Tuesday, September 3, 2019

RUDAPAKSA TRILOGY #3: THE INDIAN ICEBERG – KASUS TRAGIS JYOTI “NIRBHAYA” SINGH YANG MENGGUNCANG SEBUAH SUB-BENUA




Kisah ketiga ini gue anggap sebagai kasus terburuk, bahkan lebih parah ketimbang Jaycee Dugard dan Elisabeth Fritzl yang terjadi di belahan dunia lain, sebab korban di kasus ini menemui ajal yang menggenaskan di tangan para pemerkosanya. Kasus ini gue bilang sebagai “the tip of an iceberg” karena kasus pemerkosaan dan pelecehan wanita amatlah umum di India. Namun kasus ini menggoncang India kala itu karena skala kesadisannya, sehingga menyulut demonstrasi besar-besaran yang menuntut hukum India lebih memperhatikan wanita sebagai korban rudapaksa di negeri itu. Kasus yang menggoncangkan India kala itu menimpa seorang wanita bernama Jyoti Singh yang diserang ketika ia pulang malam setelah menonton bioskop di kota Delhi. Karena keberaniannya melawan para pemerkosanya, Jyoti dijuluki sebagai “Nirbhaya” atau “fearless”.

Dear Readers, inilah Dark Case kali ini.


Pada 16 Desember 2012 malam, setelah menonton film “Life of Pi” di kota Delhi, seorang gadis berusia 23 bernama Jyoti Singh, memutuskan pulang bersama temannya, seorang pemuda bernama Awindra Pratap Pandey. Jyoti sendiri berasal dari sebuah desa terpencil di Uttar Pradesh, sebuah provinsi miskin di utara India. Oleh ayahnya, Jyoti disekolahkan hingga tinggi, suatu hal yang tidaklah lumrah di India, sebab kebanyakan orang tua hanya akan menyekolahkan anak laki-lakinya saja. Namun ayah Jyoti tahu bahwa pendidikan akan membuat harkat dan martabat putrinya menjadi tinggi. Ia bahkan rela menjual tanahnya demi membiayai pendidikan putrinya. Jyoti pun magang sebagai fisioterapis di Delhi dengan impian ingin menjadi dokter.

Di dalam bus di tengah jalanan lengang di malam hari
seperti inilah kejahatan tersebut terjadi


Kembali ke malam kejadian. Jyoti dan temannya kemudian naik ke sebuah bus setelah sang kernet mengatakan mereka akan ke Dwarka, tempat tujuannya. Ada enam orang di dalam bus itu, termasuk sang sopir, seorang pria bernama Ram Singh. Namun Pandey, pemuda yang menemani Jyoti merasa curiga karena bus itu tidak melalui rute yang seharusnya. Tak hanya itu, pintu bus juga dalam keadaan tertutup. Ketika ia protes, ia terlibat perkelahian dengan para pria di dalam bus itu dan dihajar hingga pingsan dengan sebuah batang besi. Kemudian, mereka kemudian menarik Jyoti ke belakang bus, memukulinya, dan memperkosanya ramai-ramai. [Bagian ini terpaksa kusensor karena kesadisannya. Jika kalian ingin mengetahuinya, silakan blok bagian ini dengan kursor kalian]

Tak hanya itu, setelah memperkosanya, salah satu pria bernama Ram Singh kemudian memasukkan alat seperti gambar di bawah ini (pegangan dongkrak yang sudah berkarat) ke dalam alat kelamin Jyoti. Kelak, salah satu tersangka yang tertangkap mengaku bahwa malam itu ia melihat Ram Singh menarik sesuatu seperti tali dari tubuh korbannya. Pada kejadian sesungguhnya, Ram menggunakan pegangan dongkrak itu untuk menarik usus gadis itu keluar. Ya, “tali” yang dilihat salah satu tersangka malam itu adalah usus gadis itu sendiri.


Jyoti tak diam saja ketika menerima perbuatan bejat itu. Ia berusaha keras melawan dengan mengigit tiga penyerangnya, bahkan meninggalkan bekas gigitan yang kemudian menjadi barang bukti. Setelah merasa puas, para penyerangnya kemudian melemparkan tubuh Jyoti dan temannya dari atas bus yang masih berjalan. Para penduduk sekitar yang melihatnya segera menolong dan melarikan mereka ke rumah sakit. Nyawa Pandey berhasil diselamatkan walaupun terluka parah. Namun sayang, setelah penyiksaan berat yang dialaminya, Jyoti akhirnya meninggal dunia.

