Gue
tergelitik dengan istilah “Ättestupa” ketika
menonton film “Midsommar” yang menceritakan sebuah sekte
keagamaan tradisional di Swedia dengan tradisi Nordik (Viking) yang
kental. Mungkin film itu hanya sebuah karya fiksi belaka, tapi
ternyata didasarkan pada tradisi yang benar-benar ada. Dikisahkan, di
film tersebut terdapat sebuah tradisi kuno bernama “Ättestupa”
dimana orang-orang yang sudah berusia lanjut (dalam film itu berusia
72 tahun) bunuh diri dengan cara melompat dari atas tebing. Sehingga
bisa disimpulkan bahwa “Ättestupa” merupakan tradisi “senisida”
yakni tradisi untuk membunuh lansia yang sudah dianggap tidak
produktif dan membebani masyarakat kuno kala itu. Yang tragis,
tradisi membunuh orang tua seperti ini dikenal pula di berbagai
belahan dunia.
Tradisi
“Senisida” di Eropa sendiri disinggung oleh seorang filsuf
bernama Solinus pada abad ke-6 yang menceritakan bahwa di wilayah
Hyperborea (Eropa Utara) dimana matahari terus bersinar dan tak
pernah tenggelam selama setengah tahun, penduduknya yang sudah tua
melemparkan diri dari tebing tepi laut agar mereka mati. Wilayah
Utara yang disinggungnya jelas merupakan Scandinavia dimana bangsa
Viking hidup dan tradisi tersebut sebenarnya adalah “Ättestupa”
Namun
di wilayah Skandinavia sendiri, istilah “Ättestupa” baru dikenal
luas pada abad ke-17 ketika disinggung di sebuah saga asal Islandia
berjudul “Gautreks”. Keberadaan praktek “Ättestupa” ini
juga dibuktikan dengan banyaknya tebing di wilayah Nordik yang
memiliki nama “Ättestupa”. Kemungkinan di masa lalu tebing itu
menjadi lokasi dimana tradisi tersebut dilakukan.
Di tebing semacam inilah Ättestupa dilakukan
Seperti
gue singgung tadi, tradisi “senisida” merupakah hal yang cukup
lumrah di berbagai kebudayaan dunia. Walaupun terlihat tak hormat
kepada orang yang lebih tua dan tak tahu balas budi juga, bagi
beberapa masyarakat, ritual ini amat penting untuk menjaga
keberlangsungan hidup masyarakat tersebut. Terlebih di masa-masa
sulit seperti kekeringan, kelaparan, atau musim dingin yang panjang,
makanan dan sumber daya yang lain harus diberikan terutama bagi yang
masih muda dan anak-anak. Kaum lansia, yang sudah tak mau berbuat
apa-apa, dianggap sebagai beban semata.
Dalam
tradisi “Ättestupa”, kaum lansia sepertinya menyadari hal
tersebut dan dengan rela hati menyerahkan nyawa mereka demi
keberlangsungan generasi penerus mereka. Namun di kebudayaan lain,
seringkali yang terjadi justru pembunuhan yang kejam terhadap
orang-orang tua tersebut. Suku Heruli semisal di Jerman kuno, menusuk
orang-orang yang sakit dan para orang tua hingga mati kemudian
membakar mereka di api unggun. Di India, suku Tamil Nadu pernah
mempraktikkan “Thalaikoothal” yang kini ilegal, dengan sengaja
membuat para orang tua sakit dengan meracuni atau membuat mereka
demam untuk membunuh mereka. Suku Inuit (Eskimo) di Amerika Utara
juga dikenal meninggalkan para lansianya di es agar mati kedinginan.
Pulau
Sardinia di Yunani juga memiliki tradisi kuno yang tak kalah
mengerikan, yakni mengorbankan para pria lansia berusia 70 tahun
sebagai persembahan kepada Dewa Cronus. Dalam mitologi Yunani, Cronus
atau Saturnus adalah dewa yang membunuh ayahnya sendiri, Dewa Uranus,
untuk merebut tahtanya. Namun, salah satu praktik “senisida” yang
paling terkenal adalah “Ubasute” di Jepang dimana pada masa lalu,
kaum mudanya kerap meninggalkan orang tua mereka yang sudah lanjut
usia ke tempat-tempat terpencil seperti hutan atau pegunungan agar
mati atau dimakan binatang buas.
“Poena
cullei”
Tentu
saja tak semua masyarakat kuno menganggap tradisi membunuh orang tua
dan lansia sebagai hal yang dibenarkan. Di Romawi kuno semisal,
membunuh ayah dan ibu sendiri dianggap sebagai kejahatan yang tak
terampuni dan dihukum dengan cara yang sama tak manusiawinya. Hukuman
tersebut disebut “poena cullei” dimana sang terpidana dimasukkan
ke dalam karung yang kemudian dijahit agar dia tak bisa keluar. Namun
tak hanya itu, di dalam karung, bersama sang narapidana, akan ditaruh
hewan-hewan seperti anjing, kucing, monyet, hingga ular. Karung
tersebut kemudian dilemparkan ke dalam air sehingga tak hanya ia akan
mati tenggelam, namun sebelumnya ia akan dicakar dan digigit
habis-habisan oleh hewan-hewan yang ada di dalam karung tersebut.
