Monday, September 16, 2019

REVIEW “IT: CHAPTER TWO”: HOROR SESUNGGUHNYA ADALAH DUDUK 3 JAM NAHAN PIPIS DALAM BIOSKOP




Gue barusan nonton “It: Chapter Two” yang emang agak telat sih, tapi emang sengaja. Alasan kenapa gue nggak langsung nonton pas minggu pertama rilis adalah temen gue yang menyarankan untuk menonton dulu “It” versi jadul tahun 1990 sebagai referensi. Selain itu gue juga pengen merefresh ingatan gue dengan nonton “It” chapter pertama yang dirilis 2017. Hasilnya nggak mengecewakan. Banyak dialog-dialog yang lebih berarti ketika nonton film ini karena gue paham referensi “It” besutan tahun-tahun sebelumnya. Dan membaca (at least sinopsisnya di Wikipedia) novel “It” juga banyak membantu, sebab “It: Chapter Two” ini lebih setia dengan novelnya, yah walaupun banyak juga materi-materi yang nggak masuk di filmnya, walaupun durasinya udah lama, yakni 3 jam. Gue juga akan menekankan durasi dalam review gue kali ini, karena banyak review menyatakan kalo “It: Chapter Two” ini nggak seseram “It” chapter pertama. But I should've known, THEY'RE ALL F**KIN LIAR! NGGAK SEREM APAAN?! TIGA JAM ISINYA JUMPSCARE MELULU WOI!!!


“It: Chapter Two” masih mengisahkan geng “Losers Club” yang harus kembali ke kota Derry setelah 27 tahun karena Pennywise, badut luar angkasa yang pernah mereka kalahkan kini kembali lagi dan memangsa banyak korban. Di adegan pertama aja gue udah dibikin happy sebab adegan saat dua pemuda gay dibully ini merupakan adegan yang benar-benar ada dalam novelnya, namun nggak ditampilkan di “It” tahun 1990. Adegan ini bahkan kemudian diganti dengan adegan anak kecil mati di jemuran (sama sekali nggak seru). Well, mungkin pada tahun segitu hubungan sesama jenis masih dianggap sangat kontroversial. Namun alasan Stephen King, penulis novel “It” memasukkannya ke dalam bukunya adalah karena kisah pemuda gay yang dibunuh karena diskriminasi ini benar-benar terjadi di Maine (tempat dimana King tinggal dan juga setting hampir seluruh novelnya) yakni kasus pembunuhan yang menimpa pemuda bernama Charlie Howard.

Kalo kalian sudah lupa siapa aja Losers Club, mereka mencakup Bill, pemuda gagap yang menjadi pemimpin mereka karena dendam kesumatnya terhadap Pennywise yang sudah membunuh adiknya, Georgie; Beverly, satu-satunya cewek di grup itu yang menderita karena ayahnya yang abusive; Eddie, si penakut yang sakit-sakitan dan aslinya menderita Munchausen Syndrome (karena itu dia selalu menggunakan obat yang sesungguhnya adalah “placebo”); Richie, bocah supel yang doyan ngelawak; Ben, pemuda yang (dulunya gendut) dan diam-diam naksir Beverly; Stanley, si bocah Yahudi yang pendiam; dan Mike, pemuda kulit hitam yang pemberani.



27 tahun berlalu dan sebagian besar dari “The Losers Club” sudah keluar dari kota Derry dan menjalani hidup yang sukses. Sayangnya, beberapa dari mereka masih mengalami trauma masa lalu. Semisal Bill yang memutuskan menjadi penulis horor karena masa lalunya yang menakutkan, Beverly akhirnya menikahi pria yang sama abusive-nya dengan ayahnya, dan Eddie juga menikahi wanita overprotektif yang menderita Munchausen Syndrome sama seperti ibunya dulu. Demi melawan Pennywise, Mike memanggil mereka bertujuh dari kehidupan normal mereka dan kembali ke Derry. Di sana mereka harus berdamai dengan masa lalu mereka dan mengumpulkan kenangan-kenangan mereka yang paling berharga di kota Derry agar mereka bisa melakukan “Ritual of Chüd” untuk menghancurkan Pennywise selama-lamanya. Namun tentu saja, “The Dancing Clown” tak tinggal diam dan meneror mereka dengan penampakan mengerikan di sepanjang perjalanan.