Demonstrasi yang terjadi di India pasca kasus Jyoti

Kasus itu membuat marah publik India. Alasannya karena sebelum insiden yang menimpa Jyoti, kasus lain juga terjadi di bus tersebut pada malam yang sama. Bus tersebut sebenarnya bukanlah bus kota, melainkan bus carter yang disewa oleh sang tersangka Ram Singh. Bus semacam itu bahkan tak diperbolehkan untuk mengangkut penumpang karena kacanya yang gelap dan tak terlihat dari luar. Namun Ram dan gengnya memutuskan untuk membawanya berkendara keluar untuk “bersenang-senang”. Sebelum Jyoti, korban lainnya adalah seorang pria yang kurang beruntung malam itu dan naik bus naas tersebut. Di sana dirampok lalu dilempar dari atas bus. Korban itu kemudian melaporkannya ke tiga orang polisi yang kebetulan ditemuinya di jalan. Namun bukannya menolongnya dan mengejar bus itu, mereka justru menyuruhnya untuk melaporkan ke kantor polisi terdekat karena lokasi itu bukanlah “wilayah” dimana mereka seharusnya bertugas. Naas, sebenarnya apabila ketiga polisi ini mau menjalankan tugasnya tanpa meributkan permasalahan administrasi, nyawa Jyoti sebenarnya bisa diselamatkan.

Karena hukum India melarang nama asli korban dipublikasikan, koran-koran di India kemudian menjulukinya sebagai “Nirbhaya” atau “tak kenal takut” karena ia dengan berani melawan para pemerkosanya. Kasus kematian Jyoti menyebabkan demonstrasi dan huru-hara besar-besaran di seluruh India akibat rakyat yang tak puas dengan kinerja polisi. Protes dimulai pada 21 Desember di Delhi dimana ribuan pemrotes bentrok dengan polisi, hingga melibatkan pelepasan gas air mata ke kerumunan demonstran. Aksi protes itu menjadi semakin besar keesokan harinya hingga polisi terpaksa menutup hingga 9 stasiun MRT agar kerumunan massa tidak semakin bertambah. Demonstrasi dan kerusuhan berlangsung hingga berhari-hari sampai-sampai perayaan Tahun baru dibatalkan. Akibat kerusuhan itu, koran-koran India justru menyalahkan pihak kepolisian karena dianggap terlalu berlebihan dalam menangani protes itu dan menegur bahwa protes semacam itu tidak akan terjadi apabila aparat keamanan semenjak awal melakukan tugasnya dengan baik.

Demonstrasi yang terjadi di India pasca kasus Jyoti


Peristiwa serupa terjadi di berbagai wilayah di India, seperti Bangalore, Kalkutta, Chennai, bahkan di luar India seperti Nepal, Sri Lanka, Pakistan dan Bangladesh. Di Paris, berita tentang aksi tak terpuji itu membuat kedutaan Indian “dikepung” dan petisi dibuat untuk membuat India menjadi negara yang lebih aman bagi wanita. Secara statistik, kota New Delhi memang memiliki angka kekerasan seks tertinggi di seluruh penjuru India. Bahkan statistik menyebutkan bahwa terjadi satu pemerkosaan tiap 18 jam dan angka pemerkosaan selalu naik setiap tahun. Hanya satu dari 706 kasus pemerkosaan di kota itu pada tahun yang sama berhasil diselesaikan dan pemerkosanya benar-benar dihukum. Itulah yang memicu kemarahan warga Delhi, yang kemudian menyebar dengan cepat hingga seluruh India.

Mungkin karena tuntutan rakyat, polisi kemudian bertindak cepat dengan melacak bus itu dan akhirnya menemukan sang pengemudi, Ram Singh. Dengan bantuan sang korban pria yang selamat, polisi juga mendapatkan sketsa kelima penjahat lainnya. Tak hanya itu, ponsel milik korban yang dicuri juga dilacak untuk menemukan keberadaan mereka.