Tradisi
“Ättestupa” dan “senisida” lainnya itu
tentunya tak bisa diterima dalam adat istiadat ketimuran kita, dimana
kita justru dituntut selalu berbakti pada orang tua kita. Namun perlu
kita ingat bahwa bangsa yang mempraktekkan ritual tersebut seringkali
menghadapi kondisi alam dan iklim yang sulit (apalagi di Swedia yang
iklimnya amat dingin) jadi tentu tradisi itu, walaupun tak lagi
kompatibel dengan kehidupan modern kita saat ini, dahulu amatlah
penting bagi keberlangsungan generasi penerus mereka, terutama
anak-anak mereka.
Jaman sekarang juga ada, namanya aja dirubah mengglobal jadi euthanasia. Cuma jaman dulu kan belum ada suntik mati, jadi ya euthanasianya dengan locat dari tebing atau ditusuk. As long as they die a quick and painless death.
ReplyDeleteHmmmm ... bener banget
DeleteTradisi Nordik itu beneran melambangkan kasih sayang orang tua deh, bahkan setelah mati pun masih membantu anak cucunya dengan memberi makan ikan-ikan laut jadi ikannya tambah banyak
ReplyDeletetradisi kaya gini tuh berarti tradisi bagi org2 yang gak mempercayai adanya tuhan
ReplyDeletemau sekeras dan sesulit apapun kondisi yg mereka alamin kalau mereka percaya ada tuhan yg maha kuasa , yg maha memberi rizki gak akan mereka ada pemikiran seperti itu
dan w agak heran sih bang sama kalimat lu yg seakan membenarkan tradisi seperti itu hanya karena persoalaan kehidupan yg sulit.
mending kalimat lu yg ini (Namun perlu kita ingat bahwa bangsa yang mempraktekkan ritual tersebut seringkali menghadapi kondisi alam dan iklim yang sulit (apalagi di Swedia yang iklimnya amat dingin) jadi tentu tradisi itu, walaupun tak lagi kompatibel dengan kehidupan modern kita saat ini, dahulu amatlah penting bagi keberlangsungan generasi penerus mereka, terutama anak-anak mereka) lu hapus deh bang karena seolah jadi pembenar bagi perbuatan tersebut
sorry kalo w gak setuju , ini cuma sekedar keritik dan saran sih ya bang biar nanti kalau ada anak-anak yg dengan dalih kehidupan yg sulit lantas melakukan pembenaran untuk ngelakuin perbuatan gak baik sama org tua mereka
Gue paling menghindari banget menghakimi sesuatu yang ada di luar budaya atau pengertian kita. Kalo disebut mereka nggak mengenal tuhan, itu salah besar. Viking punya agama sendiri, walaupun polytheisme. Jepang apalagi, punya agama resmi shinto. Kita perlu melihat dari sudut pandang mereka juga (juga timelinenya) karena ini dilakukan di masa lalu dimana kondisinya nggak seenak sekarang. kalo zaman sekarang, perilaku kayak gini jelas nggak kompatibel karena norma2 yang dianut berbeda. tapi zaman dulu, jika kamu di sisi mereka dan mengalami apa yg mereka alami, mgkn kamu akan berbuat hal yg sama
Deletebang dave bukannya membenarkan tradisi ini, karena sebenarnya tradisi-tradisi itu memang ada (atau seenggaknya pernah ada) dan itu fakta yang tak terbantahkan. kalau melihat dari sudut pandang kita ya jelas tradisi-tradisi itu salah. meski demikian, mau salah mau benar, kenyataannya tradisi itu ada, dan bang dave hanya menyampaikan fakta-faktanya.
Deleteand even though not all truth should be uncovered, we al can't live in lies.
Setuju sama bangdep dan virlia
Deletegue nemu film midsommar di fd temen gue, film ini shockable sekali.
ReplyDeleteGw baca ini jadi keinget film itu.. Film horror terbagus gak pake embel2 jumpscare
Deletejadi inget tradisi di jepang yang buang lansia ke hutan aokigahara dan di tinggal sampe mati
ReplyDeleteTq kong udh bahas film midsommar..dr kmrn eyke googling karna penasaran dgn makna d film itu...gk nemu yg memuaskan penasaran eyke...ehh kong emang the best sehati bingit sm eyke
ReplyDeleteSATANISME dalam balutan moral kebudayaan aroma sorgawi
ReplyDelete