneth Colby. Pada tahun 1991, Tes Turing dijadikan sebuah ajang kompetisi dimana para ahli robotik dari seluruh dunia berlomba-lomba merancang AI yang bisa melewati Tes Turing ini. Sebuah award bernama Loebner Prize. Beberapa pemenangnya antara lain ALICE (Artificial Linguistic Internet Computer Entity) dan sebuah AI bernama Jabberwocky.

Namun kemenangan-kemenangan itu sama sekali tak berarti apa-apa (akan gue jelaskan nanti) sehingga secara garis besar, sesungguhnya hingga kini belum ada sama sekali AI atau entitas robotik manapun yang berhasil melewati Tes Turing. Lho, mengapa?


AKU TERTIPU, AKU TERJEBAK, AKU TERPERANGKAP MUSLIHATMU ...



Pertama-tama kita bahas dulu sejarah AI. Pada tahun 1956, penelitian resmi tentang AI resmi dimulai semenjak sebuah workshop diadakan di Dartmouth College, Inggris. 40 tahun kemudian, pada 11 Mei 1997, tercatat sejarah dimana sebuah AI bernama “Deep Blue” dengan kecerrdasan artifisialnya, berhasil mengalahkan Garry Kasparov, seorang grandmaster catur kala itu, dalam sebuah permainan catur. Pada 2001, sebuah AI bernama “Watson” bikinan perusahaan komputer, IBM, berhasil mengalahkan dua juara dunia, Brad Rutter dan Ken Jennings dalam pertandingan catur.

Wow, robot aja bisa bermain catur (permainan yang bahkan buat manusia biasa kayak kita dianggap sulit karena membutuhkan strategi yang tak main-main). Jadi bisa disimpulkan, para AI sudah memiliki level kecerdasan tinggi nan mengagumkan. Namun mengapa mereka belum berhasil melewati Tes Turing? Apa yang menghambat mereka?

Well, ternyata walaupun dinilai brilian, ide Alan Turing untuk membuat Tes Turing tersebut ternyata kini justru mendapat banyak tentangan dari pakar komputer dan robotik. Mereka berpendapat bahwa dengan menyuruh robot agar bisa meniru manusia sehingga bisa memenangkan Tes Turing, justru akan “menurunkan derajat” dan “memperbodoh” AI. Lho, kenapa?

Untuk memahaminya, kita perlu menelisik lebih jauh identitas para AI yang konon sudah berhasil “memenangkan” Tes Turing. Mungkin kalian masih ingat (soalnya namanya keren-keren), mulai dari ELIZA, PARRY, ALICE, dan Jabberwocky. Jika membayangkan AI yang berhasil melewati Tes Turing, mungkin kita akan membayangkan sebuah robot super canggih dan supercerdas atau android yang penampilannya seperti manusia.

JRENG JRENG JRENG!!!

Namun tidak. Seluruh “pemenang” Tes Turing sesungguhnya hanyalah “chatterbot”. Tahu kan bot untuk chat, yang biasanya dipake jomblo-jomblo kesepian itu?

Dih, jomblo ...

Sebenarnya mereka tidaklah benar-benar memenangkan Tes Turing, melainkan “mengakalinya”. Ketika ELIZA memenangkan Tes Turing pada 1966, para jurinya kala itu terkesima bahwa sebuah robot ternyata mampu berbicara seperti layaknya manusia biasa. Padahal, kala itu ELIZA tak lebih baik dari chatterbot masa kini (yang biasanya nggak nyambung kalo kita ngajak ngobrol). Lalu bagaimana ELIZA berhasil “menipu” para jurinya kala itu?

ELIZA sengaja didesain untuk meniru seorang psikiater bernama Carl Rogers yang dikenal dengan metode “parroting” untuk membantu pasiennya. Contohnya nih, jika ELIZA mendapat pertanyaan yang bisa ia jawab, semisal “Hari apa ini?”, maka ia akan menjawab biasa, semisal “Hari Minggu” (karena ia sudah dibekali kalender). Namun jika ELIZA mendapat pertanyaan yang tak bisa ia jawab, maka ia akan membalasnya dengan bertanya balik. Semisal, jika ELIZA mendapat pertanyaan filosofis yang sulit seperti, “Apa makna kehidupan bagimu?”, maka ELIZA akan balik bertanya, “Menurut kamu sendiri, makna kehidupan itu apa?”.

