Sangat ironis bahwa kita menjelajah
sampai ke luar angkasa untuk menyelidiki alam semesta, padahal kita
belum bisa menjawab pertanyaan sederhana tentang diri kita sendiri di
Bumi ini. Sebagai manusia kita memiliki kesadaran. Namun darimana
asal kesadaran itu?
Para peneliti sudah sejak lama
mengetahui bahwa konsep “kesadaran” (consciousness) berbeda
dengan “pikiran”. Otak kita jelas bisa berpikir, namun dari mana
asal kesadaran? Tentu seorang dokter ahli bedah bisa dengan mudah
menjawabnya, kesadaran yang asalnya dari otak. Coba bedah aja kepala
lu dan otaknya diambil, apa lu kira-kira masih bisa sadar? Tentu
tidak bukan. Tapi ternyata tak sesederhana itu. Kita tahu bagaimana
pikiran bekerja, yaitu dengan interaksi rumit neuron-neuron (sel
saraf) yang ada di otak kita. Kita bahkan bisa meniru cara kerja
pikiran tersebut dan menerapkannya, semisal pada komputer dan
kecerdasan buatan (AI). Bahkan kita bisa membuatnya memiliki ingatan
(memori) hingga memecahkan masalah, sama seperti otak manusia.
Namun, bisakah kita meniru kesadaran?
Hingga kini kita tak bisa melakukannya, sebab kita masih belum tahu
bagaimana kesadaran bekerja dan darimana asalnya.
Uniknya, pertanyaan itu mungkin bisa
dijawab dengan teori Mekanika Kuantum.
"Aku berpikir maka aku ada" |
Bagaimana jika kesadaran sesungguhnya
tidak bersifat biologis (seperti pikiran yang asalnya dari otak yang merupakan sel hidup),
melainkan justru berasal dari sesuatu yang fisik (Fisika)? Kita
andaikan begini. Setelah membaca postingan-postingan gue tentang
Mekanika Kuantum yang lalu, mungkin kalian berpikir, ih partikel kok
niru-niru manusia aja sih, pakek punya kesadaran segala? Tapi
bagaimana jika kebalikannya. Bagaimana jika kita bisa memiliki
kesadaran, karena ulah partikel-partikel “kuantum” yang memiliki
kesadaran di dalam otak kita?
Konsep kesadaran sudah lama ditelusuri
oleh para fisikawan, terutama ahli Mekanika Kuantum. Eugene Wigner
(penerima hadiah Nobel Fisika 1963) telah mencurigai bahwa mekanika
kuantum memiliki kaitan dengan cara kerja otak. Freeman Dyson,
fisikawan pencetus “Dyson Sphere” juga berpendapat bahwa
“elektron di otak kita-lah yang menentukan keputusan kita”. David
Bohm yang disebut-sebut sebagai salah satu fisikawan teoritis terbaik
di abad-20, yakin bahwa suatu saat nanti kita akan dapat menemukan
kaitan antara materi (partikel fisik) dengan kesadaran kita.
Konsep yang mengaitkan kesadaran kita
sebagai manusia dengan perilaku partikel dalam Mekanika Kuantum
disebut “Quantum Mind”.
Namun
mungkinkah kita menggabungkan ilmu Fisika dan Biologi melalui
penelitian tentang “kesadaran kuantum” ini? Seorang ahli fisika
kawakan dari Oxford bernama Sir Roger Penrose dan seorang profesor
ahli anastesi dari Universitas Arizona bernama Stuart Hameroff
berkolaborasi untuk mengemukakan teori yang disebut
“Orchestrated Objective Reduction” atau “Orch-OR”.
Roger
dalam bukunya yang berjudul “Emperor's New Mind” pada 1989
berpendapat bahwa jauh di dalam otak, terdapat sel yang di dalamnya
memiliki partikel kuantum yang memberikan otak kesadaran. Stuart yang
seorang ahli biologi, berteori bahwa lokasi partikel tersebut
terletak di salah satu organel (organ di dalam sel) yang disebut
“mikrotubul”. Mikrotubul tersusun atas protein bernama tubulin
dan di dalam tubulin inilah terletak sepasang elektron yang berada
dalam kondisi “entagled” (masih ingat dengan “quantum
entanglement”?).
Di dalam sel inilah diduga terdapat struktur bernama "Mikrotubul" yang mengandung elektron yang memberikan kita kesadaran, sehingga kesadaran kita dihipotetiskan merupakan "anugrah kuantum" |
Pasangan
elektron inilah yang kemudian memberi kita kesadaran.
Teori
tersebut sangatlah kontroversial. Tentu tak nyaman bagi kita untuk
mengakui bahwa kesadaran kita, yang membuat manusia menjadi makhluk
superior, sebenarnya dianugerahkan oleh “benda mati” yang sudah
terlebih dahulu memiliki kesadaran. Namun teori ini, jika benar, akan
menjadi “missing link” antara Fisika (diwakili Mekanika Kuantum)
dan Biologi, (terutama “neuroscience” atau ilmu yang mempelajari
saraf).
Namun
tentu saja, banyak fisikawan yang pendapatnya berseberangan dengan
pandangan “metafisik” para fisikawan tersebut. Salah satunya
adalah Victor Stenger yang menyebut “kesadaran kuantum” sebagai
sebuah mitos tanpa landasan sains yang nyata, bahkan menyebutnya sama
saja seperti “unicorn” dan “naga”, alias omong kosong belaka.
Tak
mengherankan, para fisikawan yang menentang pengaitan konsep
kesadaran dengan Mekanika Kuantum ini umumnya adalah ilmuwan yang
atheis.
