Bayangkan
kau adalah seorang pemilik sebuah rumah kontrakan di Jepang. Ada satu
tenant yang selalu rajin mentransfer uang sewa maupun biaya tambahan
seperti listrik dan ledeng. Ia tak pernah sekalipun terlambat. Namun
entah kenapa, bulan ini ia terlambat, bahkan belum membayarnya.
Merasa penasaran, iapun pergi ke kontrakan miliknya tersebut untuk
menagihnya.
Namun
apa yang dilihatnya akan menghantuinya seumur hidupnya.
Kondisi
rumahnya kini berbau tak sedap, seolah telah lama terbengkalai.
Segalanya terlihat membusuk dan tak pernah dirawat. Ketika ia
berjalan memasuki kamar tidur, iapun terhenyak. Di atas kasur
terbaring sesuatu, sebuah siluet hitam yang mirip dengan kontur tubuh
seorang laki-laki. Bak sebuah film horor Jepang, “noda” hitam itu
adalah sisa-sisa tubuh seorang pria yang telah mati dan membusuk.
Ya, lansia itu ternyata sudah meninggal selama tiga tahun.
Pria
itu adalah penghuni kontrakannya itu, seorang pria berusia 69 tahun
yang selama 3 tahun, kematiannya tak diketahui karena ia hidup
sendiri. Selama 3 tahun pula, uang sewa kontarakannya dipotong secara
otomatis melalui rekeningnya. Sehingga baru ketika uang tabungannya
itu habis, seseorang akhirnya curiga dan menemukan jenazahnya.
Ngerinya,
apa yang dialami pria tua malang itu merupakan hal yang umum terjadi
di Jepang, bahkan memiliki istilah sendiri, “kudokushi” atau" mati
dalam kesendirian".
“Kodokushi”
atau “lonely death” merupakan fenomena dimana seseorang, umumnya
lansia, meninggal sendirian tanpa ada seorangpun tahu dan kematiannya
tidak disadari siapapun hingga dalam jangka waktu yang lama. Setragis
apapun kedengarannya, fenomena ini benar-benar terjadi di Jepang
modern. Lunturnya rasa kekeluargaan dan meningkatnya budaya
kemandirian menyebabkan banyak kaum lansia yang tinggal sendiri.
Mungkin kalian berpikir, lalu dimana anaknya? Apa anaknya nggak mau
merawat?
Semenjak
ekonomi Jepang booming, muncul trend (yang lazim di negara maju) bagi
laki-laki dan wanita untuk tetap single seumur hidup dan tidak
menikah. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, mulai dari konsen
mengejar karier hingga tak memperdulikan kehidupan pribadi ataupun
biaya hidup yang semakin tinggi, sehingga menurut mereka “tidak
masuk akal” untuk menikah dan menambah biaya hidup dengan memiliki
istri dan anak.
Trend
ini mengakibatkan bahwa pria tetap menjadi lajang hingga mereka
sepuh. Secara langsung pula hal ini menyebabkan tingkat kelahiran
menurun sehingga di Jepang dan banyak negara maju lain, populasi
penduduk kebanyakan didominasi orang tua. Banyaknya popualsi kaum
lansia di Jepang membuat pemerintah kewalahan, masih ditambah lagi
sedikitnya pekerja bidang sosial yang mampu menangani mereka.
Stasiun
TV terkemuka di Jepang, NHK, memperkirakan sekitar 32.000 lansia di
Jepang meninggal secara “kodokushi” hanya di tahun 2009 saja.
Diperkirakan di kota Tokyo saja, ada 1.000 lebih kasus kodokushi yang
tentu berakhir tragis.
Akankah para lansia di negara semaju Jepang akan berakhir sebagai kodokushi?
Para
lansia yang mati kesepian ini umumnya hidup dalam isolasi sosial.
Dengan usia mereka yang senja, mereka tak bisa banyak melakukan
aktivitas ataupun berpergian, sehingga tak mampu bersosialisasi.
Mereka juga kebanyakan tak memiliki anak sehingga tak ada yang
merawat atau paling tidak memeriksa kondisi mereka. Selain itu,
penduduk Jepang yang memiliki etos kerja yang teramat tinggi juga
terbiasa “tidak mengeluh”, sehingga mereka jarang mengatakan pada
keluarga atau tetangga mereka jika mereka kesepian atau butuh
bantuan.
Kodokushi
umumnya menimpa lansia berumur 50-an hingga 65 tahun. Uniknya, hampir
90% lansia yang mengalami fenomena ini adalah pria. Lah, kenapa bukan
wanita? Konon, kebiasaan bergosip dan “ghibah” ternyata cukup
membantu wanita untuk bersosialisasi, minimal dengan tetangga mereka.
Sehingga jika mereka tidak terlihat melakukan aktivitas rutin mereka,
tentu akan mengundng kecurigaan tetangga mereka.
Kodokushi
hanya merupakan contoh lain “keterasingan” yang dirasakan warga
Jepang dari segala umur. Bahkan kaum mudapun tak lepas dari fenomena
ini. Tak jarang terjadi kasus dimana mereka menjadi “hikokomori”,
yakni mereka akan memutus semua interaksi sosial dengan teman-teman
mereka dan hidup mengasingkan diri di dalam kamar, bahkan mungkin tak
pernah keluar rumah seumur hidup. Tragisnya, tak sedikit kasus
hikokomori yang berakhir dengan bunuh diri.
Apakah
ada yang salah dengan Jepang? Jawabannya bisa ya atau tidak. Jujur
saja, kasus para lansia ini meninggal tanpa ada seorangpun peduli
mengingatkan gue sama “ubasute”, yakni tradisi mengerikan kuno
dari Jepang dimana seorang anak akan menelantarkan orang tua mereka
yang sudah lansia di dalam hutan agar mereka mati. Apakah generasi lansia yang menerima nasib sebagai kodokushi ini sebenarnya menerima karma karena mereka dulunya adalah pelaku ubasute? Ataukah ini justru salah generasi modern yang semakin independen dan individualistis, sehingga tak peduli pada sekitar kita?
Kasus
kodokushi paling tragis, bahkan lebih terkesan mirip kisah
Creepypasta, terjadi pada 2010 di Tokyo. Kala itu pihak pemerintah
kota Tokyo hendak memberi selamat pada Sogen Kato, seorang lansia
yang menurut catatan mereka pada hari itu berulang tahun yang ke-111.
Namun begitu tiba di rumahnya, begitu terkejutnya mereka ketika
menemukan jenazah pria tersebut sudah mengering menjadi mumi.
Pemeriksaan forensik mengungkap data yang lebih mencengangkan lagi.
Sogen Kato sudah meninggal sekitar 30 tahun lalu, tepatnya pada tahun
1978 di usia 79 tahun! Anak-anaknya telah menerima uang pensiun dari
lansia tersebut dengan total mencapai 9,5 juta yen (setara 1,5 M
IDR), sehingga diduga mereka menyembunyikan kematiannya untuk
menerima kucuran dana tersebut.
So,
maybe having a son is not a healthy option either.
sama sama mati, tapi lain caranya aja
ReplyDeleteJadilah laki laki yg suka ngegosip
ReplyDeleteParah anak2nya --__--
ReplyDelete