ELIZA sendiri, jika mau benar-benar ditelusuri, bukanlah AI yang sesungguhnya. Agar bisa disebut AI, maka ia harus bisa belajar dan memecahkan masalah. ELIZA sendiri nggak bisa belajar. Semua pengetahuan baru haruslah ditambahkan sendiri oleh programmernya dengan mengedit programnya. Tak hanya itu, dari paparan di atas, ELIZA jelas tak bisa memecahkan masalah, ia bisanya cuman “ngeles”.

Tapi jika kemampuan ELIZA cuma segitu-segitu aja, kenapa ia bisa menang Tes Turing?

Jawabannya karena ELIZA sendiri merupakan interaksi pertama antara manusia dan AI dalam sejarah. Perlu kalian ketahui bahwa ELIZA dites pada tahun 1966, dimana kala itu adalah 15 tahun sebelum manusia bisa memiliki komputer pribadi. Ya, kala itu bahkan komputer saja masih jarang dan konsep “robot yang bisa berbicara dengan mereka” (walaupun itu cuman “spam bot”) merupakan konsep yang begitu “wow” bagi mereka.

Gimana dengan PARRY? Apa dia lebih hebat? Ternyata PARRY juga tak kalah “ngenes”. Ia diprogram untuk menyerupai perilaku seorang penderita skizofrenia. Kalian semua pasti sudah tahu bahwa skizofrenia adalah sebuah penyakit jiwa dan penderitanya sering mengucapkan hal-hal yang tak masuk akal. Ketika PARRY bercakap-cakap dengan seorang ahli jiwa, tentu saja ia akan mengira PARRY adalah seorang penderita gangguan jiwa karena percakapannya ngawur dan nggak nyambung.

AI seperti PARRY berhasil melewati Turing Test karena berpura-pura menjadi penderita gangguan jiwa. Adilkah?

Begitu pula dengan para pemenang Loebner Prize, sebuah ajang yang (katanya) bergengsi dan setara dengan Piala Oscar buat robot? Para peserta award ini sepertinya lebih berkonsentrasi untuk memenangkan penghargaan tersebut sehingga justru merancang AI-AI yang “meniru” kesalahan manusia. Beberapa trik yang mereka lakukan antara lain:

1. Jeda dalam pembicaraan

Bayangkan jika kalian berhadapan dengan android lalu kalian bertanya: “Berapa akar pangkat dari 64?” maka si robot itu akan langsung menjawab “8”. Namun lain halnya dengan AI yang “getol” ingin memenangkan award ini. Semisal ditanya, “Jam berapa ini?”, ia akan menjawab, “Hmmm ... (jeda beberapa detik), jam 8 kayaknya.” seakan-akan ia sedang memeriksa jam atau apa. Jelas ini akan membuat sang juri mengira ia adalah manusia biasa.

Nah sekarang bayangkan jika kalian punya kalkulator super canggih dengan prosesor AI di dalamnya. Di tengah suatu ujian matematika yang begitu genting, kalian bertanya “Berapa 2log8?” dan jawabannya, “Hmmmm .... (nunggu 15 detik) berapa ya? Ehm ... mungkin 3 kali?”

Langsung lu banting pasti kalkulatornya.

2. Typo

Inilah salah satu trik sadis yang digunakan oleh robot untuk berpura-pura jadi manusia. Katakanlah lu jadi juri Tes Turing dan lu bertanya ke kontestan pertama, “Darimana asalmu?” dan dia menjawab, “Saya dari Surabaya, koordinat 7o15'55''S, 112o44'33''E dengan densitas penduduk 4.800/km2, terletak di Pulau Jawa antara plat lempeng tektonik Asia dan Australia ...”

