Saat
sedang asyik maraton video-video menarik dari “Numberphile”
di YouTube, gue lagi-lagi menemukan sebuah angka “Lovecraftian”
yang digadang-gadang sebagai “waktu terlama yang pernah dihitung
manusia” (dan ingat, seperti aturan kita yang lalu di “Bilangan
Lovecraftian”, harus memiliki arti). Angka tersebut dinamakan
“Poincare Recurrence Time”. Namun semakin gue mempelajarinya,
angka ini seakan menggugah sebuah konsep kuno yang menggelitik, yakni
“reinkarnasi”.
Pernahkah
kalian berpikir tentang apa yang terjadi setelah “kiamat”? Apakah
semuanya akan musnah dan kembali ke Penciptanya? Namun ilmu kosmologi
(ilmu yang mempelajari awal dan akhir alam semesta) justru memiliki
jawaban yang aneh, bahwa segalanya akan kembali ke kondisi semula dan
memulai segalanya dari awal, mirip dengan konsep “reinkarnasi”.
Namun reinkarnasi yang dimaksud berbeda dengan konsep yang ada dalam
agama-agama Timur.
Karena
penggunaannya di bidang Mekanika Kuantum, konsep tersebut disebut
juga sebagai “Quantum Recurrence” dan perlu gue ingatkan, konsep
ini amatlah kontroversial.
PART
ONE: APOCALYPSE
Bagi peradaban purba yang primitif, peristiwa gerhana seperti ini bisa diartikan sebagai akhir dunia. Namun seperti apakah akhir dari alam semesta ini? |
Pertama
gue perlu menelisik sebuah pertanyaan berat, apa itu kiamat? “Kiamat”
atau “akhir dunia” merupakan konsep yang dikenal dalam agama
Samawi, baik dalam Yahudi, Kristen, hingga Islam. Tapi bagaimana
secara sains? Apakah kiamat merupakan konsep yang diamini pula oleh
ilmuwan?
Aneh
memang, namun ilmuwan yang Atheis sekalipun akan mengakui bahwa dunia
ini pada akhirnya akan mengalami kiamat. Kiamat “terdekat” dan
paling mungkin terjadi pada kita adalah ketika Matahari akan
kehabisan energinya sehingga berubah menjadi bintang “Raksasa
Merah”. Pada saat itu, ukuran Matahari akan membengkak sehingga
menelan planet-planet terdekatnya dan memusnahkan kehidupan di planet
kita. Tapi peristiwa itu baru akan terjadi 5,4 miliar tahun yang akan
datang.
Jika
peristiwa itu terjadi dan manusia masih ada (belum punah duluan),
maka kemungkinan besar manusia sudah mencapai teknologi yang amat
tinggi sehingga kita bisa mengungsi ke tata surya lain. Namun
bagaimana dengan kiamat alam semesta, dimana seluruh jagad raya
menemui akhirnya? Jikapun kita masih ada, kita tentu takkan mungkin
bisa melarikan diri lagi?
Kita nantinya akan "dikhianati" sang surya ketika matahari membengkak dari ukurannya semula (yang kecil) menjadi bintang Red Giant raksasa |
Kita
tahu (at least secara teori) bahwa alam semesta ini diawali dengan
Big Bang. Namun segala sesuatu yang memiliki awal pasti memiliki
akhir. Menurut para ahli Kosmologi, ada beberapa teori tentang
bagaimana alam semesta ini akan menemui akhirnya. Teori-teori
tersebut meliputi “Big Freeze”, “Big Rip”, dan, “Big
Crunch” (ada satu konsep lagi sih bernama “Big Slurp”, namun
karena nggak ada kaitannya dengan apa yang mau gue bahas, mungkin
lain kali aja gue jelaskan). Akan gue jelaskan satu persatu ketiga
“takdir” alam semesta itu.
Big
Freeze
Teori
ini adalah teori paling menakutkan sekaligus paling ngenes.
Diutarakan Lord Kelvin pada 1850 dan terinspirasi oleh Hukum
Keseimbangan Termodinamika, beliau berteori bahwa alam semesta akan
mengalami akhir yang dingin, pelan, dan menyakitkan. Sekitar 1012
hingga 1014 tahun di masa depan, semua bintang di alam
semesta akan kehabisan energi dan “padam”. Alam semesta akan
gelap gulita dan didominasi oleh Lubang Hitam. Namun pada akhirnya
Lubang Hitam sendiri akan lenyap dan menguap menjadi “Hawking
Radiation”. Yang tersisa tinggalkan positron dan elektron yang akan
saling memusnahkan satu sama lain. Setelah “akhir” itu terjadi,
konsep ruang dan waktu takkan berarti lagi karena tak ada apapun yang
tersisa.