Satu-persatu para tersangkapun tertangkap. Dimulai dari Ram Singh, kemudian saudaranya, Mukesh Singh. Keduanya berasal dari slum area (wilayah kumuh) di Delhi dan berhasil ditangkap setelah sempat kabur ke Rajahstan. Tersangka lainnya yang juga ditangkap adalah Vinay Sharma (20) seorang instruktur gym yang sebenarnya cukup terpelajar karena bisa berbahasa Inggris, Pawan Gupta (19) seorang penjual buah, serta Akshay Thakur (28), seorang pencari kerja yang datang ke Delhi dan bahkan sudah memiliki anak istri. Yang paling mengejutkan adalah identitas tersangka keenam yang ternyata adalah anak di bawah umur bernama Muhammad Afroz atau “Raju”.

Para tersangka yang dijatuhi hukuman mati


Ram Singh, pemimpin gang-bang malam itu kemudian diketahui, melalui pengakuan rekan-rekan kerjanya, bahwa ia adalah pria pemarah yang suka mengamuk karena kebiasaannya meminum alkohol.

Pada 11 Maret, empat bulan setelah kejahatannya, ia ditemukan tewas tergantung di dalam selnya. Hingga kini tak pernah diketahui apakah ia bunuh diri ataukah sengaja dibunuh.

Tersangka termuda, yang kala itu belum genap berusia 18 tahun, mendapat hukuman paling ringan. Di dipenjara selama tiga tahun dan kemudian didampingi untuk bisa melanjutkan hidup yang lebih baik. Departemen yang mengurus anak-anak di India bahkan memberinya uang dan sebuah mesin jahit. Berita terkini menyebutkan ia mencoba menjalani hidup yang lebih jujur dengan bekerja menjadi koki.

Empat tersangka sisanya, Mukesh Singh, Vinay Sharma, Akshay Thakur and Pawan Gupta tetap mengaku tidak bersalah. Pengacara mereka bahkan mengatakan bahwa mereka berempat dipukuli dan dipaksa oleh polisi untuk mengaku. Namun tetap, pada 10 September 2013, pengadilan memutuskan mereka berempat bersalah dan menjatuhi mereka dengan hukuman setimpal, yakni hukuman mati dengan cara digantung.

Mukesh Singh, salah satu tersangka


Peristiwa pembunuhan Jyoti Singh menghebohkan dunia kala itu, bahkan mendorong Google untuk membuat Doodle khusus untuk menghormati sang Nirbhaya. Kasus Jyoti diangkat dua kali ke layar perak, yakni lewat film dokumenter kontroversial besutan BBC berjudul “India's Daughter” yang di-block di YouTube oleh pemerintah India dan sebuah serial kriminal Netflix berjudul “Delhi Crime”. Sekjen PBB saat itu, Ban Ki Moon juga ikut turun tangan dan menyebut India untuk “segera bangun” dan tak ada sesuatupun yang bisa membenarkan aksi pemerkosaan.

Mengapa gue katakan seperti itu? Karena “rape culture” yang mendarah daging di Asia masih sering menyalahkan pihak perempuan, walaupun di sini mereka adalah korban. Bahkan ketika diwawancarai BBC, salah satu penyerang Jyoti, yakni Mukesh Singh. mengungkapkan bahwa ia sama sekali merasa tidak bersalah. Pihak perempuan-lah yang justru bersalah karena ia keluar malam-malam dan karena itu dia bukan “wanita baik-baik” sehingga pantas diperkosa. Bahkan ia menghina pria yang menemani Jyoti malam itu ikut bertanggung jawab karena dia tak cukup kuat untuk melindungi sang perempuan. Sayang, cara pandang seperti ini masih umum terjadi, bahkan di negeri kita sendiri.