Lu pasti mikir, “Hmmmm ... pasti robot nih.”

Tapi beda semisal dia menjawab, “Suarbaya”
.
Suarbaya? Surabaya maksud lu?”

Pasti lu akan berkesimpulan dia adalah manusia, sebab ada typo di sana. Menurut logika, komputer dengan kecerdasan tingkat tinggi jelas nggak akan pernah typo. Kecuali jika mereka sengaja.

3. Bohong

Nah ini nih yang paling berbahaya, salah satu ciri khas manusia adalah bohong. Bayangkan jika demi meluluskan AI-nya dari Tes Turing, ia akan memprogram AI-nya agar mampu berbohong. Semisal jika sang juri pintar dan menanyakan pada kedua kontestan, “Apa kamu AI?”. Jika sang AI (yang tentunya ingin menang) menjawab: “Tidak!” maka jelas ia berbohong. Berabe kan?


INTELLIGENCE IS INHUMAN?



Nah, mungkin sekarang kalian bisa memahami ya mengapa banyak yang menolak keberadaan Tes Turing ini. Mungkin dulu konsep tes ini sebegitu cemerlang pada saat dicetuskan (dan tujuannya juga bagus untuk menerapkan standar bagi kemajuan AI), namun Alan Turing kala itu melupakan satu hal, yakni ambisi dan “kemanusiawian” para pembuat AI tersebut. Tes Turing menjadi istilah yang amat populer dan bergengsi sehingga para pemrogram AI berusaha keras melewatinya sebagai bentuk kebanggaan mereka. Akibatnya, mereka justru berbuat “curang” dengan memanipulasi AI mereka untuk mengeksploitasi kelemahan manusia demi mengakali tes itu.

Tentu hal tersebut justru menurunkan standar emas teknologi tingkat tinggi yang sudah dicapai para AI terkemuka, katakanlah seperti Watson buatan IBM di atas tadi. Bahkan, bagi Tes Turing, kecerdasan AI justru dianggap sebuah “kelemahan” yang bisa membuatnya kalah di ujian tersebut. Contohnya tadi sudah gue singgung sedikit sih di atas. Semisal kalian menjadi juri dan bertanya pada kedua kontestan Tes Turing, “Apa binatang kesukaan kalian?”

Kontestan A menjawab, “Binatang kesukaan saya adalah ayam dengan nama Latin “Gallus gallus domesticus” dan tahukah kamu, walaupun ayam bukan burung migrasi, namun penemuan terbaru menyebutkan bahwa burung migrasi menggunakan salah satu konsep Mekanika Kuantum yakni 'quantum entanglement' dan protein yang sensitif terhadap cahaya bernama 'cryptochrome' yang apabila terkena partikel foton akan membuat mereka bisa mendeteksi medan magnet Bumi ...”

Sedangkan kontestan B menjawab: “Hmmmm ... binatang favorit aku ya? Apa yaaaaa ... anuuuu ... mungkin ayam, soalnya ayam tuh enak seklai apalagi kalo digoyeng ... h3h3h3 ....”

Lu pasti menyimpulkan: “A JELAS ROBOT, B PASTI ORANG!!!”

Padahal begitu tirainya dibuka, ternyata A adalah seorang profesor ahli fisika kuantum dan B ternyata robot berbentuk penyedot debu (Oya, efek ini, dimana manusia justru disalahartikan sebagai robot, disebut dengan “Confederate Effect”)

Tapi gue nggak menyalahkan jika kalian mengambil kesimpulan tersebut. Mengapa? Karena kita sendiri perlu mengakui bahwa kita menganggap kecerdasan bukanlah sesuatu yang manusiawi. Itulah dilema bagi AI yang harus melalui Tes Turing, apakah mereka harus mempertahankan level kecerdasan mereka ataukah “menurunkannya” sehingga mencapai standar manusia? Jika AI tersebut memilih opsi kedua agar bisa memenangkan Tes Turing, bukankah berarti kita mengajari mereka berpura-pura, bahkan berbohong?