Big
Rip
Skenario
kedua disebut “Robekan Besar” atau “Big Rip”. Di artikel
terdahulu, gue sempat menyinggung tentang “Hubble Expansion”,
suatu kondisi dimana alam semesta terus mengembang semenjak Big Bang,
sehingga jagad raya kita bisa diandaikan sebuah balon yang terus
mengembang. “Hubble Expansion” disebabkan oleh sebuah energi
misterius yang disebut “Dark Energy” yang terus mendorong alam
semesta untuk mengembang. Namun apa akibatnya jika sebuah balon terus
ditiup atau dipompa? Tentu jawabannya akan meletus! Logika inilah
yang digunakan ilmuwan untuk merumuskan “Big Rip”. Suatu saat
nanti, alam semesta akan “robek” bila terus-menerus ditarik.
Bahkan inti atom terkecilpun akan “sobek” dan isinya memencar
kemana-mana. Alhasil, segala sesuatupun akan musnah.
Big
Crunch
Ilustrasi Big Crunch |
Teori ini merupakan kebalikan “Big Rip”. Jika di “Big Rip” kita beranggapan “Hubble Expansion” akan terus-menerus terjadi hingga “merobek-robek” alam semesta, maka di “Big Crunch”, kemampuan “Dark Energy” untuk mengembangkan alam semesta kita memiliki batas. Bayangkan saja sebuah pegas yang kita tarik dan ulur terus-menerus. Apabila kita berhenti menariknya atau bahkan melepaskannya, apa yang akan terjadi? Tentu pegas itu akan kembali ke bentuknya yang semula, bukan?
Logika
inilah yang diterapkan di “Big Crunch”. Suatu saat “Dark
Energy” akan mencapai batasnya dan habis, sehingga alam semesta
berhenti mengembang. Karena tak ada lagi “Dark Energy”, maka alam
semesta akan kembali mengecil dan mengecil hingga kembali ke
bentuknya yang semula, yakni sebuah Titik yang amat padat, seperti
sesaat sebelum Big Bang. Jika ini terjadi, maka kita semua akan
“terdorong” ke Titik tersebut dan akhirnya akan musnah.
Gampangannya, bayangkan kita berada di ruangan yang terus menyempit
dan menyempit, pasti tubuh kita bakalan remuk kan?
Uniknya,
teori “Big Crunch” menimbulkan implikasi lain. Jika alam semesta
kembali ke bentuknya semula, apakah mungkin Titik tersebut akan
mengalami Big Bang kembali, sehingga menciptakan alam semesta baru,
seperti sebuah siklus? Bahkan mungkin saja alam semesta yang kita
tempat sekarang sesungguhnya adalah alam semesta kesekian kali yang
tercipta, kemudian musnah, kemudian tercipta lagi?
Konsep
“Big Crunch” inilah yang kemudian dikaitkan dengan “Quantum
Recurrence”
PART
TWO: POINCARE RECURRENCE
Pada
1890, seorang ilmuwan Prancis bernama Henri Poincare mengamati
sesuatu yang aneh. Jika ia memiliki beberapa partikel di dalam sebuah
kotak, kemudian diberi perlakuan, maka jika diberi waktu yang cukup
lama, maka partikel-partikel itu pada akhirnya akan kembali ke posisi
semula. Biar gampang, gue kasih gambaran begini.
Anggap
saja kalian punya sebuah kotak yang unik. Di dasar kotak itu ada
empat cekungan yang muat untuk 4 buah bola. Katakanlah lu punya bola
bernama “A”. Lu taruh bola itu di cekungan 1. Kemudian lu menutup
dan mengocok-ngocok kotak itu hingga bola di dalamnya mental-mental
ga karuan. Setelah itu lu biarkan sebentar kotak itu, lalu lu buka.
Dimana kira-kira si bola A berada?
Mungkin
kalian menjawab, bola A bisa berada di cekungan I, II, III, dan IV.
