Gue barusan nonton “It: Chapter Two”
yang emang agak telat sih, tapi emang sengaja. Alasan kenapa gue
nggak langsung nonton pas minggu pertama rilis adalah temen gue yang
menyarankan untuk menonton dulu “It” versi jadul tahun 1990
sebagai referensi. Selain itu gue juga pengen merefresh ingatan gue
dengan nonton “It” chapter pertama yang dirilis 2017. Hasilnya
nggak mengecewakan. Banyak dialog-dialog yang lebih berarti ketika
nonton film ini karena gue paham referensi “It” besutan
tahun-tahun sebelumnya. Dan membaca (at least sinopsisnya di
Wikipedia) novel “It” juga banyak membantu, sebab “It: Chapter
Two” ini lebih setia dengan novelnya, yah walaupun banyak juga
materi-materi yang nggak masuk di filmnya, walaupun durasinya udah
lama, yakni 3 jam. Gue juga akan menekankan durasi dalam review gue
kali ini, karena banyak review menyatakan kalo “It: Chapter Two”
ini nggak seseram “It” chapter pertama. But I should've known,
THEY'RE ALL F**KIN LIAR! NGGAK SEREM APAAN?! TIGA JAM ISINYA
JUMPSCARE MELULU WOI!!!
“It: Chapter Two” masih mengisahkan
geng “Losers Club” yang harus kembali ke kota Derry setelah 27
tahun karena Pennywise, badut luar angkasa yang pernah mereka
kalahkan kini kembali lagi dan memangsa banyak korban. Di adegan
pertama aja gue udah dibikin happy sebab adegan saat dua pemuda gay
dibully ini merupakan adegan yang benar-benar ada dalam novelnya,
namun nggak ditampilkan di “It” tahun 1990. Adegan ini bahkan
kemudian diganti dengan adegan anak kecil mati di jemuran (sama
sekali nggak seru). Well, mungkin pada tahun segitu hubungan sesama
jenis masih dianggap sangat kontroversial. Namun alasan Stephen King,
penulis novel “It” memasukkannya ke dalam bukunya adalah karena
kisah pemuda gay yang dibunuh karena diskriminasi ini benar-benar
terjadi di Maine (tempat dimana King tinggal dan juga setting hampir
seluruh novelnya) yakni kasus pembunuhan yang menimpa pemuda bernama
Charlie Howard.
Kalo kalian sudah lupa siapa aja Losers
Club, mereka mencakup Bill, pemuda gagap yang menjadi pemimpin mereka
karena dendam kesumatnya terhadap Pennywise yang sudah membunuh
adiknya, Georgie; Beverly, satu-satunya cewek di grup itu yang
menderita karena ayahnya yang abusive; Eddie, si penakut yang
sakit-sakitan dan aslinya menderita Munchausen Syndrome (karena itu
dia selalu menggunakan obat yang sesungguhnya adalah “placebo”);
Richie, bocah supel yang doyan ngelawak; Ben, pemuda yang (dulunya
gendut) dan diam-diam naksir Beverly; Stanley, si bocah Yahudi yang
pendiam; dan Mike, pemuda kulit hitam yang pemberani.
27 tahun berlalu dan sebagian besar
dari “The Losers Club” sudah keluar dari kota Derry dan menjalani
hidup yang sukses. Sayangnya, beberapa dari mereka masih mengalami
trauma masa lalu. Semisal Bill yang memutuskan menjadi penulis horor
karena masa lalunya yang menakutkan, Beverly akhirnya menikahi pria
yang sama abusive-nya dengan ayahnya, dan Eddie juga menikahi wanita
overprotektif yang menderita Munchausen Syndrome sama seperti ibunya
dulu. Demi melawan Pennywise, Mike memanggil mereka bertujuh dari
kehidupan normal mereka dan kembali ke Derry. Di sana mereka harus
berdamai dengan masa lalu mereka dan mengumpulkan kenangan-kenangan
mereka yang paling berharga di kota Derry agar mereka bisa melakukan
“Ritual of Chüd”
untuk menghancurkan Pennywise selama-lamanya. Namun tentu saja, “The
Dancing Clown” tak tinggal diam dan meneror mereka dengan
penampakan mengerikan di sepanjang perjalanan.