Maka dari itu, tak berlebihan jika banyak para pakar di bidang AI mengatakan bahwa Tes Turing justru menjadi “distraksi” bagi mereka untuk melakukan riset yang benar-benar bermanfaat. Dengan bahu-membahu berusaha menciptakan AI yang semakin menyerupai manusia, kita justru malah menurunkan kualitas mereka. Mereka mengambil pengandaian tentang teknologi pesawat terbang. Ketika pertama kali diciptakan oleh Wright Bersaudara, prinsip pesawat terbang pertama memang menyerupai burung. Namun pada perkembangannya, para ahli penerbangan (semisal Pak Habibie) nggak malah berlomba-lomba menciptakan pesawat yang bentuknya semakin mirip ama burung sehingga bisa menipu burung asli hingga burung-burung itu mengira pesawat itu sesama mereka kan? Perkembangan teknologi pesawat justru berkembang ke arah manfaatnya, yakni menciptakan pesawat yang semakin aman, nyaman, dan cepat.

Pesawat terbang memang didesain menyerupai burung, namun bukan berarti mereka harus bisa berkicau seperti burung kan?

Salah satu alternatif solusi selain Tes Turing adalah “Tes Feigenbaum” dimana AI berkompetisi dengan manusia yang ahli di bidangnya masing-masing. Syaratnya pun sama, seorang juri harus menilai siapa yang AI dan siapa yang manusia biasa. Bedanya, karena pertanyaan yang diajukan berdasarkan sebuah bidang ilmu tertentu (semisal Kimia) maka jawaban yang diberikan pun bersifat akademis dan terhindar dari percakapan casual (seperti yang butuh: “Hmmmm ... apa ya?”). Di tes inipun sang AI tak perlu malu-malu menunjukkan kecerdasannya, sebab ia berkompetisi dengan seorang pakar yang juga ahli di bidangnya.


QUANTUM SUPREMACY



Namun benar berfungsi atau tidaknya Tes Turing, tentu ada pertanyaan yang menggelitik kita semua ketika membahas tema ini, bagaimana jika suatu saat kelak sebuah mesin benar-benar bisa melewati Tes Turing dengan jujur (nggak main curang seperti di atas)? Apa yang akan terjadi jika robot tak bisa lagi dibedakan dengan manusia?

Tentu saja akan ada manfaat dan mudaratnya. Seperti yin dan yang, semua pasti ada baik dan buruknya. Dampak baiknya tentu kita bisa memanfaatkan AI di berbagai bidang, ambil saja satu contoh: medis. Kita tahu kan di masa Covid-19 ini banyak dokter dan perawat yang meninggal karena tertular virus berbahaya itu karena kontak dengan pasiennya? Nah di masa depan mungkin para dokter akan digantikan AI (yang jelas takkan terinfeksi penyakit) sehingga para dokter bisa mengamatinya dari jarak yang aman. Bahkan bila bisa lebih canggih lagi, robot-robot itu bisa langsung mengambil keputusan medis yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan pasien tersebut

Namun dampak negatifnya, hmmm ... tentu tak sedikit. Bayangkan saja berapa banyak pekerjaan manusia yang bakalan “tergulung” oleh keberadaan AI ini. Diperkirakan hampir 50% pekerjaan manusia akan hilang “direbut” oleh para AI ini. Dari contoh di atas saja, profesi bergengsi seperti dokter saja bisa saja diambil alih oleh AI di masa depan. AI yang semakin menyerupai manusia juga bisa dimanfaatkan untuk kejahatan lho, terutama ”cybrecrime”.

Semisal saja bot yang lolos Tes Turing bisa berpura-pura menjadi “cyberlover” di dunia maya dan pura-pura “menggoda” user berupa manusia (semisal masuk ke dalam game online) untuk menjalin “kisah kasih palsu” hingga pada suatu titik, si korbannya ini mengungkapkan identitas pribadi, semisal nomor rekening bank dan sebagainya. Informasi itu lalu bisa disalahgunakan oleh penjahat asli (yang memprogram bot tersebut) untuk menguras hartanya. Serem khan?