Menyebut-nyebut “Ritual of Chüd” aja udah menjadi indikasi bahwa film “It: Chapter Two” ini cukup setia dengan novel aslinya, sebab ritual ini bahkan nggak disinggung di “It” versi 1990. di versi novelnya, Stephen King sebenarnya amat ambisius sebab “It” berada dalam satu universe dengan kumpulan novelnya yang lain, yakni “The Dark Tower”. Dikisahkan, Bill dkk dalam novelnya dibantu oleh kura-kura kosmis bernama Maturin untuk mengalahkan Pennywise. Maturin sendiri merupakan bagian dari mitologi universe-nya “The Dark Tower” sebuah koleksi novel bergenre dark-fantasy yang juga dibesut King.

Sayang, semua adaptasi modern novel-novel King seperti “Carrie” (2013), “The Dark Tower” (2017), bahkan yang terbaru “Pet Sematary” (2019) semuanya dibikin terpisah-pisah. Akan lebih keren sebenarnya jika semuanya berada dalam satu universe seperti “MCU”. Sebenarnya konsep “satu universe” ini udah diperkenalkan di novel-novel King. Contohnya, beberapa novel horor King berlokasi di kota yang sama bernama “Castle Rock”. Apalagi di film ini “It: Chapter Two” ini udah ada cameo dari Stephen King sendiri (sebagai penjaga pawn shop yang menjual sepeda milik Bill). Bakalan keren sih kalo King jadi kayak Stan Lee, muncul sebagai cameo di tiap filmnya. Sayang, konsep itu kayaknya terlalu ambisius dan “visioner” buat digarap serius oleh Warner Bros (well, they already destroyed DC Universe, right?)



Seperti gue bilang, mengkonsumsi sebanyak mungkin referensi Stephen King, semisal mengetahui jalan cerita novelnya, atau menonton “It” versi sebelumnya akan banyak membantu untuk menangkap sebanyak-banyaknya “easter eggs” dalam film ini. Semisal, kalian akan memahami dimana “cameo” Maturin, arti dialog “Beep Beep Richie”, atau minimal makna “gazebo” seandainya kalian sudah nonton “It” chapter pertama. Sayang, seberapapun setia dengan novelnya, tetap saja banyak adegan yang nggak masuk di filmnya. Semisal di novelnya, Mike seharusnya masuk rumah sakit setelah diserang [SPOILER ALERT] dan di sana ia sendirian menghadapi suster yang dikendalikan Pennywise. Wah seru tuh, gue bayangin kalo bener-bener ada, adegannya bakal mirip Silent Hill. Selain itu, musuh utama Richie di film “It” 1990 dan novelnya adalah sosok werewolf yang selalu menerornya. Di novel aslinya (serta di adaptasi “It” tahun 1990), Audra (istri Bill) akan mengikuti suaminya sampai ke Derry dan disandera Pennywise. Ditambah lagi Tom (suami Beverly) juga ikut berpartisipasi membantu Pennywise sebagai antagonis di novelnya. Wah seru banget kayaknya. Gue heran kenapa di durasi yang udah lama banget, yakni 3 jam, adegan-adegan ini nggak bisa dimasukin aja.

Tapi ya, kekurangan kalo kita udah tau baca ama nonton “It” yang dulu-dulu, otomatis kita udah dapet spoiler apa yang akan terjadi dan tokoh mana yang akan mati.