Menyebut-nyebut “Ritual of Chüd”
aja udah menjadi indikasi bahwa film “It: Chapter Two” ini cukup
setia dengan novel aslinya, sebab ritual ini bahkan nggak disinggung
di “It” versi 1990. di versi novelnya, Stephen King sebenarnya
amat ambisius sebab “It” berada dalam satu universe dengan
kumpulan novelnya yang lain, yakni “The Dark Tower”. Dikisahkan,
Bill dkk dalam novelnya dibantu oleh kura-kura kosmis bernama Maturin
untuk mengalahkan Pennywise. Maturin sendiri merupakan bagian dari
mitologi universe-nya “The Dark Tower” sebuah koleksi novel
bergenre dark-fantasy yang juga dibesut King.
Sayang, semua adaptasi modern
novel-novel King seperti “Carrie” (2013), “The Dark Tower”
(2017), bahkan yang terbaru “Pet Sematary” (2019) semuanya
dibikin terpisah-pisah. Akan lebih keren sebenarnya jika semuanya
berada dalam satu universe seperti “MCU”. Sebenarnya konsep “satu
universe” ini udah diperkenalkan di novel-novel King. Contohnya,
beberapa novel horor King berlokasi di kota yang sama bernama “Castle
Rock”. Apalagi di film ini “It: Chapter Two” ini udah ada cameo
dari Stephen King sendiri (sebagai penjaga pawn shop yang menjual
sepeda milik Bill). Bakalan keren sih kalo King jadi kayak Stan Lee,
muncul sebagai cameo di tiap filmnya. Sayang, konsep itu kayaknya
terlalu ambisius dan “visioner” buat digarap serius oleh Warner
Bros (well, they already destroyed DC Universe, right?)
Seperti gue bilang, mengkonsumsi
sebanyak mungkin referensi Stephen King, semisal mengetahui jalan
cerita novelnya, atau menonton “It” versi sebelumnya akan banyak
membantu untuk menangkap sebanyak-banyaknya “easter eggs” dalam
film ini. Semisal, kalian akan memahami dimana “cameo” Maturin,
arti dialog “Beep Beep Richie”, atau minimal makna “gazebo”
seandainya kalian sudah nonton “It” chapter pertama. Sayang,
seberapapun setia dengan novelnya, tetap saja banyak adegan yang
nggak masuk di filmnya. Semisal di novelnya, Mike seharusnya masuk
rumah sakit setelah diserang [SPOILER ALERT] dan di sana ia sendirian
menghadapi suster yang dikendalikan Pennywise. Wah seru tuh, gue
bayangin kalo bener-bener ada, adegannya bakal mirip Silent Hill.
Selain itu, musuh utama Richie di film “It” 1990 dan novelnya
adalah sosok werewolf yang selalu menerornya. Di novel aslinya (serta
di adaptasi “It” tahun 1990), Audra (istri Bill) akan mengikuti
suaminya sampai ke Derry dan disandera Pennywise. Ditambah lagi Tom
(suami Beverly) juga ikut berpartisipasi membantu Pennywise sebagai
antagonis di novelnya. Wah seru banget kayaknya. Gue heran kenapa di
durasi yang udah lama banget, yakni 3 jam, adegan-adegan ini nggak
bisa dimasukin aja.
Tapi ya, kekurangan kalo kita udah tau
baca ama nonton “It” yang dulu-dulu, otomatis kita udah dapet
spoiler apa yang akan terjadi dan tokoh mana yang akan mati.