Adakah kemungkinan si bola A kembali ke cekungan I seperti posisi
awalnya? Tentu saja ada. Kemungkinannya adalah 1/4 atau 0,25 kan?
Sekarang
bagaimana jika kita letakkan bola A di kotak yang jauh lebih besar,
yakni memiliki 8 cekungan. Jika kita melakukan hal yang sama, maka
kemungkinan untuk si bola A untuk kembali berada di posisi semula,
yakni cekungan 1 tetaplah ada, namun lebih kecil, yakni 1/8 atau
0,125. Bagaimana jika kita taruh di kotak dengan 16 cekungan? Probabilitasnya akan semakin kecil lagi, yakni 0,0625.
Bagaimana jika kita taruh 5 bola sekarang di kotak terakhir, yakni bola A di cekungan 1, bola B di cekungan 2, dst. Apakah ada kemungkinan bahwa ketika selesai dikocok-kocok, posisinya akan kembali seperti semula (bola A di 1, bola B di 2, dst)? Tentu probabilitasnya masih ada, tapi jauh lebih kecil lagi.
Bagaimana jika kita taruh 5 bola sekarang di kotak terakhir, yakni bola A di cekungan 1, bola B di cekungan 2, dst. Apakah ada kemungkinan bahwa ketika selesai dikocok-kocok, posisinya akan kembali seperti semula (bola A di 1, bola B di 2, dst)? Tentu probabilitasnya masih ada, tapi jauh lebih kecil lagi.
Sekarang
kembali ke kotak pertama (dengan 4 cekungan). Jika kita mengocoknya
hanya sebanyak 1 kali, tentu lebih besar kemungkinannya ketika
membuka kotak, bola A tidak berada di posisi 1. Namun bagaimana jika
kita melakukannya hingga 10 kali? Maka kita akan menemukan bola A di
posisi semula paling tidak sebanyak 1 atau 2 kali selama 10 percobaan
itu.
Sama
halnya dengan bermain kartu. Dalam permainan poker, kartu yang
dianggap pemenang adalah “Royal Flush”, yakni jika kita mendapat
As, King, Queen, Jack dan 10 semuanya berjenis sama (semisal kalo
“wajik” ya wajik semua, kalo “hati” ya hati semua). Tentu
kemungkinan mendapat Royal Flush amatlah jarang. Namun tetap ada
kemungkinan kita mendapatkannya bila kita bermain cukup lama (kalo
mustahil, berarti nggak akan ada yang menang poker dong?). Bagaimana jika setelah kita mendapat "Royal Flush", kita bermain lagi terus-menerus hingga mendapat kartu dengan posisi "Royal Flush" kembali? Apakah mungkin?
Tentu saja mungkin, namun kemungkinannya akan jauh lebih kecil dan kita harus bermain sangat lama (sehari Non-Stop mungkin) biar bisa mendapatkannya.
Tentu saja mungkin, namun kemungkinannya akan jauh lebih kecil dan kita harus bermain sangat lama (sehari Non-Stop mungkin) biar bisa mendapatkannya.
Kemungkinan mendapat "Royal Flush" memang sulit, apalagi untuk bisa dapat sampai dua kali. Namun bukan berarti tidak mungkin |
Inilah
yang disebut “recurrence”, bahwa sesuatu (apapun itu, bisa
partikel, bola, manusia, bahkan jagad raya) bisa kembali ke posisinya
semula, walaupun probabilitasnya semakin kecil dan waktu yang
dibutuhkan juga akan semakin lama. Namun Poincare menyatakan bahwa
ada dua syarat agar “recurrence” ini bisa terjadi.
1. Volumenya finite (terbatas)
2. Kemungkinannya juga finite (terbatas)
Artinya,
“recurrence” ini akan semakin lama tercapai jika volumenya
semakin besar (seperti analog kotak dengan 4, 8, dan 16 cekungan
tadi) dan kemungkinannya semakin kecil. Jagad raya, seperti konsep
“observable universe” yang gue perkenalkan di “Bilangan Lovecraftian” dianggap memiliki batas, sehingga bisa
diaplikasikan dalam konsep “recurrence” ini. Bahkan kemungkinan
posisi semua partikel di alam semesta ini juga dianggap terbatas
karena jumlah partikel di alam semesta ini, walaupun teramat banyak,
juga berjumlah terbatas (jika kalian masih ingat, jumlahnya
diperkirakan sekitar 1080 atau “Bilangan Eddington”).
