Gue
yakin kalian semua pernah ke kebun binatang? Apa yang biasa kalian
lakukan di sana? Melihat-lihat binatang liar dalam kandang, kadang
mungkin berfoto bersamanya, atau juga jika diperbolehkan kita juga
akan memberinya makan. Bagi anak-anak kecil, berkunjung ke kebun
binatang bisa menjadi semacam edukasi. Namun bagi orang dewasa
seperti kita, semua itu hanyalah hiburan, untuk melihat hewan-hewan
yang tak biasanya kita lihat.
Sekarang
coba bayangkan jika hewan-hewan yang dikurung di sana di ganti oleh
manusia. Dipisahkan oleh teralis atau pagar, kalian bisa melihat
manusia dari suku bangsa atau ras yang lain hidup dalam “kandang”
mereka, lengkap dengan rumah-rumahan dan kondisi “kandang” yang
dibuat semirip mungkin dengan “habitat” aslinya.
Terlihat
merendahkan dan melecehkan martabat manusia?
Sayangnya,
yang gue sampaikan tadi bukanlah khayalan semata. Hal seperti itu
benar-benar terjadi di Eropa pada abad ke-19 hingga awal abad 20.
bangsa Eropa yang kala itu melancarkan kolonialisme ke Asia dan
Afrika, tak jarang membawa orang-orang pribumi dari jajahan mereka,
kemudian menaruh mereka di kebun binatang dan mempertunjukkan mereka
sebagai hiburan yang “aneh”. Langkah itu kemudian diikuti oleh
bangsa Amerika, bahkan semakin diperlaris oleh PT Barnum, sosok yang
kalian lihat sebagai baik hati dan inspiratif dalam film “The
Greatest Showman”.
Kebun
binatang yang menampilkan manusia-manusia ini kemudian disebut
sebagai “human zoo”.
Di "Human Zoo" semacam ini manusia diletakkan di semacam "kandang" bersama hewan-hewan dan dipaksa mempraktekkan budaya mereka, bahkan diberi tiruan rumah adat mereka
Menurut
Wikipedia, “human zoo” awalnya disebut sebagai “eksposisi
etnologis” dimana manusia dari suku atau ras tertentu
dipertunjukkan dengan budaya asli mereka. Sekilas pengertian ini
tidaklah merendahkan martabat manusia. Kita juga sering menampilkan
budaya kita sendiri dengan memakai pakaian tradisional atau menarikan
tari tradisional, bahkan sampai ke luar negeri. Awalnya juga
pertunjukan ini, oleh para antropolog, dimaksudkan sebagai bentuk
edukasi kepada masyarakat tentang cara hidup bangsa-bnagsa lain di
luar benua Eropa. Publik pun menanggapinya dengan antusias karena
didorong oleh rasa ingin tahu mereka serta menganggapnya sebagai
hiburan yang eksotis. Kita sendiri pasti antusias bukan kalau ada
pameran Jepang ataupun Korea digelar dengan tradisi yang otentik?
Namun
masalahnya, prakteknya justru menyimpang jauh dari tujuan awalnya
sebagai “edukasi”. Dalam kenyataannya, praktek “human zoo”
ini dipenuhi rasa rasisme, hingga mereka menaruh pertunjukan itu di
dalam kebun binatang karena mereka dianggap lebih “setara” dengan
binatang-binatang di dalam sana, ketimbang dengan manusia (atau dalam
hal ini, ras kulit putih). Bukannya merasa teredukasi, para
pengunjung “human zoo” seringkali mengejek “ras-ras lain”
yang dipertunjukkan di sana, bahkan melempari mereka dengan pisang
untuk memberi mereka makanan. Dengan menyaksikan fisik ras lain yang
berbeda serta cara hidup mereka yang dianggap “primitif” bangsa
kulit putih Eropa semakin yakin bahwa mereka adalah ras yang
“superior”.
Penduduk asli yang diculik dan dipaksa ditampilkan di "Human Zoo"
Yang
lebih buruk lagi, karena “human zoo” ini amat laris, para
penduduk asli kerap dirayu untuk datang Eropa, bahkan tak jarang
sengaja diculik, untuk dipertontonkan. Dalam istilah masa kini, apa
yang orang-orang Eropa itu lakukan terhadap kaum pribumi kala itu
bisa disebut sebagai “human trafficking” atau “perdagangan
manusia”.
Perdagangan
manusia juga dilakukan oleh Robert A. Cunningham dari Barnum &
Bailey’s Circus dengan menculik 9 penduduk asli Aborigin dari
Australia untuk dibawa ke Amerika. Salah satu dari mereka meninggal
karena sakit 1883. namun bukannya jenazahnya dipulangkan atau diberi
penguburan yang layak, jenazahnya malah diawetkan dan dipertunjukkan
di Drew’s Dime Museum di Cleveland oleh PT Barnum. Yup, kisah hidup
PT Barnum emang bukan cuma tentang “This is Me” atau “Rewrite
The Stars”, namun juga dilingkupi sejarah gelap.