Sekarang nih, gue akan bahas kelemahan
dan kelebihan “It: Chapter Two” ini. Kalo menurut gue, kelebihan
film ini adalah kekurangannya juga, yakni KELEBIHAN JUMPSCARE DAN
KELEBIHAN DURASI!!! Banyak review mengatakan film ini nggak seseram
yang pertama. Karena film pertama lumayan banyak jumpscarenya, gue
berpikir film ini lebih “selow” dan lebih banyak ke dramanya
mungkin ya, jadi menurut gue aman-aman aja nonton ini 3 jam kalo
jumpscare dikit. EH TERNYATA APAAN ... TIGA JAM FULL JUMPSCARE NGGAK
BERHENTI-BERHENTI!!! YANG BILANG “IT” YANG PERTAMA LEBIH SEREM
MANA NIH GUE TABOKIN SATU-SATU!!! Huuuu ... gue tertipu :(
Mungkin yang berpendapat kalo “It”
pertama lebih serem karena tokoh-tokohnya masih anak-anak ya, jadi
suka nggak tega kalo mereka dikasi penampakan seram, apalagi kalo
“dicaplok” ama Pennywise dengan gigi-gigi runcingnya. Karena “It”
versi kedua tokohnya udah gede-gede semua, mungkin pas mereka
dibacokpun kita udah lumayan ikhlas. Yap, emang film “It: Chapter
Two” ini lebih bloody ketimbang pendahulunya.
Adegan paling serem di film ini menurut
gue adalah pas Beverly berkunjung ke rumah lamanya. Adegan ini udah
dibocorin sih di trailernya, tapi tetep aja bikin gue ngeri dan
kaget. Mungkin pesan moralnya sih kalo lagi bertamu di rumah orang
JANGAN SUKA SEMBARANGAN BONGKAR-BONGKAR RUMAH MEREKA!!!
Kekurangan lainnya, gue sebenarnya kepengen karakter Mike diperdalam di cerita ini karena dia lumayan keren.
Kekurangan utama (atau sebenarnya
“kelebihan”) film ini adalah durasinya yang 3 jam. YEP, IT'S
THREE F**KING HOURS!!! Mungkin produser dan sutradaranya berpendapat,
halah Endgame aja 3 jam pada nggak protes. Aduh, maaf Pak, tapi
tolong ya. Kalo 3 jam liatin Elizabeth Olsen ama Scarlett Johannson
sih mana ada yang ngeluh. TAPI INI MAH FILM HOROR ISINYA SETAN NONGOL
NGAGETIN ORANG TIGA JAM!!!
Tapi beruntung, film ini nggak melulu
horor, tapi ada komedinya juga, terutama terlontar dari aksi kocak
Eddie dan Richie. Mungkin kalian ada yang nggak sreg ya kalo film
horor dikasi bumbu humor gitu, jadi ngurangin seremnya. Tapi gue
malah bersyukur soalnya kalo 3 jam isinya horor melulu bisa berak di
kursi atau kena stroke woy!!! Sejak awal begitu tahu Gary Dauberman
bakalan berkiprah sebagai penulis naskah “It: Chapter Two” ini
gue udah tau kalo film ini pasti banyak selipin humornya, soalnya
Gary sendiri udah nggak asing lagi di kuping gue sebagai penulis
“Annabelle” franchise di “Conjuring Universe”.
Dan buat kalian yang protes, “Dih,
ini kan film horor? Kenapa malah ada komedinya?” Well, kalian
jangan lupa bahwa di novel “It” versi aslinya, karakter Richie
emang dimaksudkan sebagai komedian alias comic relief dan emang
begitulah karakternya. Serta inilah salah satu keunggulan “IT:
Chapter Two” dibandingkan “It” versi pendahulunya, yakni
jokesnya benar-benar kocak dan bikin ketawa (favorit gue, joke
tentang “mullet”). Bisa dibilang inilah perbedaan reaksi gue saat
nonton dua versi “It” tersebut.
Gue pas nonton “It” versi 2019
Richie/Eddie: “ngeluarin jokes*
Gue: “HAHAHAHA ... YA AMPUN KOCAK
BANGET SIH!!!”
Gue pas nonton “It” versi 1990
Richie: *ngeluarin jokes”
Gue: .....
Gue: APAAN SIH GARING BGST!!!