Pandangan sempit para pelaku tentang pembenaran perbuatan mereka


Keadilan untuk Jyoti memang akhirnya ditegakkan. Namun seperti judul yang gue berikan untuk artikel ini, kasus Jyoti hanyalah permukaan gunung es. Masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang dialami oleh kaum wanita di India, bahkan di seluruh belahan dunia. Gerakan-gerakan seperti #metoo semakin menyadarkan masyarakat, namun apakah itu memperbaiki nasib wanita? Pada Desember 2014, kasus lain kembali mencuat ketika seorang wanita diperkosa oleh pengemudi Uber. Tak banyak yang berubah memang semenjak aksi membela Nirbhaya mencuat. Bahkan, survey yang diadakan tahun 2017 masih menunjukkan Delhi kota keempat paling berbahaya bagi wanita di dunia dan menduduki peringkat pertama sebagai kota dengan kasus pemerkosaan paling banyak hingga menjabat sebagai “rape capital” dunia. Namun jika kasus Jyoti Singh memang mengubah sesuatu, hal itu adalah keberanian wanita untuk melaporkan apa yang dialaminya ke polisi. Semenjak kasus itu, ada lebih banyak wanita yang melaporkan kejadian yang ia alami ke pihak berwajib, bahkan naik hingga 100%.

At least there is hope.


19 comments:

  1. Alatnya panjang amet sampe bisa narik usus

    ReplyDelete
    Replies
    1. woi udah susah2 gue sensor malah lu full frontal di sini -_-

      Delete
    2. Err, something wrong with that. Seingetku, dari pelajaran biologi bertahun-tahun lalu, harusnya secara anatomis ga mungkin nyambung ke usus deh. Kecuali kalo sampe nusuk dan nembus rahim 🤢
      Dan kalo emang gitu, I don't believe I'm saying this but justru kematian itu anugrah buat Jyoti. Soalnya kalau dia bertab0han hidup, aku ga bisa ngebayangin seberapa hebat penderitaan dan kesakitan yang harus dia alami seumur hidup

      Delete
    3. kwkakwkakw itu udah disensor, malah difrontal dimari lol

      Delete
    4. emang sih kecuali mungkin dua hal: rahimnya ketusuk sampai berlubang atau mungkin masukin alatnya nggak lewat situ ...

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Merinding bacanya... thank you fo sharing. Jadi refleksi buat diri sendiri agar tetap waspada.

    ReplyDelete
  4. Tembus itu ya tuhan, ga habis pikir 😭

    ReplyDelete
  5. Kasusnya terlalu mengerikan. Bahkan seakan belum cukup, cara berpikir pelaku dan beberapa golongan juga kaya iblis ��

    ReplyDelete
  6. Di Indonesia bahkan para wanita menyalahkan si korban yg kebanyakan wanita juga..

    ReplyDelete
  7. Kesel sih, masih banyak banget orang2 yg nyalahin korban pemerkosaan, bahkan diantaranya sesama perempuan. Masih inget banget kasus yg pake pacul & pemerkosaan oleh belasan bocah di bawah umur. Korbannya udah menderita loh, ga bisa bayangin diperkosa kayak apa sampe meninggal. Udah gitu pelakunya malah senyum2 lagi waktu ketangkep. Banyak masyarakat malah bilangnya "oh dia kelakuannya kayak b*** sih, pantes diperkosa" "oh dia pakaiannya terbuka sih, ga heran" "lagian keluar malem2, minta diperkosa banget tuh".

    Sorry, banyak loh yg pakaiannya "ketutup" malah dibilangnya "ditutup sih, kan bikin penasaran". Ga berarti cewek keluar malem2 itu "minta" buat diperkosa. Banyak cewek yg terpaksa pulang malem karena kerjaan, bisa karena lembur, jaga toko yg baru tutupnya malem atau emang jam kerjanya ga bisa diprediksi, baru selesai malem.

    Maaf ya bang dave, aku jadi emosi :(

    ReplyDelete
  8. Akhirnya mereka berempat dihukum mati..terimakasih artikelnya. Jadi tahu cerita 7 tahun lalu

    ReplyDelete
  9. Akhirnya mereka berempat dihukum gantung..Maret 2020

    ReplyDelete
  10. Semoga India dan negara2 Asia penganut hukum "Medusa" segera berbenah

    ReplyDelete
  11. Diindonesia jg ada yg tak kalah kejam...dmasuki gagang cangkul

    ReplyDelete
  12. harusnya kasih mereka rasain dulu apa yang dirasain korban sebelum digantung. RIP

    ReplyDelete