Akan tetapi, karena ukuran jagad raya yang amat luas, melebihi yang
bisa dicapai manusia, tentu saja waktu yang dibutuhkan agar semua
susunan partikel kembali ke posisinya semula amatlah lama.
Konsep
“waktu” yang semenjak tadi gue bicarakan kini bisa kita sebut
sebagai “Poincare Recurrence Time”. Berapakah lamanya? Well ....
PART
THREE: POINCARE RECURRENCE TIME
Dalam
papernya yang berjudul “Information Loss in Black Holes and/or
Conscious Being” yang terbit pada tahun 1994, seorang fisikawan
asal Kanada bernama Don Page merumuskan “Poincare Recurrence Time”
sebesar:
Seberapa
besarnya itu? Well, yang jelas nilai itu lebih besar sedikit dari
sebuah Googolplexian (10˄10˄10˄10˄10).
Saking besarnya angka itu, kita tak perlu mempermasalahkan satuannya,
apakah tahun, jam, menit, detik, atau satuan waktu terkecil (“quantum
of time” atau 10-43 detik) atau satuan waktu terbesarpun
(“aeon” atau 109 tahun).
Tapi apa arti dari angka itu sesungguhnya?
Tapi apa arti dari angka itu sesungguhnya?
Kita
misalkan “quantum recurrence” adalah “Φ”.
(gue asal ambil aja sih
simbol yang keren). Sekarang bayangin aja apa yang lagi lu
lakuin sekarang, yakni lu lagi baca blog gue di depan laptop/hape lu,
sementara di teras rumah ada kucing yang lagi tidur, di luar juga
sedang mendung, sekarangpun kalian lagi di rumah aja karena ada wabah
Coronavirus, sedangkan di Amrik sana sedang ada kerusuhan rasial.
Sementara itu di luar angkasa sana, mungkin kedelapan planet mulai dari Merkurius hingga Neptunus terletak segaris dengan Matahari, sementara ada sebuah komet melintas mendekati matahari.
Maka
dibutuhkan waktu Φ mulai dari detik
ini hingga alam semesta mengalami “Big Crunch”, kemudian lahir
alam semesta lain, kemudian mungkin hancur lagi dan mengalami siklus
lagi, hingga tercipta sebuah alam semesta yang persis dengan saat
ini, dimana tercipta planet Bumi dimana ada manusia yang benar-benar
sama seperti lu, sedang baca blog di depan laptop/hape-nya, sementara
di luar teras rumahnya ada kucing tidur, di luar mendung dan ada
wabah virus, dan di negara lain juga ada kerusuhan rasial, sementara
di luar angkasa sana Merkurius dan planet-planet memiliki posisi segaris dengan Matahari, dan sebagai 'icing at the cake' ada sebuah
komet melintas pula dengan lintasan yang sama.
Itulah
yang disebut “quantum recurrence” dan waktunya akan memerlukan
10˄10˄10˄10˄10˄1,1
(satuan bebas)
Itulah
konsep absurd dari “quantum recurrence”, yakni apabila “Poincare
recurrence” diterapkan pada jagad raya ini, maka keseluruhan jagad
raya akan terlahir kembali (entah berapa kali) hingga tercapai
probabilitas dimana seluruh isi jagad raya dalam posisi yang sama
seperti saat ini. Tapi ingat, menurut konsep “recurrence”, proses
ini tak terjadi hanya dalam sekali siklus saja, namun mungkin
tiliunan kali siklus (atau mungkin lebih) hingga probabilitas dimana
segalanya “kembali sama” akan tercapai. Sama seperti bermain
poker dan mendapat “Royal Flush”, kita mungkin beruntung
mendapatkannya sampai dua kali, namun yang jelas tidak dalam dua kali
berturut-turut kan (ada sih kemungkinannya, namun jauuuuuh lebih
kecil lagi)?
Tapi
ingat, hanya karena bisa dihitung, bukan berarti konsep ini benar.