Bisa dibilang durasi-lah kelemahan
utama film ini. Gue merasa nggak nyaman ama film-film Hollywood zaman
sekarang yang durasinya makin lama makin mirip film Bollywood.
Semisal “Midsommar” dan “Apostle” yang makan waktu dua jam
lebih. Film yang terlalu lama begini “melelahkan” dan malah
membuat gue berpikir begini selama penayangan film, “Harusnya
adegan ini diilangin aja biar durasinya lebih pendek”. Sama seperti
“It: Chapter Two” ini, menurut gue adegan perkelahian klimaks
antara Pennywise dan Losers Club (yang gue hitung makan durasi sejam
sendiri) harusnya bisa dipersingkat. Toh, bagian-bagian yang seram
malah pas bagian masing-masing anggota Losers Club terpisah dan harus
menghadapi “monster” mereka sendri-sendiri. Di adegan “Gua”,
satu-satunya adegan yang memorable justru mendaur ulang adegan yang
ada di “It” chapter pertama. Buang-buang waktu saja menurut gue.
Dan yang paling merepotkan dari duduk
tiga jam nonton di bioskop adalah: kita nggak berkutik kalo harus
nahan pipis. Kalo ditahan, jadi nggak konsen ama ceritanya. Kalo
ditinggal ke toilet, bisa ketinggalan adegan seru. Jadi serba salah
kan?
Itulah yang terjadi sama gue.
Pas beli tiket, gue sempat ditawarin
mbak-nya kasir buat sekalian beli snack ama minum. Biasanya sih emang
gue selalu beli sih, tapi kali ini gue mikir-mikir. Gue harus duduk
selama 3 jam sambil minum es di ruangan yang dingin pula, kalo gue
kebelet pipis gimana? Akhirnya gue memutuskan nggak beli (dan sialnya
yang duduk di belakang gue malah asyik kriuk kriuk makan popcorn).
Sebelum nonton ini gue juga sempetin nggak minum dulu. BAYANGIN AJA
GUYS, MASA MAU NONTON AJA GUE MESTI PUASA DULU??? Inilah jeleknya
kalo durasi film terlalu lama, so please Hollwood, stick with your 90
minutes time plot next time!
So, in the end, it's am exciting movie,
but unfortunately it's too exhausting. Three hours, goddamnit! Gue
kasi film ini skor 4 CD berdarah.
Dan sebagai penggemar Stephen King,
kembali gue agak kecewa kenapa karya Stephen King harus dinodai
dengan jumpscare-jumpscare untuk menakuti penontonnya. Alasan mengapa
King dijuluki sebagai “King of Horror” adalah karena ia bisa
menggambarkan kengerian dalam novelnya dalam bentuk jalan cerita yang unik dan menarik. Gue rasa film terbaik yang
dengan tepat menggambarkan seperti apa karya horor Stephen King
adalah “Pet Sematary” (dengan suasana kelam yang moody) serta
“The Mist” (dengan ending yang wow dan “mengecewakan” like
all Stephen King's ending). Jumpscare adalah cara “instan” untuk
menerjemahkan kengerian ini ke layar lebar, tapi sayang, dengan
durasi 3 jam, harusnya mereka bisa membangun kengerian itu dengan
cara yang lebih “anggun” dan nggak “instan” seperti itu.
Jangan salah, gue sangat suka
jumpscare, bahkan itulah salah satu alasan mengapa gue kasi film ini
skor tinggi. Namun menurut gue ada cara yang lebih “elegan” untuk
menampilkan suasana horor. Especially if it's the adaptation of the
legend himself. Too bad, no one in the Hollywood understands how to
do it nowadays.
Just like old people said, "The old school always better".
ReplyDeletePlus kalau beli minum gawat tuh pas jumpscare bisa-bisa tiba-tiba basah dan anget wkwkwk
ReplyDeletePenasaran mau lihat filmnya tapi gak ada bioskop di daerah gue. Mau nonton bajakan tapi gak mau nonton sendirian. Ngajak orang gak ada satupun yang mau
ReplyDelete