Sekarang nih, gue akan bahas kelemahan dan kelebihan “It: Chapter Two” ini. Kalo menurut gue, kelebihan film ini adalah kekurangannya juga, yakni KELEBIHAN JUMPSCARE DAN KELEBIHAN DURASI!!! Banyak review mengatakan film ini nggak seseram yang pertama. Karena film pertama lumayan banyak jumpscarenya, gue berpikir film ini lebih “selow” dan lebih banyak ke dramanya mungkin ya, jadi menurut gue aman-aman aja nonton ini 3 jam kalo jumpscare dikit. EH TERNYATA APAAN ... TIGA JAM FULL JUMPSCARE NGGAK BERHENTI-BERHENTI!!! YANG BILANG “IT” YANG PERTAMA LEBIH SEREM MANA NIH GUE TABOKIN SATU-SATU!!! Huuuu ... gue tertipu :(

Mungkin yang berpendapat kalo “It” pertama lebih serem karena tokoh-tokohnya masih anak-anak ya, jadi suka nggak tega kalo mereka dikasi penampakan seram, apalagi kalo “dicaplok” ama Pennywise dengan gigi-gigi runcingnya. Karena “It” versi kedua tokohnya udah gede-gede semua, mungkin pas mereka dibacokpun kita udah lumayan ikhlas. Yap, emang film “It: Chapter Two” ini lebih bloody ketimbang pendahulunya.



Adegan paling serem di film ini menurut gue adalah pas Beverly berkunjung ke rumah lamanya. Adegan ini udah dibocorin sih di trailernya, tapi tetep aja bikin gue ngeri dan kaget. Mungkin pesan moralnya sih kalo lagi bertamu di rumah orang JANGAN SUKA SEMBARANGAN BONGKAR-BONGKAR RUMAH MEREKA!!!

Kekurangan lainnya, gue sebenarnya kepengen karakter Mike diperdalam di cerita ini karena dia lumayan keren. 

Kekurangan utama (atau sebenarnya “kelebihan”) film ini adalah durasinya yang 3 jam. YEP, IT'S THREE F**KING HOURS!!! Mungkin produser dan sutradaranya berpendapat, halah Endgame aja 3 jam pada nggak protes. Aduh, maaf Pak, tapi tolong ya. Kalo 3 jam liatin Elizabeth Olsen ama Scarlett Johannson sih mana ada yang ngeluh. TAPI INI MAH FILM HOROR ISINYA SETAN NONGOL NGAGETIN ORANG TIGA JAM!!!

Tapi beruntung, film ini nggak melulu horor, tapi ada komedinya juga, terutama terlontar dari aksi kocak Eddie dan Richie. Mungkin kalian ada yang nggak sreg ya kalo film horor dikasi bumbu humor gitu, jadi ngurangin seremnya. Tapi gue malah bersyukur soalnya kalo 3 jam isinya horor melulu bisa berak di kursi atau kena stroke woy!!! Sejak awal begitu tahu Gary Dauberman bakalan berkiprah sebagai penulis naskah “It: Chapter Two” ini gue udah tau kalo film ini pasti banyak selipin humornya, soalnya Gary sendiri udah nggak asing lagi di kuping gue sebagai penulis “Annabelle” franchise di “Conjuring Universe”.



Dan buat kalian yang protes, “Dih, ini kan film horor? Kenapa malah ada komedinya?” Well, kalian jangan lupa bahwa di novel “It” versi aslinya, karakter Richie emang dimaksudkan sebagai komedian alias comic relief dan emang begitulah karakternya. Serta inilah salah satu keunggulan “IT: Chapter Two” dibandingkan “It” versi pendahulunya, yakni jokesnya benar-benar kocak dan bikin ketawa (favorit gue, joke tentang “mullet”). Bisa dibilang inilah perbedaan reaksi gue saat nonton dua versi “It” tersebut.

Gue pas nonton “It” versi 2019
Richie/Eddie: “ngeluarin jokes*
Gue: “HAHAHAHA ... YA AMPUN KOCAK BANGET SIH!!!”

Gue pas nonton “It” versi 1990
Richie: *ngeluarin jokes”
Gue: .....
Gue: APAAN SIH GARING BGST!!!