Mari
mengupas satu demi satu praktik “human zoo” ini di negara-negara
Eropa.
JERMAN
Negro Village. Perhatikan pagar kawat yang memisahkan kaum kulit hitam dan kaum kulit putih
Jerman
bisa dibilang sebagai negara yang mempelopori konsep “human zoo”
ini. Seorang pria bernama Carl Hagenbeck, awalnya memiliki bisnis
untuk mendatangkan hewan-hewan eksotis untuk mengisi kebun-kebun
binatang di Eropa. Namun ketika bisnis ini mulai menurun pamornya,
iapun punya ide untuk mendatangkan manusia dari suku yang dianggapnya
“primitif” dan eksotis untuk ditaruh di kebun binatang.
Yang
pertama ia datangkan adalah satu grup penduduk Sami, yakni suku asli
yang mendiami Norwegia utara pada 1875. Mereka
mendiami suatu area di dalam kebun binatang Hamburg Zoo dan
mempertontonkan tradisi adat mereka seperti memerah susu rusa kutub
untuk menghibur pengunjung. Pertunjukan itu sukses besar dan
mendorong “Human Zoo” menyebar ke seluruh penjuru Eropa, bahkan
hingga ke Amerika.
Pada
1881 semisal, Hagenbeck menculik 11 orang dari suku asli Indian
Kawesqar dari Chile untuk ditampilkan di “Human Zoo” untuk
dipertontonkan di sepanjang Eropa. Hanya 5 dari mereka yang berhasil
kembali dengan selamat, sedangkan tulang belulang sisanya ditemukan
di Zurich, sekitar 100 tahun setelah penculikan mereka.
Praktik
“Human Zoo” di Jerman akhirnya dihentikan pada 1931 (anehnya,
justru oleh Hitler).
PERANCIS
Gerbang "Human Zoo" di Paris
Geoffroy
de Saint-Hilaire, direktur dari “Jardin d'Acclimatation” (semacam
amusement park di Paris), memutuskan pada tahun 1877 untuk
mempertunjukkan suku Nubian dari Afrika Utara dan Inuit dari Amerika
Utara. Pertunjukan itu amat sukses dan mendatangkan satu juta
pengunjung. Ironisnya, pertunjukan itu diadakan di “Jardin
Zoologique d'Acclimatation”, yakni bagian yang mempertunjukkan
binatang.
Pada
tahun 1889, World Fair di Paris menampilkan “Human Zoo” yang
diberi nama “Negro Village”, diikuti World Fair 1900 menampilkan
penduduk asli Madagascar, Indocina, Sudan, Tunisia hingga Moroko.
Sama seperti yang lain, pakaian tradisional mereka sama sekali tak
bisa melindungi mereka untuk menghadapi dinginnya iklim Eropa
sehingga banyak yang akhirnya meninggal.
Lebih
parah lagi, “Colonial Exhibitions” di Marseilles (1906 dan 1922)
dan di Paris (1907 dan 1931), Prancis kembali menunjukkan
“keperkasaannya” dengan menampilkan para pribumi hasil
“tangkapan” di negara jajahan mereka dalam kandang, kadang dalam
kondisi telanjang.
BELGIA
"Human Zoo" di Belgia. Perhatikan di belakang terdapat kumpulan orang putih
yang sedang berkerumun untuk menyaksikan dari luar pagar
Salah satu yang paling kejam dalam hal penerapan “Human Zoo” ini adalah Belgia. Belgia, yang awalnya merupakan negara kecil yang tak diperhitungkan di kancah Eropa, tiba-tiba menjadi negara besar setelah menjajah Kongo yang kaya akan mineral dan sumber daya alam pada masa imperialisme. Saat itu, bahkan Belgia bisa dengan bangga bersanding dengan Inggris dan Prancis sebagai negara superpower di Eropa kala itu, walaupun dengan mengorbankan rakyat Kongo yang menderita akibat dijajah dan diambil paksa kekayaannya.
Pada World Fair tahun 1958, Kerajaan Belgia mendirikan “Kongorama”, sebuah “Human Zoo” yang menampilkan penduduk asli Kongo di balik pagar bambu. Bahkan sebelum itu, Raja Leopold II telah “mengimpor” 267 penduduk asli Kongo untuk dipertontonkan di istananya. Banyak di antaranya kemudian meninggal karena dinginnya udara Eropa dan jatuh sakit. Jenazah mereka kemudian dikubur seadanya di taman tersebut.
INGGRIS
Pada
1925, Belle Vue Zoo di Manchester menampilkan suku pribumi kulit
hitam dari Afrika dan melabeli mereka sebagai “kanibal” dan
menggambarkan mereka sebagai suku yang ganas dan primitif.