Ini lagi ...


Bahkan ilmuwan sekelas Stephen Hawking hingga milyuner kelas kakap seperti Bill Gates sudah memperingatkan bahwa suatu saat kelak, bila AI menjadi semakin cerdas, mereka bisa memberontak. Hal ini semakin mengkhawatirkan karena AI mulai dipergunakan di bidang militer. Bahkan, ketika pertama kali dicetuskan pada tahun 1950-an, pihak pertama yang mendanai riset AI secara besar-besaran adalah militer AS yang tertarik pada aplikasinya untuk memenangkan perang.

Anggap saja sebuah contoh akan ada sebuah drone dengan kemampuan AI tertanam di dalamnya sehingga ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa perintah dari pusat. Ia dikirim ke Syria dalam misi menghancurkan markas ISIS di kota Aleppo. Di sana, drone itu berhasil menemukan 10 petinggi ISIS berada di sebuah gedung yang dikelilingi pemukiman penduduk dimana sekitar 1.000 penduduk sipil tinggal. Dengan teknologi canggihnya, si AI berhasil mencuri dengar bahwa mereka akan menyerang kota Damaskus dan drone itu memperkirakan serangan itu akan menewaskan sekitar 100.000 penduduk sipil di Damaskus.

Misil yang dimiliki drone itu adalah bom berkekuatan tinggi yang tak hanya menghancurkan gedung dimana ISIS berada, namun juga seluruh bangunan lain di sekitarnya. AI itupun mengambil keputusan, bahwa demi menyelamatkan 100.000 orang, ia memilih mengorbankan 1.000 penduduk sipil tak berdosa dan mengirimkan bom untuk meledakkan seluruh tempat tersebut.

Lalu bagaimana jika drone itu kembali dan melihat bahwa militer dan pemerintah AS sama sekali tak lebih baik? Bagaimana jika ia berpendapat bahwa demi menjaga kedamaian dunia, ia perlu menyerang seluruh ibu kota negara bagian (ada 50) di Amerika Serikat dimana dalam serangan itu, jutaan orang bisa tewas? Tapi jutaan orang itu dianggap lebih baik ketimbang milyaran orang? Lalu bagaimana jika ia mulai menyerang negara-negara lain, China semisal, dan memicu perang besar-besaran?

Mungkin kalian menjawab, ya jangan bikin AI-nya galak-galak dong Bang, apalagi dikasi senjata. Bikin robotnya yang imut-imut aja kayak Wall-E. Beres dong?



Bahkan jika kita menciptakan android dengan prinsip AI yang ramah dan lemah lembut-pun, hasilnya mungkin takkan jauh berbeda. Mungkin kita tak merancang AI tersebut untuk peperangan, namun jika nantinya AI semakin menyerupai manusia, bahkan memiliki kesadaran, AI tersebut akan mulai mempertanyakan, mengapa ia cuma disuruh-suruh manusia, padahal kemampuan mereka setara (bahkan secara teori, AI bakalan jauh lebih cerdas daripada manusia). AI tersebut mungkin akan menuntut hak-nya dan apabila manusia hendak mematikan AI tersebut, ia tentu akan membela diri. Bisa-bisa nantinya dia memberontak, apalagi bahayanya dia lebih pintar dari kita.

Mungkin kalian bertanya, bagaimana caranya AI memiliki kesadaran? Kalo kecerdasan sih bisa lah, kalkulator aja canggih banget bisa menghitung angka sedemikian rumitnya. Tapi kesadaran? Jawabannya adalah dengan Mekanika Kuantum (here we go again). Salah satu aplikasi Mekanika Kuantum adalah riset tentang Quantum Computer dimana nantinya sebuah partikel proton-pun bisa dibuat menjadi komputer. Para pemerhati AI berpendapat bahwa suatu saat kelak nanti, akan tercapai “Quantum Supremacy”, yakni kondisi dimana komputer kuantum akan mengalahkan komputer “klasik”. Dan kita semua tahu, sebuah partikel dilihat dari sudut pandang Teori Kuantum, memiliki kesadaran. Jika kita bisa membangun AI berdasarkan prinsip Mekanika Kuantum, bisakah mereka memiliki kesadaran pula?