Bisa dibilang durasi-lah kelemahan utama film ini. Gue merasa nggak nyaman ama film-film Hollywood zaman sekarang yang durasinya makin lama makin mirip film Bollywood. Semisal “Midsommar” dan “Apostle” yang makan waktu dua jam lebih. Film yang terlalu lama begini “melelahkan” dan malah membuat gue berpikir begini selama penayangan film, “Harusnya adegan ini diilangin aja biar durasinya lebih pendek”. Sama seperti “It: Chapter Two” ini, menurut gue adegan perkelahian klimaks antara Pennywise dan Losers Club (yang gue hitung makan durasi sejam sendiri) harusnya bisa dipersingkat. Toh, bagian-bagian yang seram malah pas bagian masing-masing anggota Losers Club terpisah dan harus menghadapi “monster” mereka sendri-sendiri. Di adegan “Gua”, satu-satunya adegan yang memorable justru mendaur ulang adegan yang ada di “It” chapter pertama. Buang-buang waktu saja menurut gue.



Dan yang paling merepotkan dari duduk tiga jam nonton di bioskop adalah: kita nggak berkutik kalo harus nahan pipis. Kalo ditahan, jadi nggak konsen ama ceritanya. Kalo ditinggal ke toilet, bisa ketinggalan adegan seru. Jadi serba salah kan?


Itulah yang terjadi sama gue.

Pas beli tiket, gue sempat ditawarin mbak-nya kasir buat sekalian beli snack ama minum. Biasanya sih emang gue selalu beli sih, tapi kali ini gue mikir-mikir. Gue harus duduk selama 3 jam sambil minum es di ruangan yang dingin pula, kalo gue kebelet pipis gimana? Akhirnya gue memutuskan nggak beli (dan sialnya yang duduk di belakang gue malah asyik kriuk kriuk makan popcorn). Sebelum nonton ini gue juga sempetin nggak minum dulu. BAYANGIN AJA GUYS, MASA MAU NONTON AJA GUE MESTI PUASA DULU??? Inilah jeleknya kalo durasi film terlalu lama, so please Hollwood, stick with your 90 minutes time plot next time!

So, in the end, it's am exciting movie, but unfortunately it's too exhausting. Three hours, goddamnit! Gue kasi film ini skor 4 CD berdarah.



Dan sebagai penggemar Stephen King, kembali gue agak kecewa kenapa karya Stephen King harus dinodai dengan jumpscare-jumpscare untuk menakuti penontonnya. Alasan mengapa King dijuluki sebagai “King of Horror” adalah karena ia bisa menggambarkan kengerian dalam novelnya dalam bentuk jalan cerita yang unik dan menarik. Gue rasa film terbaik yang dengan tepat menggambarkan seperti apa karya horor Stephen King adalah “Pet Sematary” (dengan suasana kelam yang moody) serta “The Mist” (dengan ending yang wow dan “mengecewakan” like all Stephen King's ending). Jumpscare adalah cara “instan” untuk menerjemahkan kengerian ini ke layar lebar, tapi sayang, dengan durasi 3 jam, harusnya mereka bisa membangun kengerian itu dengan cara yang lebih “anggun” dan nggak “instan” seperti itu.

Jangan salah, gue sangat suka jumpscare, bahkan itulah salah satu alasan mengapa gue kasi film ini skor tinggi. Namun menurut gue ada cara yang lebih “elegan” untuk menampilkan suasana horor. Especially if it's the adaptation of the legend himself. Too bad, no one in the Hollywood understands how to do it nowadays.


3 comments:

  1. Just like old people said, "The old school always better".

    ReplyDelete
  2. Plus kalau beli minum gawat tuh pas jumpscare bisa-bisa tiba-tiba basah dan anget wkwkwk

    ReplyDelete
  3. Penasaran mau lihat filmnya tapi gak ada bioskop di daerah gue. Mau nonton bajakan tapi gak mau nonton sendirian. Ngajak orang gak ada satupun yang mau

    ReplyDelete