Konsep ini hanya menyatakan bahwa secara matematis, hal tersebut
mungkin terjadi, namun jelas bukan kepastian. Akan tetapi apabila
benar, maka konsep “reinkarnasi kosmos” ini (begitu gue
menyebutnya) jelas amatlah berbeda dengan konsep reinkarnasi yang
biasanya kita pahami. Jika dalam “reinkarnasi” kita terlahir
kembali, namun dengan kehidupan berbeda; maka pada “reinkarnasi
kosmos” menurut “quantum recurrence” ini, pada suatu titik
kita akan kembali mengulanginya sama persis seperti yang kita alami
sekarang ini. Walaupun jelas, waktu untuk tiba di titik itu,
sangatlah lama, hingga kesadaran kita takkan mampu mencapainya.
Kita
takkan pernah bisa membuktikan kebenaran lama “quantum recurrence”
ini. Takkan ada jam yang bisa bertahan selama itu. Bahkan jika kita
berhasil menciptakan sebuah robot yang mampu bertahan jutaan tahun
untuk menjadi “mata-mata” dan mengamati kehancuran alam semesta
melalui Big Crunch, hal tersebut akan percuma. Sebab robot itupun
akan ikut hancur begitu proses “daur ulang” melalui Big Crunch
dimulai.
Hal
ini menimbulkan sebuah konsekuensi lain yang jauh lebih mistis dan
misterius.
Seluruh jam di alam semesta takkan mampu mengitung "Quantum Recurrence Time" |
Jika
memang benar seluruh kosmos (dan juga kita) didaur ulang melalui
siklus Big Bang dan Big Crunch yang terjadi selama terus-menerus,
maka kesadaran kita akan terputus tiap kali jagad raya di-reset.
Dengan kata lain, kita takkan pernah bisa “mengakses” kehidupan
lama kita. Bagaimana jika, tanpa kita sadari, sebenarnya kehidupan
yang kita jalani saat ini adalah kehidupan “kesekian kali” yang
terjadi pada kita, sehingga kita merasa adanya “glitch” berupa
“dejavu” atau perasaan aneh yang kita miliki ketika melakukan
sesuatu?
Lalu
bagaimana jika kita disuruh berfilsafat, jika benar terciptanya dan
hancurnya alam semesta ini merupakan siklus, apakah yang
mengawalinya? Apakah ada awal dan akhir dari siklus tersebut?
Lalu
bagaimana jika ada makhluk berintelegensi tinggi dari siklus
terdahulu yang berhasil melarikan diri dari Big Crunch terakhir
(mungkin dengan kabur ke Multiverse lain)? Bisakah kalian bayangkan
kekuatannya dan apa yang terjadi jika makhluk itu hadir di dunia
kita?
Well
kalo gue disuruh menguak teori-teori konapirasi berdasarkan “quantum
recurrence” ini pastinya nggak ada habisnya dong. Yang jelas, ada
tidaknya “quantum reincarnation” ini bukanlah urusan kita, toh
kita takkan mampu menyadarinya. Sama seperti dunia paralel, kita
takkan mampu mengakses kehidupan “lama” kita. Yang penting,
jalani saja hidup kita saat ini sebaik mungkin sehingga takkan ada
penyesalan.
PS:
Prof. Padilla di “Numberphile” mengatakan bahwa untuk mencapai
angka itu, Don Page membulatkan nilai “e” (Bilangan Euler) yang
sekitar 2,71 menjadi “10”, jadi mungkin nilai “Poincare
recurrence time” yang sesungguhnya lebih kecil ketimbang versinya.
Mirip ama plotx JJBA: Stone Ocean
ReplyDeleteSenengnya baca blog Bang Dave tuh jadi berasa pinter, padahal otak pas2an 😂😂😂
ReplyDeleteLah itu euler number bulatinnya jauh amat?
ReplyDeletePengetahuan seperti ini bisa didapat dengan gratis guys, author kita g ngambil keuntungan dari penjabarannya yang luar biasa dan mudah dimengerti ini, untuk menghargai kerja kerasnya ayo ramaikan akun YouTube Mengaku Backpacker dengan subscribe komen dan like
ReplyDeleteAne tahu bahwa ane akhirnya ngiklan, tapi ini agar bangdep kita makin semangat menulis, dan kitapun makin banyak asupan wawasan baru, biar bangdep g ngambek mandek nulis Krn disangka g ada yang antusias sama tulisannya
Kok satuan bebas Bang. Beda satuan beda hasil dong
ReplyDeleteAnj lha di blog ini doang baca² artikel yg muter otak beginian asik banget 😍
ReplyDelete