Karikatur Sarah Baartman
Namun,
kisah paling menggenaskan adalah gadis kulit hitam bernama Saartjie
“Sarah” Baartman yang dipertontonkan pada abad ke-19. Sarah
merupakan gadis dari suku Khoisan (Afrika Selatan) yang dibawa ke
London untuk dipertunjukkan. Sarah, sama seperti gadis-gadis lain
dari sukunya, memiliki kondisi genetik unik yang disebut
“stateopygia” yang menyebabkan pinggul dan paha mereka membesar
karena terisi tumpukan lemak. Kondisi ini kemudian dimanfaat para
promotornya yang kemudian memaksanya telanjang dan memamerkannya di
depan publik, bahkan menjulukinya “Hottentot Venus” dari kata
“hot” dan “tot” (yap, kalian pasti bisa nebak apa maksudnya)
sebagai hinaan.
Sarah
mengalami hidup seperti budak, bahkan ketika dibawa ke Prancis untuk
pertunjukan lain, lehernya dirantai. Di sana, ia akhirnya meninggal
karena sakit cacar. Hingga akhir hayatnya, Sarah terus mengenakan
satu-satunya yang ia miliki, yakni kalung dari tempurung kura-kura
yang diberikan ibunya pada saat upacara keagamaan, sebagai
satu-satunya kenangan akan kampung halamannya.
AMERIKA SERIKAT
Suku asli Filipina dipaksa tampil di World Fair
Pada 1896, untuk meningkatkan jumlah pengunjung, Cincinnati Zoo menampilkan para penduduk asli Amerika dari suku Sioux dalam sebuah “desa” yang dibangun di dalam kompleks kebun binatang. Tak hanya itu, suku pribumi Apaches serta suku Igorots yang didatangkan dari Filipina juga ditampilkan di Saint Louis World Fair yang berbarengan dengan Olimpiade tahub 1904.
Selama pertunjukan berlangsung, kaum pribumi itu banyak menghadapi kondisi lingkungan yang tak sesuai dengan pakaian adat mereka yang dipaksa dikenakan pada mereka, padahal pakaian tersebut adalah bentuk adaptasi mereak terhadap iklim tropis yang panas, sedangkan World Fair tersebut dilangsungkan pada musim dingin di bulan Desember. Akibatnya, beberapa penduduk asli tersebut akhirnya jatuh sakit dan meninggal.
Mungkin salah satu cerita paling tragis tentang korban “Human Zoo” ini adalah Ota Benga. Ia adalah salah satu dari 12 suku pigmi dari Kongo yang diculik dan dibawa ke World Fair tahun 1904. Dia ditempatkan di Bronx Zoo, New York setelah ditipu (awalnya dia berpikir akan diperkerjakan sebagai pawang gajah). Namun yang terjadi ia malah diletakkan di kandang primata bersama simpanse dan orang utan. Di kandangnya dituliskan:
Ota Benga
“Ota Benga, manusia, pada 1906. Umur, 23 tahun.
Tinggi, 4 kaki 11 inch (150 cm).
Berat, 103 pon (47 kg).
Dibawa dari Sungai Kasai, Kongo, Africa Tengah Selatan, oleh Dr. Samuel P. Verner.
Ditampilkan tiap siang hari selama September.”
Pemilik kebun binatang juga melabelinya “The Missing Link”, merujuk pada teori evolusi Darwin sebagai “peralihan” antara monyet dan manusia. Pertunjukan itu kemudian diprotes habis-habisan, terutama oleh pendeta kulit hitam. Ota Benga akhirnya “dibebaskan”, namun akhirnya bunuh diri pada 1961 pada saat ia berumur 32 tahun.
Jika ditanya, siapa tokoh Amerika yang amat mendukung konsep “Human Zoo” ini bahkan sukses mengkapitalisasinya? Jawabannya adalah PT Barnum. Di salah sirkusnya, ia mempertontonkan anak-anak dari suku Khoikhoi, Afrika yang disebutnya sebagai “Little People”, dan sama seperti yang dialami Ota Benga, memperkenalkan mereka sebagai “The Missing Link”.
Kini,
karena meluasnya pemahaman tentang HAM dan juga meningkatnya
kesadaran tentang rasisme (karena memang banyak kaum minoritas yang
berani angkat bicara dan menentang perlakuan rasis terhadap mereka
selama ini), “Human Zoo” sudah merupakan konsep yang punah. Semua
manusia adalah setara, titik. Dan kita juga harus memperjuangkan
kesetaraan hak sebagai manusia itu, apapun tantangannya.
Kenapa
kita harus peduli? Well, sebagai penutup, gue akan memperlihatkan
sebuah foto lawas dari “Human Zoo” di World Fair di Amerika.
Terlihat
tidak asing?
Sumber
artikel: Wikipedia, Boredom Therapy, Timeline, The Guardian
Ironisnya, sekarang justru orang-orang Barat yang gencar menentang zoo dan animal attractions. Banyak banget yang menggebu-gebu menuntut semua binatang dilepaskan kembalimke alam liar, tanpa peduli banyak yang habitatnya di alam liar sudah menipislah, yang sudah nyaris punah dan butuh campir tangan manusia lah.
ReplyDeleteDipikir lagi, mereka masih sama aja
Kece sih foto terakhir
ReplyDeleteYang terakhir orang Bali, Papua, Ama Batak ga sih?
ReplyDeleteYang pasti Indon pak
Delete