Sebagai penutup, gue akan mengutip pernyataan Stephen Hawkins yang memperingatkan kita akan keberadaan AI di masa depan.
Perkembangan Artificial Intelligence bisa mengakhiri umat manusia. AI akan mulai mengambil alih dan me-redesain sendiri lebih banyak AI. Manusia, yang terbatasi dengan evolusi biologis yang lamban, takkan mampu berkompetisi dan akhirnya akan tergilas ...”


Sumber artikel: Wikipedia

CATATAN: Artikel tentang “Test Turing” ini akan menjadi pengantar atau prolog dari Series “Existential Crisis” yang akan menguak lebih lanjut tentang dampak penggunaan AI yang akan membuat kalian mempertanyakan eksistensi kalian sendiri. Tunggu saja kehadirannya!


10 comments:

  1. Mantul bang Dave, bahasan nya semakin menarik 🔥🔥🔥

    ReplyDelete
  2. Kalo denger tes turing, inget sheldon cooper (big bang theory, everyone??) pas dibully ama temennya Gegara sifatnya gak bisa dibedain ama robot😂

    ReplyDelete
  3. Menurut ane, robot yang paling sempurna adalah robot yang memiliki sentience (Akal budi), yang dapat membedakan mana yang baik dan buruk serta memiliki perasaan/emosi seperti manusia

    ReplyDelete
  4. Artikel ini ngingetin aku ama game Detroit Become Human :v. Oh iya, ada Webtoon tentang topik ini loh, judulnya "Seed" di Webtoon English. AI nya juga Chatbot dong wkkwkw

    ReplyDelete
  5. AI takkan pernah mampu melampaui manusia, selama CAPTCHA menghadang. Bahkan manusia sendiri kesusahan meng hadapinya. (-_-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya ini mau gue bahas juga sih dan ada di draft artikel ini, tapi ga gw masukin krn kepanjangan.

      jadi ada namanya Swirski Test, kebalikan dari Turing Test dimana mesin mengidentifikasi mesin lain/manusia, contohnya CAPTCHA. Tapi di tahun 2013 ada AI namanya Vicarius yg udah bisa melewati 98% capctha dari Google/Yahoo/Paypal. Tahun 2014 Google sendiri udah bisa bikin AI yang bisa membobol 99,8% tes captcha. Tahun 2015, Shuman Ghose Majumder yang dijuluki "click fraud czar" mengatakan bahwa ada organisasi cybercriminal yang menawarkan jasa AI yg bisa ngelewatin captcha dengan imbalan biaya tertentu

      Ada di artikel wikipedia tentang tes turing kok

      Delete
    2. Ahahaha, aku lupa kalau pernah ada AI yang mampu melewati 98% CAPTCHA.

      Anyway, aku masih skeptis dengan teori AI yang akan menguasai dunia. Sejauh yang kutahu, kecerdasan buatan kebanyakan hanya bisa mengikuti perintah yang diberikannya, kecuali suatu saat terciptanya kesadaran buatan (Artificial Consciousness). Tentu ada penelitian tentang hal tersebut,tetapi jauh lebih rumit karena kesadaran begitu abstrak dan mungkin akan membutuhkan waktu yang lama. Aku memprediksi akan terjadi di era teknologi Kuantum. Namun pada saat itu pula, aku berpikir manusia akan menjadi sempurna hingga menjadi Tuhan itu sendiri.

      Delete
  6. Ini merupakan pembahasan paling menarik yang ada di blog mengakubackpacker. Ngomong-ngomong soal AI, saya rekomendasikan sebuah novel dystopia berjudul "I Have no Mouth and I Must Scream", menceritakan sebuah AI militer kejam yang mempermainkan manusia.

    ReplyDelete
  7. Ditunggu bangdep exsistential crisnya buat nemenin sahur dan buka para petjinja MBP UwU


    °be2c°

    ReplyDelete