Akan
tetapi para ilmuwan yang menolak teori “Quantum Mind” ini ada
benarnya juga. Teori ini belum terbukti kebenarannya, tapi sudah
disalahgunakan untuk berbagai pihak (terutama kaum “New Age”)
menjadi sebuah “pseudoscience” bernama “quantum mysticism”.
Ilmu Mekanika Kuantum yang mengandalkan metode ilmiah yang saintifik
tentu sah-sah saja, seaneh apapun hasilnya. Namun apabila mulai
digabungkan dengan “parapsychology” (“ilmu palsu” yang
mempelajari peristiwa paranormal seperti hantu, yang jelas belum
terbukti kebenarannya), tentu hasilnya meresahkan.
Contoh
“ahli” quantum mysticism yang menyalahgunakan Teori Kuantum demi
meraup kepentingan pribadinya adalah penulis bernama Deepak Chopra.
Ia menulis beberapa buku seperti “Quantum Healing” dan “Ageless
Body, Timeless Mind” dimana ia mengaku bahwa “kesadaran kuantum”
bisa digunakan untuk mengobati kanker bahkan mencapai kebebasan
finansial. Wut??? Trend ini gue khawatirkan tak hanya menyebabkan
para masyarakat awam menjadi tertipu, namun juga menambah skeptisisme
para ilmuwan akan konsep “kesadaran kuantum”.
Waduh kalo ada yang mulai memanfaatkan istilah "kuantum" untuk memasarkan suatu produk yang katanya bisa meningkatkan kesehatan dan energi kita, jangan dipercaya deh! |
Kembali
ke pembahasan kita tentang bintang. Jika bintang memiliki kesadaran,
apakah dia memiliki kemampuan yang juga kita miliki sebagai manusia
yang “sadar”. Semisal, kita memiliki emosi (marah, sedih,
bahagia, takut). Apakah bintang juga merasakannya?
Lebih
jauh lagi, jika kalian pernah membaca tentang percobaan “Cosmic
Interferometer” yang pernah dilakukan John Archibald Wheeler,
mungkin kalian ingat bahwa bintang yang jaraknya jutaan tahun cahaya
tahu bahwa kita akan mengamati cahayanya melalui eksperimen celah
ganda, jutaan tahun sebelum eksperimen itu dilakukan. Berarti,
mereka, jika mau, bisa melihat jauh ke masa depan kita.
Jadi
jika kalian suatu saat nanti tengah memandangi bintang-bintang di
langit, renungkanlah. Takdir kita memang tak tertulis di antara
bintang-bintang, namun sadarilah, bahwa mereka mungkin mengetahui
takdir kita.
SUMBER:
WIKIPEDIA
Kalo emang bener, kesadaran kita berasal dari kesadaran sebuah partikel, gila sih
ReplyDeleteGw dulu juga sempet mikir kek gitu,
Baca blog bang Dave tuh berasa pinter sekaligus oon di saat yang bersamaan πππ
ReplyDeleteAda banyak pengetahuan baru yang bisa didapat dari blog ini, jadi berasa pinter π€π€π€ tapi di saat yang bersamaan juga berasa oon karena berusaha memahami apa yang lagi dibahas bang Dave dengan kemampuan otak diriku yang pas2an πππ
mungkin manusia jaman dulu kala sudah sadar itu ya makanya mereka menyembah matahari dan menamai dewa matahari dsbnya;hal ini juga menjawab mungkin ya kita bisa ke masa depan atau masa lalu dengan kesadaran kita atau jiwa?? contoh film quantum leap atau somewhere in time??
ReplyDeleteMenurutku kesadaran benda mati berbeda jauh dengan kesadaran benda hidup. Tidak seperti benda hidup yang memiliki kesadaran yang "bebas", benda mati memiliki kesadaran yang seperti mengikuti aturan tertentu. Mereka "sadar", tetapi aksi dan reaksi mereka hanya ditentukan dari apa wujud dan guna mereka. Kesadaran benda mati ini dianggap Nirsadar atau tidak sadar. Mungkin bisa lihat filosofi zombie (P-zombie)
ReplyDeleteMungkin ini pertanyaan yang bodoh, tapo bagaimana dengan AI di masa depan nanti yang mengembangkan kesadaran seperti dalam game Detroit Become Human? Apakah mereka juga dikendalikan oleh partikel ini, tetapi hanya mengikuti aturan tertentu sesuai wujud dan guna mereka? Kalau benar seperti itu, apakah mereka memang sepenuhnya bisa dikatakan memiliki "kesadaran"?
DeleteKalau kata Dee Lestari; Opto,Ergo Sum. Aku memilih maka aku ada. Jadi saya pikir, asalkan sesuatu itu bisa memilih/punya keinginan untuk memilih (dengan kata lain punya free will), maka dia baru saja membuktikan eksistensinya. Dengan begitu, dia ada.
Ya, kemungkinan besar dapat dilakukan. Kesadaran sebenarnya bentuk 90 derajat dengan Kecerdasan; mereka serupa tapi tak sama. Kecerdasan dan Kesadaran sama-sama dapat memproses informasi, mencari tujuan, mengenali pola, dsb. Meski begitu, Kesadaran merupakan bentuk superposisi kuantum pada ruang dan waktu.
DeleteTak ada keterbatasan turunan pada AI, melainkan keterbatasan teknologi. Manusia sekarang secara teknis belum mampu menciptakan kesadaran kepada sebuah benda/entitas. Hampir semua jawaban tentang Kesadaran secara saintifik berada pada mekanika kuantum yang masih sedikit yang terungkap.
Mencerahkan artikelnya, berarti selama ini saya dibodohi para motivator dsb. mengenai kuantum pikiran yang katanya bisa mempengaruhi kehidupan kita dll.
ReplyDeletecoba sesekali lakukan out of body experience biar dapat gambaran lain ...
ReplyDelete